ttoguxnanaxranie

Ting! Tong!

Tok! Tok! Tok!

Terdengar bunyi lonceng bel yang beriringan bersama suara ketukan pintu. Dengan langkah gontai, Shella bangun dari tempat tidurnya selagi sepasang manik yang tertutup rapat. Bak mayat hidup yang baru bangkit dari makamnya, gadis cantik itu melangkah ke arah pintu. Andaikan Shella tidak tahu siapa oknum yang akan mengganggunya malam ini, ia sangat enggan bergerak dari posisinya satu senti pun.

“Bee,” panggil Alvino semangat tepat saat pintu itu terbuka untuknya. Ia mengulas senyum lebar sampai-sampai sepasang maniknya ikut melengkung.

Melihat sesosok tampan yang ada di depannya, Shella mengerucutkan bibirnya. “Mata aku sakit, Bee,” keluhnya sembari memeluk erat tubuh kekar di hadapannya.

“Sakit banget, ya?” tanya Alvino khawatir. Tangannya bergerak mengusap punggung sempit yang mendekapnya.

“Sakit banget sih enggak cuma aku jadi gak bisa ngeliat apa yang ada di sekitar aku dengan jelas,” ucap Shella setelah melonggarkan pelukannya.

Shella menarik sebelah tangan kekasihnya itu agar masuk ke kamar tidurnya. Ia mengomando Alvino untuk berbaring bersamanya di atas ranjang. Alvino terkekeh menanggapi sikap lucu kekasihnya itu. Lihat saja, bagaimana manik minimalis itu kembali hilang dalam sekejap saat simpulnya muncul. Alvino mendekap erat kekasihnya yang sedang sakit itu.

“Kalo aku masih keliatan ‘kan, Bee?” tanya Alvino menggombal.

Shella menatap kekasihnya itu tak percaya. Entah bagaimana guyonan renyah itu bisa keluar dari mulutnya. “Jangan ngomong, Bee. Kamu gak lucu,” ejeknya.

Alvino, yang diolok seperti itu hanya tertawa masam. Baginya, semua tingkah laku yang Shella perbuat sangatlah menggemaskan. “Kok kamu masih bangun, Bee? Tadi pas Carla ke kamar, katanya kamu udah tidur,” tanya Alvino lagi.

“Ya, menurut kamu? Dengan kamu bunyiin bel sama ngetok pintu, emangnya aku gak bakal bangun?” jawabnya tak santai.

Alvino menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Bener juga,” gumamnya.

Selepasnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Di dalam pelukan hangat itu, Shella mengusakkan wajahnya pada dada bidang sang kekasih. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi Shella untuk bermanja-manja dengan kekasihnya ini, terutama jika dirinya sedang sakit atau tidak bersemangat dengan kegiatan sehari-harinya.

“Bee,” panggil Alvino lagi.

“Hm?” balas Shella singkat.

“Coba sini deketan,” pinta lelaki tampan itu.

Padahal, jarak yang terpaut di antara mereka sudah sangat dekat. Meskipun begitu, Shella tetap mendekatkan dirinya kepada sang kekasih. Kini, sepasang wajah menawan itu saling bertukar pandang. Alvino sempat terbuai dengan sepasang manik yang berbinar bak bintang di langit itu. Ya, paling tidak sampai Shella mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Mau ngapain nyuruh aku deketan?” tanya Shella penasaran.

Di detik berikutnya, Alvino bergerak. Lelaki tampan itu mengecup mata kekasihnya yang sakit karena terinfeksi bakteri. Alvino seolah mengirimkan obat lewat ciumannya. Entah motivasi seperti apa yang membuatnya melakukan hal sedemikian rupa. Setidaknya, sudah tiga menit berjalan dan posisi keduanya masih sama seperti itu.

“Cepet sembuh, ya, Bee,” ucap Alvino sesaat setelah menyudahi kecupannya.

Shella tersenyum manis. “Makasih banyak, Bee,” jawabnya lembut.

Dua pasang manik itu kembali beradu tatap serta senyum. Saling menikmati pemandangan yang disuguhkan tepat di depan mereka. Kemudian, Alvino mulai memangkas jarak yang sudah sangat dekat itu dengan gadisnya. Shella-pun perlahan memejamkan matanya. Namun, saat satu belahan itu akan bertemu belahan lainnya, bunyi bel menginterups keduanyai.

Alvino dan Shella segera mengembalikan indera penglihatan masing-masing. Berbeda dengan Shella yang mendengus kesal, Alvino justru tersenyum. “Obatnya udah dateng,” ujar lelaki tampan itu untuk kemudian bangkit dan melangkah ke arah pintu kamar.

Mendengarnya, kening gadis cantik itu mengernyit. “Obat?” gumamnya.

Benar saja. Tepat setelah dirinya bermonolog, Alvino datang dengan sekantung obat dalam genggamannya. Melihatnya, Shella menggerutu. Selain sayur-sayuran hijau, obat menempati peringkat kedua sebagai bahan makanan yang paling tidak disukainya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

“Obat siapa itu?” tanya Shella tidak santai.

Alvino kembali mendudukkan dirinya di sebelah Shella. “Obat kamu-lah,” katanya.

Shella mengusap wajahnya kasar lalu memicingkan matanya ke arah sang kekasih. “Kamu ‘kan tau aku gak suka obat, Bee,” ucap gadis cantik itu.

Alvino menghelas napas panjang. Ia tahu hal seperti ini akan terjadi. “Kalo gak minum obat nanti gak sembuh-sembuh matanya, Bee,” ujarnya.

“‘Kan udah dikasih obat tetes mata sama Carla, Bee,” bantah Shella.

“Itu obat dari luar. Ini obat antibiotik untuk bantu nyembuhin dari dalem, Bee,” jawab Alvino.

Alvino membuka satu buah obat dari bungkusan alumuniumnya. Ia sodorkan benda kecil itu untuk gadisnya tegak. Shella membuang pandangannya saat sepasang maniknya menangkap adanya ancaman dalam bentuk obat tablet yang terletak di atas tangan besar kekasihnya. Ia dapat membayangkan seberapa pahitnya benda itu.

“Gak mau, Bee,” sergah Shella tidak mau kalah.

“Aku gerus obatnya, ya? Biar bisa dilarutin pake air,” tawar lelaki tampan itu.

Shella menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia menolak keras apapun kegiatan yang berkaitan dengan obat dan rasa pahit yang terkandung di dalamnya. Tidak ingin kalah karena ini demi kebaikan sang gadis, Alvino menarik tangan Shella agar mendekat kepadanya. Tubuh kekar itu mendekap tubuh yang lebih mungil. Shella memberontak dengan keras.

“Kamu harus minum obat, Bee, biar cepet sembuh. Ini resep obat dari dokter pribadi kamu kok,” rayu Alvino kepada gadis cantik yang ada di dalam pelukannya itu.

“Gak mau, Bee, gak bakal ketelen juga sama aku,” tolak Shella. Gadis cantik itu masih berusaha untuk meloloskan diri dari kekasihnya.

Di sela-sela perang itu, tiba-tiba saja terbesit ide licik di dalam pikiran lelaki tampan itu. Alvino menggigit obat itu menggunakan mulutnya. Tangan kirinya bergerak untuk mengunci pergerakan gadisnya sementara tangan kanannya ia pakai untuk menangkup dagu mungil di hadapannya agar tidak bergerak bebas.

“Maaf, ya, Bee, tapi kamu harus minum obat,” final Alvino.

Selanjutnya, yang terjadi adalah Alvino melesatkan paksa obat tersebut ke dalam mulut Shella dari mulutnya. Jika digambarkan, lelaki tampan itu seperti akan mencium gadisnya tetapi dengan obat yang bertengger di giginya. Kalau sudah begini, mau tidak mau, ingin tidak ingin, Shella harus menelan benda pahit itu.

Sebab, Alvino tidak akan menyudahi ciumannya jika Shella tidak kunjung menghabiskan obatnya. Akhirnya, dengan berat hati, walaupun jiwa dan raganya tidak merestui, Shella melahap tablet antibiotik itu. Terlihat jelas ekspresinya yang menggambarkan keterpaksaan yang amat dalam.

Dirasa gadisnya sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, barulah Alvino melepaskan ciumannya. Ia tersenyum lebar bagai tak berdosa. Diusapnya pucuk kepala yang sedang mendidih karena amarah yang memuncak itu. Untuk meredakannya, Alvino mengecup sepasang pipi chubby yang ada di dalam pelukannya.

Lelaki tampan itu terkekeh. “Akhirnya, aku tau jalan pintas biar kamu mau minum obat,” ucapnya.

Berbeda dengan lelaki kesayangannya, wajah cantik Shella mengerut. “Pahit, Bee,” katanya kala lidahnya menyecap rasa ekstrem itu di dalam mulutnya.

“Eh?! Maaf, Bee, aku lupa,” ujar Alvino. Dengan cepat, ia memberikan botol air mineral yang isinya tinggal setengah dari nakas di sebelah tempat tidur.

Shella menegak habis air minum yang Alvino berikan padanya. Perlahan, rasa pahit itu mulai mengalir di dalam kerongkongannya. Setelah bertahun-tahun lamanya, gadis cantik itu kembali merasakan siksaan ala duniawi. Tapi, mau bagaimana pun juga, lelaki tampan itu melakukannya untuk dirinya.

“Masih pahit gak, Bee?” tanya Alvino.

Shella menganggukkan kepalanya. “Sedikit,” jawabnya.

Alvino hendak bangkit dari duduknya untuk mengambil botol air mineral lainnya saat pergerakannya dihentikan oleh Shella. Ia menatap tangan kurus yang menggenggam baju tidurnya. Sepasang manik minimalis itu seolah memancarkan tanda tanya. Apakah ada hal lain lagi yang kekasihnya butuhkan?

“Kenapa, Bee?” tanya Alvino heran.

“Kamu harus tanggung jawab,” ujar Shella datar.

Mendengarnya, manik yang biasanya terlihat segaris itu, kini membelalak sempurna. “Tanggung jawab gimana maksudnya?!” tanya lelaki tampan itu tak santai.

Sebelum menjawab, Shella membasahi bibirnya. “Kamu harus tanggung jawab juga, Bee. Obat ini pahit banget, kamu juga harus ngerasain,” jelasnya.

Sepersekian detik kemudian, gadis cantik itu menarik tubuh kekar itu agar menciumnya. Sangat amat jauh berbeda dengan yang sebelumnya, ciuman ini terasa hangat dan bermakna. Shella bersungguh-sungguh dalam meminta pertanggungjawaban dari sang kekasih. Meskipun sempat bergeming, Alvino akhirnya ikut mengalun bersama kegiatan intim itu.

Setidaknya, sudah berkali-kali dua kepala itu berganti arah, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Shella merasa terpenuhi pengajuan tanggung jawabnya saat Alvino melumat bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Belum lagi, saat lidah itu melengang masuk dan mengabsen deretan giginya.

“Mphhh,” lenguh Shella saat ciuman itu semakin menuntut.

Merasa mendapat lampu hijau, Alvino menangkup kepala bagian belakang Shella untuk kemudian dengan perlahan menidurkan kekasihnya. Shella memeluk erat tubuh kekar yang menguasainya. Tangan besar itu mulai bergerilya ke sekitar. Tubuh mungil itu menggelinjang saat Alvino meremas payudaranya. Shella melepaskan ciumannya terlebih dahulu.

“Sakit, ya, Bee?” tanya Alvino lembut.

Shella tersenyum. “Enggak, Bee, gak sakit kok,” jawabnya.

Alvino mengecup kening gadisnya lalu kembali bertanya, “Boleh aku lanjutin?”

Shella mengangguk pelan. Lalu, tangan Alvino bergerak membuka satu per satu kancing baju tidur kemudian celana pendek yang melindungi tubuh kekasihnya diiringi dengan Shella yang melakukan hal serupa pada pakaiannya. Kini, sepasang kekasih itu hanya ditutupi oleh dalaman masing-masing.

Gadis cantik itu dapat merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Sesuatu yang besar itu terus menggodanya. Pastinya, Alvino menyadari hal tersebut. Lihat saja, bagaimana lelaki tampan itu, dengan sengaja, menggesek-gesekkan kepemilikannya agar mengenai kewanitaan sang kekasih.

“Nghhh, Bee,” lirih Shella.

“Enak, Bee?” kata Alvino mengumpan.

Shella tidak mampu menjawab. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya beberapa kali. Alvino dibuat menyeringai puas dengan respon itu. Oleh sebab itu, ia tidak mengurung niatnya untuk terus memancing hasrat gadisnya. Walaupun tidak dapat dipungkiri juga, lelaki tampan itu tidak sabar untuk melanjutkan ke permainan berikutnya.

“Ahhh, masukin aja, nghh, Bee,” pinta Shella.

Mendengarnya, Alvino mendekatkan mulutnya ke sebelah telinga Shella. “Foreplay dulu, ya, Bee.”

Berikutnya, Alvino mengusap vagina gadisnya dari arah luar. Hal itu mampu membuat Shella melirih kenikmatan. Alvino cukup terpuaskan saat indera perabanya merasakan kain yang lembap di bawah sana. Tak lama setelahnya, dua jari besar itu, tanpa aba-aba, melesat masuk ke dalam vaginanya.

“Bee!” pekik Shella.

Di dalam sana, Alvino sibuk mengaduk-aduk kepemilikan Shella selagi ibu jarinya memutar di daerah klitoris sang gadis. Berulang kali Shella mencoba merapatkan kakinya saat Alvino berulang kali melebarkannya lagi. Jika boleh jujur, gadis cantik itu merasa kewalahan dengan permainan yang lelaki kesayangannya lakukan padanya.

“Enak, Bee?” tanya Alvino memastikan.

Shella mengangguk mengiyakan pertanyaan yang Alvino lontarkan padanya. Tampaknya, Shella terlalu menikmatinya sampai-sampai pinggulnya ikut bergerak seolah meminta lebih. Melihatnya, Alvino menyeringai puas. Siapa yang bisa menyangka? Meskipun sakit, Shella tetap dapat menikmati permainan ini dengan maksimal.

“Lagi?” tawar Alvino.

Tentu saja, Shella setuju dengan yang satu itu. Selepasnya, Alvino menambah tempo kecepatannya di bawah sana. Shella menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar sembari meremat kain yang menjadi alasnya dengan erat. Namun, sepertinya ada yang kurang. Ia ingin memanjakan milik kekasihnya.

“Bee,” panggil Shella.

Yang dipanggil menoleh. Alvino menaikkan sebelah alisnya. “Ya, Bee?” jawabnya.

“Nghh, mau mainin, ahhh, punya kamu,” racau Shella.

Ada permohonan yang diajukan dalam rangka memanjakan kejantannya, Alvino tersenyum puas. Ia menghentikan aktivitas pada vagina gadisnya. Alvino merangkak menghampiri gadisnya. Lelaki tampan itu dapat melihat dengan jelas bagaimana manik Shella berbinar penuh harap.

“Mau mainin punya aku?” tanya Alvino menggoda.

“Iya,” jawab Shella.

“Kalo sekarang, jangan dulu, ya, Bee. Kamu baru selesai minum obat,” ujar lelaki tampan itu lembut. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala Shella. Kemudian, Alvino kembali mendekatkan mulutnya ke sebelah telinga sang kekasih. “Aku langsung masukin aja, ya? Kamu juga udah basah,” bisik bariton itu.

Seketika, tubuh mungil itu bergetar hebat saat bias suara sedalam palung itu menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Bak tersihir ilmu hitam, Shella menyetujui permintaan kekasihnya itu. Setelah mendapat persetujuan, Alvino merogoh alat kontrasepsi dari celana tidurnya yang tergeletak di atas kasur.

Setelah melepas celana dalamnya, Alvino memasang alat pengaman itu pada penisnya. Shella yang menyaksikan aksi itu hanya dapat membeku di tempatnya. Entah sebab matanya yang sedang sakit atau memang milik kekasihnya itu terlihat lebih besar malam ini? Gadis cantik itu menelan salivanya susah payah. Alvino yang menyadari hal itu hanya tertawa kecil.

Alvino tengah mempersiapkan kejantanannya untuk menerobos masuk ke dalam lubang surgawi di bawah sana seraya melepaskan dua kain terakhir yang melindungi aset indah kekasihnya. “Kalo sakit atau gak kuat atau capek, bilang aja, ya, Bee,” perintahnya.

“Iya, Bee. Aku gak apa-apa kok” balas Shella lembut nan menenangkan.

Bukannya apa, Alvino hanya takut aktivitas intim mereka malam ini dapat mempengaruhi kesehatan gadisnya yang dapat dibilang sedang tidak prima. Tetapi, bukan Shella namanya jika tidak menuntaskan apa yang sudah ia mulai. Lihat saja, gadis cantik itu bahkan kelihatan jauh lebih siap dibanding kekasihnya. Lalu…

“Ahh!”

“Akh!”

Alvino menghentak penisnya dalam sekali hantaman keras. Shella dapat merasakan vaginanya penuh akan batang berurat yang memohon untuk dipuaskan itu. Kemudian, Alvino mulai menggerakkan miliknya dengan tempo pelan. Sepasang kekasih itu mengerang kenikmatan atas permainan yang mereka ciptakan sendiri.

“Shhh, Bee,” desah Alvino.

“Nghh, cepetin lagihhh, Bee,” pinta Shella.

Mendengar ada ultimatum yang disampaikan, lelaki tampan itu menurutinya. Alvino bergerak semakin brutal. Ia dapat merasakan ujung penisnya menabrak dinding rahim gadisnya berulang kali. Juga, kedua bolanya yang membentur klitoris sang kekasih. Tidak ada sakit yang Shella rasakan, hanya rasa nikmat tiada tara.

Langit malam yang dipenuhi bintang kala itu yang beriringan dengan suara khas kenikmatan, decitan kaki ranjang yang bergoyang hebat, serta bunyi yang dihasilkan dari pertemuan kulit yang lembap karena keringat menjadi teman sekaligus saksi bahwa sepasang kekasih itu sedang memadu asmara.

“Ahhh, Bee, aku mau, nghh, keluar,” racau Shella selagi ia menggigit bibir bagian bawahnya sebab rasa nikmat yang menyelimutinya.

“Shh, bareng, Bee, ahhh,” perintah sang dominan.

Alvino menambah lagi tempo kecepatannya sehingga Shella makin dibuat terbang ke langit. Siapa yang menyangka bahwa aksi Alvino yang memaksa kekasihnya untuk menelan obat akan berakhir menjadi permainan panas yang penuh gairah seperti ini. Ya, jika saja Shella tidak meminta pertanggungjawaban, tentunya hal ini tidak akan terjadi.

“Nghhh, Bee, aku gak tahan,” pekik Shella.

Bagaimana tidak? Tumbukan pada bagian intimnya dengan sebelah tangan besar yang meraup payudaranya. Setengah dari titik tersensitif yang ada tubuh Shella dikuasai oleh Alvino. Tepat setelah gadis cantik itu berteriak demikian, ia menjemput pelepasannya bersamaan dengan sang kekasih.

“Ahh!”

“Akh!”

Alvino menyemburkan sperma hangatnya di dalam kantung berbahan karet di dalam sana. Shella dapat merasakan kehangatan itu menjalar di seluruh perutnya. Setelah bekerja keras, akhirnya, tubuh besar nan kekar itu tumbang juga. Shella memeluk tubuh kekasihnya yang dibanjiri keringat, tak jauh berbeda dengannya.

“Sakit gak, Bee?” tanya Alvino yang suaranya teredam karena wajahnya tepat berada di perpotongan leher gadisnya.

“Enggak, Bee, gak sakit kok,” jawab Shella.

Setelahnya, Alvino memindahkan tubuhnya untuk berbaring di samping Shella. Ditangkupnya wajah mungil cantik yang menjadi favoritnya. Sepasang manik sipit itu menelisik ke seluruh area wajah kekasihnya, terutama pada bagian matanya. Alvino dapat melihat bahwa mata Shella yang sakit mulai membaik.

“Mata kamu gak sesipit tadi, Bee,” jelas lelaki tampan itu. “Ngeliatnya jadi lebih jelas ‘kan?” tanyanya memastikan.

Shella menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Iya,” katanya.

“Makanya kalo disuruh minum obat itu jangan ngelawan,” olok Alvino.

Shella menjulurkan lidahnya. “Ini mata aku mendingan bukan karena minum obat,” sanggahnya.

Alvino mengernyitkan keningnya. “Lah? Enggak dong, Bee. Antibiotiknya udah mulai bereaksi itu makanya mata kamu jadi keliatan mendingan,” balasnya.

Shella menggelengkan kepalanya. “Bukan, Bee,” bantahnya. Kemudian, sebelah tangan gadis cantik itu bergerak mengusap pelan penis kekasihnya. “Tapi karena ini.”

Oleh sebab itu, Alvino meringis. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. “Bee,” ucapnya. “Jangan gitu,” ujar Alvino sembari menyingkirkan tangan mungil itu dari miliknya. “Kamu masih sakit. Nanti aja kalo kamu udah sehat, kita main lagi yang lama. Nanti kamu udah gak bisa ngeliat, gak bisa jalan juga,”

Shella tertawa kecil mendengar penjelasan Alvino. “Iya, Bee, iya.”

Selepasnya, Alvino mendekap erat kekasihnya. Ia tumpukan dagunya di atas pucuk kepala Shella. Tangannya bergerak mengusap kepala bagian belakang gadisnya. Sementara itu, Shella memainkan jarinya pada dada bidang lelaki kesayangannya. Ia tidak pernah berhenti terkesima dengan tubuh yang terbentuk indah, miliknya.

Di balik selimut tebal berwarna putih dari ranjang hotel bintang lima itu, keduanya merasakan puncak kenyamanan masing-masing. Baik Alvino maupun Shella, menjadi satu dengan atmosfer yang mereka bentuk sejak tadi. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya suara napas teratur yang terdengar.

“Bee,” panggil Alvino memecah keheningan.

“Iya, Bee,” balas Shella.

“Jangan sakit,” lirih lelaki tampan itu.

Shella mengangkat pandangannya agar dapat melihat wajah tampan itu dengan jelas. “Kenapa?”

“Aku juga sakit,” kata Alvino. “Kalo kamu sakit, aku juga sakit. Mungkin kamu gak pernah liat dan aku juga gak pernah nunjukkin tapi aku bener-bener gak sanggup dan gak tega kalo ngeliat kamu sakit, Bee,” jelasnya.

Setelah melakukan permainan panas, Alvino melontarkan kalimat yang membuat hatinya kembali menghangat. Shella menyungging senyum. “Segitu khawatirnya, ya, sama aku?” ucapnya.

Alvino menatap lamat sepasang manik yang memiliki ukuran tak jauh dari manik miliknya. Alvino sangat menyukai bagaimana bola mata indah itu seringkali menyilaukan matanya karena binar yang bersinar terang. Dari semua pasang netra yang pernah ia temui, hanya milik Shella-lah yang dapat membuatnya jatuh ke dalam candu.

“Cukup sekali aku nyakitin kamu, Bee, dan itu udah cukup membuat aku ngerasain sakit yang sesakit-sakitnya,” ujar Alvino serius. “Aku gak pernah tau kalo perempuan yang aku butuhkan itu ternyata kamu. Aku malah terlalu sibuk sama yang jauh dari jangkauan aku tanpa menghiraukan siapa yang ada di dekat aku,” lanjut lelaki tampan itu.

Shella bergeming. Ia tidak akan menyangka bahwa kilas balik ini akan kembali terungkap. Ya, hubungan manis nan menggemaskan yang sekarang terjalin di antara mereka bukan lain adalah hasil dari asahan rasa sakit di masa lalu. Shella, mungkin juga Alvino, masih ingat betul lara yang menghantui perasaan dan pikiran mereka, dulu.

“Bee,” panggil Shella. Tangannya bergerak mengusap rangka tegas yang ada di hadapannya. “Itu ‘kan dulu. Kita juga ngelewatinnya bareng-bareng ‘kan? Jangan liat kita yang dulu, liat kita yang sekarang. Kamu yang menghalangi aku untuk jangan pergi dan aku yang memutuskan untuk bertahan sama kamu. Udah, ya, Bee. Aku sayang kamu,” final gadis cantik itu.

Sekali lagi, sedikit berbeda dengan yang tadi, ciuman ini terasa nyaman dan khidmat. Bukan kecupan yang dipenuhi hasrat yang menuntut, melainkan penyaluran rasa rindu dan cinta yang tak lekang oleh waktu. Apa yang terjadi di masa lalu biarlah menjadi sejarah dari kisah cinta mereka.

Sebab, yang perlu mereka fokuskan sekarang adalah masa sekarang dan, apabila memungkinkan, masa depan. Lagi pula, jika di masa lalu mereka tidak merasakan apa yang dimaksud dengan kehilangan, mereka tidak mungkin akan saling menggenggam seerat ini sekarang. Alvino dan Shella yang sekarang adalah hasil dari Alvino dan Shella yang dulu.

Ting! Tong!

Alvino tengah menyandarkan tubuhnya di atas kepala ranjang sembari menyaksikan acara komedi di televisi kala sepasang indera pendengarannya menangkap bunyi yang bersumber dari bel kamar tidurnya bersama Nalandra. Dengan sigap, lelaki tampan itu bangkit dari posisi berbaringnya dani melangkah ke arah pintu.

“Eh, Car,” sapa Alvino saat melihat oknum yang menekan bel kamarnya. “Masuk dulu aja. Alan masih mandi,” sambungnya. Ia mempersilakan kekasih dari sahabatnya itu untuk masuk ke dalam sana.

“Iya. Makasih, Vino,” sahut Carla sembari mendudukkan dirinya di tepi ranjang.

“Shella gimana keadaannya, Car?” tanya Alvino yang duduk di sebelahnya.

“Masih sama kayak tadi sih, Vin. Anaknya langsung tidur abis mandi tadi. Sebelum tidur juga udah gua tetesin obat mata kok” jelas Carla.

“Mau pulang kok malah sakit,” dengus Alvino seraya menghembuskan napas panjang.

Ceklek!

Tak lama setelah percakapan tersebut berakhir, Nalandra muncul dari arah kamar mandi dengan sehelai handuk kecil bertengger di kepalanya. Sepasang manik selegam malam itu memicing ke arah sang kekasih dan sahabatnya yang tengah duduk berdampingan di ranjang tidur.

Carla tahu betul bahwa lelaki kesayangannya itu tengah membuat praduga di dalam pikirannya. Oleh sebab itu, ia menggulirkan matanya jengah. “Mulai lagi deh dramanya,” gumam gadis cantik itu.

Nalandra mendekatkan dirinya ke arah Alvino dan Carla. “Ngapain lo sama pacar gua?” tanyanya tak santai.

“Ya, menurut lo ngapain?” ketus Carla. Ia memandang kekasihnya itu dengan tatapan malas.

Tidak ingin mendengar perdebatan ala rumah tangga ini semakin lama, Alvino bangkit dari posisinya. Ia mendekati Nalandra tepat di samping telinganya. “Gua ke Shella dulu. Kalo lo perlu, ada di dompet gua,” bisik lelaki tampan itu. Alvino menepuk bahu sahabatnya itu lalu tersenyum untuk kemudian melengang pergi dari kamar tersebut.

“Kamu udah mandi, Car?” tanya Nalandra seraya duduk di tempat Alvino sebelumnya.

“Udah,” jawab Carla singkat.

Nalandra tidak dapat memalingkan tatapannya dari anugerah paling indah yang tengah duduk di sampingnya. Sesekali, simpul itu mengembang karena puas dengan pemandangannya malam ini. Tentunya, Carla menyadari hal itu. Ia menatap sinis kekasihnya dari jarak yang cukup dekat. Kemudian, ia menghela napas panjang.

“Ngapain kamu ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Carla.

“Ya, gak apa-apa dong. ‘Kan aku lagi ngeliatin pacar aku yang cantik,” kata Nalandra cengar-cengir.

Berikutnya, yang terjadi adalah Carla mendorong jauh wajah tampan itu dari hadapannya. Gadis cantik itu bangkit dari posisi duduknya lalu berjalan ke balkon yang pemandangannya mengarah langsung ke arah pantai. Di malam yang dingin itu, bintang bertabur acak di luasnya semesta.

Carla mendongakkan kepalanya ke arah langit hitam yang berkilau. Walaupun temperatur yang dirasakan cukup menusuk, ia tetap memaksakan udara di sekitarnya untuk masuk ke dalam paru-parunya. Ingin bergabung bersama sang kekasih untuk menikmati malam terakhir mereka di sini, Nalandra menghampiri Carla.

Lelaki manis itu memeluk kekasihnya dari belakang. Ia melingkarkan lengan kekarnya pada pinggang ramping di hadapannya. Carla yang diperlakukan begitu sempat terhenyak sebab dekapan Nalandra yang sangat erat. Nalandra menyusupkan wajahnya pada perpotongan leher Carla. Di sana, ia dapat menghirup aroma peach yang bercampur dengan bunga lily.

“Ngapain sih, Lan?” tanya Carla.

“Ngecek kamu beneran udah mandi apa belum,” jawab Nalandra yakin.

Mendengarnya, gadis cantik itu tersenyum. Carla bukannya tidak suka, hanya saja tingkah laku manis dan mengejutkan seperti ini dirasa tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Bagaimana Nalandra selalu membuat dirinya menjadi ratu setiap kali bersama mampu membuat Carla jatuh sedalam-dalamnya kepada lelaki penuh humor tersebut.

Meskipun Carla terlihat dingin dan tidak dapat ditembus seolah ada bongkahan es yang menghalanginya dari dunia luar tetapi hal itu tidak berlaku jika sedang bersama sang kekasih. Semenjak bertemu dengan Nalandra, dinding es itu perlahan mencair. Kehangatan yang lelaki manis itu hantarkan membuatnya nyaman.

Merasa jantungnya berdegup semakin tidak beraturan, Carla memberontak agar sang kekasih mau melepaskannya. Namun, apalah daya, kekuatannya tidak sebanding dengan Nalandra. Semakin dilawan maka akan semakin erat pelukannya. Sebentar saja, hanya untuk sementara waktu, Nalandra ingin bersama wanitanya seperti ini.

“Jangan gerak, Car. Kayak gini aja,” ucap Nalandra. “Aku kangen kamu,” lanjutnya.

Mendengar ada pesan rindu yang dilontarkan, hati gadis cantik itu menghangat. Carla kembali menyungging senyum dalam diamnya. Malam yang indah disandingkan dengan dekapan dari lelaki tercintanya, Carla bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah ia dapat lebih bahagia lagi dari malam ini?

Dengan gerakan perlahan namun pasti, sepasang tangan Carla bergerak. Tangan kirinya menangkup tangan besar yang melingkupi perutnya sementara tangan kanannya mengusap pelan pucuk kepala yang hinggap di bahunya. Nalandra benar, Carla ingin berada dalam posisi ini walaupun hanya sekejap.

“Aku sayang kamu, Car,” kata lelaki manis itu tiba-tiba.

Sebelum menjawab, gadis cantik itu mengangguk. “Iya, Nalandra. Aku juga sayang kamu,” ujarnya.

Selepasnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi. Keduanya, baik Nalandra maupun Carla, sama-sama terhanyut dalam atmosfer menenangkan yang mereka ciptakan sendiri dan didukung oleh semesta. Siapa yang dapat mengira bahwa hari terakhir liburan akan terasa sebermakna ini?

“Car,” panggil Nalandra. “Pindah dalem, yuk,” ajaknya.

“Di sini aja,” jawab Carla.

“Enggak, Sayang. Ini udaranya makin dingin. Kamu ‘kan gak bisa lama-lama kena udara dingin. Di dalem aja, ya? Nanti aku peluk kayak gini juga,” ujar lelaki manis itu.

Mendengar ada tawaran menarik, akhirnya Carla menyetujui perintah Nalandra. Nalandra menutup kembali pintu balkon sedangkan Carla mengambil posisi berbaring di atas ranjang. Saat berbalik, Nalandra dikejutkan dengan pemandangan yang tersuguh di depannya. Sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna.

Jika tadi Carla mengenakan kimono tipis sebagai luaran baju tidurnya, sekarang gadis cantik itu hanya mengenakan gaun berbahan satin berwarna merah maroon yang kontras dengan kulitnya yang seputih susu. Nalandra dengan susah payah menelan salivanya. Carla memang terlihat paling cantik saat malam hari, menurutnya.

“Aku tiduran, ya, Lan. Punggung aku sakit abis jalan-jalan tadi siang,” jelas gadis cantik itu.

Nalandra menganggukkan kepalanya beberapa kali. Lelaki manis itu menempatkan dirinya di sebelah sang kekasih. Ia menyampirkan selimut tebal untuk menutupi tubuh mereka. Dengan gerakan ragu, Nalandra merentangkan lengan kanannya. Seolah peka dengan pergerakan itu, Carla meletakkan kepalanya di atas bahu lebar tersebut.

Tanpa disadari, untuk kedua kalinya, sepasang kekasih itu nyaman dengan pelukan hangat satu sama lain. Tidak ada suara yang menginterupsi mereka, kecuali detak tak beraturan dari jantung masing-masing. Sepertinya, malam ini akan menjadi malam ternyaman yang pernah dirasakan atau mungkin… malam terpanjang?

“Lan,” panggil Carla.

“Iya, Sayang?” sahut Nalandra diiringi senyuman.

Sejenak, Carla memandang wajah tampan yang lebih tinggi darinya itu seolah terbuai dengan binar dari netra yang terpancar dari sana. Tidak ada kata selain tampan dan menawan yang berputar di dalam benaknya. Sementara itu, yang dipandangi lamat hanya dapat bergeming. Carla tidak biasanya bersikap seperti ini, batin Nalandra.

“Kamu oke, Sayang? Kamu natap aku sampe gak ngedip gitu,” sergah Nalandra.

Di detik berikutnya, yang terjadi adalah Carla memangkas jarak yang bahkan sudah sangat dekat antara dirinya dan Nalandra. Dikecupnya belahan yang sedari tadi menggoda sanubarinya. Carla memejamkan matanya erat sedangkan Nalandra membelalak sebab gerakan yang tiba-tiba itu.

Namun, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang belum tentu datang setahun sekali, lelaki manis itu mulai mengikuti permainan yang gadisnya mulai. Nalandra mengeratkan pelukan beserta cumbuannya. Ingin melakukan sesuatu yang lebih, Carla mengusap dada bidang kekasihnya.

Nalandra lagi-lagi tidak mau kalah dari wanitanya. Kali ini, lidahnya melesat ke dalam mulut sang kekasih. Diajaknya benda lunak itu untuk bertanding dengan miliknya. Diabsennya satu per satu deretan gigi yang ada di sana. Sepertinya, malam yang dingin itu akan berubah menjadi malam yang panas.

“Mphhh,” lenguh Carla saat Nalandra menggigit bibir bagian bawahnya.

Setelah beberapa menit, Nalandra menyudahi acara bertukar saliva bersama gadisnya. Ia kembali menatap wajah cantik nan mungil itu dengan lamat. “Manis,” ujarnya dibarengi dengan seringai.

Berbeda dengan Nalandra, yang dipuji seperti itu tidak dapat menahan senyumnya. Seluruh wajah cantik milik Carla menyemburkan rona merah, terutama di kedua pipinya. Nalandra yang menyadari hal itu tertawa kecil. “Cantik,” katanya lagi.

Belum reda dari guncangan sebelumnya, Carla sudah kembali dihujani dengan kata sanjungan yang diucapkan oleh Nalandra. Hatinya seperti tidak diberikan waktu untuk istirahat dan menerima semua degupan khas rasa cinta itu. Nalandra sangat suka bagaimana rangka mungil itu berubah menjadi semerah buah cherry.

Sepersekian detik kemudian, Nalandra kembali membawa wajah cantik itu ke dalam cumbuannya. Carla memutuskan untuk membuang semua egonya dan membalas kecupan mesra itu. Ia dorong kepala bagian belakang lelaki kesayangannya agar mempererat ciumannya. Di sela-sela permainan itu, Nalandra menyeringai sebab ia tahu Carla telah menangkap umpannya.

“Nghh, ahhh,” desah Carla saat kecupan itu berpindah haluan ke beberapa bagian sensitif miliknya.

Setelah puas dengan bibir manis gadisnya, Nalandra ingin bermain dengan milik gadisnya yang lain. Lelaki manis itu mengubah posisinya menjadi di atas demi memimpin permainan. Dimulai dari menjilat daun telinga Carla sampai meninggalkan beberapa tanda kepemilikan berwarna merah keunguan di setiap inci permukaan kulit yang sudah terkespos.

“Ahh, Lan,” lirih Carla menetralisir kenikmatan yang ada.

Nalandra menunda sejenak kegiatannya. Ia membuka satu per satu kancing piyama yang dikenakannya lalu tampaklah perut atletis dengan cetakan otot sempurna. Carla mengusap lembut aset indah yang memanjakan pemandangannya selagi menggigit bibir bagian bawahnya. Melihatnya, Nalandra tersenyum lebar.

“Punya kamu,” kata Nalandra.

Lelaki manis itu kembali melanjutkan aktivitasnya. Saat ini, sepasang lengan kekarnya tengah bergerak melepaskan gaun tipis milik Carla. Nalandra melumat bibirnya saat menemukan tidak ada pakaian lain yang melindungi tubuh indah kekasihnya. Seolah gadis cantik itu sudah menyiapkan dirinya untuk malam yang panas ini.

“Untung tadi Vino langsung keluar,” ketus Nalandra kala mengingat wanitanya itu sempat mengobrol sebentar dengan sahabatnya.

Tidak ingin emosi negatif itu terus menjarah hati terdalamnya, Nalandra memutuskan untuk menikmati sajian yang ada di bawahnya. Tubuh indah itu dibuat menggelinjang saat Nalandra menyentuh puting gadisnya. Carla yang dilecehkan seperti itu tidak mampu menahan desahannya.

“Nghh, Lan, ahhh,” lirihnya.

Nalandra bagaikan seorang bayi yang haus akan susu ibunya. Lihat saja, lelaki manis itu terus menghisap puting payudara gadisnya dengan ganas sembari tangannya yang meremas, memijat, lalu sesekali memilin puting buah dada gadisnya yang menganggur. Nalandra andal dalam aspek seperti ini.

“Ahhh, Lan, lagihh,” pinta gadis cantik itu.

Dengan begitu, Nalandra menyudahi aktivitasnya bersama sepasang gunung sintal kekasihnya. Namun, permainannya tidak berhenti sampai di sana. Nalandra mengecup area di sekitar perut Carla lalu perlahan turun ke arah paha bagian dalamnya. Carla sangat suka bagaimana benda kenyal itu memberikan stimulasi di seluruh permukaan kulitnya.

“Nghh, ahhh!” pekik Carla saat lidah kekasihnya itu melesat masuk ke dalam kewanitaannya.

Tangannya meremat kain yang menutupi ranjang yang ditidurinya dengan sangat erat. Kepalanya menengadah ke arah langit-langit karena nikmat yang tak tertahan dari permainan intim yang lelaki kesayangannya. Nalandra selalu punya cara untuk memuaskan hasrat yang Carla rasakan bahkan ketika gairah itu sedang menurun.

“Lan, ahhh, cepetin, nghhh,” perintah Carla.

Mendengar ada titah yang harus dilaksanakan, ibu jari lelaki manis itu ikut bergabung di bawah sana, memutari klitoris sang gadis. Carla, oknum yang dipuaskan, memejamkan kedua maniknya agar dapat menikmati rasa itu dengan maksimal. Ia benar-benar dibuat menggila malam itu.

Namun, saat puncak kenikmatan hampir menghampiri gadis cantik itu, Nalandra menghentikan permainannya. Carla mengembalikan fungsi indera penglihatannya. Ditatapnya wajah tampan itu dengan manik yang berapi-api. Sebelum Carla sempat melayangkan protes, Nalandra lebih dulu menghimpit tubuhnya.

“Aku juga mau dimainin pake mulut kamu dong, Sayang,” pinta Nalandra dengan seringai seram disertai dengan tatapan yang mengintimidasi.

Jika biasanya Nalandra yang patuh dengan segala kemauan gadisnya, untuk malam ini, lelaki manis itu ingin Carla yang mengikuti semua perintahnya. Nalandra ingin menguasai wanitanya, setidaknya pada kesempatan seperti ini. Carla, yang bak tersihir, mengangguk pelan menyetujui pernyataan yang dilontarkan kekasihnya.

Alhasil, sepasang kekasih itu memutar balik posisi mereka. Nalandra yang tadinya berada di atas, kini beralih menjadi di bawah dan begitu juga sebaliknya untuk Carla. Sebelum mulai memanjakan batang yang mencuat hebat dari balik celana tidur itu, Carla menyatukan semua helaian rambut panjangnya untuk kemudian menguncirnya.

Hanya dengan sekelebat aksi seperti itu, Nalandra dibuat tersipu malu. Sepasang manik selegam malam itu berbinar dengan penuh harap. Simpulnya mengembang indah. Nalandra jatuh cinta lagi dan lagi kepada wanitanya. Di sisi lain, saat Carla meluruhkan celana berbahan satin berwarna hitam itu, ia menyadari bahwa ada sepasang manik yang memerhatikannya.

“Kamu suka banget ngeliatin aku kayak gitu, Lan,” ujar Carla. “Ngeri banget kayak penculik,” sambungnya.

Nalandra baru saja membuka mulutnya untuk merespon kalimat Carla saat kepemilikannya sudah sepenuhnya masuk ke dalam mulut gadisnya. “Shh, ahhh,” lirih lelaki manis itu. Nalandra dapat merasakan hangatnya lubang itu bersatu dengan penisnya.

Kemudian, sebelah tangan kekar itu bergerak menangkup kunciran rambut dari belakang kepala kekasihnya. Nalandra membantu kekasihnya untuk mempercepat tempo kuluman pada kejantannya. Bila tadi Carla yang dibuat terbang ke angkasa oleh Nalandra, sekarang giliran lelaki manis itu yang diberi nikmat surgawi oleh wanitanya.

“Nghh, ahhh, cepetin lagihh, Car,” pinta Nalandra.

Mendengar komando tersebut, Carla menambah kecepatannya. Beberapa kali gadis cantik itu tersedak oleh benda besar yang memenuhi tenggorokannya, tapi itu bukan masalah yang signifikan. Selama lelaki kesayangannya merasa nikmat, ia rela melakukan apapun. Hubungan timbal balik yang seperti inilah yang membuat keduanya kian hari kian mesra.

Sepertinya, Nalandra akan menjemput pelepasannya. Namun, sebelum titik ternikmat itu datang, ia menghentikan semua pergerakan yang Carla lakukan pada kepemilikannya. Ia tersenyum lebar seraya berkata, “Udah dulu, ya.” Nalandra menarik sebelah tangan Carla agar gadis cantik itu masuk ke dalam pelukannya.

“Kok udahan, Lan?” tanya Carla penasaran.

Mendengarnya, Nalandra terkekeh. “Kenapa? Mau lagi?” balasnya dengan kembali bertanya.

“Ya, nanggung gitu gak sih?” kata Carla.

“Iya, nanggung,” jawab Nalandra. “Mau lanjut?” tanyanya.

Carla menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai isyarat jawaban iya. Kemudian, sepasang lengan kekar itu kembali bergerak. Nalandra menarik tubuh mungil gadisnya agar duduk di atasnya. Carla yang diberikan pergerakan tiba-tiba seperti itu terhenyak. Ia menautkan kedua alisnya, bertanya-tanya maksud dari semua ini.

“Kamu yang di atas, ya, Sayang,” ucap Nalandra seraya memasangkan karet lateks yang ia dapatkan dari dompet milik Alvino pada penisnya.

Dengan begitu, Nalandra mulai menggempur kekasihnya dari bawah. Gerakannya lambat namun nikmat yang terasa seperti memuncak. Carla mulai mengikuti permainan itu. Ia bergerak pelan serupa seperti lelaki kesayangannya. Keduanya mengarahkan tatapannya ke arah langit-langit kamar sembari manik mereka terpejam.

“Nghh, Lan, ahhh,” desah Carla.

“Shh, ahhh, Car,” lenguh Nalandra.

Baik Nalandra maupun Carla, sama-sama menikmati pertempuran mereka di atas ranjang. Tubuh yang dipenuhi keringat serta suara yang menggema di seluruh sudut kamar malam itu menjadi saksi kenikmatan yang menyelimuti keduanya. Semakin dirasa akan semakin nikmat. Setelahnya, keduanya menambah kecepatan permainan mereka.

“Ahh, Lan, nghhh, cepetin lagihhh,” perintah Carla.

“Nghh, kamu juga, ahhh, Sayang,” jawab Nalandra susah payah.

Bunyi pertemuan antara kulit yang lembap serta decitan kaki ranjang yang menggesek lantai kayu itu bagaikan pemandu sorak yang menyemangati keduanya dalam sesi panas yang sedang berlangsung. Dengan atmosfer seperti ini, mungkin sebentar lagi sepasang kekasih yang sedang dibakar api gairah itu akan mencapai titik ternikmatnya.

“Ahh, Lan, udah gak, nghhh, tahan,” kata Carla.

“Shhh, bareng, Sayang” jawab Nalandra.

Selepas percakapan yang membutuhkan tenaga ekstra itu, Nalandra dan Carla meningkatkan lagi tempo gempurannya masing-masing. Beruntungnya, ranjang ini kelihatannya tahan akan guncangan apapun. Buktinya, gempa yang dihasilkan oleh sepasang kekasih itu masih bisa ditanggungnya.

“Alan!”

“Akhh!”

Seperti rencana sebelumnya, mereka menjemput pelepasannya bersama-sama. Keduanya diburu napas. Carla tumbang di atas tubuh besar kekasihnya. Dengan sigap, Nalandra menangkap tubuh mungil itu. Diusapnya kepala bagian belakang dan punggung wanitanya. Carla sudah bekerja dengan sangat keras malam ini.

“Pacar aku pinter geraknya,” puji Nalandra dalam bentuk candaan.

“Aku gak mau lagi di atas,” ucap Carla tersendat-sendat sebab napasnya yang terbatas. “Capek banget,” keluhnya.

Nalandra hanya tertawa kecil menanggapi kekasihnya yang menggerutu sebal itu. Carla kembali bergerak. Gadis cantik itu merebahkan dirinya di samping sang kekasih saat Nalandra membuang sekantung penuh sperma hangat ke arah tong sampah. Carla memeluk tubuh kekar itu dengan kedua tangannya. Ia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang dihadapannya.

Nalandra dapat mendengar dengan jelas helaan napas berat yang dihasilkan oleh kekasihnya itu. Sepertinya, Carla tidak berbohong dengan ucapannya. Memang, berada di tempat teratas, untuk hal apapun itu, akan terasa sangat melelahkan. Lelaki manis itu tersenyum untuk kemudian menatap wajah cantik yang lebih rendah darinya.

“Aku ambilin minum, ya, Car,” tawar Nalandra.

Carla menggeleng. “Gak usah,” tolaknya.

“Minum, ya, Sayang. ‘Kan tadi abis ngulum punya aku juga. Pasti kering tenggorokan kamu,” ujar lelaki manis itu.

Selepasnya, Nalandra bangkit dari posisi berbaringnya bersama Carla untuk mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari pendingin. Ia memberikan air dingin itu kepada sang kekasih. Dan, betul saja, Carla langsung menegak habis isi botol tersebut. Nalandra tertawa lepas melihat kelakuan wanitanya yang malu-malu kucing.

Merasa diolok-olok oleh lelaki kesayangannya, Carla melempar botol plastik kosong itu tepat ke kepala Nalandra. Lelaki manis itu mengaduh sembari mengusap kepalanya. Ia kembali melompat ke atas kasur lalu menyerang kekasihnya. Sepasang tangan berotot itu berusaha keras untuk menggelitik seluruh titik geli yang Carla miliki.

“Jahat banget, ya, sama pacarnya. Sini kamu,” ujar Nalandra.

“Ih, Nalandra! Geli! Iya, udah, iya,” ucap Carla sesekali diselingi dengan tertawaan keras.

“Ampun gak?” ancam lelaki manis itu.

“Iya, ampun, iya, maaf,” final Carla.

Barulah setelah permohonan maaf terdengar, lelaki manis itu mengakhiri serangannya. Nalandra kembali menarik Carla untuk masuk ke dalam dekapannya. Dipeluknya gadis cantik itu dengan sangat erat seolah Carla akan pergi jauh apabila dirinya lengah. Nalandra menumpukan dagunya di atas pucuk kepala Carla.

“Lan,” panggil Carla.

“Hm?” Yang dipanggil hanya berdehem singkat.

“Jangan pergi, ya,” sergah Carla.

“Kenapa ngomong gitu?” tanya Nalandra.

“Aku gak pernah jatuh cinta sedalam ini, Lan” jelas gadis cantik itu. “Hampir semua kebahagiaan aku ada di kamu. Aku tau kadang rasa cinta ini gak keliatan di kamu tapi aku berani sumpah kalo aku sayang banget sama kamu,” lanjutnya.

“Iya, Carla. Aku gak akan pergi…,” jawab Nalandra menggantung. “Lagi.”

“Gak usah mikirin yang dulu-dulu, ya, Lan. Kita bisa sampai di sini karena kita sakit dulu,” tegas Carla.

Di akhir permainan intim itu, ternyata terselip percakapan signifikan yang melibatkan masa lalu keduanya. Jika ada istilah yang tepat untuk sepasang kekasih itu, maka ‘Carla jatuh lebih dulu, tetapi Nalandra jatuh lebih dalam’ adalah yang paling tepat. Mengingat, perjalanan yang penuh rintangan dan lika-liku yang dilewati sepasang kekasih itu menjadi mereka seperti yang sekarang ini.

Sepertinya, rasa suka akan selalu datang dari orang yang tidak dapat kita duga dan rasa sayang tumbuh karena rasa suka yang datang dari orang yang tidak dapat kita duga tersebut. Carla menginginkan Nalandra untuk hidup bersamanya, maka Nalandra menginginkan untuk hidup dan mati bersamanya.

Di malam yang anginnya terasa dingin nan menusuk hari ini, di bawah bentangan langit yang dihiasi gemerlap bintang, terlihat sepasang kekasih tengah bermesraan di tepi kolam renang yang berisikan air hangat. Ranindya dan Jioraldo sedang bersantai di sana. Jioraldo, lelaki manis itu merangkul kekasihnya dengan sangat erat sementara Ranindya dengan nyaman menyandarkan kepalanya di bahu lebar sang kekasih.

Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Sepertinya, baik Ranindya maupun Jioraldo, terlalu hanyut dalam atmosfer menenangkan yang menyelimuti mereka. Berbeda dengan Jioraldo yang kepalanya menengadah ke arah langit malam, Ranindya memusatkan pandangannya pada pantulan wajahnya di permukaan air di kolam renangnya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya cemas.

“Gendut banget,” gumam gadis cantik itu.

Mendengar ada suara merdu yang berbisik, Jioraldo mengalihkan pandangannya ke arah Ranindya. “Kakak bilang apa?” tanyanya.

“Enggak, Ji, gak apa-apa kok,” jawab Ranindya sembari menggelengkan kepalanya..

Sepasang manik selegam malam itu menyipit. “Kakak jangan bohong, ya. Jio denger Kak Ranie bilang sesuatu,” sergah lelaki manis itu. “Ayo bilang sama Jio,” lanjutnya.

Ranindya tersenyum sebab ulah sang kekasih yang dirasa sangat menggemaskan itu. Sejenak, ia tenggelam dalam heningnya malam. “Liat deh, Ji, ke situ,” ujarnya seraya menunjuk permukaan air kolam yang memancarkan wajahnya. “Aku gendutan. Aku jadi punya double chin. Pipi aku juga jadi lebih tembem. Kayaknya aku harus diet deh,” jelas Ranindya.

Dengan begitu, Jioraldo menatap wajah gadisnya dengan lamat. Diperhatikannya setiap inci dari pahatan Tuhan yang paling indah yang pernah ditemuinya. Berbeda dengan Ranindya, lelaki manis itu menentang kalimatnya barusan. Jioraldo tidak melihat adanya dagu lancip yang menggembung atau sepasang pipi yang bertambah besar.

“Enggak, ah, Kak,” ucap Jioraldo. “Kakak masih sama kayak terakhir kali ketemu Jio,” sambungnya.

Ranindya menghela napas panjang. “Kita terakhir kali ketemu hampir sepuluh hari yang lalu, Ji. Dari hari itu, aku udah naik hampir 3 kilogram,” jelas gadis cantik.

“Ah, masa? Kak Ranie gak keliatan gendutan tuh,” bantah Jioraldo lagi.

“Jangan bohong deh. Aku dari kemaren ngaca tuh keliatan banget. Aku pokoknya mau diet,” rengek Ranindya sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

“Coba sini deketan sama Jio,” pinta Jioraldo. “Jio mau liat yang mana yang gendutan,” tambahnya.

Mendengarnya, Ranindya menghadapkan tubuhnya ke arah Jioraldo. “Ini sama ini,” ucapnya seraya menunjuk pada salah satu bagian di bawah dagunya kemudian sepasang pipinya.

“Udah itu aja?” tanya Jioraldo.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya, yang paling keliatan dua itu,” jelasnya.

Sepasang manik selegam malam itu menelisik bagian dagu lalu pipi kekasihnya untuk kemudian mengangguk paham. “Oke,” ujarnya.

“Keliatan ‘kan, Ji? Besok aku mau—” Belum sempat Ranindya merampungkan pemaparannya, lelaki manis kembali memangkas jarak di antara mereka.

Dengan ganas, Jioraldo mengecup lalu sesekali menjilat dagu dan sepasang pipi yang diduga menjadi alasan mengapa gadisnya merasa murung akhir-akhir ini. Entah apa yang membuat Ranindya tidak begitu percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang sedemikian rupa indahnya, menurut Jioraldo.

Tentunya, lelaki manis itu tidak suka saat Ranindya terus-terusan membahas salah satu bagian tubuhnya yang dirasa tidak memenuhi kriterianya. Jioraldo berani bersumpah bahwa kakak tingkatnya ini memiliki bentuk tubuh dan wajah paling cantik yang pernah ia lihat. Ranindya saja yang menetapkan standar dan kriteria tidak masuk akal kepada dirinya sendiri.

“Nghh, Ji,” lenguh Ranindya saat lidah juniornya itu terasa menggelitik di bagian lehernya.

Dengan begitu, lelaki manis itu baru mau melepaskan ciuman liarnya. “Udah? Mana lagi bagian tubuh Kakak yang Kakak gak suka, biar Jio benerin,” ujar lelaki manis itu serius.

Mendengarnya, Ranindya mengumpat dalam hatinya. Di momen seperti ini, kekasihnya yang menggemaskan itu masih bisa saja bermain intim. Ranindya memejamkan maniknya sembari menghela napas panjang. “Jio, aku serius,” ucapnya.

“Jio juga serius, Kak,” sela Jioraldo.

“Kamu paham gak sih rasanya jadi aku, Ji? Aku bahkan gak berani liat ke cermin atau nimbang di atas scale karena kepalang takut sama apa yang aku liat. Kalo boleh jujur, aku cemburu, Ji. Selama kamu ujian praktek di luar ruangan, banyak cewek yang ngeliatin kamu dan….” Ranindya sengaja menggantungkan kalimatnya. “Mereka cantik-cantik semua, Ji,” lirihnya.

Tidak seperti biasanya, sepasang manik selegam senja kesukaan Jioraldo itu tidak memancarkan binar indahnya malam ini. Pancaran netra yang biasanya membuatnya tenang itu kali ini mengekspresikan kekecewaan. Serupa dengan Ranindya, Jioraldo juga merasakan sedih yang teramat sangat. Ia tidak tahu bahwa kekasihnya ini merasa demikian.

Sepasang bahu sempit itu bergetar lalu suara isakan mulai terdengar. Ranindya menangis sebab kemalangan yang menimpa dirinya. “Aku takut kamu tinggalin aku, Ji,” ujarnya pelan.

Mendengarnya, dengan cepat, sebelah tangan kekar itu bergerak menarik sang gadis agar masuk ke dalam dekapannya. Jioraldo menghela napas saat indera pendengarannya menangkap kalimat menyeramkan yang diucapkan gadisnya. Ranindya yang diperlakukan seperti itu semakin semangat untuk menumpahkan air mata kesedihannya.

“Kakak kenapa mikir gitu? Jio gak mungkin ninggalin Kakak. Jio ‘kan sayangnya cuma sama Kak Ranie,” jelas Jioraldo seraya mengusap pucuk gadisnya.

Tidak ada jawaban yang terdengar setelah lelaki manis itu berkata demikian. Hanya ada suara tangisan serta air mata yang membasahi pakaiannya. Jioraldo mengerucutkan bibirnya. Ada rasa bersalah dan sedikit penyesalan yang terbesit di hatinya. Ia bahkan tidak tahu selama bahwa selama masa ujian banyak mahasiswi yang memperhatikan gerak-geriknya.

“Kak Ranie Cantik…,” ucap Jioraldo. “Udahan dong nangisnya, Jio jadi ikut sedih nih,” sambungnya.

Lagi, gadis cantik itu tidak merespon kalimatnya. Jioraldo tahu bahwa kakak tingkatnya itu sedang sangat emosional malam ini. Namun, ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Alhasil, lelaki manis itu lebih memilih untuk menunggu sampai tangis gadisnya reda. Sedari tadi, tangannya tidak berhenti mengusap dan mengelus lembut pucuk serta punggung Ranindya.

Tak lama kemudian, Ranindya menyudahi tangisannya, tetapi napasnya masih tercekat. Jioraldo tersenyum manis saat mendengar tidak ada lagi tangisan yang mengalun. Kini, tangannya kembali bergerak menangkup sepasang pipi chubby kesukaannya. Ditatapnya manik yang digenangi air mata itu.

“Udah nangisnya, Kak?” tanya Jioraldo.

Ranindya tidak mampu menjawab dengan lisannya sehingga ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dalam waktu yang lama, dua pasang itu saling bertemu seolah melepaskan rasa rindu yang ada di dalam relung masing-masing.

Jioraldo dapat melihat dengan jelas kekhawatiran yang terpancar dari netra kakak tingkatnya dan Ranindya juga dapat melihat dengan jelas ketulusan yang terpancar dari netra adik tingkatnya. Di detik selanjutnya yang terjadi adalah Jioraldo mengecup hangat kening Ranindya.

“Kak,” panggil Jio setelah melepaskan ciumannya. “Kalo ada apa-apa cerita, ya. Jio gak tau kalo Kakak gak cerita. Maafin Jio kalo Jio belum bisa sepeka itu sama Kakak. Jio berani sumpah, Kak, kalo Jio bener-bener gak tau kalo kemaren pas ujian banyak cewek yang ngeliatin Jio soalnya Jio terlalu fokus sama ujian prakteknya biar cepet selesai terus bisa cepet ketemu sama Kak Ranie,” jelasnya.

Bak ilmu hitam, dengan ajaib penjelasan yang disertai dengan bariton yang menyeruak ke dalam indera pendengarannya membuat hatinya menjadi tenang. Tidak ada lagi kecemasan yang bersarang di hatinya. Kalimat yang dilontarkan Jioraldo barusan seolah mengandung obat penenang. Juga, Ranindya ingin mempercayai kata-kata kekasihnya itu.

“Kak Ranie bisa cari Jio kapanpun kalo lagi pengen cerita. Jio pasti dengerin kok,” tambah lelaki manis itu.

Mendengarnya, Ranindya tersenyum lebar. Jioraldo, lelaki manis dengan wajah serupa anak kecil itu selalu saja memiliki cara untuk menyenangkan kekasihnya, mulai dari perkara emosional seperti ini sampai masalah kepuasan secara intimasi. Jioraldo adalah bentuk paket lengkap yang Ranindya butuhkan.

“Iya, Ji,” kata Ranindya. “Maafin aku, ya, gak cerita sama kamu dan tiba-tiba nangis terus nyalahin kamu,” jelasnya.

“Iya, Kak Ranie, gak apa-apa kok,” balas lelaki manis itu.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Sepasang kekasih itu sibuk memandang wajah pasangannya masing-masing sembari melempar senyum terindah yang mereka dapat beri. Tentu saja, komunikasi merupakan sebuah kunci dalam suatu hubungan. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan membawa pasangan mana pun ke dalam hubungan yang terbuka.

“Kak Ranie,” panggil Jio lagi.

“Apa, Ji?” balas Ranindya.

“Tapi setelah dipikir-pikir, Jio emang ganteng sih,” guyon Jioraldo. “Jadi, wajar aja kalo banyak cewek-cewek yang suka sama Jio. Kak Ranie juga suka sama Jio dari pandangan pertama ‘kan?” ledeknya.

“Ih, Jio! Kamu rese banget,” protes Ranindya sembari memukul pelan dada bidang di hadapannya.

Jioraldo yang merasa gemas dengan tingkah gadisnya itu tertawa puas. “Nah, gitu dong! Kalo Kakak ketawa ‘kan cantiknya jadi bertambah,” gombalnya.

“Dih! Bisa aja nih anak kecil ngomongnya,” sarkas Ranindya.

Di sela-sela percakapan itu, tiba-tiba saja otak lelaki manis itu memunculkan ide cemerlang. Tentunya, setelah kejadian menyedihkan tadi, di mana kekasihnya merasa cemburu dan memiliki ketakutan bahwa ia mungkin saja berpaling dengan gadis cantik lainnya, Jioraldo harus meyakinkan bahwa hal itu tidak akan terjadi.

“Kak Ranie. Mau Jio kasih tau sesuatu gak?” tanya Jioraldo seraya mendekatkan wajahnya kepada Ranindya.

Ranindya yang merasa tertarik mengiyakan ajakan adik tingkatnya itu. “Apaan tuh, Ji?” balasnya penasaran.

“Jio mau kasih Kakak pembuktian,” ujarnya.

“Pembuktian?” tanya gadis cantik itu heran.

“Iya, pembuktian,” kata Jioraldo. “Pembuktian kalo Jio cuma suka, sayang, dan cinta sama Kak Ranie,” jelasnya.

Mendengarnya, Ranindya tersenyum manis. “Dengan kamu selalu ada di samping aku kayak sekarang ini, Ji, itu udah membuktikan kalo kamu cuma suka, syaang, dan cinta sama aku,” jawabnya.

Berbeda dengan gadisnya, Jioraldo membantah opini tersebut. Ia menggoyangkan ibu jarinya mengisyaratkan ketidaksetujuan. “Enggak,” ucapnya. “Pembuktiannya harus lebih kuat. Jio tunjukkin ke Kakak, ya,” lanjutnya sembari mengedipkan sebelah manik minimalisnya.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Oke, kalo gitu. Silakan Jio buktikan,” ujarnya.

Sepasang kekasih itu saling melempar senyum penuh makna yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Selepasnya, lelaki manis nan kekar itu bergerak menggendong kekasihnya menuju gubuk kecil yang terletak tak jauh dari mereka. Di bawah naungan atap berbahan jerami itu, keduanya bertukar pandangan.

“Cantik,” puji Jioraldo sembari mengambil posisi berbaring di samping Ranindya.

Ranindya terkekeh mendengar sanjungan yang dilontarkan kekasihnya itu. “Iya, aku tau aku cantik, Ji, makanya kamu suka sama aku ‘kan?” ledeknya.

“Iya dong! Kak Ranie ‘kan yang paling cantik,” ujar Jioraldo. “Beruntung Jio punya Kakak,” tambahnya.

Ranindya berani bersumpah bahwa kalimat terakhir yang juniornya ucapkan tadi mampu membangunkan kupu-kupu di dalam perutnya. Selain tingkah yang lucu layaknya murid taman kanak-kanak, Jioraldo juga memiliki mulut semanis madu. Lelaki manis itu tidak pernah kehabisan akal untuk memanjakan gadisnya.

Sepersekian detik kemudian, Jioraldo kembali mencium Ranindya. Ia memposisikan dirinya mengungkung sang kekasih. Di dalam cumbuannya, lelaki manis itu mengusap pipi chubby selagi menghapus jejak air mata yang tertinggal di sana. Sementara itu, Ranindya mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya.

Ciuman itu terasa kian menuntut kala sebelah tangan kekar itu mulai bergerilya di sekitaran bagian tubuh terindah miliknya. Jioraldo tersenyum puas di sela-sela kegiatannya kala ia menyadari bahwa Ranindya tidak melapisi tubuhnya dengan pakaian lain selain gaun tidur tipis berbahan satin berwarna putih itu.

“Mphhh,” lenguh Ranindya tertahan saat tangan besar itu meremas payudaranya.

Setelah puas dengan belahan ranum yang memiliki rasa dan aroma cherry blossom itu, Jioraldo berpindah haluan. Kini, cumbuannya turun ke arah dada kekasihnya yang banyak terkeskpos. Ia meninggalkan banyak tanda kepemilikan di sana. Tidak sampai di situ, tangannya tidak berhenti bergerak. Jioraldo meluruhkan tali gaun tidur gadisnya.

Perlahan, gunung sintal kesukaannya itu mulai menampakkan wujudnya. Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, lelaki manis itu bergegas. Jioraldo menyambar sepasang payudara kekasihnya seoalah bayi yang merindukan susu ibunya. Ranindya begitu merindukan sentuhan seperti ini.

“Nghh, ahhh, Ji,” desah Ranindya.

Jioraldo benar-benar menepati janjinya untuk membuktikan bahwa hanya seorang Ranindya Alister Dhanurendra-lah yang ada di hatinya. Lihat saja, bagaimana pergerakan yang terlihat semakin ganas di sekitar gunung yang puting mencuat sempurna itu. Ranindya dibuat kewalahan dengan serangan dari adik tingkatnya.

“Ahh, Ji, terushhh,” racaunya.

Jioraldo kembali bergerak. Ciumannya semakin turun ke arah perut sang gadis. Namun, sebelum melanjutkan permainan pembangkit gairahnya, lelaki manis itu melepas sweater berwarna putih yang dikenakannya. Ranindya dapat melihat jelas otot perut yang tercetak di sana. Ia dengan susah payah menelan salivanya.

Padahal, hanya sepekan lebih Ranindya tidak berjumpa secara intensif dengan kekasihnya ini, tapi entah mengapa Jioraldo terlihat seribu kali lebih menggoda malam ini. Jioraldo tentu saja menyadari wajah kekasihnya yang mulai berubah merah serupa kepiting rebus. Ia menyeringai puas.

“Kak Ranie suka?” tanya Jioraldo sensual.

Ranindya tidak mampu menjawab. Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, gadis cantik itu mengangguk beberapa kali. Ranindya selalu suka bagaimana bayi manis itu selalu berubah menjadi pria dewasa saat tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Dua sisi berbeda yang dimiliki Jioraldo sukses membuat Ranindya jatuh cinta sedalam-dalamnya.

Kemudian, lelaki manis itu mendekatkan wajahnya ke arah telinga kiri kayak tingkatnya. Ia menjilat daun telinga gadisnya sehingga membuat Ranindya menoleh ke arah samping. Gadi cantik itu meremat baju tidurnya yang belum sepenuhnya lepas. Napas hangat Jioraldo yang menghembus di sekitar titik sensitifnya membuat aliran darahnya berdesir cepat.

“Nghh, Ji,” lirih Ranindya.

“Kak,” panggil bias sedalam palung itu. “Kalo Jio masukin, boleh gak?” tanya Jioraldo.

Mendengarnya, sepasang manik selegam senjanya membulat. Di malam yang semakin larut dengan pemandangan kolam renang yang ada di taman belakang dan dibawah lukisan gelap semesta, Jioraldo sukses membuat Ranindya kembali jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya dengan caranya yang unik. Di sisi lain, Jioraldo masih menunggu jawaban dari gadisnya.

“Jio,” panggil Ranindya.

“Iya, Kak,” jawabnya lembut.

“Tapi pelan-pelan, ya,” pinta Ranindya.

Jioraldo tersenyum. “Iya, Kak. Jio mainnya pelan-pelan,” katanya menenangkan. “Kalo sakit, pukul Jio aja, ya, Kak,” tambahnya.

Dengan begitu, keduanya siap untuk permainan inti. Namun, sebelum acara utama dimulai, Jioraldo menyempatkan dirinya untuk mengecup hangat kening Ranindya dalam rangka memberikan semangat. Setelah selesai, ciuman itu perlahan turun bersamaan dengan kalung logam yang menyentuh setiap inci tubuh sang gadis.

“Nghhh, Ji, ahhh,” lirih Ranindya.

Jioraldo melahap ganas aset cantik yang ia yakini akan menjadi miliknya yang terindah, mulai dari bibir, dada, payudara, perut, lalu paha bagian dalam. Ranindya membantu adik tingkatnya untuk melepaskan gaun tidurnya. Sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna saat mengetahui dugaan benar bahwa di balik kain tipis itu tidak ada kain lain yang menutupi tubuh kekasihnya.

Jioraldo kembali tersenyum. “Cantik,” ucapnya tulus.

Ranindya dapat merasakan pujian yang benar-benar berasal dari hati. “Cuma punya Jio,” jelas gadis cantik itu.

Selanjutnya, Jio melepaskan celana pendeknya lalu pakaian dalamnya. Ranindya dibuat tercekat napsnya saat sepasang manik selegam senjanya menangkap sebuah batang besar berurat yang berdiri tegap. Ranindya menahan napasnya kala kepala penis itu terus menggoda vaginanya.

“Nghhh, Ji,” desah Ranindya.

Perlahan namun pasti, itulah yang Jioraldo lakukan. Dengan gerakan hati-hati, ia mencoba meneroboskan kejantannya ke dalam lubang kecil yang dipenuhi kenikmatan. Ranindya mencakar punggung lebar Jioraldo kala merasakan nyeri bercampur nikmat di bawah sana.

“Sakit, ya, Kak?” tanya Jioraldo khawatir.

“Sedikit, Ji,” jawab Ranindya sembari meringis.

“Udahan aja, ya, Kak. Jio takut Kak Ranie kenapa-napa,” ujar lelaki manis itu.

Ranindya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia menolak keras permintaan kekasihnya yang satu ini. “Aku gak apa-apa, Ji. Lanjutin aja,” ucapnya.

“Jio masukin sekali hentak aja, ya, Kak?” tanyanya lagi.

Tanpa ragu, Ranindya mengiyakannya. “Iya, Ji,” jawabnya.

Ranindya memeluk erat lelaki kesayangan yang berada di atasnya. Sementara itu, Jioraldo menghirup napas panjang sebab ia tahu bahwa ini akan terasa sangat sakit tetapi untuk waktu yang tidak lama bagi gadisnya. Jioraldo menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Ranindya. Lalu…

“Ahh!” pekik Ranindya.

“Akh!” pekik Jioraldo.

Keduanya berteriak saat penis itu masuk sempurna ke dalam vagina. Jioraldo masih bergeming di tempatnya untuk menunggu Ranindya menyesuaikan diri dengan posisi ini. Ranindya semakin memeluk tubuh atletis yang mengungkungnya saat rasa sakit tergantikan dengan nikmat yang menjalar.

“Nghh, Ji, ahhh, gerakin aja,” pinta Ranindya.

Sesuai perintah, Jioraldo mulai menggerakkan pinggulnya. Keduanya menengadahkan kepala ke arah langit-langit pondok kala rasa nikmat yang teramat sangat perlahan tercipta dari permainan yang mereka lakukan. Untuk permainan panas yang sedang berlangsung, angin dingin yang berhembus tidak ada apa-apanya.

“Nghh, ahh, Kak,” lenguh Jioraldo.

Setelahnya, lelaki manis itu mempercepat tempo gempurannya. Baik Ranindya maupun Jioraldo sangat menikmati momen di mana kepala penis itu semakin terus menghujam titik manisnya. Kenikmatan yang menyelimuti mampu seolah memberhentikan waktu yang berjalan di sekitar mereka.

“Ahhh, Ji, terushh, ahh,” racau Ranindya.

Jiorlado menaikkan kecepatan permainannya menjadi dua kali lipat, membuat kenikmatan yang terjalin di antara keduanya juga meningkat dua kali lipat. Ditemani dengan udara malam yang semakin menusuk dan pemandangan seribu bintang, sepasang kekasih itu saling menikmati tubuh masing-masing.

“Ahh, Ji, kayaknya, nghh, aku mau, ahhh, keluar,” jelas Ranindya susah payah.

“Bareng, Kak,” jawab Jioraldo.

Berikutnya, Jio mempertajam gerakannya. Dengan tempo yang stabil, kejantanan yang mulai membesar itu terus melecehkan lubang favoritnya. Ranindya menyukai bagaimana adik tingkatnya ini sangat memahami apa yang ia inginkan. Gempuran itu membuat dirinya terbang melayang.

“Nghh, Ji, aku gak, ahhh, tahan,” ujar gadis cantik itu. “Ahh!” pekik Ranindya.

Tepat setelahnya, Jioraldo mencabut penisnya dari bawah sana untuk kemudian menyemburkan sperma hangatnya ke sembarang arah. Keduanya sama-sama diburu napas dan tubuh mereka dibanjiri keringat. Baik untuk Ranindya maupun Jioraldo, permainan panas malam ini terasa sangat sempurna.

Jioraldo kembali bergerak. Kali ini, lelaki manis itu menyampir sweater putihnya untuk menutupi tubuh polos kekasihnya. Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala Ranindya sementara gadis itu masih berusaha mengatur napasnya. Jioraldo tertawa melihat gadis cantik yang serupa dengan ikan yang melompat dari air di kolam.

“Capek, ya, Kak?” ledek Jioraldo.

“Iya. Padahal aku udah nyuruh kamu buat pelan-pelan,” jawab Ranindya.

“Tapi enakan kalo cepet. Iya gak, Kak?” ledeknya lagi.

“Terserah kamu deh, Ji,” ketusnya.

Kemudian, Jioraldo menarik tubuh ringkih itu agar masuk ke dalam pelukannya lagi. Ranindya dapat merasakan dekapan yang semakin erat itu. Seakan jika lelaki manis itu melepaskannya, gadisnya akan pergi meninggalkannya. Sepertinya, sepasang kekasih itu memiliki ketakutan yang sama.

“Kak,” panggil Jioraldo.

“Iya, Ji,” jawab Ranindya lembut. Ia mengangkat pandangannya agar dapat melihat wajah serupa anak-anak itu lebih jelas.

“Jangan tinggalin Jio, ya,” ucap lelaki manis itu.

“Kok kamu bisa bilang gitu, Ji?” tanya Ranindya penasaran.

“Jio sama takutnya kayak Kak Ranie,” ujar Jioraldo. “Jio takut Kak Ranie tinggalin Jio,” sambungnya.

Mendengarnya, Ranindya terkekeh. “Enggak, Ji. Aku gak akan tinggalin kamu,” ujarnya menenangkan.

“Kak Ranie itu cewek paling baik, ramah, cantik, pokoknya semuanya yang pernah Jio temuin,” kata lelaki manis itu. “Gak menutup kemungkinan kalo ada cowok yang lebih-lebih dari Jio suka sama Kak Ranie. Kalo Kak Ranie tinggalin Jio terus Jio bisa apa?” jelasnya.

Sejenak, Ranindya tenggelam dalam pikirannya. Ternyata, kurang lebih, seperti inilah perasaan yang dirasakan Jioraldo tadi ketika dirinya merajuk. Ranindya menggigit bibir bagian bawahnya sebab rasa tak enak di dalam hatinya. Hati seorang Jioraldo Azzada terlalu murni untuk disakiti. Ia hanya pantas untuk dicintai.

“Enggak, Jio. Aku gak akan tinggalin kamu. Untuk apa aku cari yang lain? Kalo di samping aku aja udah ada kamu. Jio yang selalu ada kalo aku butuh, Jio yang selalu bikin aku seneng, Jio yang selalu punya tingkah lucu. Untuk apa aku cari itu di orang lain? Kalo ada kamu aja udah cukup, Ji,” jelas Ranindya.

Mendengarnya, hati lelaki manis itu menghangat. Jioraldo kembali mengecup kening gadisnya dalam waktu cukup lama. “Pokoknya Jio bakal berusaha sekeras mungkin biar Kak Ranie gak diambil sama cowok lain. Kak Ranie punya cuma Jio seorang,” katanya sembari mengeratkan pelukannya.

“I love you, Ji,” ucap Ranindya.

“Jio loves Kak Ranie too,” finalnya.

“Masuk, Ji,” ujar Ranindya pada adik tingkat kesayangannya itu.

“Kakak gak kedinginan apa pake baju pendek gitu? Tipis lagi,” protes Jioraldo sembari mengekori kekasihnya untuk melengang masuk ke dalam rumah besar nan mewah itu.

“Aku ‘kan tadi udah mau tidur, Ji,” jawab Ranindya. “Terus denger suara klakson motor kamu,” lanjutnya.

“Kak Ranie emang kalo tidur pake baju minim gini, ya?” tanya Jioraldo penasaran. Sepasang manik minimalisnya menelisik pada tubuh mungil yang memunggunginya, mulai dari kepala sampai kaki sang kekasih.

Kini, keduanya tengah berada di sekitaran dapur. Ranindya mengarahkan langkahnya menuju lemari pendingan sedangkan kekasih tercintanya berdiri di belakangnya sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Mendengar pertanyaan yang terlontar dari lelaki manis nan menggemaskan itu, Ranindya menghela napas panjang. Ia menghentikan kegiatannya dari memilah dan memilih makanan yang tersedia di dalam kulkasnya untuk kemudian berbalik menghadap adik tingkatnya yang berdiri tak jauh dari sana.

“Ketauan kamu, Ji. Apa gunanya kita facetime tiap malem? Ternyata kamu gak perhatiin aku,” protes gadis cantik itu.

Jioraldo, lelaki setinggi tiang bendera itu sempat tersentak. Ia sadar ada sinyal berbahaya yang tertangkap pada radarnya. Tak kehilangan akal, ia berjalan menghampiri kekasihnya yang kini tengah berusaha keras untuk meraih sepasang cangkir dari rak paling tinggi yang ada di dapur tersebut.

“Ih, Kak Ranie. Kok marah?” tanya Jioraldo dengan nada serupa anak kecil. Ia menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher kekasihnya. Kedua tangannya juga bergerak merengkuh tubuh kecil Ranindya dari belakang. Ah, seperti masa lalu, ya. “Jio tuh bukannya gak perhatiin Kakak. Tapi ‘kan Kakak setiap facetime sama Jio lebih sering buka baju. Jadi, Jio mana paham kalo Kakak selalu pake baju tipis kalo mau tidur. Jangan marah, ya, Kak. Hm?” ujarnya.

Ranindya, gadis cantik itu membeku di tempatnya. Bagaimana tidak, sepasang lengan kekar yang memeluk erat tubuhnya disertai dengan bias suara yang tiba-tiba saja berubah menjadi sedalam palung. Jika Jioraldo tidak cekatan, mungkin cangkir kaca berwarna putih itu sekarang sudah pecah dan berserakan di atas lantai.

“Ih, Jio! Panas tau. Lepasin dulu,” elak Ranindya. Ia sukses dibuat salah tingkah oleh adik tingkat yang seperti memiliki dua kepribadian itu.

Jioraldo hanya dapat terkekeh melihat wajah cantik kesukaannya itu berubah menjadi semerah kepiting rebus. “Kakak Ranie kesayangannya Jio…,” ujarnya menggantung. “Cantik,” lanjutnya seraya mengusap pelan pucuk kepala mungil itu untuk kemudian menumpukan kepalanya di atas sana.

Mendengarnya, hati gadis cantik itu menghangat. Ia ikut melingkarkan tangannya pada tubuh kekar nan tinggi di hadapannya. Ranindya menelusupkan wajahnya pada dada bidang sang kekasih. Melihatnya, Jioraldo terkekeh. Untuk sementara waktu, keduanya masih nyaman pada posisi masing-masing.

“Ji,” panggil Ranindya memecah keheningan.

“Iya, Kak,” balas Jioraldo lembut.

“Maskeran, yuk!” ajak gadis cantik itu semangat. Ranindya mengangkat pandangannya ke arah Jioraldo agar dapat melihat wajah tampan itu dengan jelas.

Sejenak, kening lelaki manis itu mengernyit. “Maskeran?” tanyanya heran.

“Iya. Minggu ini kamu banyak praktek di luar ruangan ‘kan? Mukamu jadi kering gini,” ujar Ranindya sembari mengusap pelan kedua pipi tirus Jioraldo.

Jioraldo menangkup tangan yang mengelus wajahnya lembut itu. Kemudian, dikecupnya punggung tangan mungil tersebut. “Boleh, Kak. Ayo!” ucapnya tak kalah bersemangat.

Setelah memilih sheet mask yang diinginkan, keduanya melengang ke arah ruang televisi. Di atas sofa empuk berwarna merah itu, Ranindya dan Jioraldo bergantian memasangkan lembaran masker lembab itu ke wajah satu sama lain.

“Ih, Kak! Dingin banget,” keluh lelaki manis itu.

“Jio jangan banyak gerak. Nanti maskernya gak pas,” balas Ranindya.

“Ini emang basah gini, ya, Kak?” tanya Jioraldo polos. Ia menepuk-nepuk wajahnya yang dilapisi selembar kertas lembap itu.

“Jangan dipegang, Ji. Dipijit pelan aja, biar serum-nya masuk ke pori-pori,” jelas gadis cantik itu.

Tidak ada jawaban yang terdengar. Walaupun begitu, Jioraldo mengikuti perintah yang diberikan oleh seniornya. Sementara itu, Ranindya sibuk merebahkan dirinya di atas sofa seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang maniknya menutup erat. Di sisi lain, Jioraldo setelah puas dengan rasa penasarannya, kini beralih memandang lamat ke arah kirinya, pada gadis cantik kesayangannya.

“Kamu mau ngapain, Ji?” ucap Ranindya masih dengan mata yang terpejam.

Jioraldo hendak menyentuh kening gadisnya yang dilapisi masker kala indera keenam kekasihnya itu menangkap pergerakannya. Ia hanya dapat terkekeh. “Enggak, Kak, enggak,” katanya.

“Tunggu 20 menit, abis itu baru boleh dilepas maskernya,” jelas Ranindya.

“Oke, Kakak Cantik,” balas Jioraldo. Kemudian, lelaki manis itu ikut merebahkan dirinya di atas sofa di sebelah sang kekasih.

Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Baik Ranindya maupun Jioraldo, terhanyut dalam atmosfer yang menenangkan. Hanya ada suara instrumen lagu yang mengalun lembut dari pengeras suara yang ada. Setidaknya, sampai lelaki manis itu kembali berkata.

“Kak Ranie,” panggil Jioraldo.

Tidak memiliki tenaga lebih untuk menjawab, yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat. “Apa, Ji?” tanya Ranindya.

“Kakak Ranie-nya kesayangan Jio,” ujarnya lagi.

“Iya, Jioraldo Sayang. Kenapa?” balas gadis cantik itu.

“Kakak Ranieee,” panggil lelaki manis itu tiada henti.

Bertepatan dengan selesainya waktu masker wajah tersebut, Ranindya menyingkirkan lembaran tersebut dari wajahnya. Berikutnya, gadis cantik itu melakukan hal serupa pada lelaki manis yang duduk di samping kanannya. “Apa, Jioraldo Ganteng?” jawabnya sembari menatap intens pada wajah tampan kesukaannya.

Melihatnya, Jioraldo tersenyum manis. Sepasang manik selegam malamnya hilang seketika simpul itu muncul pada wajahnya. Ia tertawa pelan. “Gak apa-apa. Cuma pengen manggil Kakak aja,” jelasnya.

Ranindya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali seraya terkekeh. Menurutnya, ada-ada saja tingkah lucu nan menggemaskan dari kekasih tercintanya ini. Ranindya baru saja akan membuang sisa-sisa masker yang mereka gunakan barusan kala sebelah lengan kekar menghentikan pergerakannya.

“Kenapa, Ji?” tanya Ranindya sedikit tercekat.

“Kakak di sini aja, jangan ke mana-mana, temenin Jio,” ujar Jioraldo.

Di detik berikutnya, yang terjadi adalah Jioraldo memangkas jarak antara dirinya dan sang kekasih. Perlahan namun pasti, belahan ranum itu menyambut belahan ranum lainnya. Dua pasang bibir yang saling merindukan itu kembali bertemu. Ranindya mengalungkan lengannya pada bahu lebar Jioraldo. Sementara itu, Jioraldo melingkarkan tangannya pada pinggang mungil Ranindya.

Ciuman yang berlangsung di antara keduanya kian memanas kala lelaki manis itu dengan telaten menidurkan kekasihnya di atas sofa. Sebelah tangannya ia letakkan di belakang kepala sang gadis dan tangan lainnya ia gunakan untuk menangkup dagu gadisnya. Di sisi lain, gadis cantik yang terkungkung di bawah sang junior terus mengusap tengkuk lalu kepala bagian belakangnya.

Sejenak, Jioraldo menyudahi acara bertukar saliva dengan Ranindya. “Aku baru sadar rumahnya Kak Ranie ada kolam renangnya. Jio gendong ke situ. Mau, ya?” tanya lelaki manis itu lembut.

Di malam yang belum sama sekali larut itu, saat langit tampak sedikit sendu meskipun hari bahagia tengah singgah, ditemani oleh pemandangan khas metropolitan, sepasang kekasih itu memutuskan untuk menghabiskan hari bersama. Airin dan Alby sedang asyik bersenandung mengikuti lagu yang sedang terputar dari audio yang ada di dalam mobil klasik itu.

“Mohon Tuhan, untuk kali ini saja, beri aku kekuatan untuk menatap matanya. Mohon Tuhan, untuk kali ini saja, lancarkanlah hariku… hariku bersamanya… hariku bersamanya!”

Terdengar keduanya tengah menyanyikan salah satu tembang asmara berjudul Hari Bersamanya yang dibawakan oleh Sheila On 7, salah satu band asal Indonesia kesukaan Alby. Setidaknya, lagu dari band tersebut, Marcell, Kahitna, Chrisye, Hivi!, Jaz, Petra Sihombing, Glenn Fredly, dan yang lainnya telah menemani lelaki manis itu sejak awal pertemuannya dengan Airin.

“Aku udah hampir puter lagu ini sepuluh kali hari ini, By,” ujar Airin di tengah-tengah konser tunggal yang dibawakan oleh dirinya dan sang kekasih.

“Suka banget sama lagu ini? Apa gimana?” tanya Alby penasaran.

“Suka,” singkat Airin. “Sama kangen kamu juga,” lanjutnya.

Mendengarnya, Alby tidak mampu menahan senyumnya. Pipinya juga memanas mendengar pengakuan yang dilontarkan gadisnya. Bukan suatu kebohongan melainkan fakta bahwa Airin benar-benar merindukan lelaki kesayangannya itu. Tidak jauh berbeda dengan Alby, Airin juga tersenyum manis.

“Aku serius,” kata gadis cantik itu.

“Ya, yang bilang kamu gak serius tuh siapa?” guyon Alby. Sepasang maniknya tidak lepas dari hamparan aspal yang dipenuhi dengan kendaraan.

“Kamu keliatan kayak gak yakin gitu,” protes Airin.

Tepat di akhir kalimatnya, mobil klasik itu berhenti di persimpangan selagi menunggu lampu lalu lintas yang berhitung mundur. Airin melempar pandangannya pada suasana malam dari balik jendela mobil. Sementara itu, Alby sibuk menikmati pemandangannya, Airin yang duduk di sampingnya adalah pemandangan favoritnya.

Alby mendekatkan wajahnya pada wajah cantik yang sedang serius menatap keluar jendela. “Kalo gini, udah keliatan seriusnya?” tanya Alby.

Airin menolehkan pandangannya ke sumber suara dan yang ditemukannya adalah wajah manis dengan manik minimalis yang berjarak hanya beberapa senti darinya. Airin membulatkan matanya sempurna serupa bola pingpong. Pada posisi seperti itu, Airin tidak bisa berbuat apapun selain diam di tempatnya.

Melihatnya, Alby tertawa kecil. “Gimana? Udah keliatan seriusnya?” goda lelaki manis itu.

Airin mendorong tubuh kekar itu agar menjauh darinya. “Udah,” jawabnya. “Sana jalan,” perintah gadis cantik itu.

Alby memindahkan tuas persneling di sebelah kirinya untuk kemudian melajukan mobilnya dalam kecepatan normal. Alby selalu suka bagaimana wajah cantik itu berubah menjadi semerah cherry terutama di bagian sepasang pipi chubby-nya saat ia berhasil menggoda sang kekasih.

Setelah cukup lama menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan, Airin kembali membuka suara. “Kita mau ke mana, By?” tanyanya.

“Aku belom bilang sama kamu, ya?” balas Alby dengan kembali bertanya.

Airin menggelengkan kepalanya. “Belom,” jawabnya.

“Yaudah, kalo gitu. Tunggu aja, ya, Cantik. Nanti juga kamu tau kita mau ke mana. Tenang aja, kamu gak aku culik kok,” ucap lelaki manis itu diakhiri lelucon.

Dengan begitu, Airin mengangguk paham. Ia kembali memusatkan atensinya pada padatnya jalanan di malam ala kasih sayang hari ini sedangkan Alby fokus pada aktivitas menyetirnya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk keduanya sampai di tempat yang Alby maksud, tepatnya sebuah rumah makan yang mampu membangkitkan seribu memori dan perasaan bagi mereka.

“Udah lama, ya, kita gak makan di sini,” ujar Airin saat Alby membukakan pintu mobil untuknya.

Setelahnya, Airin dan Alby memesan makanan pada salah satu pegawai yang ada di rumah makan tersebut. Selagi menunggu makanan untuk disajikan, Alby menangkup tangan gadisnya untuk kemudian mengusapnya lembut. Dua pasang manik yang memancarkan binar khas kasih sayang itu saling bertukar pandang.

“Sayang,” panggil Alby.

Mendengarnya, Airin yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat pandangannya. “Ya,” balasnya.

“Maaf, ya,” kata lelaki manis itu.

“Iya, Alby. Aku gak apa-apa kok kamu bikin bete gara-gara dikerjain dari kemaren,” ucap Airin seraya terkekeh.

Alby tersenyum miris. “Bukan itu,” ucapnya.

Airin mengangkat sebelah alisnya. “Bukan? Terus apa?” tanyanya khawatir.

Sebelum memulai, Alby terlebih dahulu menghela napasnya panjang. “Maaf aku gak bisa bawa kamu ke restoran mewah bintang lima,” jelasnya. “Bukannya aku gak mau tapi aku gak bisa. Aku janji di hari spesial berikutnya, aku bakal ajak kamu makan makanan mewah kayak pasangan lain kalo lagi ngerayain sesuatu.”

Selepas eksplanasi penuh penyesalan dari lelaki kesayangannya, Airin tersenyum pilu. Hatinya seolah teriris bilah bambu tajam. Bukan rasa kecewa yang muncul, melainkan rasa gundah. Ia tidak menginginkan makan malam mewah, buket bunga mawar yang besar, atau perhiasan mahal sebagai hadiah, cukup Alby ada di sisinya itu sudah lebih dari seisi dunia baginya.

“Alby,” panggil Airin.

Yang dipanggil namanya tersenyum. “Iya, Sayang,” jawabnya.

“Kamu kenapa minta maaf sama aku? Karena kamu ajak aku ke sini dan bukannya restoran mewah? Di sini juga tempat makan mewah kok. Inget gak kamu pernah ngobrol apa sama aku di sini? Kenangan itu yang bikin tempat ini jadi mewah, By,” ujar Airin menyinggung momen berharga yang pernah terjadi di rumah makan langganan Alby dan keluarganya ini. “Aku gak munafik kalo aku juga suka diajak makan dan dikasih hadiah tapi kalo dengan makan soto di sini bisa bikin aku jadi perempuan paling bahagia di dunia ini… untuk apa aku minta yang lain,” lanjutnya.

Jika biasanya Airin yang tersihir oleh tingkah laku dan kata-kata manis dari Alby, khusus untuk malam ini, Alby-lah yang dimantrai oleh gadisnya. Kumpulan kalimat uraian yang mengandung kalimat penenang itu sukses menghilangkan rasa sedih, marah, kecewa, dan semacamnya yang bersarang di hatinya.

Airin memberi senyum terbaiknya kepada Alby dan dibalas serupa. Tangan mungilnya yang terbebas menangkup rangka tegas namun manis di hadapannya. Alby menyambut usapan itu dengan tangannya yang lain. Tidak hanya Airin, malam itu, Alby menjadi laki-laki paling bahagia yang ada di dunia.

“Makasih, ya, Sayang,” ucap Alby.

“Iya, Alby, sama-sama,” balas Airin lembut.

Selepas perbincangan manis yang intensif itu, dua porsi soto ayam, nasi putih hangat, serta es teh manis hadir di hadapan keduanya. Baik Airin maupun Alby, sama-sama menikmati hidangan makan malam mereka dengan khidmat. Menyantap makanan lezat bersama orang terkasih, apakah ada kombinasi lain yang lebih bahagia dari pada itu?

“Kamu sengaja gak makan dari pagi biar makan bareng aku, ya, By?” ledek Airin. Tangan kanannya bergerak menyeka sejumput nasi yang menempel di ujung bibir kekasihnya.

“Iya, soalnya gak disuruh makan sama kamu makanya aku gak makan,” ujar Alby.

Setelah kurang lebih 30 menit, sepasang kekasih itu sudah menyelesaikan santapan malam masing-masing. Alby bangkit dari duduknya lalu menuju kasir untuk membayar dua porsi nasi soto dan es teh manis. Sementara itu, Airin berjalan menuju toilet. Sebelum sempat menghilang dari radarnya, Alby berteriak kepada sang kekasih.

“Sayang,” panggilnya. “Aku tunggu di mobil, ya,” kata Alby.

“Iya, By,” balas Airin.

Baik Airin maupun Alby, keduanya tersenyum dalam diamnya. Alby bangga menyebut kekasihnya itu dengan panggilan sayang sekeras mungkin demi memamerkan kepada dunia bahwa gadis cantik itulah kesayangannya. Airin juga ikut bahagia bagaimana beberapa gadis di sana melirik iri padanya saat Alby menyandingkan kata sayang saat berbicara padanya.

Selesai dengan urusan masing-masing, kini sepasang kekasih itu kembali melengang di ramainya jalanan. Alby sengaja tidak langsung mengantar gadis cantik itu selepas makan malam. Jika memungkinkan, Alby ingin menghabiskan malam ini hanya berdua dengan Airin. Dan sepertinya, Airin menginginkan hal yang sama.

“Kamu sengaja banget tadi suaranya dikerasin pas manggil aku,” ucap Airin membuka percakapan.

“Iya dong. ‘Kan aku mau pamer. Terakhir kali kita ke sana, kamu masih…,” Alby sengaja menggantungkan kalimatnya.

“Masih apa?” tanya Airin mengintimidasi.

“Eh, salah, maksudnya bukan kamu tapi aku,” sanggah Alby. “Aku yang masih bingung kenapa butuh waktu lama banget buat jadiin kamu pacar aku,” elaknya.

Mendengarnya, Airin tersenyum tetapi tangannya juga bergerak melayangkan satu pukulan pada lengan kekar kekasihnya. “Gombal terus,” keluhnya.

Selanjutnya, yang terjadi adalah semua topik pembahasan yang dapat dijadikan bahan perdebatan satu per satu muncul. Mulai dari peristiwa Alby yang membentangkan kain besar untuk Airin baca saat upacara sedang berlangsung, alasan mengapa Alby hanya ingin menjadi anak satu-satunya yang hadir di antara Januar dan Shinta, sampai hal acak seperti mengapa kuda laut jantan yang melahirkan dan bukannya kuda laut betina.

Demi membunuh waktu di malam yang membahagiakan ini, sepasang kekasih itu rela berbincang berjam-jam sembari diiringi lagu-lagu dari daftar putar favorit mereka di dalam mobil yang sedari tadi hanya berputar-putar di kawasan yang sama. Tak apa, Airin dan Alby tetap menikmatinya, sangat menikmatinya.

Setidaknya, sampai hari menuju tengah malam. Dengan berat hati, Alby memutuskan untuk mengantar Airin pulang setelah membelikan gadisnya dua kantong penuh makanan ringan dari minimarket terdekat. Tak butuh waktu lama bagi Alby untuk melajukan mobilnya agar sampai di pekarangan tempat tinggal Airin.

Sesampainya di sana, Alby melepas sabuk pengamannya. Ia menolehkan pandangannya pada makhluk tercantik yang ada di sebelah kirinya. Airin terdengar sangat hening sejak beberapa menit terakhir. Dan ternyata, dugaannya benar. Kekasihnya itu sudah terlelap di atas jok mobilnya.

“Cantik,” gumam Alby sepelan mungkin.

Tangan kirinya bergerak menyibak helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. Malam itu, Alby tidak berhenti memanjatkan syukur kepada Tuhan sebab telah mempertemukan dan menyatukannya dengan Airin. Lihat saja, bagaimana simpul itu tidak pudar sama sekali keberadaannya.

Namun, mengingat malam semakin larut dan waktu tidak akan berhenti, Alby menyudahi acaranya menikmati pemandangan terindah yang pernah ia temui seumur hidupnya. Ia memikirkan segala cara untuk mengantar Airin sampai dengan selamat ke dalam unit apartemennya tanpa membangungkannya.

Alby keluar terlebih dahulu untuk kemudian berlari kecil memutari mobilnya. Dibukanya pintu mobil tempat Airin tertidur tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Alby berbisik, “Maaf, ya, Sayang.”

Di tengah malam yang anginnya berhembus dengan tidak santai ini, Alby menggendong Airin serupa dengan pengantin baru menuju tempat tinggalnya. Tidak ada siapapun di sana, kecuali Pak Bagus yang kebetulan sedang terlelap di dalam pos jaganya. Alby meninggalkan sebungkus nasi goreng di meja kerja lelaki paruh baya itu.

Setelah menaiki lift, akhirnya Alby sampai juga di depan pintu unit tempat tinggal Airin. Ia menekan kombinasi nomor yang menjadi kode sandi pintu tersebut. Masih dengan langkah pasti, Alby masuk ke dalam sana dan berjalan menuju kamar tidur kekasihnya. Di dalam sana, dengan telaten, Alby meletakkan tubuh ringkih itu di atas ranjang.

“Selamat tidur, Sayang. Semoga mimpi indah,” ucap Alby untuk setelahnya mengecup pelan kening gadisnya lalu menyampirkan selimut tebal agar menutupi setengah tubuh Airin.

Kemudian, tangan lelaki manis itu bergerak merogoh saku jaketnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak berbahan beludru berwarna biru tua dengan tulisan berwarna emas yang menghiasinya, juga sebuah surat. Diletakkan kedua benda itu di atas nakas di sebelah ranjang tidur sang gadis. Dalam hatinya, Alby berharap semoga Airin menyukai pemberiannya.

Dan sekali lagi, untuk terakhir kalinya di hari ini, Alby kembali memandangi wajah tercantik ciptaan Tuhan. Menurut dugaannya, Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan gadisnya ini. Alby tersenyum memandang gadisnya yang tertidur dengan nyenyak. Barulah setelah beberapa saat, Alby melengang keluar dari sana.

“Kita mau ke mana? Apart aku jalannya gak ke sini. Kamu mau culik aku, ya?” tanya Airin khawatir.

Mendengarnya, Alby tertawa puas. Ia membelokkan mobilnya di pertigaan setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. “Ngapain aku culik kamu, Rin?” ucapnya masih sembari tergelak. “Kalo aku mau tidur sama kamu, makan sama kamu, deket sama kamu setiap hari, aku tinggal nikahin kamu. Iya ‘kan?” goda lelaki manis itu seraya menolehkan pandangannya ke sebelah kiri.

“Dari tadi nikah-nikah terus ngomongnya. Emang mau nikahin aku beneran?” ujar Airin menantang.

“Kalo mau, ya, mau. Emangnya kamu mau gak aku nikahin?” sergah Alby.

“Kita masih sekolah,” jawab Airin singkat.

“Ya, hari minggu dong. ‘Kan kita gak sekolah,” guyon Alby.

“Ish!” keluh Airin seraya melayangkan pukulan cukup keras pada lengan kekar Alby. “Jangan main-main deh,” ucapnya.

“Kenapa? Deg-degan, ya?” tanya Alby.

Airin melipat kedua tangannya di depan dada. “Iya,” singkatnya.

Alby tidak dapat menahan senyumnya sebab tingkah lucu kekasihnya itu. Akhirnya, tangan kirinya yang sedari menganggur, kini bergerak. Alby mengusap pucuk kepala gadisnya. “Lucu banget pacar aku,” ucapnya.

“Pertanyaan aku belom dijawab,” protes Airin seraya mengambil tangan besar itu untuk ia genggam.

“Pertanyaan apa?” jawab Alby dengan bertanya.

“Kita mau ke mana?” ulang gadis cantik itu.

“Owalah. Kamu mau es krim gak?” tawar Alby.

“Mau!” jawab Airin semangat.

“Yaudah. Kita beli es krim dulu kalo gitu,” ujar lelaki manis itu.

Jika boleh jujur, sebenarnya ini hanya akal-akalan Alby saja. Ia tidak ingin berpisah dengan gadisnya terlalu cepat walaupun besok mereka masih bisa bertemu di pekarangan sekolah. Alby hanya perlu menunggu beberapa jam lagi agar hari Minggu berganti menjadi hari Senin. Namun, lelaki manis itu memanfaatkan kesempatan yang ada.

Setelah berbelok ke kanan lalu ke kiri, akhirnya mereka sampai di gerai makanan cepat saji yang menyediakan lantatur. Di depan konter yang dilengkapi dengan pengeras suara tersebut, mobil klasik itu berhenti.

“Kamu mau es krim yang mana?” tanya Alby kepada sang kekasih.

“Aku boleh pesen dua gak?” balas Airin dengan kembali bertanya. Tangannya mengisyaratkan angka dua.

“Boleh. Mau rasa apa aja?” tanya Alby lagi.

“Yang pake cone satu, yang vanilla. Yang pake cup satu, yang oreo,” jelas gadis cantik itu.

Airin tidak dapat berdiam diri di tempat duduknya sebab bahagia yang memuncak. Setelah makan siang bersama dengan kedua orang tua dari kekasihnya, sekarang Alby memanjakannya dengan memberikannya makanan manis, tidak hanya satu melainkan dua buah.

“Seneng banget pacarnya aku abis dibeliin es krim dua,” ujar Alby sembari tertawa.

Setelah mendapat hidangan manis yang sudah dipesan, Alby memarkirkan mobilnya di lahan parkir terbuka di sana. Ia membiarkan sang kekasih untuk menikmati es krimnya dengan khidmat. Sepertinya, Airin terlalu bersemangat dengan makanan beku manis yang ada di genggaman tangannya.

“Makannya pelan-pelan dong, Sayang,” ujar Alby sembari membantu gadisnya untuk menyeka krim manis yang mengotori sudut bibirnya.

Melihat wajah manis nan tampan yang semakin mendekat, Airin bergeming. Sepasang manik selegam senjanya tidak dapat berhenti mengerjap. Napasnya juga tertahan serta jantungnya berirama tidak seperti biasa. Perlu ditekankan sekali lagi, Airin belum terbiasa dengan semua ini.

“Napas aja, Rin. Kamu gak lagi dikejar beruang kok,” ledek Alby. Ia menggoda gadisnya tetapi belum beranjak dari tempatnya.

“I-Iya,” jawab Airin terbata.

Alby dapat melihat dengan jelas bagaimana manik dengan binar seindah deburan ombak itu menghindari kontak langsung dengannya. Alby juga dapat melihat dengan jelas bagaimana wajah cantik itu berubah menjadi semerah buah cherry. Melihatnya, Alby menyeringai. Ada seberkas ide yang terlintas di dalam pikirannya.

“By,” panggil Airin pelan.

Alby, yang disebut namanya lebih memilih untuk tidak menghiraukan gadisnya. Di detik selanjutnya, yang terjadi adalah lelaki manis itu semakin memangkas jarak yang ada di antara dirinya dengan sang gadis. Airin semakin gugup. Ia bahkan dapat merasakan napas hangat itu menghembus tepat di hadapannya.

Dengan begitu, Airin memejamkan matanya erat. Tentunya, ia sangat tahu ke mana arah dan apa yang akan kekasihnya itu lakukan padanya. Airin menahan napasnya saat hidung bangir itu menyentuh wajahnya. Namun, sebelum semakin jauh, Alby menghentikan semua pergerakannya.

Perlahan, ia membuka mata dan yang ia temukan adalah Airin yang sedang bersiap-siap untuk apapun yang mungkin akan ia lakukan kepada gadis itu. Juga, es krim yang ia pegang kuat-kuat, membanjiri seluruh permukaan tangannya. Sebenarnya, Alby juga tahu mengapa gadisnya bersikap demikian.

Alby dengan sengaja tidak melanjutkan kegiatan itu sebab ia sudah berkomitmen dengan dirinya sendiri. Kemudian, dengan cepat lelaki manis itu mencium kening gadisnya untuk kemudian mengusap pelan kepalanya. Alby tersenyum lebar sehingga manik minimalisnya menyipit.

“Aku gak akan ngapa-ngapain kamu sekarang, Airin, nanti aja tunggu udah sah,” jelas Alby.

“Kamu dulu suka main di sini, ya, By?” tanya Airin sembari menoleh ke arah lelaki manis yang duduk di sebelah kanannya.

Berbeda dengan Airin yang dapat duduk dengan tenang di atas salah satu bangku panjang berbahan kayu yang ada di taman tersebut, Alby sedari tadi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lahan berumput yang dihiasi berbagai macam bunga serta alat permainan ana-anak itu, simpulnya mengembang.

“Iya. Dulu aku sering ke sini,” jawab Alby. “Sama Hana,” lanjutnya.

“Oh, iya. Kenapa Hana gak kamu ajak ke sini juga?” tanya gadis cantik itu lagi.

“Udah,” balas Alby datar. Ia memalingkan kepalanya ke arah sang kekasih. “Tapi dia gak bisa. Hana lagi jalan bareng Abraham,” jelasnya.

“Widih! Kemajuan banget, ya, Hana di sekolah baru,” ujar Airin. “Kamu galau gak, By?” ledeknya.

Alby mengangkat sebelah alisnya. “Galau? Kenapa galau?” tanyanya penasaran.

“Sepupu kesayangan kamu udah gak main lagi sama kamu. Hana udah punya gebetan yang lebih ganteng, lebih banyak duitnya, lebih ada buat Hana,” ujar Airin sengaja memicu api cemburu di relung hati lelaki kesayangannya.

Sejenak, Alby bergumul dengan pikirannya sendiri. Apa yang barusan Airin katakan padanya tidak sepenuhnya salah, malah sebagian besar benar. Jika Alby boleh jujur, Hana jarang sekali berhubungan dengannya, baik via ponsel maupun secara langsung. Di siang menuju sore hari itu, Airin sukses membuat kekasihnya menambah beban pikirannya.

“Enggak,” enteng Alby. “‘Kan ada kamu,” guyonnya.

Mendengarnya, Airin terkekeh. Ia memukul pelan lengan kekar di sebelahnya. “Tuh ‘kan. Gombal lagi deh,” ucapnya.

“Aku serius. Emang kerasa banget sih gak ada Hana yang suka ngikutin, minta jajanin, dan semua tingkahnya yang bikin aku geleng-geleng kepala. Tapi, ya, buat apa aku sedih? ‘Kan ada kamu, Airin, pacar aku,” jelas lelaki manis itu seraya menjawil pangkal hidung bangir sang gadis.

“Jangan usil. Kita masih di tempat umum,” sergah Airin.

“Emang kalo di tempat umum, kenapa? ‘Kan kita gak ngapa-ngapain,” balas Alby.

“Kalo di tempat umum, aku gak bisa puas berantemnya sama kamu. Nanti kalo kita berantem di sini, dipisahin sama warga,” jelas Airin mengada-ada.

Mendapat respon demikian, Alby tertawa puas. “Tega banget mau berantemin pacarnya,” katanya.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Tangan kiri Alby bergerak menggenggam tangan yang lebih kecil. Lalu, dikecup untuk kemudian diusapnya punggung tangan tersebut. Airin yang mendapat perlakuan manis dari kekasihnya tersebut hanya dapat tersenyum malu.

“Aku masih gak biasa diginiin sama kamu, By,” ujar Airin.

“Biasain dong. Nanti kalo kita udah nikah, masa kamu masih gak biasa diginiin sama aku?” balas Alby menggoda.

Lagi, tangan Airin yang terbebas melayangkan pukulan lain pada bahu lebar di sampingnya. “Ngomongnya udah jauh banget sampe ke nikah,” katanya.

Selepasnya, Alby melepaskan genggaman tangannya dengan Airin. Ia berdiri dari posisi duduknya. “Tunggu di sini aja, ya, Rin. Jangan ke mana-mana. Kalo kamu ilang, aku susah lagi nyari yang kayak kamu,” jelasnya kemudian berlalu pergi.

“Mau ke mana, By?” tanya Airin sedikit berteriak.

“Bentar aja,” jawab Alby juga sedikit berteriak sebab jaraknya yang semakin terpaut dengan sang kekasih.

Airin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tahu, sekiranya tingkah dan perlakuan aneh nan ajaib apalagi yang akan Alby perbuat setelah ini. Airin hanya dapat memandang tubuh setinggi tiang bendera itu berjongkok di balik semak-semak. Sepasang manik selegam senja itu menyipit kala ada sesosok anak kecil yang menghampiri Alby.

“Tetangganya Alby, ya?” gumam Airin.

Tak lama setelahnya, Alby bangkit dari posisi berjongkoknya. Sebelah tangan kekarnya menggandeng erat tangan yang sangat mungil itu. Kini, keduanya berlalu ke arah Airin. Sadar akan hal itu, Airin menegakkan tubuhnya di atas kursi. Selama perjalanan menuju kursi panjang berbahan kayu tersebut, Alby tak berhenti tersenyum kepada anak perempuan tersebut.

“Adek tunggu di sini aja, ya. Jangan ke mana-mana, nanti Mama susah nyarinya kalo Adek keliling-keliling terus,” ujar Alby lembut seraya mempersilakan anak kecil itu duduk di antara dirinya dan Airin.

“Tetangga kamu, By?” tanya Airin penasaran.

Alby menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. “Bukan,” jawab Alby singkat.

Mendengarnya, Airin menghela napas panjang. Jika ia tidak salah telisik, anak perempuan yang terlihat sangat menawan ini kemungkinan besar terpisah dari orang tuanya selagi bermain di taman ini. Mengingat, anak cantik ini bukanlah tetangga dari sang kekasih, mungkin ia sedang menunggu kedatangan sang ibu atau ayahnya.

“Adek Cantik,” panggil Airin sembari tersenyum. Ia merendahkan pandangannya agar dapat menatap langsung anak perempuan yang duduk di sebelah kanannya. “Kepisah sama Mama, ya?” tanyanya.

Mendengarnya, anak kecil tersebut hanya mengangguk beberapa kali. Airin dapat melihat dengan jelas bagaimana ketakutan yang terpancar dari binar manik mungil itu. Tidak ingin membuat atmosfer yang ada semakin mencekam, baik Airin maupun Alby, tidak menunjukkan ekspresi serupa dengan sang anak.

“Adek Cantik, tenang aja, ya. Kak Alby sama Kak Airin bakal temenin kamu sampe Mama nyamperin kamu. Gak apa-apa ‘kan main sebentar sama Kak Alby dan Kak Airin sebentar sampe Mama dateng?” ujar Airin dengan suara dan senyum selembut sutra.

Meskipun ragu, anak perempuan itu mengangguk pelan. “Iya, Kak,” katanya.

“Adek namanya siapa?” tanya Alby.

Ia diam sejenak. “Mahika,” jawabnya.

“Adek udah makan? Kak Alby punya permen rasa buah,” ujar Alby sembari mengeluarkan beberapa permen yang dijanjikannya dari saku celananya. “Mahika suka rasa apa?” tanyanya.

Mahika menatap lamat Alby yang menawarkannya makanan manis tersebut. “Mahika boleh minta permennya Kak Alby?” tanyanya ragu.

“Boleh dong! Kak Alby mau berbagi permen sama Mahika,” jawab lelaki manis itu. “Mahika mau yang mana, ambil aja,” katanya.

Sementara Alby sibuk menghibur kerasahan hati anak perempuan yang merasa cemas dan takut itu, di sisi lain, Airin memperhatikannya dengan saksama. Sedari tadi, senyum itu tidak pudar dari wajah cantiknya. Perlakuan lembut yang Alby tunjukkan kepada anak kecil itu membuat hatinya meluluh.

Bagaimana Alby selalu ada di sisinya, menepati janjinya untuk membahagiakannya, serta perilaku manis nan lembut yang ia tunjukkan kepada orang terdekatnya mampu membuat Airin jatuh dan jatuh lagi, bila perlu sedalam-dalamnya, kepada lelaki manis itu. Tuhan benar-benar mengirim malaikat dalam bentuk Alby untuk melindunginya dan juga orang-orang di sekitarnya.

“Mungkin…,” batin Airin bermonolog. “Kalo ‘dia’ bisa selamat, gua bakal ngeliat pemadangan indah ini setiap hari, ya?” ucapnya.

“Selamat ulang tahun, Cantiknya Chandra,” ucap Haksara lembut pada sang kekasih. Kedua tangannya terulur memegang kue ulang tahun dengan banyak hiasan di atasnya, seperti whipped cream dan stroberi kesukaan Ranindya.

Ranindya, yang diberi kejutan seperti itu tidak dapat menyembunyikan senyum manisnya. Sepasang manik selegam senjanya berbinar indah. Di dalam bagasi mobil van pada sore menjelang malam hari itu, ditemani dengan kicauan burung serta deburan ombak yang menari, gadis cantik itu merayakan ulang tahun ke sekian untuk pertama kalinya bersama sang kekasih.

“Makasih, ya, Chan,” balas Ranindya tak kalah lembut. Senyumnya masih belum pudar dari wajah cantiknya.

“Ayo, tiup lilinnya,” ujar lelaki manis itu.

Diberi perintah seperti itu, Ranindya mengatupkan kedua tangannya lalu memejamkan matanya erat. “Semoga di ulang tahun aku seterusnya, kita masih bareng-bareng,” ujar Ranindya untuk kemudian meniup satu per satu lilin kecil dengan berbagai warna yang ada di atas kue ulang tahunnya.

Sebelah tangan kekar Haksara bergerak merengkuh gadisnya agar masuk ke dalam dekapannya. Tangan itu mengusap pelan punggung sempit Ranindya. “Semoga sehat dan bahagia selalu, ya, Kesayangannya Chandra,” kata lelaki manis itu.

“Makasih banyak, ya, Chan. Makasih banyak.” Mulut Ranindya tidak berhenti mengucapkan kata terima kasih kepada sang kekasih. Pelukannya terasa kian erat pada tubuh kekar di sampingnya.

Jika boleh jujur, gadis cantik itu mungkin tidak bisa merasa lebih bahagia lagi dibanding hari ini. Menghabiskan hari ulang tahun bersama orang terkasih merupakan salah satu mimpinya, mengingat kedua orang tuanya yang jarang sekali pulang dari luar negeri serta dirinya hanya seorang anak tunggal membuat Ranindya sangat menghargai setiap momen yang dihabiskan bersama Haksara.

“Gimana, Cantik? Suka sama hadiahnya?” tanya Haksara sesaat setelah ia melonggarkan dekapannya.

Tidak dapat menjawab dengan kata-kata, Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan semangat. “Suka banget!” ucapnya. “Kok kamu tau sih, Chan, kalo aku pengen banget trip di bagasi mobil van?” tanya gadis cantik itu penasaran.

Sebelum menjawab, Haksara tertawa pelan. Ia tidak sanggup menahan diri dari gemasnya gadis cantik kesayangannya yang sedang berulang tahun hari ini. Ia letakkan kue yang sedari tadi ada di genggamannya itu di sebelah kanannya. “Inget gak terakhir kali pas aku ke rumah kamu? Yang kamu lagi sakit. Eh, bukan sakit. Lagi pengen,” godanya sembari terkekeh. “Pas kamu lagi mandi, aku gak sengaja liat buku diary kamu di atas laci meja yang di sebelah kasur. Aku sedikit banyak baca keinginan dan harapan kamu di buku itu. Jujur, aku bacanya sedih banget, Ran. Kamu ngerasa banyak kesepian setelah orang tua kamu pergi kerja ke Jepang,” jelas lelaki tampan itu.

Mendengarnya, Ranindya menundukkan pandangannya. Ya, memang benar apa yang dikatakan kekasihnya itu. Entah mengapa, akhir-akhir ini, gadis cantik itu sering kali merasa sendiri padahal tidak jarang Haksara menginap di rumahnya. “Aku kangen sama Papi sama Mamin, Chan,” lirihnya.

Mendengarnya, Haksara dengan inisiatifnya kembali menarik kekasihnya untuk masuk ke dalam dekapannya. Sepasang tangan kekarnya bergerak mengusap pucuk kepala lalu punggung sempit itu secara bergantiannya. Di dalam dekapan hangat itu, Ranindya menghela napas panjang.

“Jangan pernah ngerasa sendiri, ya, Ran. Aku ada di sini buat kamu. Gak peduli kapan dan di mana, aku akan selalu ada kalo kamu butuh. Cantiknya Chandra gak boleh sering-sering sedih, ya,” ucap lelaki manis diakhiri dengan kecupan ringan di kening gadisnya.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Jangan tinggalin aku, ya, Chan,” pintanya.

“Iya, Sayang. Aku gak akan ninggalin kamu,” kata Haksara.

Di hadapan pantai yang terbentang luas serta langit yang melukiskan mentari terbenam, sepasang kekasih itu, Ranindya dan Haksara, memutuskan untuk mencintai satu sama lain dengan tempo waktu yang tidak ditentukan. Selagi mereka masih bisa bernapas, mereka berjanji untuk ada di sisi satu sama lain. Tidak ingin atmosfer yang memilukan ini berlangsung lebih lama, lelaki tampan itu memutuskan untuk mengakhirinya.

“Liat nih aku bawa apa,” ucap lelaki manis itu setelah melepas pelukannya. Haksara mengambil sekantung plastik penuh berisikan berbagai jenis makanan untuk dibakar, mulai dari jagung sampai dengan marshmallow.

“Well-prepared banget, ya, kamu, Chan,” kata Ranindya.

Haksara hanya terkekeh mendengar gadis cantik kesayangannya mulai pulih dari sedihnya. Ia mencubit ujung hidung Ranindya. “Buat kamu, biar makannya banget. Tangan sama pipi kamu udah gak ada isinya lagi tuh,” ledeknya. “Kita makan dulu, abis itu baru istirahat di dalem mobil,” singkat lelaki manis itu.

“Mau nonton juga dong, Chan,” ucap Ranindya.

“Iya, Sayang. Nanti kita nonton juga,” balas Haksara.

Setelahnya, Ranindya dan Haksara sibuk menyiapkan perapian untuk membakar seluruh bahan makanan yang sudah dibeli. Hari semakin malam dan angin yang berhembus juga semakin dingin nan menusuk. Dari arah belakang, Haksara menyampirkan kain tebal pada tubuh gadisnya.

“Yang lagi ulang tahun gak boleh sakit,” katanya.

“Kamu juga gak boleh sakit, Chandra. Sini deketan,” bantah Ranindya. Kemudian, gadis cantik itu mengisyaratkan Haksara untuk mendekatkan diri padanya lalu menyelimuti tubuh besar kekasihnya itu.

“Nih,” ucap Haksara sembari menyuapi Ranindya sepotong marshmallow. Tak lama, lelaki manis itu terkekeh. “Makannya yang bener dong, Ran.”

“Ya, kamu juga nyuapinnya yang bener, Chandra,” sergah Ranindya.

Mulut gadis cantik itu dipenuhi dengan lelehan dari makanan yang mirip dengan awan itu. Ranindya berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan sisa makanan manis menyatu dengan bibirnya itu, namun usahanya sia-sia. Dengan sigap, Haksara membantunya.

“Gini loh, Cantik, bersihinnya,” sela Haksara.

Tanpa sengaja, dua pasing manik itu saling bertemu, menatap netra pasangannya dengan lamat. Ada semburat cinta yang terpancar dari sana. Ranindya mengulas senyum lebih dulu sebelum sang kekasih melakukan hal serupa. Mungkin, pada malam yang semakin larut itu, sepasang kekasih yang sedang dicandu asmara itu benar-benar merasakan nikmat Tuhan paling indah, yaitu jatuh cinta.

Di detik berikutnya, yang terjadi adalah Haksara menangkup dagu mungil gadisnya untuk kemudian memangkas jarak di antara mereka. Lalu, belahan bibir itu bertaut. Haksara mencium gadisnya dengan penuh perasaan. Tidak sampai di situ saja, tangan Ranindya bergerak mengusap rangka tegas di hadapannya. Ciuman itu kian memanas sehingga dapat mengalahkan dinginnya angin sepoi yang berhembus.

Sejenak, Haksara menghentikan kegiatannya bersama Ranindya. “Kita istirahat di dalem aja, yuk,” ajaknya.

“Ran.” panggil Haksara lembut.

“Iya, Chan,” balas Ranindya tak kalah lembut.

“Sini, deketan dong,” ucap lelaki manis itu.

Di dalam bagasi mobil van, pada hari menuju tengah malam saat itu, Ranindya dan Haksara mengistirahatkan diri mereka di balik selimut tebal yang melindungi tubuh masing-masing. Haksara menarik kekasihnya agar masuk ke dalam pelukannya. Melihat tingkah lucu kekasihnya itu, Ranindya hanya dapat terkekeh.

“Kamu kenapa sih, Chan? Kayaknya manja banget hari ini,” jelas Ranindya.

“Ya, gak kenapa-kenapa sih. Cuma pengen manja aja sama kamu,” jawab Haksara.

Setelahnya, lelaki manis itu kembali melanjutkan aksinya. Kali ini, ia mengusakkan wajahnya di antara sepasang gunung sintal kesukaannya. Selagi bermain di sana, Haksara menghirup dalam-dalam harum pada tubuh gadisnya, wangi bunga lily yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh gadis cantik itu sukses membuat Haksara dimabuk kepayang.

“Ih, Chan! Geli tau,” protes Ranindya.

“Diem, Ran. Aku lagi fokus,” sergah Haksara. Kemudian, ia kembali melanjutkan aktivitasnya yang sedang terhenti.

“Geli, Chandra,” keluh gadis cantik lagi.

Akhirnya, dengan sedikit paksaan, Haksara menghentikan kegiatannya. Ia menatap lamat wajah cantik yang kini berada sedikit lebih tinggi darinya untuk kemudian tersenyum manis. Entah mengapa, hari ini Haksara sedang ingin bermanja-manja lebih intens dengan kekasihnya. Sedikit banyak, Ranindya peka akan hal itu.

“Kamu gak mau kasih aku hadiah lain, Chan?” tanya Ranindya menggoda.

Mendengarnya, Haksara mengernyitkan keningnya. “Hadiah? Kamu pengen yang lain lagi?” ucapnya sedikit terkejut.

Ranindya tertawa puas saat melihat lelaki kesayangannya itu kalang kabut. Padahal, bukan di hari ulang tahun pun, Ranindya sering kali mendapatkan hadiah itu dari Haksara. “Iya, aku pengen yang lain lagi,” jelasnya.

Sepasang manik selegam malam itu semakin membelalak. “Kamu pengen apa? Ayo kita cari mumpung tokonya masih buka,” ujar Haksara.

Haksara baru saja akan bangkit dari posisi berbaringnya bersama sang kekasih kala Ranindya menarik tubuh kekar itu untuk kembali mendarat di sampingnya. Selanjutnya, dengan sigap, gadis cantik itu melumat bibir Haksara. Sejenak, Haksara membeku di tempatnya. Kecupan gadisnya terasa sangat menggoda. Setelah sempat bergeming, Haksara mulai mengikuti permainan Ranindya.

“Mphhh,” lenguh Ranindya tertahan.

Ciuman yang terjadi di antara keduanya kian memanas. Sepertinya, mereka melanjutkan acara pertukaran saliva yang sempat tertunda tadi. Lihat saja, bagaimana tangan besar itu bergerak menjangkau bagian tubuh gadisnya yang dapat ia jamah. Tidak ingin kalah, Ranindya juga melakukan hal serupa.

Kemudian, Ranindya mengubah posisinya bersama Haksara. Jika tadi Haksara yang berada di atasnya, memimpin permainan, sekarang gadis cantik itulah yang duduk di atas Haksara. Permainan kembali berlanjut dengan cukup lama. Paling tidak, sampai keduanya merasa pasokan oksigen yang ada di paru-paru mereka mulai menipis.

“Ini apa maksudnya?” tanya Haksara sembari menaikkan sebelah alisnya.

Ranindya menumpukkan kedua lengannya di samping kanan dari kiri tubuh sang kekasih. Ia memangkas jaraknya dengan Haksara. “Gak ada maksud apa-apa,” bisiknya.

“Kamu jangan mancing, Ran. Aku bisa gila kalo kamu kayak gini terus,” jelas Haksara.

Mendengarnya, Ranindya menyeringai puas karena sebenarnya memang hal inilah yang ia inginkan. Haksara yang menjadi tidak waras selama bermain intim dengannya adalah hadiah yang diharapkan gadis cantik itu. Kali ini, satu dari dua tangan Ranindya bergerak mengusap seluruh tubuh kekar yang ada di bawahnya.

Bukan tanpa alasan tertentu, Ranindya sengaja melakukannya agra gairah sang kekasih semakin meningkat. Lihat saja, bagaimana tangan gadis itu menari di seluruh titik rangsang yang Haksara miliki, mulai dari tengkuk, leher, telinga bagian belakang, dan berakhir pada kejantannya.

“Nghh, ahh, Ran,” desah lelaki manis itu.

“Kasih aku hadiah dong, Chan,” ucap Ranindya menggoda. Tangannya masih aktif menggoda kepemilikan kekasihnya yang sudah mulai sesak di balik celana denim itu.

Tidak ingin bersabar lebih lama lagi, Haksara memutar balik keadaan. Dengan cepat, lelaki manis itu membalikkan posisinya dengan Ranindya. Akhirnya, lelaki manis itu kembali pada posisinya semula, di atas sang kekasih sembari mengungkungnya. Ranindya dapat melihat sorot dari sepasang manik selegam malam kesukaannya, Haksara sangat lapar akan tubuhnya.

“Kamu mau hadiah, Ran?” tanya Haksara menggoda.

Ranindya tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Ayo, kasih aku hadiah,” ucapnya tidak kalah menggoda.

Haksara menyeringai seram. “Jangan nyesel, ya,” bisiknya pada sebelah telinga gadisnya. “Bakal banyak kejutan,” lanjutnya.

Ranindya menelan ludahnya dengan susah payah kala bariton itu menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Tentunya, Haksara tidak pernah ingkar dengan kata-kata. Mengingat ada kata ‘kejutan’ yang sempat disinggung lelaki manis kesayangannya itu, tiba-tiba saja aliran darahnya berdesir cepat.

Haksara memulai permainan yang seharusnya. Ia mengecup belahan ranum manis gadisnya dengan ganas. Haksara melengangkan lidahnya agar masuk ke dalam mulut Ranindya untuk mengabsen setiap deretan giginya. Malam itu, Haksara benar-benar dibakar api gairah yang bukan lain dipicu oleh Ranindya sendiri.

“Mphhh,” lenguh Ranindya saat merasakan ciuman itu semakin menuntut.

Tidak sampai di situ saja, sekarang tangan kekar itu bergerilya di daerah yang bisa ia jamah. Kini giliran lelaki manis itu untuk menghidupkan setiap titik rangsang yang ada di tubuh ramping gadisnya. Ternyata, umpan yang dilempar oleh Ranindya berhasil dilahap oleh Haksara. Alhasil, ia mendapatkan hadiah panas ini sebagai ganjarannya.

“Ahhh,” desah gadis cantik itu.

Haksara menjilat daun telinga kekasihnya dan hanya dengan gerakan sederhana seperti itu mampu membuat Ranindya dibakar api gairah. Perlahan, jilatan itu turun ke arah leher dan sedikit ruang pada dada kekasihnya yang terekspos. Selagi menikmati setiap inci kulit gadisnya, tangan Haksara bergerak membuka satu per satu kancing cardigan berwarna dusty pink yang Ranindya kenakan.

“Nghhh, Chan,” lirih Ranindya saat Haksara meremas sepasang buah dadanya yang masih dibalut dengan bra berwarna broken white.

“Enak, Ran?” goda Haksara.

Ranindya, yang ditanya seperti itu tidak lagi bisa menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali seraya tangannya meremat kencang kain yang melapisi tempat tidurnya. Meskipun begitu, Ranindya tidak menyesal. Ia sangat menikmati semua kesenangan ini.

Berikutnya, Haksara melepaskan pengait bra yang melindungi payudara kekasihnya. Ia begitu terkesima dengan puting yang berwarna kecoklatan itu mencuat sempurna. Dengan ide gila yang terlintas di otaknya, lelaki manis itu kembali meraih kue ulang tahun milik kekasihnya untuk kemudian hiasan whipped cream yang ada di sana ia oleskan pada ujung puting payudara gadisnya.

“Ah, sial, Chandra!” umpat Ranindya.

“Kamu keliatan manis banget, Ran. Aku cobain, ya,” ucap Haksara sensual.

“Ahhh, Chan,” lirih gadis cantik itu saat Haksara menjilat kedua putingnya.

Ranindya, gadis cantik itu lagi-lagi dibawa terbang menembus langit hitam yang dipenuhi bintang saat Haksara melecehkan sepasang buah dadanya. Haksara, lelaki manis itu seolah bayi yang merindukan susu ibunya. la tidak berhenti menjilat, melumat, lalu sesekali menggigit gunung sintal kesukaannya.

Setelah selesai dengan dua buah benda lembut itu, Haksara ingin mencoba bagian lain dari tubuh kekasihnya. Lagi, ia melumuri perut rata gadi kesayangannya dengan krim kocok dari kue ulang tahun yang ia beli tadi sore di bakery terdekat. Haksara kembali menggoda Ranindya dengan mengusap perut bagian bawah sang gadis lalu menekannya pelan.

“Nghhh, Chan, ahh,” lenguh Ranindya. Sepasang manik selegam senjanya tertutup erat seraya kepalanya menengadah ke arah atas.

“Suka, Ran?” tanya Haksara.

Ranindya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia merasakan nikmat setara surga dunia. Haksara benar-benar berpegang teguh pada prinsip, yaitu untuk memuaskan pasangannya. Haksara memiliki kecenderungan untuk memberikan lawan mainnya kenikmatan yang tiada tara agar dirinya juga merasakan nikmat yang sama.

Dengan begitu, Haksara kembali bermain dengan Ranindya. Permukaan kulit seputih susu yang ditutupi lapisan whipped cream itu kini dipenuhi dengan tanda khas kenikmatan berwarna ungu kehitaman. Haksara meninggalkan jejak kekuasaannya di sana. Ia terus bersemangat sebab kekasih cantik yang terus mengelukan namanya.

“Ahhh, Chan, mphh, enakhhh,” racau Ranindya.

Saat namanya disandingkan dengan desahan ala kenikmatan, Haksara semakin dibuat menggila. Kini, tangannya bergerak melepas rok berbahan tartan berwarna serupa dengan cardigan yang sudah melayang entah ke mana. Haksara tersenyum lebar saat sepasang manik selegam malamnya menangkap celana dalam berwarna broken white itu dipenuhi bercak lembap dari cairan yang dihasilkan gadisnya.

“Udah basah, ya?” tanya Haksara seraya menaikkan sebelah alisnya lagi.

Lalu, Haksara membuka satu per satu kancing baju kemejanya setelah sebelumnya melepas vest yang melindunginya tubuh kekarnya. Namun, sebelum lelaki manis itu rampung dengan kegiatannya, Ranindya menginterupsi. “Aku aja yang buka, Chan. Boleh gak?” tanyanya lembut.

Tidak menjawab secara lisan, lelaki manis itu mendekatkan tubuhnya ke arah Ranindya. Ia menahan beban tubuhnya dengan kedua lengan kekarnya yang menumpu di sisi sebelah kanan dan kiri tubuh sang kekasih. Selama proses pelepasan pakaian milik lelaki tercintanya, Ranindya menatap manik dengan binar indah kesukaannya.

“Chandra ganteng banget hari ini,” puji Ranindya setelah selesai dengan aktivitasnya.

Mendengarnya, Haksara tersipu malu. Ia membuang pandangannya ke sembarang arah, ke mana saja yang penting tidak melihat langsung netra indah gadisnya. Haksara tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Hanya dengan sanjungan singkat seperti itu mampu membuat jantungnya berdegup lima puluh kali lebih kencang.

“Lucu banget pacar aku,” ujar gadis cantik itu sembari mengusap rangka tegas yang ada di atasnya.

Kemudian, Ranindya mengalungkan sepasang lengannya pada bahu tegap di hadapannya. Ia memberi isyarat kepada kekasihnya agar melanjutkan lagi permainan intimnya. Dengan begitu, Haksara kembali mencium gadis cantik kesayangannya. Namun, kali ini sedikit berbeda sebab tangan kirinya bergerak aktif mengusap kewanitaan kekasihnya yang sudah lembap.

“Nghhh,” desah Ranindya tertahan kala jari-jari nakal itu sekarang menelusup masuk ke dalam miliknya.

Haksara, dengan gerakan tiba-tiba, melesatkan dua jarinya ke dalam kemaluan Ranindya. Di dalam sana, jari telunjuk dan jari tengah itu bergerak aktif, mulai dari menekan lubang vagina sampai memutari klitorisnya. Tubuh gadis cantik itu tidak bisa diam di tempat selama Haksara melecehkannya.

Haksara merasa keintiman kekasihnya semakin menghasilkan cairan pelumas. Oleh sebab itu, ia mempercepat tempo adukannya. Merasa pergerakannya sedikit terhambat, lelaki manis itu meluruhkan kain terakhir yang menempel pada tubuh gadisnya. Dengan begitu, Haksara kembali bermain dengan lubang surgawi favoritnya.

Ritme yang tidak beraturan, tusukan dan gerakan memutar yang memuaskan miliknya, serta ciuman yang terasa mengganas sukses membuat Ranindya akan menjemput pelepasannya sebentar. Sejenak, ia menyudahi ciumannya bersama Haksara. “Nghh, Chan, kayaknya aku, ahhh, pengen, mphh, keluar,” jelas Ranindya susah payah.

Mendengar gadisnya akan mencapai titik ternikmatnya dalam waktu dekat, Haksara menghentikan aktivitasnya. “Aku masukin, ya, Cantik?” tanya lelaki manis itu lembut.

Dengan senyum secerah mentari pagi, Ranindya menganggukkan kepalanya. “Iya, Chan,” jawabnya tak kalah lembut.

Di detik berikutnya, yang terjadi adalah lelaki tampan itu melepas celana denimnya untuk kemudian melakukan hal yang sama dengan celana dalamnya. Manik sepasang senja itu membulat sempurna saat apa yang menjadi milik kekasihnya itu menegang sempurna.

“Kalo sakit bilang, ya, Sayang,” kata Haksara sebelum mulai menggempur kekasihnya.

Perlahan, lelaki manis itu melengangkan penisnya untuk masuk ke dalam lubang kecil yang penuh kenikmatan itu. Ranindya menahan napasnya kala merasakan sesuatu yang besar akan menghantam dirinya. Haksara paham betul bahwa gadisnya selalu merasa gugup jika berkaitan dengan hal itu.

Ditangkupnya dagu mungil itu lalu ditatapnya netra dengan kilau bintang terindah di langit. Haksara tersenyum selembut mungkin sembari melanjutkan kegiatannya di bawah sana. Ranindya yang ditatap begitu seolah tersihir. Tidak ada lagi rasa ragu apalagi takut yang bersarang di hatinya.

“Kalo sakit bilang, ya, Ranie. Aku gak bakal lanjutin kalo kamu gak mau,” jelas Haksara tanpa memudarkan senyumnya.

Dengan cepat, Ranindya menggeleng. “Jangan, Chan, lanjutin aja,” ujarnya. “Tapi pelan-pelan, ya,” lanjut gadis cantik itu.

“Iya, Cantik. Aku pelan-pelan, ya,” balas Haksara.

Permainan yang hampir memasuki acara inti itu berlanjut. Tanpa terasa, penis terbesar yang pernah Ranindya lihat itu sudah masuk sempurna ke dalam vaginanya. Haksara menggerakannya dengan sangat pelan, namun kenikmatan yang terasa menggitu menggelegar.

“Ahhh.”

“Akhh.”

Lenguh keduanya bersamaan. Di dalam bagasi van, di mana hari sudah melewati tengah malam dan kini menuju awalnya pagi, sepasang kekasih itu berbagi nikmat dari tubuh masing-masing. Walaupun di luar sana, dingin terasa menusuk, tetapi tidak di dalam mobil berukuran cukup besar itu sebab permainan panas nan intim sedang berlangsung.

“Aku cepetin, boleh, Ran?” tanya Haksara untuk memastikan agar gadis cantik kesayangannya itu setuju dengan pendapatnya.

Ranindya hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak lagi bisa menjawab pertanyaan yang satu itu sebab rasa nikmat yang menguasainya. Perlahan, Haksara meningkatkan tempo gempurannya. Serupa dengan sang kekasih, Ranindya merasa permainan ini kian terasa menggila. Keduanya, Ranindya dan Haksa, sama-sama menengadahkan kepala mereka ke arah langit-langit.

Ranindya, gadis cantik itu ingin meminta lebih sehingga mengomando Haksara untuk mempercepat gerakannya. “Nghh, Chan, cepetih lagihhh,” pintanya.

Diberi perintah begitu, Haksara kembali menaikkan kecepatan hantamannya. Ranindya sangat suka bagaimana kepala penis kekasihnya menabrak dengan brutal titik manisnya. Lihat saja, bagaimana titik ternikmatnya yang sempat tertunda, kini kembali. Ranindya akan segera menjemput pelepasannya, lagi.

“Chan, ahhh, aku mau, ahh, keluarhh,” jelas Ranindya tertatih.

“Aku juga, Ran,” jawab lelaki manis itu singkat.

Alhasil, Haksara mengerahkan seluruh kekuatan yang ada dalam dirinya untuk menyerang kekasihnya. Keduanya tidak peduli dengan kemungkinan ada saksi mata yang melihat perbuatan kotor yang mereka lakukan di dalam mobil van ini, baik Ranindya maupun Haksara, terlalu sibuk untuk menikmati rasa yang ada dengan maksimal.

“Mphh, aku gak, nghh, kuat, Chan,” ucap Ranindya.

“Sebentar lagi, Ran,” ujar Haksara masih dengan kerja kerasnya.

Ranindya memejamkan maniknya erat kala merasa hal itu akan meledak di dalam dirinya sebentar lagi. Ia berharap Haksara akan datang bersamaan dengannya. Ranindya tidak kuat lagi menahan titik ternikmatnya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya untuk menetralisirnya untuk kemudian memeluk tubuh kekar Haksara dengan erat. Sepersekian detik kemudian, Haksara mengeluarkan kepemilikannya dari bagian selatan gadisnya.

“Ahh!”

“Akh!”

Keduanya benar-benar menjemput pelepasannya secara berbarengan. Tubuh mungil yang telanjang itu dipenuhi dengan sperma hangat. Napas mereka saling memburu. Tubuh mereka juga dibanjiri keringat. Haksara tumbang di atas Ranindya. Tangan mungil itu bergerak mengusap pucuk yang ada di atas dadanya dengan lembut.

“Hadiahnya enak, Chan,” ucap Ranindya membuka percakapan.

Mendengarnya, Haksara tertawa dan diikuti oleh Ranindya. “Enak, ya?” tanyanya. “Lain kali, kalo mau kado begini, bilang, ya, Ran,” sambungnya.

Berikutnya, Haksara kembali bergerak. Lelaki manis itu berpindah posisi menjadi di samping sang gadis. Ia menyampirkan selimut tebal untuk menutupi tubuh mereka yang polos. Haksara menarik Ranindya agar masuk ke dalam dekapannya, lagi. Tangannya bergerak mengelus pucuk lalu punggung sempit itu secara bergantian.

“Selamat ulang tahun, ya, Kesayangannya Chandra,” ujar Haksara yang lagi-lagi mengucapkan selamat ulang tahun kepada kekasihnya.

“Ini udah lewat tengah malem, Chan, ulang tahun aku udah selesai,” jelas Ranindya.

“Gak apa-apa. Aku mau tiap hari kamu ulang tahun. Biar kamu tiap hari minta kado kayak gini,” guyon lelaki manis itu.

“Ih, Chandra!” pekik Ranindya seraya memukul keras dada bidang di depannya.

“Aku bercanda, Ranie. Ya, tapi kalo gak bercanda juga gak apa-apa,” tambahnya lagi.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Sepertinya, mereka terhanyut dengan atmosfer masing-masing. Tangan kekar lelaki manis itu masih bergerak mengusap bagian tubuh kekasihnya sementar gadis cantik itu tidak mau melepaskan pelukannya dari lelaki kesayangannya. Ya, paling tidak, sampai Ranindya kembali berucap.

“Makasih, ya, Chan,” kata gadis cantik itu. “Makasih udah bikin aku jadi perempuan paling bahagia di dunia ini,” lanjutnya.

“Iya, Sayang, sama-sama,” balas Haksara lembut. “Kamu anugerah terindah yang pernah aku terima dari Tuhan,” tambahnya.

“Janji kayak gini terus sama aku, ya, Chan?” ucap Ranindya meyakinkan sang kekasih.

“Iya, Cantik, kita kayak gini terus bareng-bareng, ya,” jawabnya. “Sayang kamu banyak-banyak, Ranindya,” final Haksara.

“Aduh! Ini kenapa berantakan banget sih?! Diberesin dong, Lan, alat-alat yang gak kepake,” keluh Arraufan.

Di hari Senin pagi sembari ditemani angin yang berhembus pelan serta kicauan burung yang merdu, terlihat empat orang lelaki tampan tengah sibuk menyiapkan sesuatu hal yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara Senin pagi hari ini. Ah, apakah benar semua keperluan ini dimaksudkan untuk acara rutin setiap awal pekan tersebut? Sepertinya, tidak.

Yudha Arraufan, sang ketua organisasi sekolah, sedari satu jam yang lalu tidak patah semangat untuk mengoceh dan mengomeli teman-teman seangkatannya. Keempatnya, Alby, Alvino, Nalandra, dan juga Arraufan, bahkan sudah hadir di sekolah mereka tercinta sejak pukul enam pagi. Tentunya, hal itu dilakukan demi keberlangsungan agenda yang sudah direncanakan sebelumnya.

“Kok gua doang sih?! Suruh Vino sama Alby juga dong. Mereka ‘kan juga ikut ngeberantakin,” bantah Nalandra.

“Enggak. Lo doang yang dari tadi kerjaannya cuma ngacak-ngacak,” balas Arraufan seraya menunjuk-nunjuk salah satu anggota sekolahnya, Nalandra.

“Sialan,” umpat Nalandra. “Pantes lo jadi ketos, ya, Fan. Asli mulut lo kayak gak ada capeknya buat ngoceh,” sambung lelaki tampan penuh humor itu.

“Gak ada terima kasihnya banget, ya, gua liat-liat. Kalian udah gua back up biar gak ketauan sama guru konseling malah protes terus,” bantah sang ketua tak mau kalah.

Keempat lelaki tampan itu memiliki tugas yang berbeda-beda. Alvino, Nalandra, dan Arraufan berada di divisi menggambar dan desain hiasan untuk ditempelkan di atas kanvas berukuran sangat besar itu. Sementara itu, Alby dikhususkan untuk merangkai huruf demi huruf agar menjadi satu kesatuan kalimat.

“Nanti kita beresin kok, Fan, tenang aja,” ujar Alvino menengahi perdebatan di antara kedua temannya.

“Iya, Fan. Lo tenang aja. Bakal diberesin kok nanti,” tambah Alby sembari menatap Arraufan yang berkacak pinggang di hadapan Nalandra. “Sama Alan,” guraunya diiringi tertawaan.

Setelah Nalandra puas membangkitkan api amarah yang sudah tertanam di dalam diri Arraufan sejak lahir, lelaki tampan yang sering memenangkan medali olimpiade matematika dan sains itu mulai mereda sebab kehadiran Alby dan Alvino. Ya, walaupun tidak jarang Arraufan ingin sekali mendorong sahabat terdekat Alvino itu dari lantai empat.

“Udah jam segini. Gua tinggal gak apa-apa, ya? Soalnya gua mau briefing sama anak-anak sebelom upacara,” jelas Arraufan seraya melirik ke arah jam tangan kulit yang melingkar di tangan kirinya.

“Iya, Fan. Kita ditinggal aja gak apa-apa,” jawab Alvino.

“Gak apa-apa, Fan. Sekali lagi makasih, ya, udah mau direpotin,” ujar Alby.

Setelah meminta izin, lelaki tampan itu langsung meninggalkan tempat kejadian perkara. “Good luck, Alby! Semoga lo diterima!” ujar Arraufan sedikit berteriak sembari berlarian kecil menuruni tangga.

Berkat kerjasama serta koordinasi yang baik dan kompak yang terjalin di antara keempat lelaki itu, mahakarya yang ditunggu-tunggu akhirnya selesai juga. Alvino dan Nalandra menggenggam tiap ujung lembaran kanvas raksasa tersebut untuk kemudian membentangkannya. Di permukaan kain itu terlihat jelas pernyataan yang mengandung pengakuan cinta.

Ya, Alby akan menyatakan cintanya kepada Airin hari ini. Di hadapan seluruh siswa, guru, dan semua staff sekolah menengah atas tersebut selagi upacara di Senin pagi sedang berlangsung, lelaki manis tersebut sudah membulatkan tekadnya untuk menjadikan gadis cantik dambaannya itu menjadi kekasihnya.

Nalandra menghimpit ujung kain kanvas tersebut seraya bertepuk tangan. “Woah!” teriaknya. “Gua beneran gak kepikiran lo bakal nembak Airin pake ginian, By,” ujarnya.

“Lo kepikiran ide kayak gini dari mana, By?” tanya Alvino penasaran.

Sejenak, Alby bergumul dengan pikirannya. Ia mengetuk-ngetuk pelan dagunya yang lancip lalu perlahan simpul manisnya muncul. “Airin itu selalu sembunyi,” kata Alby. “Gua gak mau ngeliat Airin sembunyi lagi, baik dari orang lain maupun dari dirinya sendiri. Ya, mungkin kedengeran agak klise sih tapi Airin emang udah narik perhatian gua dari awal kita ketemu sampe pada akhirnya gua penasaran sama semua kegiatannya. Gua mau orang-orang kenal Airin sebagai pribadinya yang sebenar-benarnya,” lanjutnya.

“Gak klise sih, By, yang namanya cinta pasti gak mandang kapan dan di mana,” jelas lelaki tampan dengan senyuman mata yang menawan itu.

“Vino bener sih,” tambah Nalandra. Ia mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali.

Kemudian, Alby memandang Alvino dan Nalandra bergantian. Pada sepasang manik selegam malam itu tersirat binar yang penuh makna. “Kalian emangnya gak keberatan bantuin gua? Ya, secara ‘kan kalian temen deketnya Farelio dan sekarang gua mau nembak Airin. Kalian gak apa-apa?” tanya Alby serius. Ia mengusap tengkuknya dengan canggung.

“Untuk apa kita keberatan? Farel juga udah mengiyakan keputusan Airin dengan ikhlas. Jadi, gak ada lagi yang Farel sesalkan. Lagian, kalo urusan Farel sama Airin belom selesai, gua sama Alan gak akan ada di sini bantuin lo buat billboard ini untuk Airin,” jelas Alvino.

Mendengarnya, Nalandra kembali menganggukkan kepalanya menyetujui pernyataan yang sahabatnya itu lontarkan. “Bener yang dibilang Vino,” ucapnya.

“Lo bener-bener doang, Lan,” protes Alvino. “Bener kata Raufan kalo lo kerjaannya cuma ngacak-ngacak,” ledeknya.

“Jaga mulut lo, Alvino! Gua yang ujan-ujanan sama Carla kayak orang India buat beliin semua bahan-bahan ini, ya!” pekik Nalandra seraya jari telunjuknya satu per satu mengarah kepada semua kebutuhan yang tergeletak di atas lantai lorong kelas lantai empat.

Melihatnya, Alby hanya dapat tertawa puas. Persahabatan yang terjalin di antara kedua lelaki tampan itu, dan Farelio juga tentunya, dapat dibilang merupakan idaman banyak orang. Bagaimana mereka selalu mendukung satu sama lain serta tidak lupa untuk menegur salah satu dari mereka jika ada yang melakukan kesalahan. Semua itu terjadi sebab ketiganya memiliki rasa yang sama.

Selagi sepasang sahabat itu masih saling adu mulut, Alby membereskan lalu membersihkan semua bahan yang tercecer di sekitar mereka. Pagi ini, jantungnya berdegup jauh lebih kencang serta perutnya dipenuhi oleh kupu-kupu. Ia hampir tidak percaya bahwa hari ini akan datang juga.

“Perhatian! Diberitahukan kepada seluruh siswa dan siswi, guru, serta seluruh staff untuk segera menuju ke lapangan upacara karena sebentar lagi upacara akan segera dimulai. Sekali lagi… Perhatian! Diberitahukan kepada seluruh siswa dan siswi, guru, serta seluruh staff untuk segera menuju ke lapangan upacara karena sebentar lagi upacara akan segera dimulai.”

Terdengar sebuah imbauan yang ditujukan kepada seluruh penghuni sekolah agar menyegerakan diri untuk memenuhi lapangan sekolah sebab sebentar lagi upacara akan dimulai. Dengan begitu, banyak warga sekolah yang berlarian ke arah lapangan rumput terbuka tersebut. Terlihat Arraufan yang melambaikan tangan ke arah Alby, Alvino, serta Nalandra di lantai empat dari dekat podium di lapangan.

“Kalian ke lapangan aja. Upacaranya udah mau mulai tuh,” ujar Alby seraya melipat lembaran kanvas yang lebar itu dengan telaten agar mudah untuk membentangkannya nanti.

“Lo beneran gak apa-apa di sini sendiri, By?” tanya Alvino khawatir. Ia ikut membantu Alby untuk melipat kain besar itu.

“Gak apa-apa, Vin,” jawab Alby. “Lo sama Alan ikut upacara aja,” katanya.

“Kalo ada guru konseling yang iseng ngecek ke setiap kelas gimana?” tanya Nalandra.

“Gak apa-apa, ‘kan ada Raufan. Kalian turun aja biar Airin gak terlalu curiga juga,” jelas Alby.

“Yaudah, kalo gitu gua sama Alan turun, ya, By,” ucap Alvino sembari melayangkan tos yang diikuti oleh Nalandra.

“Good luck, Alby!” ucap Nalandra.

“Thanks, ya,” balas Alby diiringi dengan senyuman.

Perlahan, sepasang punggung lebar itu mulai menghilang dari pandangannya. Selepas kepergian Alvino dan Nalandra, Alby menghirup kemudian menghela napas panjang. Ia mencoba untuk mengatur napasnya sebab apa yang akan ia lakukan sebentar lagi merupakan salah satu peristiwa yang mungkin akan menjadi salah satu sejarah terindah yang pernah tertulis di buku kehidupannya.

“Lo bisa, Alby,” gumam lelaki manis itu menyemangati dirinya sendiri. “Lo ngelakuin ini demi lo dan Airin,” lanjutnya seraya mengepalkan tangannya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Alby tidak mengikuti upacara pagi di hari Senin. Tak lama setelahnya, upacara pun dimulai. Semua peserta upacara mengikutinya dengan khidmat, mulai dari penghormatan kepada pemimpin upacara sampai pengibaran bendera merah putih. Dan tibalah momen yang ditunggu-tunggu, amanat dari pemimpin upacara.

“Ya, Anak-anakku sekalian. Pekan lalu sudah Bapak sampaikan bahwa Ujian Akhir Semester akan dilangsungkan dalam dua minggu ke depan,” ujar Pak Ginandjar, sang Kepala Sekolah.

Bersamaan dengan kalimat yang dilontarkan tersebut, seluruh siswa dan siswi yang menghadiri upacara tersebut bersorak kecewa. Entah mengapa waktu seolah mempermainkan mereka, terutama bagi siswa dan siswi tingkat akhir. Padahal nilai dari hasil Ujian Tengah Semester baru saja keluar.

“Bapak tau ini berat buat kalian. Bapak memohon maaf kepada kalian semua di sekolah kita tercinta ini gak ada Dilan, jadi kalian terpaksa menanggung ujian yang berat ini,” guyon Pak Galih.

Sebagian besar para siswa dan guru tertawa terbahak-bahak menanggapi lelucon yang dilontarkan oleh kepala sekolah mereka dan sebagiannya lagi ada yang menganga sebab lelucon tersebut merupakan ciri khas yang memang dimiliki oleh kebanyakan bapak-bapak di dunia.

“Sebelum Bapak tutup pidato pada pagi hari yang cerah ini, ada beberapa hal yang akan Bapak tekankan kepada anak-anak sekalian. Pertama—” Bahkan belum sempat Pak Ginandjar menyampaikan amanat pertamanya sebelum mengakhiri sesi pidatonya, sesuatu menginterupsi sehingga menyita atensi seluruh warga sekolah.

SRAKKK!

Selembar kain kanvas raksasa tiba-tiba saja muncul di tembok perbatasan lorong kelas di lantai empat. Seluruh kepala yang berada di lapangan saat itu langsung menolehkan pandangan mereka ke arah atas. Banyak dari mereka yang berteriak, khususnya para gadis, dan tidak sedikit juga dari mereka yang bersorak gembira. Intinya, aksi Alby di hari Senin pagi itu didukung sebagian besar dari penghuni sekolah.

“WOY! SWEET BANGET. TOLONG!”

“AIRIN YANG DITEMBAK TAPI GUA YANG JANTUNGNYA MELOROT!”

“MAS CRUSH, APA GAK MAU GINI JUGA KE SAYA?!”

Setidaknya, itulah beberapa kalimat yang terlontar dari beberapa dari banyaknya siswa sekolah menengah tersebut. Pernyataan cinta yang diungkapkan oleh Alby sukses membuat suasana pagi itu menjadi ricuh. Berbeda dengan para siswa, guru-guru yang hadir di sana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Ibu Karmila, selaku Guru Bimbingan Konseling yang sangat memegang teguh profesinya, baru saja akan berlari ke lantai empat saat Arraufan menghentikannya.

“Bu Mila, biar Raufan aja, Bu, yang turun tangan,” ujar lelaki tampan itu.

Di sisi lain, Alvino dan Nalandra melayangkan tos satu sama lain. Keduanya sekarang dapat menghela napas lega sebab rencana besar itu berjalan dengan lancar. Dari kejauhan, sepasang sahabat itu dapat melihat dengan jelas bagaimana Airin bergeming di tempatnya. Pastinya, gadis cantik itu terkejut bukan main.

Di berikutnya, Airin memalingkan pandangannya ke arah Alvino dan Nalandra yang terpaut beberapa barisan darinya. Ia bertanya tanpa bersuara. Alvino mengangkat kedua bahunya sedangkan Nalandra menyuruhnya untuk segera menjawab pertanyaan yang Alby lontarkan padanya melalui kain kanvas besar itu.

“TERIMA! TERIMA! TERIMA!”

Meskipun banyak suara yang mendukung dirinya untuk mengiyakan ajakan berpacaran itu, Airin masih ragu. Bukannya tidak suka, melainkan tindakan lelaki manis penuh humor itu akan menuai banyak protes dari banyak pihak, khususnya para guru. Namun, walaupun begitu, Airin tidak dapat berhenti tersenyum. Setelah sekian lama, ia kembali merasakan bahagia yang amat sangat.

“AIRIN!” teriak Alby dari atas sana.

Mendengarnya, Airin menoleh ke sumber suara. Sepasang manik selegam senjanya menatap langsung ke arah netra lelaki manis yang dalam beberapa waktu terakhir ini selalu mengisi hari-harinya serta menemaninya melewati manis dan pahitnya kehidupan meskipun dari jarak yang cukup terpaut.

“AYO JADI PACAR GUA!” Alby tidak bertanya, melainkan mengajak Airin untuk menjadi pacarnya.

“Dimohon untuk tenang kepada semua siswa dan siswi, terutama para siswi. Bapak tau ini gak sehat dan gak ramah untuk jantung kalian, tapi tolong jangan ribut. Itu Airin belum jawab ajakannya,” ujar Pak Ginandjar. “Bagi yang merasa namanya Airin…,” sang kepala sekolah menggantungkan kalimatnya. “Terima aja, Nak, biar kita cepet selesai upacaranya. Bapak udah kepanasan banget ini.”

Airin tersenyum mendengar Pak Ginandjar berkata demikian kepadanya. Ditambah, dengan suara sorakan yang semakin menggema. Dua pasang manik yang memancarkan rasa sayang dan cinta itu kembali mengadu pandang. Alby juga ikut tersenyum kala wajah cantik itu terlihat sangat berseri hari ini.

Para siswa dan siswa yang berdiri di sekitarnya memusatkan atensi kepada Airin seolah mereka menunggu persetujuan dari pertanyaan yang Alby utarakan padanya. Dalam waktu yang cukup lama, gadis cantik itu berpikir keras sembari menggigit bibir bagian bawahnya. Kemudian, dalam diamnya, Airin mengangguk pelan.

“DITERIMA WOY DITERIMA!”

“COUPLE OF THE YEAR!”

“KALO PROM WAJIB JADI KING SAMA QUEEN!”

Teriakan yang pro akan peristiwa yang terjadi hari ini semakin menjadi-jadi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kericuhan manis seperti ini terjadi di lingkungan sekolah menengah atas tersebut.

Dan begitulah, hari pertama bagi Airin dan Alby dalam menjalani hari sebagai sepasang kekasih. Setelah mengalami naik dan turun, manis dan pahit, serta bahagia dan sedih yang semesta berikan pada mereka, akhirnya keduanya memutuskan untuk bersama.