“Masuk, Ji,” ujar Ranindya pada adik tingkat kesayangannya itu.
“Kakak gak kedinginan apa pake baju pendek gitu? Tipis lagi,” protes Jioraldo sembari mengekori kekasihnya untuk melengang masuk ke dalam rumah besar nan mewah itu.
“Aku ‘kan tadi udah mau tidur, Ji,” jawab Ranindya. “Terus denger suara klakson motor kamu,” lanjutnya.
“Kak Ranie emang kalo tidur pake baju minim gini, ya?” tanya Jioraldo penasaran. Sepasang manik minimalisnya menelisik pada tubuh mungil yang memunggunginya, mulai dari kepala sampai kaki sang kekasih.
Kini, keduanya tengah berada di sekitaran dapur. Ranindya mengarahkan langkahnya menuju lemari pendingan sedangkan kekasih tercintanya berdiri di belakangnya sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Mendengar pertanyaan yang terlontar dari lelaki manis nan menggemaskan itu, Ranindya menghela napas panjang. Ia menghentikan kegiatannya dari memilah dan memilih makanan yang tersedia di dalam kulkasnya untuk kemudian berbalik menghadap adik tingkatnya yang berdiri tak jauh dari sana.
“Ketauan kamu, Ji. Apa gunanya kita facetime tiap malem? Ternyata kamu gak perhatiin aku,” protes gadis cantik itu.
Jioraldo, lelaki setinggi tiang bendera itu sempat tersentak. Ia sadar ada sinyal berbahaya yang tertangkap pada radarnya. Tak kehilangan akal, ia berjalan menghampiri kekasihnya yang kini tengah berusaha keras untuk meraih sepasang cangkir dari rak paling tinggi yang ada di dapur tersebut.
“Ih, Kak Ranie. Kok marah?” tanya Jioraldo dengan nada serupa anak kecil. Ia menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher kekasihnya. Kedua tangannya juga bergerak merengkuh tubuh kecil Ranindya dari belakang. Ah, seperti masa lalu, ya. “Jio tuh bukannya gak perhatiin Kakak. Tapi ‘kan Kakak setiap facetime sama Jio lebih sering buka baju. Jadi, Jio mana paham kalo Kakak selalu pake baju tipis kalo mau tidur. Jangan marah, ya, Kak. Hm?” ujarnya.
Ranindya, gadis cantik itu membeku di tempatnya. Bagaimana tidak, sepasang lengan kekar yang memeluk erat tubuhnya disertai dengan bias suara yang tiba-tiba saja berubah menjadi sedalam palung. Jika Jioraldo tidak cekatan, mungkin cangkir kaca berwarna putih itu sekarang sudah pecah dan berserakan di atas lantai.
“Ih, Jio! Panas tau. Lepasin dulu,” elak Ranindya. Ia sukses dibuat salah tingkah oleh adik tingkat yang seperti memiliki dua kepribadian itu.
Jioraldo hanya dapat terkekeh melihat wajah cantik kesukaannya itu berubah menjadi semerah kepiting rebus. “Kakak Ranie kesayangannya Jio…,” ujarnya menggantung. “Cantik,” lanjutnya seraya mengusap pelan pucuk kepala mungil itu untuk kemudian menumpukan kepalanya di atas sana.
Mendengarnya, hati gadis cantik itu menghangat. Ia ikut melingkarkan tangannya pada tubuh kekar nan tinggi di hadapannya. Ranindya menelusupkan wajahnya pada dada bidang sang kekasih. Melihatnya, Jioraldo terkekeh. Untuk sementara waktu, keduanya masih nyaman pada posisi masing-masing.
“Ji,” panggil Ranindya memecah keheningan.
“Iya, Kak,” balas Jioraldo lembut.
“Maskeran, yuk!” ajak gadis cantik itu semangat. Ranindya mengangkat pandangannya ke arah Jioraldo agar dapat melihat wajah tampan itu dengan jelas.
Sejenak, kening lelaki manis itu mengernyit. “Maskeran?” tanyanya heran.
“Iya. Minggu ini kamu banyak praktek di luar ruangan ‘kan? Mukamu jadi kering gini,” ujar Ranindya sembari mengusap pelan kedua pipi tirus Jioraldo.
Jioraldo menangkup tangan yang mengelus wajahnya lembut itu. Kemudian, dikecupnya punggung tangan mungil tersebut. “Boleh, Kak. Ayo!” ucapnya tak kalah bersemangat.
Setelah memilih sheet mask yang diinginkan, keduanya melengang ke arah ruang televisi. Di atas sofa empuk berwarna merah itu, Ranindya dan Jioraldo bergantian memasangkan lembaran masker lembab itu ke wajah satu sama lain.
“Ih, Kak! Dingin banget,” keluh lelaki manis itu.
“Jio jangan banyak gerak. Nanti maskernya gak pas,” balas Ranindya.
“Ini emang basah gini, ya, Kak?” tanya Jioraldo polos. Ia menepuk-nepuk wajahnya yang dilapisi selembar kertas lembap itu.
“Jangan dipegang, Ji. Dipijit pelan aja, biar serum-nya masuk ke pori-pori,” jelas gadis cantik itu.
Tidak ada jawaban yang terdengar. Walaupun begitu, Jioraldo mengikuti perintah yang diberikan oleh seniornya. Sementara itu, Ranindya sibuk merebahkan dirinya di atas sofa seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang maniknya menutup erat. Di sisi lain, Jioraldo setelah puas dengan rasa penasarannya, kini beralih memandang lamat ke arah kirinya, pada gadis cantik kesayangannya.
“Kamu mau ngapain, Ji?” ucap Ranindya masih dengan mata yang terpejam.
Jioraldo hendak menyentuh kening gadisnya yang dilapisi masker kala indera keenam kekasihnya itu menangkap pergerakannya. Ia hanya dapat terkekeh. “Enggak, Kak, enggak,” katanya.
“Tunggu 20 menit, abis itu baru boleh dilepas maskernya,” jelas Ranindya.
“Oke, Kakak Cantik,” balas Jioraldo. Kemudian, lelaki manis itu ikut merebahkan dirinya di atas sofa di sebelah sang kekasih.
Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Baik Ranindya maupun Jioraldo, terhanyut dalam atmosfer yang menenangkan. Hanya ada suara instrumen lagu yang mengalun lembut dari pengeras suara yang ada. Setidaknya, sampai lelaki manis itu kembali berkata.
“Kak Ranie,” panggil Jioraldo.
Tidak memiliki tenaga lebih untuk menjawab, yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat. “Apa, Ji?” tanya Ranindya.
“Kakak Ranie-nya kesayangan Jio,” ujarnya lagi.
“Iya, Jioraldo Sayang. Kenapa?” balas gadis cantik itu.
“Kakak Ranieee,” panggil lelaki manis itu tiada henti.
Bertepatan dengan selesainya waktu masker wajah tersebut, Ranindya menyingkirkan lembaran tersebut dari wajahnya. Berikutnya, gadis cantik itu melakukan hal serupa pada lelaki manis yang duduk di samping kanannya. “Apa, Jioraldo Ganteng?” jawabnya sembari menatap intens pada wajah tampan kesukaannya.
Melihatnya, Jioraldo tersenyum manis. Sepasang manik selegam malamnya hilang seketika simpul itu muncul pada wajahnya. Ia tertawa pelan. “Gak apa-apa. Cuma pengen manggil Kakak aja,” jelasnya.
Ranindya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali seraya terkekeh. Menurutnya, ada-ada saja tingkah lucu nan menggemaskan dari kekasih tercintanya ini. Ranindya baru saja akan membuang sisa-sisa masker yang mereka gunakan barusan kala sebelah lengan kekar menghentikan pergerakannya.
“Kenapa, Ji?” tanya Ranindya sedikit tercekat.
“Kakak di sini aja, jangan ke mana-mana, temenin Jio,” ujar Jioraldo.
Di detik berikutnya, yang terjadi adalah Jioraldo memangkas jarak antara dirinya dan sang kekasih. Perlahan namun pasti, belahan ranum itu menyambut belahan ranum lainnya. Dua pasang bibir yang saling merindukan itu kembali bertemu. Ranindya mengalungkan lengannya pada bahu lebar Jioraldo. Sementara itu, Jioraldo melingkarkan tangannya pada pinggang mungil Ranindya.
Ciuman yang berlangsung di antara keduanya kian memanas kala lelaki manis itu dengan telaten menidurkan kekasihnya di atas sofa. Sebelah tangannya ia letakkan di belakang kepala sang gadis dan tangan lainnya ia gunakan untuk menangkup dagu gadisnya. Di sisi lain, gadis cantik yang terkungkung di bawah sang junior terus mengusap tengkuk lalu kepala bagian belakangnya.
Sejenak, Jioraldo menyudahi acara bertukar saliva dengan Ranindya. “Aku baru sadar rumahnya Kak Ranie ada kolam renangnya. Jio gendong ke situ. Mau, ya?” tanya lelaki manis itu lembut.