promulgation
“Aduh! Ini kenapa berantakan banget sih?! Diberesin dong, Lan, alat-alat yang gak kepake,” keluh Arraufan.
Di hari Senin pagi sembari ditemani angin yang berhembus pelan serta kicauan burung yang merdu, terlihat empat orang lelaki tampan tengah sibuk menyiapkan sesuatu hal yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara Senin pagi hari ini. Ah, apakah benar semua keperluan ini dimaksudkan untuk acara rutin setiap awal pekan tersebut? Sepertinya, tidak.
Yudha Arraufan, sang ketua organisasi sekolah, sedari satu jam yang lalu tidak patah semangat untuk mengoceh dan mengomeli teman-teman seangkatannya. Keempatnya, Alby, Alvino, Nalandra, dan juga Arraufan, bahkan sudah hadir di sekolah mereka tercinta sejak pukul enam pagi. Tentunya, hal itu dilakukan demi keberlangsungan agenda yang sudah direncanakan sebelumnya.
“Kok gua doang sih?! Suruh Vino sama Alby juga dong. Mereka ‘kan juga ikut ngeberantakin,” bantah Nalandra.
“Enggak. Lo doang yang dari tadi kerjaannya cuma ngacak-ngacak,” balas Arraufan seraya menunjuk-nunjuk salah satu anggota sekolahnya, Nalandra.
“Sialan,” umpat Nalandra. “Pantes lo jadi ketos, ya, Fan. Asli mulut lo kayak gak ada capeknya buat ngoceh,” sambung lelaki tampan penuh humor itu.
“Gak ada terima kasihnya banget, ya, gua liat-liat. Kalian udah gua back up biar gak ketauan sama guru konseling malah protes terus,” bantah sang ketua tak mau kalah.
Keempat lelaki tampan itu memiliki tugas yang berbeda-beda. Alvino, Nalandra, dan Arraufan berada di divisi menggambar dan desain hiasan untuk ditempelkan di atas kanvas berukuran sangat besar itu. Sementara itu, Alby dikhususkan untuk merangkai huruf demi huruf agar menjadi satu kesatuan kalimat.
“Nanti kita beresin kok, Fan, tenang aja,” ujar Alvino menengahi perdebatan di antara kedua temannya.
“Iya, Fan. Lo tenang aja. Bakal diberesin kok nanti,” tambah Alby sembari menatap Arraufan yang berkacak pinggang di hadapan Nalandra. “Sama Alan,” guraunya diiringi tertawaan.
Setelah Nalandra puas membangkitkan api amarah yang sudah tertanam di dalam diri Arraufan sejak lahir, lelaki tampan yang sering memenangkan medali olimpiade matematika dan sains itu mulai mereda sebab kehadiran Alby dan Alvino. Ya, walaupun tidak jarang Arraufan ingin sekali mendorong sahabat terdekat Alvino itu dari lantai empat.
“Udah jam segini. Gua tinggal gak apa-apa, ya? Soalnya gua mau briefing sama anak-anak sebelom upacara,” jelas Arraufan seraya melirik ke arah jam tangan kulit yang melingkar di tangan kirinya.
“Iya, Fan. Kita ditinggal aja gak apa-apa,” jawab Alvino.
“Gak apa-apa, Fan. Sekali lagi makasih, ya, udah mau direpotin,” ujar Alby.
Setelah meminta izin, lelaki tampan itu langsung meninggalkan tempat kejadian perkara. “Good luck, Alby! Semoga lo diterima!” ujar Arraufan sedikit berteriak sembari berlarian kecil menuruni tangga.
Berkat kerjasama serta koordinasi yang baik dan kompak yang terjalin di antara keempat lelaki itu, mahakarya yang ditunggu-tunggu akhirnya selesai juga. Alvino dan Nalandra menggenggam tiap ujung lembaran kanvas raksasa tersebut untuk kemudian membentangkannya. Di permukaan kain itu terlihat jelas pernyataan yang mengandung pengakuan cinta.
Ya, Alby akan menyatakan cintanya kepada Airin hari ini. Di hadapan seluruh siswa, guru, dan semua staff sekolah menengah atas tersebut selagi upacara di Senin pagi sedang berlangsung, lelaki manis tersebut sudah membulatkan tekadnya untuk menjadikan gadis cantik dambaannya itu menjadi kekasihnya.
Nalandra menghimpit ujung kain kanvas tersebut seraya bertepuk tangan. “Woah!” teriaknya. “Gua beneran gak kepikiran lo bakal nembak Airin pake ginian, By,” ujarnya.
“Lo kepikiran ide kayak gini dari mana, By?” tanya Alvino penasaran.
Sejenak, Alby bergumul dengan pikirannya. Ia mengetuk-ngetuk pelan dagunya yang lancip lalu perlahan simpul manisnya muncul. “Airin itu selalu sembunyi,” kata Alby. “Gua gak mau ngeliat Airin sembunyi lagi, baik dari orang lain maupun dari dirinya sendiri. Ya, mungkin kedengeran agak klise sih tapi Airin emang udah narik perhatian gua dari awal kita ketemu sampe pada akhirnya gua penasaran sama semua kegiatannya. Gua mau orang-orang kenal Airin sebagai pribadinya yang sebenar-benarnya,” lanjutnya.
“Gak klise sih, By, yang namanya cinta pasti gak mandang kapan dan di mana,” jelas lelaki tampan dengan senyuman mata yang menawan itu.
“Vino bener sih,” tambah Nalandra. Ia mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali.
Kemudian, Alby memandang Alvino dan Nalandra bergantian. Pada sepasang manik selegam malam itu tersirat binar yang penuh makna. “Kalian emangnya gak keberatan bantuin gua? Ya, secara ‘kan kalian temen deketnya Farelio dan sekarang gua mau nembak Airin. Kalian gak apa-apa?” tanya Alby serius. Ia mengusap tengkuknya dengan canggung.
“Untuk apa kita keberatan? Farel juga udah mengiyakan keputusan Airin dengan ikhlas. Jadi, gak ada lagi yang Farel sesalkan. Lagian, kalo urusan Farel sama Airin belom selesai, gua sama Alan gak akan ada di sini bantuin lo buat billboard ini untuk Airin,” jelas Alvino.
Mendengarnya, Nalandra kembali menganggukkan kepalanya menyetujui pernyataan yang sahabatnya itu lontarkan. “Bener yang dibilang Vino,” ucapnya.
“Lo bener-bener doang, Lan,” protes Alvino. “Bener kata Raufan kalo lo kerjaannya cuma ngacak-ngacak,” ledeknya.
“Jaga mulut lo, Alvino! Gua yang ujan-ujanan sama Carla kayak orang India buat beliin semua bahan-bahan ini, ya!” pekik Nalandra seraya jari telunjuknya satu per satu mengarah kepada semua kebutuhan yang tergeletak di atas lantai lorong kelas lantai empat.
Melihatnya, Alby hanya dapat tertawa puas. Persahabatan yang terjalin di antara kedua lelaki tampan itu, dan Farelio juga tentunya, dapat dibilang merupakan idaman banyak orang. Bagaimana mereka selalu mendukung satu sama lain serta tidak lupa untuk menegur salah satu dari mereka jika ada yang melakukan kesalahan. Semua itu terjadi sebab ketiganya memiliki rasa yang sama.
Selagi sepasang sahabat itu masih saling adu mulut, Alby membereskan lalu membersihkan semua bahan yang tercecer di sekitar mereka. Pagi ini, jantungnya berdegup jauh lebih kencang serta perutnya dipenuhi oleh kupu-kupu. Ia hampir tidak percaya bahwa hari ini akan datang juga.
“Perhatian! Diberitahukan kepada seluruh siswa dan siswi, guru, serta seluruh staff untuk segera menuju ke lapangan upacara karena sebentar lagi upacara akan segera dimulai. Sekali lagi… Perhatian! Diberitahukan kepada seluruh siswa dan siswi, guru, serta seluruh staff untuk segera menuju ke lapangan upacara karena sebentar lagi upacara akan segera dimulai.”
Terdengar sebuah imbauan yang ditujukan kepada seluruh penghuni sekolah agar menyegerakan diri untuk memenuhi lapangan sekolah sebab sebentar lagi upacara akan dimulai. Dengan begitu, banyak warga sekolah yang berlarian ke arah lapangan rumput terbuka tersebut. Terlihat Arraufan yang melambaikan tangan ke arah Alby, Alvino, serta Nalandra di lantai empat dari dekat podium di lapangan.
“Kalian ke lapangan aja. Upacaranya udah mau mulai tuh,” ujar Alby seraya melipat lembaran kanvas yang lebar itu dengan telaten agar mudah untuk membentangkannya nanti.
“Lo beneran gak apa-apa di sini sendiri, By?” tanya Alvino khawatir. Ia ikut membantu Alby untuk melipat kain besar itu.
“Gak apa-apa, Vin,” jawab Alby. “Lo sama Alan ikut upacara aja,” katanya.
“Kalo ada guru konseling yang iseng ngecek ke setiap kelas gimana?” tanya Nalandra.
“Gak apa-apa, ‘kan ada Raufan. Kalian turun aja biar Airin gak terlalu curiga juga,” jelas Alby.
“Yaudah, kalo gitu gua sama Alan turun, ya, By,” ucap Alvino sembari melayangkan tos yang diikuti oleh Nalandra.
“Good luck, Alby!” ucap Nalandra.
“Thanks, ya,” balas Alby diiringi dengan senyuman.
Perlahan, sepasang punggung lebar itu mulai menghilang dari pandangannya. Selepas kepergian Alvino dan Nalandra, Alby menghirup kemudian menghela napas panjang. Ia mencoba untuk mengatur napasnya sebab apa yang akan ia lakukan sebentar lagi merupakan salah satu peristiwa yang mungkin akan menjadi salah satu sejarah terindah yang pernah tertulis di buku kehidupannya.
“Lo bisa, Alby,” gumam lelaki manis itu menyemangati dirinya sendiri. “Lo ngelakuin ini demi lo dan Airin,” lanjutnya seraya mengepalkan tangannya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Alby tidak mengikuti upacara pagi di hari Senin. Tak lama setelahnya, upacara pun dimulai. Semua peserta upacara mengikutinya dengan khidmat, mulai dari penghormatan kepada pemimpin upacara sampai pengibaran bendera merah putih. Dan tibalah momen yang ditunggu-tunggu, amanat dari pemimpin upacara.
“Ya, Anak-anakku sekalian. Pekan lalu sudah Bapak sampaikan bahwa Ujian Akhir Semester akan dilangsungkan dalam dua minggu ke depan,” ujar Pak Ginandjar, sang Kepala Sekolah.
Bersamaan dengan kalimat yang dilontarkan tersebut, seluruh siswa dan siswi yang menghadiri upacara tersebut bersorak kecewa. Entah mengapa waktu seolah mempermainkan mereka, terutama bagi siswa dan siswi tingkat akhir. Padahal nilai dari hasil Ujian Tengah Semester baru saja keluar.
“Bapak tau ini berat buat kalian. Bapak memohon maaf kepada kalian semua di sekolah kita tercinta ini gak ada Dilan, jadi kalian terpaksa menanggung ujian yang berat ini,” guyon Pak Galih.
Sebagian besar para siswa dan guru tertawa terbahak-bahak menanggapi lelucon yang dilontarkan oleh kepala sekolah mereka dan sebagiannya lagi ada yang menganga sebab lelucon tersebut merupakan ciri khas yang memang dimiliki oleh kebanyakan bapak-bapak di dunia.
“Sebelum Bapak tutup pidato pada pagi hari yang cerah ini, ada beberapa hal yang akan Bapak tekankan kepada anak-anak sekalian. Pertama—” Bahkan belum sempat Pak Ginandjar menyampaikan amanat pertamanya sebelum mengakhiri sesi pidatonya, sesuatu menginterupsi sehingga menyita atensi seluruh warga sekolah.
SRAKKK!
Selembar kain kanvas raksasa tiba-tiba saja muncul di tembok perbatasan lorong kelas di lantai empat. Seluruh kepala yang berada di lapangan saat itu langsung menolehkan pandangan mereka ke arah atas. Banyak dari mereka yang berteriak, khususnya para gadis, dan tidak sedikit juga dari mereka yang bersorak gembira. Intinya, aksi Alby di hari Senin pagi itu didukung sebagian besar dari penghuni sekolah.
“WOY! SWEET BANGET. TOLONG!”
“AIRIN YANG DITEMBAK TAPI GUA YANG JANTUNGNYA MELOROT!”
“MAS CRUSH, APA GAK MAU GINI JUGA KE SAYA?!”
Setidaknya, itulah beberapa kalimat yang terlontar dari beberapa dari banyaknya siswa sekolah menengah tersebut. Pernyataan cinta yang diungkapkan oleh Alby sukses membuat suasana pagi itu menjadi ricuh. Berbeda dengan para siswa, guru-guru yang hadir di sana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Ibu Karmila, selaku Guru Bimbingan Konseling yang sangat memegang teguh profesinya, baru saja akan berlari ke lantai empat saat Arraufan menghentikannya.
“Bu Mila, biar Raufan aja, Bu, yang turun tangan,” ujar lelaki tampan itu.
Di sisi lain, Alvino dan Nalandra melayangkan tos satu sama lain. Keduanya sekarang dapat menghela napas lega sebab rencana besar itu berjalan dengan lancar. Dari kejauhan, sepasang sahabat itu dapat melihat dengan jelas bagaimana Airin bergeming di tempatnya. Pastinya, gadis cantik itu terkejut bukan main.
Di berikutnya, Airin memalingkan pandangannya ke arah Alvino dan Nalandra yang terpaut beberapa barisan darinya. Ia bertanya tanpa bersuara. Alvino mengangkat kedua bahunya sedangkan Nalandra menyuruhnya untuk segera menjawab pertanyaan yang Alby lontarkan padanya melalui kain kanvas besar itu.
“TERIMA! TERIMA! TERIMA!”
Meskipun banyak suara yang mendukung dirinya untuk mengiyakan ajakan berpacaran itu, Airin masih ragu. Bukannya tidak suka, melainkan tindakan lelaki manis penuh humor itu akan menuai banyak protes dari banyak pihak, khususnya para guru. Namun, walaupun begitu, Airin tidak dapat berhenti tersenyum. Setelah sekian lama, ia kembali merasakan bahagia yang amat sangat.
“AIRIN!” teriak Alby dari atas sana.
Mendengarnya, Airin menoleh ke sumber suara. Sepasang manik selegam senjanya menatap langsung ke arah netra lelaki manis yang dalam beberapa waktu terakhir ini selalu mengisi hari-harinya serta menemaninya melewati manis dan pahitnya kehidupan meskipun dari jarak yang cukup terpaut.
“AYO JADI PACAR GUA!” Alby tidak bertanya, melainkan mengajak Airin untuk menjadi pacarnya.
“Dimohon untuk tenang kepada semua siswa dan siswi, terutama para siswi. Bapak tau ini gak sehat dan gak ramah untuk jantung kalian, tapi tolong jangan ribut. Itu Airin belum jawab ajakannya,” ujar Pak Ginandjar. “Bagi yang merasa namanya Airin…,” sang kepala sekolah menggantungkan kalimatnya. “Terima aja, Nak, biar kita cepet selesai upacaranya. Bapak udah kepanasan banget ini.”
Airin tersenyum mendengar Pak Ginandjar berkata demikian kepadanya. Ditambah, dengan suara sorakan yang semakin menggema. Dua pasang manik yang memancarkan rasa sayang dan cinta itu kembali mengadu pandang. Alby juga ikut tersenyum kala wajah cantik itu terlihat sangat berseri hari ini.
Para siswa dan siswa yang berdiri di sekitarnya memusatkan atensi kepada Airin seolah mereka menunggu persetujuan dari pertanyaan yang Alby utarakan padanya. Dalam waktu yang cukup lama, gadis cantik itu berpikir keras sembari menggigit bibir bagian bawahnya. Kemudian, dalam diamnya, Airin mengangguk pelan.
“DITERIMA WOY DITERIMA!”
“COUPLE OF THE YEAR!”
“KALO PROM WAJIB JADI KING SAMA QUEEN!”
Teriakan yang pro akan peristiwa yang terjadi hari ini semakin menjadi-jadi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kericuhan manis seperti ini terjadi di lingkungan sekolah menengah atas tersebut.
Dan begitulah, hari pertama bagi Airin dan Alby dalam menjalani hari sebagai sepasang kekasih. Setelah mengalami naik dan turun, manis dan pahit, serta bahagia dan sedih yang semesta berikan pada mereka, akhirnya keduanya memutuskan untuk bersama.