Di malam yang anginnya terasa dingin nan menusuk hari ini, di bawah bentangan langit yang dihiasi gemerlap bintang, terlihat sepasang kekasih tengah bermesraan di tepi kolam renang yang berisikan air hangat. Ranindya dan Jioraldo sedang bersantai di sana. Jioraldo, lelaki manis itu merangkul kekasihnya dengan sangat erat sementara Ranindya dengan nyaman menyandarkan kepalanya di bahu lebar sang kekasih.

Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Sepertinya, baik Ranindya maupun Jioraldo, terlalu hanyut dalam atmosfer menenangkan yang menyelimuti mereka. Berbeda dengan Jioraldo yang kepalanya menengadah ke arah langit malam, Ranindya memusatkan pandangannya pada pantulan wajahnya di permukaan air di kolam renangnya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya cemas.

“Gendut banget,” gumam gadis cantik itu.

Mendengar ada suara merdu yang berbisik, Jioraldo mengalihkan pandangannya ke arah Ranindya. “Kakak bilang apa?” tanyanya.

“Enggak, Ji, gak apa-apa kok,” jawab Ranindya sembari menggelengkan kepalanya..

Sepasang manik selegam malam itu menyipit. “Kakak jangan bohong, ya. Jio denger Kak Ranie bilang sesuatu,” sergah lelaki manis itu. “Ayo bilang sama Jio,” lanjutnya.

Ranindya tersenyum sebab ulah sang kekasih yang dirasa sangat menggemaskan itu. Sejenak, ia tenggelam dalam heningnya malam. “Liat deh, Ji, ke situ,” ujarnya seraya menunjuk permukaan air kolam yang memancarkan wajahnya. “Aku gendutan. Aku jadi punya double chin. Pipi aku juga jadi lebih tembem. Kayaknya aku harus diet deh,” jelas Ranindya.

Dengan begitu, Jioraldo menatap wajah gadisnya dengan lamat. Diperhatikannya setiap inci dari pahatan Tuhan yang paling indah yang pernah ditemuinya. Berbeda dengan Ranindya, lelaki manis itu menentang kalimatnya barusan. Jioraldo tidak melihat adanya dagu lancip yang menggembung atau sepasang pipi yang bertambah besar.

“Enggak, ah, Kak,” ucap Jioraldo. “Kakak masih sama kayak terakhir kali ketemu Jio,” sambungnya.

Ranindya menghela napas panjang. “Kita terakhir kali ketemu hampir sepuluh hari yang lalu, Ji. Dari hari itu, aku udah naik hampir 3 kilogram,” jelas gadis cantik.

“Ah, masa? Kak Ranie gak keliatan gendutan tuh,” bantah Jioraldo lagi.

“Jangan bohong deh. Aku dari kemaren ngaca tuh keliatan banget. Aku pokoknya mau diet,” rengek Ranindya sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

“Coba sini deketan sama Jio,” pinta Jioraldo. “Jio mau liat yang mana yang gendutan,” tambahnya.

Mendengarnya, Ranindya menghadapkan tubuhnya ke arah Jioraldo. “Ini sama ini,” ucapnya seraya menunjuk pada salah satu bagian di bawah dagunya kemudian sepasang pipinya.

“Udah itu aja?” tanya Jioraldo.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya, yang paling keliatan dua itu,” jelasnya.

Sepasang manik selegam malam itu menelisik bagian dagu lalu pipi kekasihnya untuk kemudian mengangguk paham. “Oke,” ujarnya.

“Keliatan ‘kan, Ji? Besok aku mau—” Belum sempat Ranindya merampungkan pemaparannya, lelaki manis kembali memangkas jarak di antara mereka.

Dengan ganas, Jioraldo mengecup lalu sesekali menjilat dagu dan sepasang pipi yang diduga menjadi alasan mengapa gadisnya merasa murung akhir-akhir ini. Entah apa yang membuat Ranindya tidak begitu percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang sedemikian rupa indahnya, menurut Jioraldo.

Tentunya, lelaki manis itu tidak suka saat Ranindya terus-terusan membahas salah satu bagian tubuhnya yang dirasa tidak memenuhi kriterianya. Jioraldo berani bersumpah bahwa kakak tingkatnya ini memiliki bentuk tubuh dan wajah paling cantik yang pernah ia lihat. Ranindya saja yang menetapkan standar dan kriteria tidak masuk akal kepada dirinya sendiri.

“Nghh, Ji,” lenguh Ranindya saat lidah juniornya itu terasa menggelitik di bagian lehernya.

Dengan begitu, lelaki manis itu baru mau melepaskan ciuman liarnya. “Udah? Mana lagi bagian tubuh Kakak yang Kakak gak suka, biar Jio benerin,” ujar lelaki manis itu serius.

Mendengarnya, Ranindya mengumpat dalam hatinya. Di momen seperti ini, kekasihnya yang menggemaskan itu masih bisa saja bermain intim. Ranindya memejamkan maniknya sembari menghela napas panjang. “Jio, aku serius,” ucapnya.

“Jio juga serius, Kak,” sela Jioraldo.

“Kamu paham gak sih rasanya jadi aku, Ji? Aku bahkan gak berani liat ke cermin atau nimbang di atas scale karena kepalang takut sama apa yang aku liat. Kalo boleh jujur, aku cemburu, Ji. Selama kamu ujian praktek di luar ruangan, banyak cewek yang ngeliatin kamu dan….” Ranindya sengaja menggantungkan kalimatnya. “Mereka cantik-cantik semua, Ji,” lirihnya.

Tidak seperti biasanya, sepasang manik selegam senja kesukaan Jioraldo itu tidak memancarkan binar indahnya malam ini. Pancaran netra yang biasanya membuatnya tenang itu kali ini mengekspresikan kekecewaan. Serupa dengan Ranindya, Jioraldo juga merasakan sedih yang teramat sangat. Ia tidak tahu bahwa kekasihnya ini merasa demikian.

Sepasang bahu sempit itu bergetar lalu suara isakan mulai terdengar. Ranindya menangis sebab kemalangan yang menimpa dirinya. “Aku takut kamu tinggalin aku, Ji,” ujarnya pelan.

Mendengarnya, dengan cepat, sebelah tangan kekar itu bergerak menarik sang gadis agar masuk ke dalam dekapannya. Jioraldo menghela napas saat indera pendengarannya menangkap kalimat menyeramkan yang diucapkan gadisnya. Ranindya yang diperlakukan seperti itu semakin semangat untuk menumpahkan air mata kesedihannya.

“Kakak kenapa mikir gitu? Jio gak mungkin ninggalin Kakak. Jio ‘kan sayangnya cuma sama Kak Ranie,” jelas Jioraldo seraya mengusap pucuk gadisnya.

Tidak ada jawaban yang terdengar setelah lelaki manis itu berkata demikian. Hanya ada suara tangisan serta air mata yang membasahi pakaiannya. Jioraldo mengerucutkan bibirnya. Ada rasa bersalah dan sedikit penyesalan yang terbesit di hatinya. Ia bahkan tidak tahu selama bahwa selama masa ujian banyak mahasiswi yang memperhatikan gerak-geriknya.

“Kak Ranie Cantik…,” ucap Jioraldo. “Udahan dong nangisnya, Jio jadi ikut sedih nih,” sambungnya.

Lagi, gadis cantik itu tidak merespon kalimatnya. Jioraldo tahu bahwa kakak tingkatnya itu sedang sangat emosional malam ini. Namun, ia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Alhasil, lelaki manis itu lebih memilih untuk menunggu sampai tangis gadisnya reda. Sedari tadi, tangannya tidak berhenti mengusap dan mengelus lembut pucuk serta punggung Ranindya.

Tak lama kemudian, Ranindya menyudahi tangisannya, tetapi napasnya masih tercekat. Jioraldo tersenyum manis saat mendengar tidak ada lagi tangisan yang mengalun. Kini, tangannya kembali bergerak menangkup sepasang pipi chubby kesukaannya. Ditatapnya manik yang digenangi air mata itu.

“Udah nangisnya, Kak?” tanya Jioraldo.

Ranindya tidak mampu menjawab dengan lisannya sehingga ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dalam waktu yang lama, dua pasang itu saling bertemu seolah melepaskan rasa rindu yang ada di dalam relung masing-masing.

Jioraldo dapat melihat dengan jelas kekhawatiran yang terpancar dari netra kakak tingkatnya dan Ranindya juga dapat melihat dengan jelas ketulusan yang terpancar dari netra adik tingkatnya. Di detik selanjutnya yang terjadi adalah Jioraldo mengecup hangat kening Ranindya.

“Kak,” panggil Jio setelah melepaskan ciumannya. “Kalo ada apa-apa cerita, ya. Jio gak tau kalo Kakak gak cerita. Maafin Jio kalo Jio belum bisa sepeka itu sama Kakak. Jio berani sumpah, Kak, kalo Jio bener-bener gak tau kalo kemaren pas ujian banyak cewek yang ngeliatin Jio soalnya Jio terlalu fokus sama ujian prakteknya biar cepet selesai terus bisa cepet ketemu sama Kak Ranie,” jelasnya.

Bak ilmu hitam, dengan ajaib penjelasan yang disertai dengan bariton yang menyeruak ke dalam indera pendengarannya membuat hatinya menjadi tenang. Tidak ada lagi kecemasan yang bersarang di hatinya. Kalimat yang dilontarkan Jioraldo barusan seolah mengandung obat penenang. Juga, Ranindya ingin mempercayai kata-kata kekasihnya itu.

“Kak Ranie bisa cari Jio kapanpun kalo lagi pengen cerita. Jio pasti dengerin kok,” tambah lelaki manis itu.

Mendengarnya, Ranindya tersenyum lebar. Jioraldo, lelaki manis dengan wajah serupa anak kecil itu selalu saja memiliki cara untuk menyenangkan kekasihnya, mulai dari perkara emosional seperti ini sampai masalah kepuasan secara intimasi. Jioraldo adalah bentuk paket lengkap yang Ranindya butuhkan.

“Iya, Ji,” kata Ranindya. “Maafin aku, ya, gak cerita sama kamu dan tiba-tiba nangis terus nyalahin kamu,” jelasnya.

“Iya, Kak Ranie, gak apa-apa kok,” balas lelaki manis itu.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Sepasang kekasih itu sibuk memandang wajah pasangannya masing-masing sembari melempar senyum terindah yang mereka dapat beri. Tentu saja, komunikasi merupakan sebuah kunci dalam suatu hubungan. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan membawa pasangan mana pun ke dalam hubungan yang terbuka.

“Kak Ranie,” panggil Jio lagi.

“Apa, Ji?” balas Ranindya.

“Tapi setelah dipikir-pikir, Jio emang ganteng sih,” guyon Jioraldo. “Jadi, wajar aja kalo banyak cewek-cewek yang suka sama Jio. Kak Ranie juga suka sama Jio dari pandangan pertama ‘kan?” ledeknya.

“Ih, Jio! Kamu rese banget,” protes Ranindya sembari memukul pelan dada bidang di hadapannya.

Jioraldo yang merasa gemas dengan tingkah gadisnya itu tertawa puas. “Nah, gitu dong! Kalo Kakak ketawa ‘kan cantiknya jadi bertambah,” gombalnya.

“Dih! Bisa aja nih anak kecil ngomongnya,” sarkas Ranindya.

Di sela-sela percakapan itu, tiba-tiba saja otak lelaki manis itu memunculkan ide cemerlang. Tentunya, setelah kejadian menyedihkan tadi, di mana kekasihnya merasa cemburu dan memiliki ketakutan bahwa ia mungkin saja berpaling dengan gadis cantik lainnya, Jioraldo harus meyakinkan bahwa hal itu tidak akan terjadi.

“Kak Ranie. Mau Jio kasih tau sesuatu gak?” tanya Jioraldo seraya mendekatkan wajahnya kepada Ranindya.

Ranindya yang merasa tertarik mengiyakan ajakan adik tingkatnya itu. “Apaan tuh, Ji?” balasnya penasaran.

“Jio mau kasih Kakak pembuktian,” ujarnya.

“Pembuktian?” tanya gadis cantik itu heran.

“Iya, pembuktian,” kata Jioraldo. “Pembuktian kalo Jio cuma suka, sayang, dan cinta sama Kak Ranie,” jelasnya.

Mendengarnya, Ranindya tersenyum manis. “Dengan kamu selalu ada di samping aku kayak sekarang ini, Ji, itu udah membuktikan kalo kamu cuma suka, syaang, dan cinta sama aku,” jawabnya.

Berbeda dengan gadisnya, Jioraldo membantah opini tersebut. Ia menggoyangkan ibu jarinya mengisyaratkan ketidaksetujuan. “Enggak,” ucapnya. “Pembuktiannya harus lebih kuat. Jio tunjukkin ke Kakak, ya,” lanjutnya sembari mengedipkan sebelah manik minimalisnya.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Oke, kalo gitu. Silakan Jio buktikan,” ujarnya.

Sepasang kekasih itu saling melempar senyum penuh makna yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Selepasnya, lelaki manis nan kekar itu bergerak menggendong kekasihnya menuju gubuk kecil yang terletak tak jauh dari mereka. Di bawah naungan atap berbahan jerami itu, keduanya bertukar pandangan.

“Cantik,” puji Jioraldo sembari mengambil posisi berbaring di samping Ranindya.

Ranindya terkekeh mendengar sanjungan yang dilontarkan kekasihnya itu. “Iya, aku tau aku cantik, Ji, makanya kamu suka sama aku ‘kan?” ledeknya.

“Iya dong! Kak Ranie ‘kan yang paling cantik,” ujar Jioraldo. “Beruntung Jio punya Kakak,” tambahnya.

Ranindya berani bersumpah bahwa kalimat terakhir yang juniornya ucapkan tadi mampu membangunkan kupu-kupu di dalam perutnya. Selain tingkah yang lucu layaknya murid taman kanak-kanak, Jioraldo juga memiliki mulut semanis madu. Lelaki manis itu tidak pernah kehabisan akal untuk memanjakan gadisnya.

Sepersekian detik kemudian, Jioraldo kembali mencium Ranindya. Ia memposisikan dirinya mengungkung sang kekasih. Di dalam cumbuannya, lelaki manis itu mengusap pipi chubby selagi menghapus jejak air mata yang tertinggal di sana. Sementara itu, Ranindya mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya.

Ciuman itu terasa kian menuntut kala sebelah tangan kekar itu mulai bergerilya di sekitaran bagian tubuh terindah miliknya. Jioraldo tersenyum puas di sela-sela kegiatannya kala ia menyadari bahwa Ranindya tidak melapisi tubuhnya dengan pakaian lain selain gaun tidur tipis berbahan satin berwarna putih itu.

“Mphhh,” lenguh Ranindya tertahan saat tangan besar itu meremas payudaranya.

Setelah puas dengan belahan ranum yang memiliki rasa dan aroma cherry blossom itu, Jioraldo berpindah haluan. Kini, cumbuannya turun ke arah dada kekasihnya yang banyak terkeskpos. Ia meninggalkan banyak tanda kepemilikan di sana. Tidak sampai di situ, tangannya tidak berhenti bergerak. Jioraldo meluruhkan tali gaun tidur gadisnya.

Perlahan, gunung sintal kesukaannya itu mulai menampakkan wujudnya. Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, lelaki manis itu bergegas. Jioraldo menyambar sepasang payudara kekasihnya seoalah bayi yang merindukan susu ibunya. Ranindya begitu merindukan sentuhan seperti ini.

“Nghh, ahhh, Ji,” desah Ranindya.

Jioraldo benar-benar menepati janjinya untuk membuktikan bahwa hanya seorang Ranindya Alister Dhanurendra-lah yang ada di hatinya. Lihat saja, bagaimana pergerakan yang terlihat semakin ganas di sekitar gunung yang puting mencuat sempurna itu. Ranindya dibuat kewalahan dengan serangan dari adik tingkatnya.

“Ahh, Ji, terushhh,” racaunya.

Jioraldo kembali bergerak. Ciumannya semakin turun ke arah perut sang gadis. Namun, sebelum melanjutkan permainan pembangkit gairahnya, lelaki manis itu melepas sweater berwarna putih yang dikenakannya. Ranindya dapat melihat jelas otot perut yang tercetak di sana. Ia dengan susah payah menelan salivanya.

Padahal, hanya sepekan lebih Ranindya tidak berjumpa secara intensif dengan kekasihnya ini, tapi entah mengapa Jioraldo terlihat seribu kali lebih menggoda malam ini. Jioraldo tentu saja menyadari wajah kekasihnya yang mulai berubah merah serupa kepiting rebus. Ia menyeringai puas.

“Kak Ranie suka?” tanya Jioraldo sensual.

Ranindya tidak mampu menjawab. Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, gadis cantik itu mengangguk beberapa kali. Ranindya selalu suka bagaimana bayi manis itu selalu berubah menjadi pria dewasa saat tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Dua sisi berbeda yang dimiliki Jioraldo sukses membuat Ranindya jatuh cinta sedalam-dalamnya.

Kemudian, lelaki manis itu mendekatkan wajahnya ke arah telinga kiri kayak tingkatnya. Ia menjilat daun telinga gadisnya sehingga membuat Ranindya menoleh ke arah samping. Gadi cantik itu meremat baju tidurnya yang belum sepenuhnya lepas. Napas hangat Jioraldo yang menghembus di sekitar titik sensitifnya membuat aliran darahnya berdesir cepat.

“Nghh, Ji,” lirih Ranindya.

“Kak,” panggil bias sedalam palung itu. “Kalo Jio masukin, boleh gak?” tanya Jioraldo.

Mendengarnya, sepasang manik selegam senjanya membulat. Di malam yang semakin larut dengan pemandangan kolam renang yang ada di taman belakang dan dibawah lukisan gelap semesta, Jioraldo sukses membuat Ranindya kembali jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya dengan caranya yang unik. Di sisi lain, Jioraldo masih menunggu jawaban dari gadisnya.

“Jio,” panggil Ranindya.

“Iya, Kak,” jawabnya lembut.

“Tapi pelan-pelan, ya,” pinta Ranindya.

Jioraldo tersenyum. “Iya, Kak. Jio mainnya pelan-pelan,” katanya menenangkan. “Kalo sakit, pukul Jio aja, ya, Kak,” tambahnya.

Dengan begitu, keduanya siap untuk permainan inti. Namun, sebelum acara utama dimulai, Jioraldo menyempatkan dirinya untuk mengecup hangat kening Ranindya dalam rangka memberikan semangat. Setelah selesai, ciuman itu perlahan turun bersamaan dengan kalung logam yang menyentuh setiap inci tubuh sang gadis.

“Nghhh, Ji, ahhh,” lirih Ranindya.

Jioraldo melahap ganas aset cantik yang ia yakini akan menjadi miliknya yang terindah, mulai dari bibir, dada, payudara, perut, lalu paha bagian dalam. Ranindya membantu adik tingkatnya untuk melepaskan gaun tidurnya. Sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna saat mengetahui dugaan benar bahwa di balik kain tipis itu tidak ada kain lain yang menutupi tubuh kekasihnya.

Jioraldo kembali tersenyum. “Cantik,” ucapnya tulus.

Ranindya dapat merasakan pujian yang benar-benar berasal dari hati. “Cuma punya Jio,” jelas gadis cantik itu.

Selanjutnya, Jio melepaskan celana pendeknya lalu pakaian dalamnya. Ranindya dibuat tercekat napsnya saat sepasang manik selegam senjanya menangkap sebuah batang besar berurat yang berdiri tegap. Ranindya menahan napasnya kala kepala penis itu terus menggoda vaginanya.

“Nghhh, Ji,” desah Ranindya.

Perlahan namun pasti, itulah yang Jioraldo lakukan. Dengan gerakan hati-hati, ia mencoba meneroboskan kejantannya ke dalam lubang kecil yang dipenuhi kenikmatan. Ranindya mencakar punggung lebar Jioraldo kala merasakan nyeri bercampur nikmat di bawah sana.

“Sakit, ya, Kak?” tanya Jioraldo khawatir.

“Sedikit, Ji,” jawab Ranindya sembari meringis.

“Udahan aja, ya, Kak. Jio takut Kak Ranie kenapa-napa,” ujar lelaki manis itu.

Ranindya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia menolak keras permintaan kekasihnya yang satu ini. “Aku gak apa-apa, Ji. Lanjutin aja,” ucapnya.

“Jio masukin sekali hentak aja, ya, Kak?” tanyanya lagi.

Tanpa ragu, Ranindya mengiyakannya. “Iya, Ji,” jawabnya.

Ranindya memeluk erat lelaki kesayangan yang berada di atasnya. Sementara itu, Jioraldo menghirup napas panjang sebab ia tahu bahwa ini akan terasa sangat sakit tetapi untuk waktu yang tidak lama bagi gadisnya. Jioraldo menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Ranindya. Lalu…

“Ahh!” pekik Ranindya.

“Akh!” pekik Jioraldo.

Keduanya berteriak saat penis itu masuk sempurna ke dalam vagina. Jioraldo masih bergeming di tempatnya untuk menunggu Ranindya menyesuaikan diri dengan posisi ini. Ranindya semakin memeluk tubuh atletis yang mengungkungnya saat rasa sakit tergantikan dengan nikmat yang menjalar.

“Nghh, Ji, ahhh, gerakin aja,” pinta Ranindya.

Sesuai perintah, Jioraldo mulai menggerakkan pinggulnya. Keduanya menengadahkan kepala ke arah langit-langit pondok kala rasa nikmat yang teramat sangat perlahan tercipta dari permainan yang mereka lakukan. Untuk permainan panas yang sedang berlangsung, angin dingin yang berhembus tidak ada apa-apanya.

“Nghh, ahh, Kak,” lenguh Jioraldo.

Setelahnya, lelaki manis itu mempercepat tempo gempurannya. Baik Ranindya maupun Jioraldo sangat menikmati momen di mana kepala penis itu semakin terus menghujam titik manisnya. Kenikmatan yang menyelimuti mampu seolah memberhentikan waktu yang berjalan di sekitar mereka.

“Ahhh, Ji, terushh, ahh,” racau Ranindya.

Jiorlado menaikkan kecepatan permainannya menjadi dua kali lipat, membuat kenikmatan yang terjalin di antara keduanya juga meningkat dua kali lipat. Ditemani dengan udara malam yang semakin menusuk dan pemandangan seribu bintang, sepasang kekasih itu saling menikmati tubuh masing-masing.

“Ahh, Ji, kayaknya, nghh, aku mau, ahhh, keluar,” jelas Ranindya susah payah.

“Bareng, Kak,” jawab Jioraldo.

Berikutnya, Jio mempertajam gerakannya. Dengan tempo yang stabil, kejantanan yang mulai membesar itu terus melecehkan lubang favoritnya. Ranindya menyukai bagaimana adik tingkatnya ini sangat memahami apa yang ia inginkan. Gempuran itu membuat dirinya terbang melayang.

“Nghh, Ji, aku gak, ahhh, tahan,” ujar gadis cantik itu. “Ahh!” pekik Ranindya.

Tepat setelahnya, Jioraldo mencabut penisnya dari bawah sana untuk kemudian menyemburkan sperma hangatnya ke sembarang arah. Keduanya sama-sama diburu napas dan tubuh mereka dibanjiri keringat. Baik untuk Ranindya maupun Jioraldo, permainan panas malam ini terasa sangat sempurna.

Jioraldo kembali bergerak. Kali ini, lelaki manis itu menyampir sweater putihnya untuk menutupi tubuh polos kekasihnya. Sebelah tangannya mengusap pucuk kepala Ranindya sementara gadis itu masih berusaha mengatur napasnya. Jioraldo tertawa melihat gadis cantik yang serupa dengan ikan yang melompat dari air di kolam.

“Capek, ya, Kak?” ledek Jioraldo.

“Iya. Padahal aku udah nyuruh kamu buat pelan-pelan,” jawab Ranindya.

“Tapi enakan kalo cepet. Iya gak, Kak?” ledeknya lagi.

“Terserah kamu deh, Ji,” ketusnya.

Kemudian, Jioraldo menarik tubuh ringkih itu agar masuk ke dalam pelukannya lagi. Ranindya dapat merasakan dekapan yang semakin erat itu. Seakan jika lelaki manis itu melepaskannya, gadisnya akan pergi meninggalkannya. Sepertinya, sepasang kekasih itu memiliki ketakutan yang sama.

“Kak,” panggil Jioraldo.

“Iya, Ji,” jawab Ranindya lembut. Ia mengangkat pandangannya agar dapat melihat wajah serupa anak-anak itu lebih jelas.

“Jangan tinggalin Jio, ya,” ucap lelaki manis itu.

“Kok kamu bisa bilang gitu, Ji?” tanya Ranindya penasaran.

“Jio sama takutnya kayak Kak Ranie,” ujar Jioraldo. “Jio takut Kak Ranie tinggalin Jio,” sambungnya.

Mendengarnya, Ranindya terkekeh. “Enggak, Ji. Aku gak akan tinggalin kamu,” ujarnya menenangkan.

“Kak Ranie itu cewek paling baik, ramah, cantik, pokoknya semuanya yang pernah Jio temuin,” kata lelaki manis itu. “Gak menutup kemungkinan kalo ada cowok yang lebih-lebih dari Jio suka sama Kak Ranie. Kalo Kak Ranie tinggalin Jio terus Jio bisa apa?” jelasnya.

Sejenak, Ranindya tenggelam dalam pikirannya. Ternyata, kurang lebih, seperti inilah perasaan yang dirasakan Jioraldo tadi ketika dirinya merajuk. Ranindya menggigit bibir bagian bawahnya sebab rasa tak enak di dalam hatinya. Hati seorang Jioraldo Azzada terlalu murni untuk disakiti. Ia hanya pantas untuk dicintai.

“Enggak, Jio. Aku gak akan tinggalin kamu. Untuk apa aku cari yang lain? Kalo di samping aku aja udah ada kamu. Jio yang selalu ada kalo aku butuh, Jio yang selalu bikin aku seneng, Jio yang selalu punya tingkah lucu. Untuk apa aku cari itu di orang lain? Kalo ada kamu aja udah cukup, Ji,” jelas Ranindya.

Mendengarnya, hati lelaki manis itu menghangat. Jioraldo kembali mengecup kening gadisnya dalam waktu cukup lama. “Pokoknya Jio bakal berusaha sekeras mungkin biar Kak Ranie gak diambil sama cowok lain. Kak Ranie punya cuma Jio seorang,” katanya sembari mengeratkan pelukannya.

“I love you, Ji,” ucap Ranindya.

“Jio loves Kak Ranie too,” finalnya.