latter (1)

“Kamu dulu suka main di sini, ya, By?” tanya Airin sembari menoleh ke arah lelaki manis yang duduk di sebelah kanannya.

Berbeda dengan Airin yang dapat duduk dengan tenang di atas salah satu bangku panjang berbahan kayu yang ada di taman tersebut, Alby sedari tadi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lahan berumput yang dihiasi berbagai macam bunga serta alat permainan ana-anak itu, simpulnya mengembang.

“Iya. Dulu aku sering ke sini,” jawab Alby. “Sama Hana,” lanjutnya.

“Oh, iya. Kenapa Hana gak kamu ajak ke sini juga?” tanya gadis cantik itu lagi.

“Udah,” balas Alby datar. Ia memalingkan kepalanya ke arah sang kekasih. “Tapi dia gak bisa. Hana lagi jalan bareng Abraham,” jelasnya.

“Widih! Kemajuan banget, ya, Hana di sekolah baru,” ujar Airin. “Kamu galau gak, By?” ledeknya.

Alby mengangkat sebelah alisnya. “Galau? Kenapa galau?” tanyanya penasaran.

“Sepupu kesayangan kamu udah gak main lagi sama kamu. Hana udah punya gebetan yang lebih ganteng, lebih banyak duitnya, lebih ada buat Hana,” ujar Airin sengaja memicu api cemburu di relung hati lelaki kesayangannya.

Sejenak, Alby bergumul dengan pikirannya sendiri. Apa yang barusan Airin katakan padanya tidak sepenuhnya salah, malah sebagian besar benar. Jika Alby boleh jujur, Hana jarang sekali berhubungan dengannya, baik via ponsel maupun secara langsung. Di siang menuju sore hari itu, Airin sukses membuat kekasihnya menambah beban pikirannya.

“Enggak,” enteng Alby. “‘Kan ada kamu,” guyonnya.

Mendengarnya, Airin terkekeh. Ia memukul pelan lengan kekar di sebelahnya. “Tuh ‘kan. Gombal lagi deh,” ucapnya.

“Aku serius. Emang kerasa banget sih gak ada Hana yang suka ngikutin, minta jajanin, dan semua tingkahnya yang bikin aku geleng-geleng kepala. Tapi, ya, buat apa aku sedih? ‘Kan ada kamu, Airin, pacar aku,” jelas lelaki manis itu seraya menjawil pangkal hidung bangir sang gadis.

“Jangan usil. Kita masih di tempat umum,” sergah Airin.

“Emang kalo di tempat umum, kenapa? ‘Kan kita gak ngapa-ngapain,” balas Alby.

“Kalo di tempat umum, aku gak bisa puas berantemnya sama kamu. Nanti kalo kita berantem di sini, dipisahin sama warga,” jelas Airin mengada-ada.

Mendapat respon demikian, Alby tertawa puas. “Tega banget mau berantemin pacarnya,” katanya.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Tangan kiri Alby bergerak menggenggam tangan yang lebih kecil. Lalu, dikecup untuk kemudian diusapnya punggung tangan tersebut. Airin yang mendapat perlakuan manis dari kekasihnya tersebut hanya dapat tersenyum malu.

“Aku masih gak biasa diginiin sama kamu, By,” ujar Airin.

“Biasain dong. Nanti kalo kita udah nikah, masa kamu masih gak biasa diginiin sama aku?” balas Alby menggoda.

Lagi, tangan Airin yang terbebas melayangkan pukulan lain pada bahu lebar di sampingnya. “Ngomongnya udah jauh banget sampe ke nikah,” katanya.

Selepasnya, Alby melepaskan genggaman tangannya dengan Airin. Ia berdiri dari posisi duduknya. “Tunggu di sini aja, ya, Rin. Jangan ke mana-mana. Kalo kamu ilang, aku susah lagi nyari yang kayak kamu,” jelasnya kemudian berlalu pergi.

“Mau ke mana, By?” tanya Airin sedikit berteriak.

“Bentar aja,” jawab Alby juga sedikit berteriak sebab jaraknya yang semakin terpaut dengan sang kekasih.

Airin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tahu, sekiranya tingkah dan perlakuan aneh nan ajaib apalagi yang akan Alby perbuat setelah ini. Airin hanya dapat memandang tubuh setinggi tiang bendera itu berjongkok di balik semak-semak. Sepasang manik selegam senja itu menyipit kala ada sesosok anak kecil yang menghampiri Alby.

“Tetangganya Alby, ya?” gumam Airin.

Tak lama setelahnya, Alby bangkit dari posisi berjongkoknya. Sebelah tangan kekarnya menggandeng erat tangan yang sangat mungil itu. Kini, keduanya berlalu ke arah Airin. Sadar akan hal itu, Airin menegakkan tubuhnya di atas kursi. Selama perjalanan menuju kursi panjang berbahan kayu tersebut, Alby tak berhenti tersenyum kepada anak perempuan tersebut.

“Adek tunggu di sini aja, ya. Jangan ke mana-mana, nanti Mama susah nyarinya kalo Adek keliling-keliling terus,” ujar Alby lembut seraya mempersilakan anak kecil itu duduk di antara dirinya dan Airin.

“Tetangga kamu, By?” tanya Airin penasaran.

Alby menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. “Bukan,” jawab Alby singkat.

Mendengarnya, Airin menghela napas panjang. Jika ia tidak salah telisik, anak perempuan yang terlihat sangat menawan ini kemungkinan besar terpisah dari orang tuanya selagi bermain di taman ini. Mengingat, anak cantik ini bukanlah tetangga dari sang kekasih, mungkin ia sedang menunggu kedatangan sang ibu atau ayahnya.

“Adek Cantik,” panggil Airin sembari tersenyum. Ia merendahkan pandangannya agar dapat menatap langsung anak perempuan yang duduk di sebelah kanannya. “Kepisah sama Mama, ya?” tanyanya.

Mendengarnya, anak kecil tersebut hanya mengangguk beberapa kali. Airin dapat melihat dengan jelas bagaimana ketakutan yang terpancar dari binar manik mungil itu. Tidak ingin membuat atmosfer yang ada semakin mencekam, baik Airin maupun Alby, tidak menunjukkan ekspresi serupa dengan sang anak.

“Adek Cantik, tenang aja, ya. Kak Alby sama Kak Airin bakal temenin kamu sampe Mama nyamperin kamu. Gak apa-apa ‘kan main sebentar sama Kak Alby dan Kak Airin sebentar sampe Mama dateng?” ujar Airin dengan suara dan senyum selembut sutra.

Meskipun ragu, anak perempuan itu mengangguk pelan. “Iya, Kak,” katanya.

“Adek namanya siapa?” tanya Alby.

Ia diam sejenak. “Mahika,” jawabnya.

“Adek udah makan? Kak Alby punya permen rasa buah,” ujar Alby sembari mengeluarkan beberapa permen yang dijanjikannya dari saku celananya. “Mahika suka rasa apa?” tanyanya.

Mahika menatap lamat Alby yang menawarkannya makanan manis tersebut. “Mahika boleh minta permennya Kak Alby?” tanyanya ragu.

“Boleh dong! Kak Alby mau berbagi permen sama Mahika,” jawab lelaki manis itu. “Mahika mau yang mana, ambil aja,” katanya.

Sementara Alby sibuk menghibur kerasahan hati anak perempuan yang merasa cemas dan takut itu, di sisi lain, Airin memperhatikannya dengan saksama. Sedari tadi, senyum itu tidak pudar dari wajah cantiknya. Perlakuan lembut yang Alby tunjukkan kepada anak kecil itu membuat hatinya meluluh.

Bagaimana Alby selalu ada di sisinya, menepati janjinya untuk membahagiakannya, serta perilaku manis nan lembut yang ia tunjukkan kepada orang terdekatnya mampu membuat Airin jatuh dan jatuh lagi, bila perlu sedalam-dalamnya, kepada lelaki manis itu. Tuhan benar-benar mengirim malaikat dalam bentuk Alby untuk melindunginya dan juga orang-orang di sekitarnya.

“Mungkin…,” batin Airin bermonolog. “Kalo ‘dia’ bisa selamat, gua bakal ngeliat pemadangan indah ini setiap hari, ya?” ucapnya.