Last Day in Bali (2)

Ting! Tong!

Tok! Tok! Tok!

Terdengar bunyi lonceng bel yang beriringan bersama suara ketukan pintu. Dengan langkah gontai, Shella bangun dari tempat tidurnya selagi sepasang manik yang tertutup rapat. Bak mayat hidup yang baru bangkit dari makamnya, gadis cantik itu melangkah ke arah pintu. Andaikan Shella tidak tahu siapa oknum yang akan mengganggunya malam ini, ia sangat enggan bergerak dari posisinya satu senti pun.

“Bee,” panggil Alvino semangat tepat saat pintu itu terbuka untuknya. Ia mengulas senyum lebar sampai-sampai sepasang maniknya ikut melengkung.

Melihat sesosok tampan yang ada di depannya, Shella mengerucutkan bibirnya. “Mata aku sakit, Bee,” keluhnya sembari memeluk erat tubuh kekar di hadapannya.

“Sakit banget, ya?” tanya Alvino khawatir. Tangannya bergerak mengusap punggung sempit yang mendekapnya.

“Sakit banget sih enggak cuma aku jadi gak bisa ngeliat apa yang ada di sekitar aku dengan jelas,” ucap Shella setelah melonggarkan pelukannya.

Shella menarik sebelah tangan kekasihnya itu agar masuk ke kamar tidurnya. Ia mengomando Alvino untuk berbaring bersamanya di atas ranjang. Alvino terkekeh menanggapi sikap lucu kekasihnya itu. Lihat saja, bagaimana manik minimalis itu kembali hilang dalam sekejap saat simpulnya muncul. Alvino mendekap erat kekasihnya yang sedang sakit itu.

“Kalo aku masih keliatan ‘kan, Bee?” tanya Alvino menggombal.

Shella menatap kekasihnya itu tak percaya. Entah bagaimana guyonan renyah itu bisa keluar dari mulutnya. “Jangan ngomong, Bee. Kamu gak lucu,” ejeknya.

Alvino, yang diolok seperti itu hanya tertawa masam. Baginya, semua tingkah laku yang Shella perbuat sangatlah menggemaskan. “Kok kamu masih bangun, Bee? Tadi pas Carla ke kamar, katanya kamu udah tidur,” tanya Alvino lagi.

“Ya, menurut kamu? Dengan kamu bunyiin bel sama ngetok pintu, emangnya aku gak bakal bangun?” jawabnya tak santai.

Alvino menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Bener juga,” gumamnya.

Selepasnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Di dalam pelukan hangat itu, Shella mengusakkan wajahnya pada dada bidang sang kekasih. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi Shella untuk bermanja-manja dengan kekasihnya ini, terutama jika dirinya sedang sakit atau tidak bersemangat dengan kegiatan sehari-harinya.

“Bee,” panggil Alvino lagi.

“Hm?” balas Shella singkat.

“Coba sini deketan,” pinta lelaki tampan itu.

Padahal, jarak yang terpaut di antara mereka sudah sangat dekat. Meskipun begitu, Shella tetap mendekatkan dirinya kepada sang kekasih. Kini, sepasang wajah menawan itu saling bertukar pandang. Alvino sempat terbuai dengan sepasang manik yang berbinar bak bintang di langit itu. Ya, paling tidak sampai Shella mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Mau ngapain nyuruh aku deketan?” tanya Shella penasaran.

Di detik berikutnya, Alvino bergerak. Lelaki tampan itu mengecup mata kekasihnya yang sakit karena terinfeksi bakteri. Alvino seolah mengirimkan obat lewat ciumannya. Entah motivasi seperti apa yang membuatnya melakukan hal sedemikian rupa. Setidaknya, sudah tiga menit berjalan dan posisi keduanya masih sama seperti itu.

“Cepet sembuh, ya, Bee,” ucap Alvino sesaat setelah menyudahi kecupannya.

Shella tersenyum manis. “Makasih banyak, Bee,” jawabnya lembut.

Dua pasang manik itu kembali beradu tatap serta senyum. Saling menikmati pemandangan yang disuguhkan tepat di depan mereka. Kemudian, Alvino mulai memangkas jarak yang sudah sangat dekat itu dengan gadisnya. Shella-pun perlahan memejamkan matanya. Namun, saat satu belahan itu akan bertemu belahan lainnya, bunyi bel menginterups keduanyai.

Alvino dan Shella segera mengembalikan indera penglihatan masing-masing. Berbeda dengan Shella yang mendengus kesal, Alvino justru tersenyum. “Obatnya udah dateng,” ujar lelaki tampan itu untuk kemudian bangkit dan melangkah ke arah pintu kamar.

Mendengarnya, kening gadis cantik itu mengernyit. “Obat?” gumamnya.

Benar saja. Tepat setelah dirinya bermonolog, Alvino datang dengan sekantung obat dalam genggamannya. Melihatnya, Shella menggerutu. Selain sayur-sayuran hijau, obat menempati peringkat kedua sebagai bahan makanan yang paling tidak disukainya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

“Obat siapa itu?” tanya Shella tidak santai.

Alvino kembali mendudukkan dirinya di sebelah Shella. “Obat kamu-lah,” katanya.

Shella mengusap wajahnya kasar lalu memicingkan matanya ke arah sang kekasih. “Kamu ‘kan tau aku gak suka obat, Bee,” ucap gadis cantik itu.

Alvino menghelas napas panjang. Ia tahu hal seperti ini akan terjadi. “Kalo gak minum obat nanti gak sembuh-sembuh matanya, Bee,” ujarnya.

“‘Kan udah dikasih obat tetes mata sama Carla, Bee,” bantah Shella.

“Itu obat dari luar. Ini obat antibiotik untuk bantu nyembuhin dari dalem, Bee,” jawab Alvino.

Alvino membuka satu buah obat dari bungkusan alumuniumnya. Ia sodorkan benda kecil itu untuk gadisnya tegak. Shella membuang pandangannya saat sepasang maniknya menangkap adanya ancaman dalam bentuk obat tablet yang terletak di atas tangan besar kekasihnya. Ia dapat membayangkan seberapa pahitnya benda itu.

“Gak mau, Bee,” sergah Shella tidak mau kalah.

“Aku gerus obatnya, ya? Biar bisa dilarutin pake air,” tawar lelaki tampan itu.

Shella menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia menolak keras apapun kegiatan yang berkaitan dengan obat dan rasa pahit yang terkandung di dalamnya. Tidak ingin kalah karena ini demi kebaikan sang gadis, Alvino menarik tangan Shella agar mendekat kepadanya. Tubuh kekar itu mendekap tubuh yang lebih mungil. Shella memberontak dengan keras.

“Kamu harus minum obat, Bee, biar cepet sembuh. Ini resep obat dari dokter pribadi kamu kok,” rayu Alvino kepada gadis cantik yang ada di dalam pelukannya itu.

“Gak mau, Bee, gak bakal ketelen juga sama aku,” tolak Shella. Gadis cantik itu masih berusaha untuk meloloskan diri dari kekasihnya.

Di sela-sela perang itu, tiba-tiba saja terbesit ide licik di dalam pikiran lelaki tampan itu. Alvino menggigit obat itu menggunakan mulutnya. Tangan kirinya bergerak untuk mengunci pergerakan gadisnya sementara tangan kanannya ia pakai untuk menangkup dagu mungil di hadapannya agar tidak bergerak bebas.

“Maaf, ya, Bee, tapi kamu harus minum obat,” final Alvino.

Selanjutnya, yang terjadi adalah Alvino melesatkan paksa obat tersebut ke dalam mulut Shella dari mulutnya. Jika digambarkan, lelaki tampan itu seperti akan mencium gadisnya tetapi dengan obat yang bertengger di giginya. Kalau sudah begini, mau tidak mau, ingin tidak ingin, Shella harus menelan benda pahit itu.

Sebab, Alvino tidak akan menyudahi ciumannya jika Shella tidak kunjung menghabiskan obatnya. Akhirnya, dengan berat hati, walaupun jiwa dan raganya tidak merestui, Shella melahap tablet antibiotik itu. Terlihat jelas ekspresinya yang menggambarkan keterpaksaan yang amat dalam.

Dirasa gadisnya sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, barulah Alvino melepaskan ciumannya. Ia tersenyum lebar bagai tak berdosa. Diusapnya pucuk kepala yang sedang mendidih karena amarah yang memuncak itu. Untuk meredakannya, Alvino mengecup sepasang pipi chubby yang ada di dalam pelukannya.

Lelaki tampan itu terkekeh. “Akhirnya, aku tau jalan pintas biar kamu mau minum obat,” ucapnya.

Berbeda dengan lelaki kesayangannya, wajah cantik Shella mengerut. “Pahit, Bee,” katanya kala lidahnya menyecap rasa ekstrem itu di dalam mulutnya.

“Eh?! Maaf, Bee, aku lupa,” ujar Alvino. Dengan cepat, ia memberikan botol air mineral yang isinya tinggal setengah dari nakas di sebelah tempat tidur.

Shella menegak habis air minum yang Alvino berikan padanya. Perlahan, rasa pahit itu mulai mengalir di dalam kerongkongannya. Setelah bertahun-tahun lamanya, gadis cantik itu kembali merasakan siksaan ala duniawi. Tapi, mau bagaimana pun juga, lelaki tampan itu melakukannya untuk dirinya.

“Masih pahit gak, Bee?” tanya Alvino.

Shella menganggukkan kepalanya. “Sedikit,” jawabnya.

Alvino hendak bangkit dari duduknya untuk mengambil botol air mineral lainnya saat pergerakannya dihentikan oleh Shella. Ia menatap tangan kurus yang menggenggam baju tidurnya. Sepasang manik minimalis itu seolah memancarkan tanda tanya. Apakah ada hal lain lagi yang kekasihnya butuhkan?

“Kenapa, Bee?” tanya Alvino heran.

“Kamu harus tanggung jawab,” ujar Shella datar.

Mendengarnya, manik yang biasanya terlihat segaris itu, kini membelalak sempurna. “Tanggung jawab gimana maksudnya?!” tanya lelaki tampan itu tak santai.

Sebelum menjawab, Shella membasahi bibirnya. “Kamu harus tanggung jawab juga, Bee. Obat ini pahit banget, kamu juga harus ngerasain,” jelasnya.

Sepersekian detik kemudian, gadis cantik itu menarik tubuh kekar itu agar menciumnya. Sangat amat jauh berbeda dengan yang sebelumnya, ciuman ini terasa hangat dan bermakna. Shella bersungguh-sungguh dalam meminta pertanggungjawaban dari sang kekasih. Meskipun sempat bergeming, Alvino akhirnya ikut mengalun bersama kegiatan intim itu.

Setidaknya, sudah berkali-kali dua kepala itu berganti arah, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Shella merasa terpenuhi pengajuan tanggung jawabnya saat Alvino melumat bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Belum lagi, saat lidah itu melengang masuk dan mengabsen deretan giginya.

“Mphhh,” lenguh Shella saat ciuman itu semakin menuntut.

Merasa mendapat lampu hijau, Alvino menangkup kepala bagian belakang Shella untuk kemudian dengan perlahan menidurkan kekasihnya. Shella memeluk erat tubuh kekar yang menguasainya. Tangan besar itu mulai bergerilya ke sekitar. Tubuh mungil itu menggelinjang saat Alvino meremas payudaranya. Shella melepaskan ciumannya terlebih dahulu.

“Sakit, ya, Bee?” tanya Alvino lembut.

Shella tersenyum. “Enggak, Bee, gak sakit kok,” jawabnya.

Alvino mengecup kening gadisnya lalu kembali bertanya, “Boleh aku lanjutin?”

Shella mengangguk pelan. Lalu, tangan Alvino bergerak membuka satu per satu kancing baju tidur kemudian celana pendek yang melindungi tubuh kekasihnya diiringi dengan Shella yang melakukan hal serupa pada pakaiannya. Kini, sepasang kekasih itu hanya ditutupi oleh dalaman masing-masing.

Gadis cantik itu dapat merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Sesuatu yang besar itu terus menggodanya. Pastinya, Alvino menyadari hal tersebut. Lihat saja, bagaimana lelaki tampan itu, dengan sengaja, menggesek-gesekkan kepemilikannya agar mengenai kewanitaan sang kekasih.

“Nghhh, Bee,” lirih Shella.

“Enak, Bee?” kata Alvino mengumpan.

Shella tidak mampu menjawab. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya beberapa kali. Alvino dibuat menyeringai puas dengan respon itu. Oleh sebab itu, ia tidak mengurung niatnya untuk terus memancing hasrat gadisnya. Walaupun tidak dapat dipungkiri juga, lelaki tampan itu tidak sabar untuk melanjutkan ke permainan berikutnya.

“Ahhh, masukin aja, nghh, Bee,” pinta Shella.

Mendengarnya, Alvino mendekatkan mulutnya ke sebelah telinga Shella. “Foreplay dulu, ya, Bee.”

Berikutnya, Alvino mengusap vagina gadisnya dari arah luar. Hal itu mampu membuat Shella melirih kenikmatan. Alvino cukup terpuaskan saat indera perabanya merasakan kain yang lembap di bawah sana. Tak lama setelahnya, dua jari besar itu, tanpa aba-aba, melesat masuk ke dalam vaginanya.

“Bee!” pekik Shella.

Di dalam sana, Alvino sibuk mengaduk-aduk kepemilikan Shella selagi ibu jarinya memutar di daerah klitoris sang gadis. Berulang kali Shella mencoba merapatkan kakinya saat Alvino berulang kali melebarkannya lagi. Jika boleh jujur, gadis cantik itu merasa kewalahan dengan permainan yang lelaki kesayangannya lakukan padanya.

“Enak, Bee?” tanya Alvino memastikan.

Shella mengangguk mengiyakan pertanyaan yang Alvino lontarkan padanya. Tampaknya, Shella terlalu menikmatinya sampai-sampai pinggulnya ikut bergerak seolah meminta lebih. Melihatnya, Alvino menyeringai puas. Siapa yang bisa menyangka? Meskipun sakit, Shella tetap dapat menikmati permainan ini dengan maksimal.

“Lagi?” tawar Alvino.

Tentu saja, Shella setuju dengan yang satu itu. Selepasnya, Alvino menambah tempo kecepatannya di bawah sana. Shella menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar sembari meremat kain yang menjadi alasnya dengan erat. Namun, sepertinya ada yang kurang. Ia ingin memanjakan milik kekasihnya.

“Bee,” panggil Shella.

Yang dipanggil menoleh. Alvino menaikkan sebelah alisnya. “Ya, Bee?” jawabnya.

“Nghh, mau mainin, ahhh, punya kamu,” racau Shella.

Ada permohonan yang diajukan dalam rangka memanjakan kejantannya, Alvino tersenyum puas. Ia menghentikan aktivitas pada vagina gadisnya. Alvino merangkak menghampiri gadisnya. Lelaki tampan itu dapat melihat dengan jelas bagaimana manik Shella berbinar penuh harap.

“Mau mainin punya aku?” tanya Alvino menggoda.

“Iya,” jawab Shella.

“Kalo sekarang, jangan dulu, ya, Bee. Kamu baru selesai minum obat,” ujar lelaki tampan itu lembut. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala Shella. Kemudian, Alvino kembali mendekatkan mulutnya ke sebelah telinga sang kekasih. “Aku langsung masukin aja, ya? Kamu juga udah basah,” bisik bariton itu.

Seketika, tubuh mungil itu bergetar hebat saat bias suara sedalam palung itu menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Bak tersihir ilmu hitam, Shella menyetujui permintaan kekasihnya itu. Setelah mendapat persetujuan, Alvino merogoh alat kontrasepsi dari celana tidurnya yang tergeletak di atas kasur.

Setelah melepas celana dalamnya, Alvino memasang alat pengaman itu pada penisnya. Shella yang menyaksikan aksi itu hanya dapat membeku di tempatnya. Entah sebab matanya yang sedang sakit atau memang milik kekasihnya itu terlihat lebih besar malam ini? Gadis cantik itu menelan salivanya susah payah. Alvino yang menyadari hal itu hanya tertawa kecil.

Alvino tengah mempersiapkan kejantanannya untuk menerobos masuk ke dalam lubang surgawi di bawah sana seraya melepaskan dua kain terakhir yang melindungi aset indah kekasihnya. “Kalo sakit atau gak kuat atau capek, bilang aja, ya, Bee,” perintahnya.

“Iya, Bee. Aku gak apa-apa kok” balas Shella lembut nan menenangkan.

Bukannya apa, Alvino hanya takut aktivitas intim mereka malam ini dapat mempengaruhi kesehatan gadisnya yang dapat dibilang sedang tidak prima. Tetapi, bukan Shella namanya jika tidak menuntaskan apa yang sudah ia mulai. Lihat saja, gadis cantik itu bahkan kelihatan jauh lebih siap dibanding kekasihnya. Lalu…

“Ahh!”

“Akh!”

Alvino menghentak penisnya dalam sekali hantaman keras. Shella dapat merasakan vaginanya penuh akan batang berurat yang memohon untuk dipuaskan itu. Kemudian, Alvino mulai menggerakkan miliknya dengan tempo pelan. Sepasang kekasih itu mengerang kenikmatan atas permainan yang mereka ciptakan sendiri.

“Shhh, Bee,” desah Alvino.

“Nghh, cepetin lagihhh, Bee,” pinta Shella.

Mendengar ada ultimatum yang disampaikan, lelaki tampan itu menurutinya. Alvino bergerak semakin brutal. Ia dapat merasakan ujung penisnya menabrak dinding rahim gadisnya berulang kali. Juga, kedua bolanya yang membentur klitoris sang kekasih. Tidak ada sakit yang Shella rasakan, hanya rasa nikmat tiada tara.

Langit malam yang dipenuhi bintang kala itu yang beriringan dengan suara khas kenikmatan, decitan kaki ranjang yang bergoyang hebat, serta bunyi yang dihasilkan dari pertemuan kulit yang lembap karena keringat menjadi teman sekaligus saksi bahwa sepasang kekasih itu sedang memadu asmara.

“Ahhh, Bee, aku mau, nghh, keluar,” racau Shella selagi ia menggigit bibir bagian bawahnya sebab rasa nikmat yang menyelimutinya.

“Shh, bareng, Bee, ahhh,” perintah sang dominan.

Alvino menambah lagi tempo kecepatannya sehingga Shella makin dibuat terbang ke langit. Siapa yang menyangka bahwa aksi Alvino yang memaksa kekasihnya untuk menelan obat akan berakhir menjadi permainan panas yang penuh gairah seperti ini. Ya, jika saja Shella tidak meminta pertanggungjawaban, tentunya hal ini tidak akan terjadi.

“Nghhh, Bee, aku gak tahan,” pekik Shella.

Bagaimana tidak? Tumbukan pada bagian intimnya dengan sebelah tangan besar yang meraup payudaranya. Setengah dari titik tersensitif yang ada tubuh Shella dikuasai oleh Alvino. Tepat setelah gadis cantik itu berteriak demikian, ia menjemput pelepasannya bersamaan dengan sang kekasih.

“Ahh!”

“Akh!”

Alvino menyemburkan sperma hangatnya di dalam kantung berbahan karet di dalam sana. Shella dapat merasakan kehangatan itu menjalar di seluruh perutnya. Setelah bekerja keras, akhirnya, tubuh besar nan kekar itu tumbang juga. Shella memeluk tubuh kekasihnya yang dibanjiri keringat, tak jauh berbeda dengannya.

“Sakit gak, Bee?” tanya Alvino yang suaranya teredam karena wajahnya tepat berada di perpotongan leher gadisnya.

“Enggak, Bee, gak sakit kok,” jawab Shella.

Setelahnya, Alvino memindahkan tubuhnya untuk berbaring di samping Shella. Ditangkupnya wajah mungil cantik yang menjadi favoritnya. Sepasang manik sipit itu menelisik ke seluruh area wajah kekasihnya, terutama pada bagian matanya. Alvino dapat melihat bahwa mata Shella yang sakit mulai membaik.

“Mata kamu gak sesipit tadi, Bee,” jelas lelaki tampan itu. “Ngeliatnya jadi lebih jelas ‘kan?” tanyanya memastikan.

Shella menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Iya,” katanya.

“Makanya kalo disuruh minum obat itu jangan ngelawan,” olok Alvino.

Shella menjulurkan lidahnya. “Ini mata aku mendingan bukan karena minum obat,” sanggahnya.

Alvino mengernyitkan keningnya. “Lah? Enggak dong, Bee. Antibiotiknya udah mulai bereaksi itu makanya mata kamu jadi keliatan mendingan,” balasnya.

Shella menggelengkan kepalanya. “Bukan, Bee,” bantahnya. Kemudian, sebelah tangan gadis cantik itu bergerak mengusap pelan penis kekasihnya. “Tapi karena ini.”

Oleh sebab itu, Alvino meringis. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. “Bee,” ucapnya. “Jangan gitu,” ujar Alvino sembari menyingkirkan tangan mungil itu dari miliknya. “Kamu masih sakit. Nanti aja kalo kamu udah sehat, kita main lagi yang lama. Nanti kamu udah gak bisa ngeliat, gak bisa jalan juga,”

Shella tertawa kecil mendengar penjelasan Alvino. “Iya, Bee, iya.”

Selepasnya, Alvino mendekap erat kekasihnya. Ia tumpukan dagunya di atas pucuk kepala Shella. Tangannya bergerak mengusap kepala bagian belakang gadisnya. Sementara itu, Shella memainkan jarinya pada dada bidang lelaki kesayangannya. Ia tidak pernah berhenti terkesima dengan tubuh yang terbentuk indah, miliknya.

Di balik selimut tebal berwarna putih dari ranjang hotel bintang lima itu, keduanya merasakan puncak kenyamanan masing-masing. Baik Alvino maupun Shella, menjadi satu dengan atmosfer yang mereka bentuk sejak tadi. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya suara napas teratur yang terdengar.

“Bee,” panggil Alvino memecah keheningan.

“Iya, Bee,” balas Shella.

“Jangan sakit,” lirih lelaki tampan itu.

Shella mengangkat pandangannya agar dapat melihat wajah tampan itu dengan jelas. “Kenapa?”

“Aku juga sakit,” kata Alvino. “Kalo kamu sakit, aku juga sakit. Mungkin kamu gak pernah liat dan aku juga gak pernah nunjukkin tapi aku bener-bener gak sanggup dan gak tega kalo ngeliat kamu sakit, Bee,” jelasnya.

Setelah melakukan permainan panas, Alvino melontarkan kalimat yang membuat hatinya kembali menghangat. Shella menyungging senyum. “Segitu khawatirnya, ya, sama aku?” ucapnya.

Alvino menatap lamat sepasang manik yang memiliki ukuran tak jauh dari manik miliknya. Alvino sangat menyukai bagaimana bola mata indah itu seringkali menyilaukan matanya karena binar yang bersinar terang. Dari semua pasang netra yang pernah ia temui, hanya milik Shella-lah yang dapat membuatnya jatuh ke dalam candu.

“Cukup sekali aku nyakitin kamu, Bee, dan itu udah cukup membuat aku ngerasain sakit yang sesakit-sakitnya,” ujar Alvino serius. “Aku gak pernah tau kalo perempuan yang aku butuhkan itu ternyata kamu. Aku malah terlalu sibuk sama yang jauh dari jangkauan aku tanpa menghiraukan siapa yang ada di dekat aku,” lanjut lelaki tampan itu.

Shella bergeming. Ia tidak akan menyangka bahwa kilas balik ini akan kembali terungkap. Ya, hubungan manis nan menggemaskan yang sekarang terjalin di antara mereka bukan lain adalah hasil dari asahan rasa sakit di masa lalu. Shella, mungkin juga Alvino, masih ingat betul lara yang menghantui perasaan dan pikiran mereka, dulu.

“Bee,” panggil Shella. Tangannya bergerak mengusap rangka tegas yang ada di hadapannya. “Itu ‘kan dulu. Kita juga ngelewatinnya bareng-bareng ‘kan? Jangan liat kita yang dulu, liat kita yang sekarang. Kamu yang menghalangi aku untuk jangan pergi dan aku yang memutuskan untuk bertahan sama kamu. Udah, ya, Bee. Aku sayang kamu,” final gadis cantik itu.

Sekali lagi, sedikit berbeda dengan yang tadi, ciuman ini terasa nyaman dan khidmat. Bukan kecupan yang dipenuhi hasrat yang menuntut, melainkan penyaluran rasa rindu dan cinta yang tak lekang oleh waktu. Apa yang terjadi di masa lalu biarlah menjadi sejarah dari kisah cinta mereka.

Sebab, yang perlu mereka fokuskan sekarang adalah masa sekarang dan, apabila memungkinkan, masa depan. Lagi pula, jika di masa lalu mereka tidak merasakan apa yang dimaksud dengan kehilangan, mereka tidak mungkin akan saling menggenggam seerat ini sekarang. Alvino dan Shella yang sekarang adalah hasil dari Alvino dan Shella yang dulu.