“Selamat ulang tahun, Cantiknya Chandra,” ucap Haksara lembut pada sang kekasih. Kedua tangannya terulur memegang kue ulang tahun dengan banyak hiasan di atasnya, seperti whipped cream dan stroberi kesukaan Ranindya.

Ranindya, yang diberi kejutan seperti itu tidak dapat menyembunyikan senyum manisnya. Sepasang manik selegam senjanya berbinar indah. Di dalam bagasi mobil van pada sore menjelang malam hari itu, ditemani dengan kicauan burung serta deburan ombak yang menari, gadis cantik itu merayakan ulang tahun ke sekian untuk pertama kalinya bersama sang kekasih.

“Makasih, ya, Chan,” balas Ranindya tak kalah lembut. Senyumnya masih belum pudar dari wajah cantiknya.

“Ayo, tiup lilinnya,” ujar lelaki manis itu.

Diberi perintah seperti itu, Ranindya mengatupkan kedua tangannya lalu memejamkan matanya erat. “Semoga di ulang tahun aku seterusnya, kita masih bareng-bareng,” ujar Ranindya untuk kemudian meniup satu per satu lilin kecil dengan berbagai warna yang ada di atas kue ulang tahunnya.

Sebelah tangan kekar Haksara bergerak merengkuh gadisnya agar masuk ke dalam dekapannya. Tangan itu mengusap pelan punggung sempit Ranindya. “Semoga sehat dan bahagia selalu, ya, Kesayangannya Chandra,” kata lelaki manis itu.

“Makasih banyak, ya, Chan. Makasih banyak.” Mulut Ranindya tidak berhenti mengucapkan kata terima kasih kepada sang kekasih. Pelukannya terasa kian erat pada tubuh kekar di sampingnya.

Jika boleh jujur, gadis cantik itu mungkin tidak bisa merasa lebih bahagia lagi dibanding hari ini. Menghabiskan hari ulang tahun bersama orang terkasih merupakan salah satu mimpinya, mengingat kedua orang tuanya yang jarang sekali pulang dari luar negeri serta dirinya hanya seorang anak tunggal membuat Ranindya sangat menghargai setiap momen yang dihabiskan bersama Haksara.

“Gimana, Cantik? Suka sama hadiahnya?” tanya Haksara sesaat setelah ia melonggarkan dekapannya.

Tidak dapat menjawab dengan kata-kata, Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan semangat. “Suka banget!” ucapnya. “Kok kamu tau sih, Chan, kalo aku pengen banget trip di bagasi mobil van?” tanya gadis cantik itu penasaran.

Sebelum menjawab, Haksara tertawa pelan. Ia tidak sanggup menahan diri dari gemasnya gadis cantik kesayangannya yang sedang berulang tahun hari ini. Ia letakkan kue yang sedari tadi ada di genggamannya itu di sebelah kanannya. “Inget gak terakhir kali pas aku ke rumah kamu? Yang kamu lagi sakit. Eh, bukan sakit. Lagi pengen,” godanya sembari terkekeh. “Pas kamu lagi mandi, aku gak sengaja liat buku diary kamu di atas laci meja yang di sebelah kasur. Aku sedikit banyak baca keinginan dan harapan kamu di buku itu. Jujur, aku bacanya sedih banget, Ran. Kamu ngerasa banyak kesepian setelah orang tua kamu pergi kerja ke Jepang,” jelas lelaki tampan itu.

Mendengarnya, Ranindya menundukkan pandangannya. Ya, memang benar apa yang dikatakan kekasihnya itu. Entah mengapa, akhir-akhir ini, gadis cantik itu sering kali merasa sendiri padahal tidak jarang Haksara menginap di rumahnya. “Aku kangen sama Papi sama Mamin, Chan,” lirihnya.

Mendengarnya, Haksara dengan inisiatifnya kembali menarik kekasihnya untuk masuk ke dalam dekapannya. Sepasang tangan kekarnya bergerak mengusap pucuk kepala lalu punggung sempit itu secara bergantiannya. Di dalam dekapan hangat itu, Ranindya menghela napas panjang.

“Jangan pernah ngerasa sendiri, ya, Ran. Aku ada di sini buat kamu. Gak peduli kapan dan di mana, aku akan selalu ada kalo kamu butuh. Cantiknya Chandra gak boleh sering-sering sedih, ya,” ucap lelaki manis diakhiri dengan kecupan ringan di kening gadisnya.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Jangan tinggalin aku, ya, Chan,” pintanya.

“Iya, Sayang. Aku gak akan ninggalin kamu,” kata Haksara.

Di hadapan pantai yang terbentang luas serta langit yang melukiskan mentari terbenam, sepasang kekasih itu, Ranindya dan Haksara, memutuskan untuk mencintai satu sama lain dengan tempo waktu yang tidak ditentukan. Selagi mereka masih bisa bernapas, mereka berjanji untuk ada di sisi satu sama lain. Tidak ingin atmosfer yang memilukan ini berlangsung lebih lama, lelaki tampan itu memutuskan untuk mengakhirinya.

“Liat nih aku bawa apa,” ucap lelaki manis itu setelah melepas pelukannya. Haksara mengambil sekantung plastik penuh berisikan berbagai jenis makanan untuk dibakar, mulai dari jagung sampai dengan marshmallow.

“Well-prepared banget, ya, kamu, Chan,” kata Ranindya.

Haksara hanya terkekeh mendengar gadis cantik kesayangannya mulai pulih dari sedihnya. Ia mencubit ujung hidung Ranindya. “Buat kamu, biar makannya banget. Tangan sama pipi kamu udah gak ada isinya lagi tuh,” ledeknya. “Kita makan dulu, abis itu baru istirahat di dalem mobil,” singkat lelaki manis itu.

“Mau nonton juga dong, Chan,” ucap Ranindya.

“Iya, Sayang. Nanti kita nonton juga,” balas Haksara.

Setelahnya, Ranindya dan Haksara sibuk menyiapkan perapian untuk membakar seluruh bahan makanan yang sudah dibeli. Hari semakin malam dan angin yang berhembus juga semakin dingin nan menusuk. Dari arah belakang, Haksara menyampirkan kain tebal pada tubuh gadisnya.

“Yang lagi ulang tahun gak boleh sakit,” katanya.

“Kamu juga gak boleh sakit, Chandra. Sini deketan,” bantah Ranindya. Kemudian, gadis cantik itu mengisyaratkan Haksara untuk mendekatkan diri padanya lalu menyelimuti tubuh besar kekasihnya itu.

“Nih,” ucap Haksara sembari menyuapi Ranindya sepotong marshmallow. Tak lama, lelaki manis itu terkekeh. “Makannya yang bener dong, Ran.”

“Ya, kamu juga nyuapinnya yang bener, Chandra,” sergah Ranindya.

Mulut gadis cantik itu dipenuhi dengan lelehan dari makanan yang mirip dengan awan itu. Ranindya berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan sisa makanan manis menyatu dengan bibirnya itu, namun usahanya sia-sia. Dengan sigap, Haksara membantunya.

“Gini loh, Cantik, bersihinnya,” sela Haksara.

Tanpa sengaja, dua pasing manik itu saling bertemu, menatap netra pasangannya dengan lamat. Ada semburat cinta yang terpancar dari sana. Ranindya mengulas senyum lebih dulu sebelum sang kekasih melakukan hal serupa. Mungkin, pada malam yang semakin larut itu, sepasang kekasih yang sedang dicandu asmara itu benar-benar merasakan nikmat Tuhan paling indah, yaitu jatuh cinta.

Di detik berikutnya, yang terjadi adalah Haksara menangkup dagu mungil gadisnya untuk kemudian memangkas jarak di antara mereka. Lalu, belahan bibir itu bertaut. Haksara mencium gadisnya dengan penuh perasaan. Tidak sampai di situ saja, tangan Ranindya bergerak mengusap rangka tegas di hadapannya. Ciuman itu kian memanas sehingga dapat mengalahkan dinginnya angin sepoi yang berhembus.

Sejenak, Haksara menghentikan kegiatannya bersama Ranindya. “Kita istirahat di dalem aja, yuk,” ajaknya.