ttoguxnanaxranie

Claretta menutup mulutnya yang menganga lebar menggunakan kedua telapak tangannya. Pasalnya, mobil sedan hitam mewah benar-benar terparkir di halaman rumahnya. Melihat ada sesosok yang keluar dari mobil tersebut, Claretta segera menutup jendela kamarnya dan berlari kecil menuruni tangga di rumahnya. Saat sepasang tangan mungilnya berusaha membuka pintu utama rumahnya, tampaklah seorang lelaki tampan yang menatap datar ke arahnya.

“Rendika?” tanya Claretta ragu.

Yang ditanya mengangguk sekali. “Iya. Claretta ‘kan?” balasnya dengan bertanya.

Rahang tajam gadis cantik itu kembali terjatuh. Namun, kali ini kepalan tangannya tidak berusaha untuk melindungi. “Lo beneran tau rumah gua?! Lo stalker, ya?”

Rendika menghela napas panjang. Ia mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi oleh bungkusan berbagai macam makanan berat, makan ringan, hingga camilan. “Sebelum lo protes mending lo suruh gua masuk dulu. Berat nih makanannya,” jelas lelaki tampan itu. “Atau kalo lo tetep bersikukuh gak ngebolehin gua masuk gua bakal dobrak pintu rumah lo.”

Claretta lagi-lagi dibuat tercengang oleh lelaki tampan yang berdiri di hadapannya ini. Jika tadi ia dikejutkan dengan kedatangannya yang tiba-tiba, sekarang ia dikejutkan dengan kalimat tanpa batas yang keluar dari mulutnya. Meskipun begitu, Claretta tetap mempersilakan Rendika untuk masuk ke dalam kediamannya. Di dalam sana, Rendika menelisik segala sudut yang ada. Ia mengerutkan keningnya.

“Gua liat-liat kayaknya lo orang kaya,” ucap Rendika sembari mendudukkan dirinya di atas sofa impor yang orang tuanya Claretta beli setahun lalu tanpa persetujuan dari sang empunya.

“I am,” balas Claretta. “Gua emang kaya kok.”

Rendika terdiam sebentar sebelum berujar. “Tapi kenapa lo bisa digoblokin orang kayak Noah? I mean… lo tau ‘kan Noah orangnya kayak apa?” sarkasnya.

Claretta menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ia memandang sinis makhluk tampan, yang bahkan ia berani jamin lebih tampan dari kekasihnya, Noah Gibson, yang bersikap semena-mena padanya. Claretta menatap Rendika dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rendika pun melakukan hal yang sama. Keduanya seolah-olah tengah mengobservasi lawan bicara masing-masing.

“Sini duduk,” ucap Rendika. Ia menepuk-nepuk sisi kosong sofa di sebelahnya seolah dia-lah si pemilik rumah megah itu dan bukannya Claretta.

Entah dengan kesadaran penuh atau tidak, Claretta menurutinya. Ia mendudukkan dirinya di sebelah kiri Rendika. “Lo masih belum jawab pertanyaan gua, Rendika,” katanya.

“Yang mana, Claretta? Pertanyaan kenapa gua bisa tau rumah lo? Gua temen deketnya Noah,” jelas Rendika. “Noah cerita banyak tentang lo ke gua.”

“Lo temen deketnya Noah?” tanya Claretta skeptis.

Rendika mengangguk. “Bisa dibilang begitu.”

“Tapi kenapa lo bisa kecolongan? I mean… kenapa pacar lo bisa selingkuh sama pacar gua.” Sekarang giliran Claretta yang menusuk Rendika menggunakan sindirannya.

Rendika menyeringai. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya pada wajah cantik yang baru pertama kali ditemuinya. Rendika berani bertaruh tentang kecantikan dan aura yang dimiliki gadis yang duduk tepat di sebelahnya. Claretta jauh lebih menawan dibanding Alicia Wong, kekasihnya sekarang. Sesekali sepasang manik selegam malamnya mencuri pandangan pada belahan ranum yang sangat menggiurkan.

“Itu artinya lo gak boleh terlalu percaya sama orang,” ujarnya. “Ngerti, ya, Cantik?”

Rendika mengembalikan posisinya semula, sedikit menjauh dari Claretta. Sementara itu, Claretta membeku di tempatnya. Ia mengerjapkan netranya beberapa kali lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh jatuh dengan pesona palsu yang dipancarkan Rendika. Seperti yang sudah disinggung oleh lelaki tampan itu sebelumnya. Jika Noah, sang kekasih, saja bisa berkhianat kepadanya, apalagi Rendika yang notabenenya ialah orang asing untuknya.

“Gua gak ngerti kenapa Noah harus ninggalin lo demi pacar gua,” celetuk Rendika. Ia melepaskan hoodie yang dikenakannya. “Lo jauh lebih cantik dan pinter dibanding Alicia.”

Claretta menyeringai. Ia menyandarkan tubuhnya ke arah sofa sembari memandang layar televisi yang hitam sebab tidak dinyalakan. Claretta dapat melihat dirinya duduk bersebelahan dengan Rendika. “Lo tau dari mana kalo gua pinter?” tanya gadis cantik itu penasaran.

“Gua pernah sekelas sama lo tapi kayaknya lo sibuk ngebulol sama Noah,” jawab Rendika yakin. “Walaupun lo sibuk ngebucin gak jelas sama Noah tapi nilai lo yang paling tinggi di kelas kita. Dari situ gua tau kalo lo ternyata pinter. ”

Claretta menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rendika benar mengenai fakta itu tentang dirinya. “You’re an observant, Rendika, aren’t you?” tanya gadis cantik itu setelahnya.

Rendika menyetujui pernyataan gadis cantik di depannya. “Ya, approximately.”

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi antara sepasang remaja akhir yang sama-sama dikhianati pasangan satu sama lain itu. Rendika sibuk menata rapi makanan dan minuman yang dibelinya. Sedangkan, Claretta sibuk menggulirkan ibu jarinya pada layar ponselnya. Rendika mencoba mengintip apa kegiatan yang sedang dilakukan Claretta di sana. Dan ternyata…

“Lo ngapain re-read chat lo sama Noah sih?”

Sontak, Claretta langsung mengunci ponselnya. “Lo gak sopan, ya,” keluhnya.

“Makan dulu,” perintah Rendika.

Claretta tidak menyadari bahwa ketika ia sedang fokus pada ponselnya dan pesan-pesan singkat manis dari Noah, Rendika menyiapkan makan malam dan beberapa camilan untuknya. Sepasang manik selegam senjanya mengabsen satu per satu makanan yang tersedia di atas meja. Claretta kagum dan juga tersentuh. Noah bahkan tidak pernah melakukan hal-hal seromantis seperti ini kepadanya.

Claretta menolehkan pandangannya pada lelaki tampan yang duduk di sebelahnya. “Ini semua buat gua?” tanyanya.

“Iya. Gua gak tau lo sukanya apa. Jadi, gua bawain semua makanan yang sekiranya cewek bakal suka,” jelas Rendika diakhiri dengan senyum manis.

Tanpa sadar, gadis cantik itu menyimpulkan senyumnya untuk membalas senyum serupa malaikat yang ditampilkan oleh Rendika. “Makasih, ya, Rendika.”

Claretta tidak paham bagaimana Rendika dapat mengetahui bahwa tidak ada makanan lain selain air putih yang ditegaknya semenjak kemarin malam. Claretta juga tidak paham kenapa hatinya berdebar kencang padahal makanan yang dibawakan oleh Rendika kebanyakan adalah makanan kaki lima tetapi rasanya mengalahkan koki yang sehari-hari biasa memasak di rumahnya. Claretta yakin aksi yang Rendika lakukan-lah yang menjadi sumbernya.

Selagi menyantap makanan yang ada, gadis cantik itu tidak berhenti tersenyum. Berulang kali kata terima kasih terlontar dari mulutnya. “Makasih banyak, ya, Ren. Gua gak expect lo bakal bawa makanan sebanyak ini untuk gua.”

Rendika terkekeh. Ia tidak tahan melihat kegemasan yang Claretta lakukan. Lihat saja, sepasang pipi tirus itu menggembung dipenuhi oleh makanan. “Iya, Ta, sama-sama. Lo udah bilang ‘makasih’ seribu kali ke gua. Makan yang banyak, ya.” Kemudian, Rendika mengusap pelan pucuk kepala Claretta.

Setelah menghabiskan hampir setengah hidangan yang tersedia di hadapannya, akhirnya Claretta mengakhiri sesi makan malamnya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya ke atas kepala sofa yang empuk seraya mengusap perutnya yang terlihat sedikit membuncit. Dibanding Claretta, Rendika-lah yang lebih merasakan puas saat mengetahui makanan yang dibawanya tidak terbuang sia-sia.

“Makan lo banyak juga, ya, Ta,” ucap Rendika.

Claretta, yang tengah memejamkan maniknya seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit, menggeleng. “Gua gak biasanya makan sebanyak ini, Ren,” jawabnya.

“Bohong banget lo,” bantah lelaki tampan itu. “Gua berani bertaruh lo punya chef sendiri di rumah ini. Jadi, gak mungkin kalo setiap harinya lo gak bertambah nafsu makannya.”

Claretta kembali menggeleng. Namun, kali ini mencoba untuk mengembalikan fungsi indera penglihatannya. Ia menoleh ke arah Rendika. “Gua gak bohong, Ta,” katanya. “Dulu gua pernah stress eating karena dapet nilai di bawah kkm pas ujian tengah semester dan berat badan gua naik karena itu. Besoknya, pas gua ketemu sama Noah, dia bilang gini, ‘Kamu gendutan, ya, Ta? Aku lebih suka bentuk badan kamu yang kemaren loh.’,” jelas Claretta.

Rendika yang diceritakan kisah sedih seperti itu sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya. Ia bertanya-tanya. Ke mana Noah yang selalu berkata manis? Ke mana Noah yang selalu bersikap baik dan ramah? Ke mana Noah yang selalu membantu siapa saja yang sedang membutuhkan? Jika seperti itu praduga yang Rendika spekulasikan, maka ia salah besar. Noah tidak berubah. Ia hanya baru menunjukkan wajah aslinya saja.

“Semenjak saat itu, gua selalu jaga makan gua atau kalo bisa gua gak makan. Karena gua pikir, apapun yang gua lakukan itu untuk Noah. Iya dong, ya? Kalo bukan untuk dia, untuk siapa?” tambah gadis cantik itu.

“Tapi tetep aja, Ta. Dia gak seharusnya ngomong kayak gitu ke lo. Itu namanya dia mencintai lo ada apanya bukan karena apa adanya. Maksud gua, lo kurangnya apa sih? Hampir gak ada. Noah aja yang gak bersyukur punya lo,” sanggah Rendika.

Claretta tertawa miris. “Gitu, ya, Ren?” Di sisi lain, hati Claretta menghangat. Entah mengapa kalimat yang Rendika ucapkan padanya terdengar sangat amat tulus di telinganya.

“Udah deh, Ta. Gua gak mau ngomongin Noah lagi. Semakin gua denger ceritanya semakin gua pengen datengin rumahnya terus tonjokin sampe pingsan,” ujar lelaki tampan itu menggebu-gebu.

“Calm down, Rendika. Kita gak tau ‘kan siapa tau gua yang emang pantas diperlakukan seperti itu.”

“Claretta!” Rendika menolehkan wajahnya untuk menatap lamat wajah cantik yang banyak menyembunyikan rasa sakit itu. Ia dapat melihat dengan jelas air mata yang terbendung di kedua mata indah gadis cantik itu. “Gak ada manusia yang pantas diperlakukan semena-mena oleh manusia lain, termasuk lo.”

“Ren,” panggil Claretta.

“We better arrange our vengeance to them,” tegas Rendika. “Gua gak tahan kalo salah satu dari kita harus ada yang tersakiti lagi,” sambungnya. “Terutama lo, Claretta.”

Claretta mengernyitkan keningnya. “Gimana caranya?”

“Di mana kamar lo?” tanya Rendika serius.

“Kamar?” balas gadis cantik itu dengan kembali bertanya. “Ngapain lo nanya kamar gua?!”

Rendika mengusap wajahnya kasar. “Tadi katanya lo mau balas dendam ‘kan? Ayo.”

Sedikit banyak, Claretta tahu ke mana arah perbincangan ini akan berakhir. Jika boleh jujur, ia sedikit keberatan. “Kalo cara harus kayak ‘gitu’ gua gak mau,” ujarnya.

Rendika tahu bahwa Claretta resah. Rendika juga tahu Claretta akan menolak mentah-mentah rencananya ini. Setidaknya, pada awalnya. “Kita gak harus kayak ‘gitu’, Ta. Kita buat seola-olah kita kayak ‘gitu’. Gimana? Kalo lo gak mau, gua gak akan maksa. I won’t force you. Kita bisa cari cara lain.”

Dalam waktu yang cukup lama, Claretta bergumul dengan pikirannya sendiri. Ia bertanya-tanya, apakah cara ini akan berhasil? Atau Noah akan benar-benar pergi meninggalkannya? Claretta tidak pernah berbuat lebih selain bergandengan tangan, merangkul bahu satu sama lain, atau mencium pipi kekasihnya. Oleh sebab itu, ia ragu. Haruskah gadis cantik itu melakukan hal ‘tersebut’ bersama laki-laki lain?

“I have nothing to lose,” sergah Claretta. “Toh, cuma pura-pura aja ‘kan?”

“Iya,” jawab Rendika. “We just have to pretend like we do ‘that’.”

Claretta menghela napas panjang. “Okay, then. Let’s go!”

“So…,” ucap lelaki tampan itu menggantung. “Where’s your room?”

Dengan begitu, Claretta menuntun Rendika untuk menuju kamar tidurnya di lantai atas. Di dalam sana, Rendika tidak henti-hentinya terkesima. Bagaimana tidak? Kamar luas dengan interior mewah, barang-barang yang ditata dengan sangat rapi, serta penerangan yang temaram. Rendika, yang memiliki jiwa perfeksionis tinggi, merasa sangat dipuaskan. Ia tersenyum karena Claretta mengingatkan pada dirinya.

Claretta terkekeh menyadari Rendika takjub dengan isi kamarnya. “Ren,” panggilnya.

Seketika, Rendika kembali pada kesadarannya. “Kamar lo rapi banget,” pujinya. “Gua suka.”

“Makasih. Gua selalu gak tahan kalo ngeliat kamar gua berantakan,” jelas gadis cantik itu.

“Sama berarti,” timpal Rendika.

“Keliatan sih,” ucap Claretta sembari mendudukkan dirinya di tepi ranjang. “Dari cara berpakaian lo, dari cara lo parkir mobil di depan halaman rumah gua, sama dari cara lo susun makanan di atas meja yang tadi gua. Semuanya memperlihatkan kalo lo orang yang disiplin, teratur, dan terencana. So, I can assume that you’ve been thinking ‘this scene’ all night long or—” Belum sempat Claretta menyelesaikan kalimatnya, Rendika melakukan hal di luar dugaan.

Rendika menerjang gadisnya di atas tempat tidur. Tubuh besar lelaki tampan itu menghimpit tubuh yang lebih kecil. “You mean ‘this scene’?”

Dua pasang netra itu saling melempar pandang. Claretta bersusah payah menelan salivanya. Dari jarak sedekat ini, Rendika terlihat seribu kali lebih menawan. Pemandangan yang gadis cantik itu dapat lihat secara langsung antara lain seperti rambut hitam yang dipotong rapi dan menyesuaikan rangka wajahnya, sepasang mata yang menunjukkan binar kepastian, hidung bangir yang terlihat indah, serta bibir tipis yang sangat menggiurkan.

Tak berbeda jauh dengan lawan mainnya, Rendika jatuh ke dalam tatapan Claretta. Kini, di bawah tubuhnya ada seorang gadis cantik yang baru saja merasakan sakit yang teramat dalam. Rendika penasaran, laki-laki bodoh mana yang tega menyakiti gadis secantik, sepandai, dan sekarismatik Claretta? Ah, itu sahabatnya sendiri, Noah. Rendika tahu bahwa Noah telah membuang sebongkah berlian demi jagung sebiji.

“Kita…,” kata Claretta memecah keheningan. “Kayak gini terus? Atau gimana?” tanyanya gugup.

Rendika berdehem. “Ya, kurang lebih kayak gini,” jawabnya seraya menegakkan tubuhnya untuk berpindah posisi.

Setelahnya, tanpa menghiraukan peristiwa canggung yang baru saja terjadi, Rendika dan Claretta mengatur posisi masing-masing. Sesuai rencana yang sebelumnya sudah didiskusikan, keduanya akan mengambil foto seolah-olah mereka tengah bermesraan satu sama lain untuk kemudian foto-foto tersebut diunggah ke sosial media yang hanya berisikan Noah dan Alicia. Mereka berharap, setidaknya, ini akan memberikan efek jera kepada para pengkhianat itu.

Percobaan pertama, Rendika dan Claretta berdiri menghadap satu lain. Claretta mengulas senyum terbaiknya selagi Rendika menangkup pipi chubby gadis cantik itu. Mereka terlihat sangat bahagia. Percobaan kedua, Claretta duduk di atas pangkuan Rendika di atas sofa yang ada di kamarnya sembari mengalungkan lengannya pada bahu lelaki tampan itu. Rendika menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Claretta. Mereka terlihat sangat romantis.

Percobaan ketiga, yang terakhir, tidak jauh berbeda dengan ketidaksengajaan yang terjadi sebelumnya. Claretta merebahkan dirinya di atas ranjang dan Rendika berada di atasnya. Ia mendekatkan bibirnya dengan bibir Claretta sehingga terlihat keduanya tengah berciuman. Pada pose inilah, semuanya berakhir, dari foto untuk rencana balas dendam sampai hubungan tidak sehat dengan pasangan masing-masing.

Setelah mengunggah foto di akun sosial media satu sama lain, Rendika menukar ponselnya dengan milik Claretta dan sebaliknya. Rendika membiarkan Claretta untuk menanggapi protes dan celotehan tidak jelas dari mantan kekasihnya, Alicia. Sedangkan, Claretta membiarkan Rendika menanggapi kata-kata manis yang penuh dengan dusta dari sahabatnya yang bermuka dua, Noah.

“Pacar lo cerewet banget, ya, Ren. Kok lo bisa tahan sih pacaran sama nenek lampir kayak gini?” ujar Claretta.

“Noah ada aja alasannya, yang inilah, yang itulah. Udah tau salah bukannya ngaku salah malah membela diri,” cecar Rendika.

Tidak ingin merasa pusing lebih lanjut, Rendika dan Claretta meletakkan ponsel masing-masing di nakas yang tersedia di samping tempat tidur. Selagi memandang langit-langit kamar yang tinggi dan dihiasi oleh chandelier berukuran besar, keduanya tertawa demi menyalurkan emosi negatif yang selama ini bersarang di hati. Sekarang, semua amarah serta kesedihan sudah sirna dan digantikan dengan ketenangan jiwa.

“Ren,” panggil Claretta pelan.

“Apa?” balas lelaki tampan itu.

“Makasih, ya,” kata Claretta seraya mendudukkan dirinya di atas ranjang. Ia tatap sepasang manik selegam malam terindah yang pernah ditemuinya, milik Rendika. Ia juga dapat melihat dengan jelas lengkungan manis yang terpatri di wajah tampan itu.

Rendika terkekeh. “Iya, Claretta, sama-sama.” Rendika bangkit dari posisi berbaringnya untuk menyamakan pandangannya dengan Claretta. Tangannya bergerak mengusap pucuk kepala lalu bergantian dengan sebelah pipi sang gadis. “Cepet sembuh, ya. Semoga abis ini lo ketemu sama cowok yang bisa menghargai dan menghormati diri lo apa adanya. Bukan karena usaha atau apapun yang lo punya tapi karena itu lo, Claretta Anamari.”

Di malam yang semakin larut itu, Claretta sadar bahwa ia telah jatuh ke dalam pesona yang ia sempat kira dibuat-buat oleh sang empunya. Namun, ternyata anggapannya salah. Rendika memang tulus kepadanya. Meskipun, lelaki tampan itu gemar berbuat dan berkata sesuka hatinya tetapi jauh di dalam hatinya ia adalah seseorang yang Claretta mungkin cari selama ini. Pada pertemuan pertamanya, Claretta dibuat luluh hatinya oleh Rendika.

Rendika juga sadar bahwa ia telah terperangkap dengan aura yang dipancarkan oleh lawan mainnya. Claretta mempunyai semua hal yang Rendika idam-idamkan, mulai dari wajah yang cantik, isi kepala yang mengagumkan, hingga kepribadian yang anggun. Rendika sangat bersyukur dapat bertemu dengan gadis cantik di hadapannya ini. Pada pertemuan pertamanya, Rendika dibuat terkesima oleh Claretta.

“Ta,” panggil Rendika.

“Kenapa, Ren?” balas Claretta.

Kedua netra lelaki tampan itu tidak dapat lepas dari pemandangan indah yang terlihat semakin menggoda di bawah sinar lampu yang redup. Tentunya, Claretta juga menyadari hal itu. Serupa dengan Rendika, gadis cantik itu juga tidak dapat mengalihkan tatapannya dari wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Atmosfer yang tadinya terasa menenangkan berubah menjadi menegangkan. Keduanya larut di dalam suasana yang mulai memanas.

“Kalo…,” kata Rendika terputus. “Kita lanjutin balas dendam ke Noah sama Alicia. Lo mau?”

Claretta bergeming seolah disirih oleh kalimat yang dilontarkan Rendika padanya. Beberapa adegan sudah terputar di kepalanya. Benarkah ia benar-benar menginginkan hal tersebut atau hanya sekadar gairah belaka? Claretta tahu apa yang ia inginkan. Ia menganggukkan kepalanya pelan. “Mau.”

Selanjutnya, yang terjadi adalah tangan besar itu bergerak menangkup dagu mungil di hadapannya. Rendika memangkas jarak yang memang sudah sangat dekat antara dirinya dan juga Claretta. Claretta memejamkan erat kedua netranya dan begitu pun dengan Rendika. Hanya berselang satu detik, dua belah ranum yang saling menginginkan itu akhirnya bertemu. Rendika dapat merasakan hangatnya bibir yang ia kehendaki itu.

Walaupun terlihat pelan namun sensasi yang ada terasa pasti. Rendika melumat bibir tebal itu lalu dibalas oleh sang gadis. Kemudian, Claretta mengalungkan lengannya pada bahu lebar lelaki tampan itu. Rendika seolah mendapatkan isyarat untuk bergerak maju. Oleh karena itu, dengan perlahan, Rendika bergerak menidurkan tubuh Claretta. Lagi, Rendika berada di atas Claretta dan mencoba untuk menguasainya.

“Ahh.” Lenguhan pertama berhasil lolos.

Cumbuan panas itu berpindah haluan. Rendika mengecup seluruh permukaan yang bisa ia jangkau. Dimulai dari leher jenjang sampai bagian dada yang sudah sedikit terekspos sebab Claretta mengenakan gaun tidur berbahan satin berwarna biru laut. Sepasang kaki jenjang yang dikekang oleh sang dominan itu sedari tadi tidak dapat berhenti bergerak menggesek stau sama lain.

“Nghhh,” lirih gadis cantik itu.

Kini, lelaki tampan itu sedang bermain dengan dua gunung sintal yang mulai sekarang akan menjadi favoritnya. Tangan besar itu memijat, meremas, dan sesekali memilin ujung puting payudara yang masih terlindungi oleh pakaian. Rendika menyeringai puas kala sepasang maniknya menangkap ekspresi wajah Claretta yang tengah menikmati permainan intim mereka. Claretta sangat amat cantik saat berada di bawah kendalinya.

“Enak, Ta?” tanya Rendika.

Claretta mengangguk cepat. “Nghh, ahhh, iya,” jawabnya.

“Lagi?” goda lelaki tampan itu.

“Yes, please.” Tidak terdengar keraguan dari permintaan yang Claretta titahkan pada Rendika.

Berikutnya, Rendika melepas semua pakaian yang dikenakan untuk kemudian melakukan hal yang sama kepada Claretta. Awalnya, gadis cantik itu sempat terhenyak. Pasalnya, ia tidak pernah seterbuka ini kepada orang lain bahkan saat bersama Noah. Namun, dengan cepat, Rendika menyampirkan selimut untuk menutupi tubuh mereka karena ia tahu Claretta masih merasa sedikit malu.

“Lo gak pernah bilang kalo lo ternyata secantik ini, Ta,” puji Rendika menenangkan gadisnya.

Sanjungan itu sukses membuat wajah cantik Claretta menyemburatkan rona merah. “Jangan gitu, Ren. Gua malu tau.”

Rendika tertawa pelan. Claretta terlihat menggemaskan dan menggoda di saat yang bersamaan. “Gua nyesel gak kenal lo lebih cepet, Ta.”

Bahkan, di sela-sela kegiatan panas seperti itu saja, Rendika masih bisa mencairkan suasana untuk meneduhkan hati Claretta. Mendengar ada kalimat yang membuat hatinya semakin jatuh dan jantungnya berdegup lebih kencang, Claretta tersenyum. Di dalam diamnya, ia menyetujui pernyataan yang lelaki tampan itu ucapkan. Seandainya, waktu dapat diputar kembali, Claretta ingin jatuh kepada Rendika alih-alih sahabatnya.

“Ta,” panggil Rendika pelan.

“Ya?” balas Claretta lembut.

“Is this your first time?” tanyanya.

Meskipun, Claretta ragu untuk berkata jujur. Akhirnya, ia mengangguk juga. “Iya.”

Simpul bak mentari pagi yang menghangatkan semesta kembali muncul di wajah tampan Rendika. “Thank you,” katanya. “Makasih udah percaya sama gua. Kalo lo sakit atau lo gak mau, lo bilang sama gua, ya, Ta.”

Claretta membalas senyum lelaki tampan itu dengan tak kalah manis. “Iya, Rendika.”

Setelahnya, Rendika kembali memimpin permainan. Perlahan, ia meneroboskan penisnya untuk masuk ke dalam vagina sang gadis. Saat kepemilikan mereka bertemu, Rendika dan Claretta menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit tempat tidur. Ini baru permulaan tetapi rasanya sudah membuat kepala pusing sebab rasa nikmat. Claretta menggigit bibir bagian bawahnya. Ada rasa nikmat dan perih yang bercampur jadi satu.

“Nghhh, ahh,” desah Claretta.

“Shh, ahhh,” lirih Rendika.

Keduanya bernapas lega kala kejantannya itu akhirnya dapat masuk dengan sempurna ke dalam organ intim gadisnya. Setelah dirasa sudah beradaptasi, Rendika mulai bergerak dengan tempo pelan. Ia sembunyikan wajahnya di perpotongan leher Claretta. Sedangkan, Claretta yang sedang dilingkupi terlalu banyak rasa nikmat hanya dapat memeluk tubuh besar di atasnya.

“Ahhh, Ren,” lenguh gadis cantik itu.

Merasa terpanggil, Rendika mengangkat pandangannya. Ditatapnya wajah yang tetap cantik itu walaupun keringat membasihnya. “Sakit, Ta?” tanyanya khawatir.

Claretta menggeleng. “Nghhh, enggak,” jawabnya.

Rendika mengangkat sebelah alisnya. “Faster?”

“Yes, please.”

Sesuai perintah, lelaki tampan itu bergerak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Sepasang lengan kurus yang sedari tadi mengalung kini meluruh. Claretta meremat kain yang melapisi ranjangnya. Nikmat yang ada semakin menguasainya dan begitu juga Rendika yang semakin mengendalikannya. Ia merasakan sesuatu membuncah pada kewanitaannya. Claretta sangat menyukai sensasi itu.

“Mphh, Ren, ahhh,” desah gadis cantik itu.

Rendika sangat dimanjakan sepasang indera pendengarannya. Pasalnya, selama sesi intim ini berlangsung, Claretta tidak berhenti meneriakan suara-suara indah yang mengandung namanya, di mana hal tersebut menjadi pasokan bahan bakar untuk terus menggempur gadisnya. Lihat saja, lelaki tampan itu bergerak semakin brutal. Decitan dari kaki ranjang bersamaan dengan suara pertemuan kulit yang lembap menjadi pengiring.

“Nghh, Ren,” panggil Claretta.

“Iya, Cantik?” balas Rendika dengan bias suaranya yang sedalam palung.

“Harder, please,” pintanya.

Sepertinya, Claretta akan menjemput pelepasannya sebentar lagi. Beruntungnya, Rendika merasakan hal yang sama. Rendika menambah kekuatan gempuran penisnya pada vagina sang gadis. Dan lagi-lagi, Claretta dibuat terbang ke angkasa. Sementara itu, Rendika sangat menikmati bagaimana lubang surgawi itu seolah menghisap dan memijat kejantanannya. Baik Rendika dan Claretta, dipuaskan satu sama lain.

“Ren, ahhh, i’m close, ahh,” ujar gadis cantik itu susah payah.

“Shhh, me too, Claretta,” kata Rendika.

Di malam yang hampir berganti hari, disaksikan oleh lampu yang bersinar tenang, suara khas kenikmatan yang menggelora di seluruh ruangan, serta rasa yang secara masif tumbuh di dalam hati, Rendika dan Claretta terhanyut dalam atmosfer yang mereka ciptakan sendiri. Di kesempatan ini, keduanya memutuskan untuk lebih mengenal satu sama lain melalui kegiatan intim yang sedang dilakukan.

Siapa yang akan menyangka? Bahwa balas dendam akan terasa senikmat ini. Rendika terus mempercepat dan memperkuat hantamannya. Sedangkan, Claretta semakin masuk ke alam bawah sadarnya. Tanpa diduga, keduanya mencapai titik ternikmatnya di waktu yang bersamaan. Namun, sebelum Rendika benar-benar menjemput pelepasannya, ia menarik penisnya keluar dari bawah sana.

“Ahh!”

“Akh!”

Cairan kental berwarna putih itu menyembur ke segala sudut di tempat kejadian perkara, terutama di atas perut rata Claretta. Rendika menjatuhkan dirinya di sebelah sang gadis. Rendika dan Claretta sama-sama diburu napas dan tubuh mereka dibanjiri keringat. Masih di balik selimut yang sama, keduanya termenung meratapi peristiwa yang baru saja terjadi. Tidak ada yang menyangka semuanya akan berakhir seperti itu.

Kemudian, Rendika membangkitkan setengah tubuhnya. Ditatapnya Claretta yang masih mencoba mengatur napasnya selagi sepasang manik selegam senjanya terpejam. “Ta,” panggilnya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya.

“Iya, Ren?” Claretta mengembalikan fungsi indera penglihatannya dan yang ia temukan adalah wajah tampan Rendika tengah mengulas senyum padanya.

Rendika terkekeh. “Capek, ya?” tanyanya.

Claretta tertawa pelan. “Lumayan sih. Soalnya pertama kali,” jelas gadis cantik itu.

Kedua muda-mudi itu kembali larut dalam tatapan satu sama lain tanpa sadar hari telah berganti. Jam kuno berukuran besar terletak di ruang keluarga di kediaman sang gadis berdenting keras menandakan sudah lewat tengah malam. Rendika melirik jam tangan kulit yang melingkar di tangan kirinya. Claretta menolehkan pandangannya pada jam kecil berbentuk kelinci di nakas sebelah ranjangnya.

“It’s June 1st,” ucap Claretta.

Tidak ada jawaban yang terdengar dari Rendika. Ia masih setia menatap jam di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 00.01 dini hari. Lalu, lelaki tampan itu berkata, “Claretta. I want to tell you something.”

Mendengarnya, Claretta memusatkan atensinya pada Rendika. “Bilang aja, Ren,” katanya.

“This is the end of May, right?” tanya lelaki tampan itu.

“Iya. And then?” balas Claretta

“You’re the best thing that happened to me in the end of May, Ta,” jelas Rendika. Sepasang manik selegam malamnya menatap lamat pasangan manik lainnya. “So…,” ucapnya terpotong. “May I be yours?”

Jika biasanya Jerry dan Yosephine membahas konspirasi atau isu-isu yang tengah sedang di negara tercinta ini selagi menikmati perjalanan mereka di dalam mobil, maka hal itu tidak berlaku untuk saat ini. Hanya ada keheningan yang melanda. Jerry sengaja tidak menyambungkan ponselnya dengan bluetooth audio atau menyalakan radio pada mobilnya. Dengan adanya kesunyian ini, lelaki tampan itu berharap Yosephine akan segera membuka mulutnya.

“Kamu belum jawab pertanyaan aku, Yosephine,” ucap Jerry serius.

Yang diajak bicara lebih memilih untuk bungkam. Yosephine menatap ke arah luar jendela yang memberikan pemandangan gedung pencakar langit serta bintang yang bertabur acak di luasnya semesta. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk aksi protes dan mogok bicara kepada sang kekasih. Jerry yang sedari tadi atensinya sesekali dicuri oleh makhluk Tuhan paling indah yang ada di sebelah kirinya hanya dapat menghela napas pasrah.

“Yosephine,” panggil Jerry.

“Hm?” Akhirnya, gadis cantik tersebut mau membalas meskipun hanya dengan deheman singkat.

“Kamu belum jawab pertanyaan aku,” ulang Jerry.

“Yang mana?” ketus Yosephine.

“Kamu ngapain sama sama dia?” tanya lelaki tampan itu dengan nada datar nan tegas yang terdengar secara bersamaan.

“Gak ngapa-ngapain,” jawab Yosephine masih dengan pendiriannya.

Tidak ingin mencelakakan dirinya dan juga sang kekasih, Jerry menepikan mobilnya di bahu jalan. Ia menatap lamat wajah Yosephine yang masih belum mau memandangnya. Tangan kirinya bergerak merangkul kursi yang diduduki gadisnya. Menyadari mobil yang ditumpanginya berhenti dan ditambah dengan adanya pergerakan yang dilakukan oleh lelaki kesayangannya, Yosephine menolehkan pandangannya.

“Kok mobilnya berhenti?” tanyanya.

“Aku gak akan lanjut nyetir sebelum kamu jawab pertanyaan aku,” jawab Jerry. “Aku gak mau bahayain kita berdua.”

Yosephine menghela napas panjang. “Pertanyaan yang mana, Jerry?”

“Kamu kenapa tadi bisa sama dia di toko buku? Katanya mau pergi sendiri,” tegas lelaki tampan itu.

“Aku juga gak tau,” kata Yosephine membela dirinya.

“Kok bisa gak tau? Aku liat kamu ngobrol sama dia. Kamu ketemuan sama dia? Jelasin ke aku, Ophine. Aku nunggu penjelasan dari kamu. Jangan sampe spekulasi yang aku takutin ini beneran terjadi,” jelas Jerry.

Mendengarnya, Yosephine menatap sinis pada lawan bicaranya. “Apa, Jerr? Apa spekulasi kamu? Aku balikan sama Arden. Iya, Jerr?!” Nada bicaranya meninggi. “See, Jerr? Kamu aja gak percaya sama aku. Gimana aku mau jelasin? Kalo kamu aja gak percaya.”

“Aku bukannya gak percaya sama kamu, Yosephine.” Jerry mencoba untuk mempertahankan nada bicaranya agar tidak membentak gadisnya.

“Terus apa? Itu namanya kalo gak percaya terus apa, Jerry?!” Yosephine semakin menggebu-gebu.

Jerry dapat melihat dengan jelas wajah cantik kesukaannya menyemburatkan rona merah. Bukan karena tersipu malu tetapi sebab amarah yang memuncak. Jerry juga dapat merasakan napas hangat yang sesekali tersendat kala bibir cantik yang ingin sekali ia kecup itu mengeluarkan kata-kata. Sepasang manik selegam senjanya menampilkan pupil yang bergetar hebat. Yosephine sangat marah, kepada Jerry dan juga dirinya.

“Calm down, Yospehine,” ucap Jerry. “I’m here.”

Tangan kanan lelaki tampan itu mengulur. Jerry berusaha mengusap punggung tangan gadisnya yang menelungkup di atas pangkuan empunya. Namun, saat Jerry hendak meraihnya, Yosephine menepisnya. Ia kembali membuang pandangannya ke sebelah kiri. Yosephine berusaha keras menahan tangisnya. Setelah dirasa lebih tenang, barulah gadis cantik itu mau melanjutkan percakapannya bersama sang kekasih.

“Kamu kenapa marah pas aku tanya, Yosephine?” tanya Jerry lagi. ‘Kan aku cuma minta penjelasan dari kamu dan gak lebih.”

“Maksud kamu?! Aku marah juga karena kamu, Jerry,” balas Yosephine dengan kembali bertanya. Bias suaranya terdengar tidak santai.

“Aku sampe sekarang belum dapet penjelasan kenapa kamu bisa sama dia di toko buku padahal kamu bilangnya pergi sendiri,” sergah Jerry.

“Gimana aku mau ngejelasin ke kamu? Kalo pikiran kamu aja udah skeptis sama aku,” jawab Yosephine.

“Skeptis?!” Sekarang, Jerry-lah yang nada bicaranya naik satu oktaf. “Aku nunggu penjelasan dari kamu, Yosephine, tapi kamu malah nuduh aku yang gak percaya-lah yang skeptis-lah.”

“Oh, jadi aku yang salah, ya, Jerr? Iya, aku salah. Aku gak sengaja ketemu sama Arden gak bilang kamu. Pokoknya aku kalo mau ke mana-mana harus laporan dulu ke kamu. Kamu sadar gak sih kenapa aku gak minta temenin kamu ke toko buku? Karena aku tau kamu lagi ribet. Aku di sini berusaha untuk ngertiin kamu tapi kamu malah nuduh aku jalan sama Arden,” sanggah Yosephine.

Seketika ada satu nama yang disebut, suasana hati Jerry langsung memburuk. Arden, mantan kekasih dari Yosephine sebelum dirinya. “JANGAN SEBUT NAMA DIA LAGI!” bentak lelaki tampan itu.

Yosephine terhenyak di tempatnya. Ia bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali lelaki kesayangannya itu berteriak padanya. Ah, Jerry memang selalu bersikap lembut padanya. Namun, layaknya manusia biasa yang mempunyai emosi kompleks, Jerry juga butuh untuk marah. Apalagi, alasan kegusarannya kali ini bukan lain adalah Arden Ravindra. Di detik berikutnya, Jerry sadar bahwa ia sudah melewati batas.

“Maaf,” ucap Jerry seraya mengusap wajahnya kasar. “Aku kelewatan.”

Yosephine dapat dengan jelas melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata kekasihnya. Jika ia tidak salah tebak, mungkin Jerry sangat amat merasa bersalah setelah membentak dirinya. “Segitu cemburunya kamu sama Arden, Jer?! Padahal aku gak sengaja ketemu loh. Kamu gak perlu semarah ini. Aku juga udah approach kamu tapi emang kayaknya kamu yang gak mau aku approach.”

“Aku gak cemburu sama dia, Yosephine,” bantah lelaki tampan itu. “Untuk apa aku cemburu sama bajingan kayak dia? Aku yang berhasil bikin kamu bahagia, bukan dia.”

“Terus kenapa kamu ngebentak aku? ‘Kan kamu tau aku paling gak bisa dibentak,” jelas gadis cantik itu.

Setelah menyalurkan kemarahan dan emosi negatif lainnya yang bersarang di hati, atmosfer menegangkan yang melingkupi sepasang kekasih itu mulai mereda. Jerry dan Yosephine merupakan dua orang dan banyaknya muda-mudi yang menganut ‘lebih baik bertengkar hebat hingga menghabiskan waktu semalaman alih-alih harus memendam rasa sakit yang ada lalu pergi tiba-tiba’.

Perlahan, tangan kanan Jerry kembali bergerak. Ia ulurkan telapak tangannya yang besar untuk menyeka helaian rambut yang menutupi wajah cantik favoritnya. Kemudian, tangan itu beralih untuk mengusap pelan pipi tirus yang menunjukkan banyak guratan rasa lelah dengan ibu jarinya. Ditatapnya lamat-lamat sepasang manik selegam senja yang menyimpan banyak kasih sayang dan rasa cinta untuknya.

“Listen to me, Yosephine,” kata Jerry. “Aku bukannya marah karena cemburu ngeliat kamu sama dia atau hal-hal semacamnya tapi aku gak rela kalo harus liat dia muncul lagi di hidup kamu. Dia yang udah bikin kamu sakit sedangkan aku berusaha mati-matian untuk membahagiakan kamu. Seharusnya, kamu yang paling tau rasa sakit itu. Dia yang nyakitin kamu, tapi kenapa rasanya aku yang lebih sakit ketika aku tau kamu disakitin. Aku….” Dengan sengaja, Jerry menggantungkan kalimatnya. “Aku gak bisa ngeliat kamu sakit, Yosephine.”

Yosephine sempat membeku di tempatnya. Penjelasan bermakna yang penuh ketulusan itu sangat menyentuh hati terdalamnya. Ia sampai tidak tahu harus menanggapi pemaparan sang kekasih dengan emosi atau aksi yang bagaimana. Yosephine tidak tahu harus apa. Namun, satu hal yang ia tahu ialah Jerry bukanlah Arden yang gemar ingkar dengan kata-kata atau janji yang diucapkannya.

“Jerr.”

“Ophine.”

Kedua insan itu tidak sengaja memanggil nama satu sama lain. Baik Jerry atau Yosephine sama-sama terhanyut dengan suasana yang semakin tenang nan membaik. Jika tadi keheningan yang mengudara diselimuti dengan hawa negatif, kini kesunyian yang ada mengisyaratkan bahwa mereka mengharapkan ketenangan setelah hal-hal buruk yang sempat terjadi.

“Kamu duluan aja,” ujar Yosephine.

“Bisa gak?” tanya Jerry tidak jelas.

“Bisa apa, Jerr?” balas sang gadis dengan kembali bertanya.

“Bisa gak masalahnya kita selesain pake ciuman aja?”

Tanpa aba-aba atau menyetujui permintaan sang kekasih, Yosephine bergerak terlebih dahulu. Dikecupnya bibir yang selalu memberikan kenyamanan pada hasrat yang kerap kali timbul. Ia mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Jerry menyambut ciuman itu dengan senang hati. Ia menangkup sebelah pipi tirus gadisnya.

Entah sudah berapa kali sepasang kekasih itu mengubah arah kepala mereka, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Momen ini intim yang dilakukan keduanya merupakan akhir dari perseteruan yang sempat terjadi sebelumnya. Semakin panas aktivitas yang terjadi maka sepasang kekasih itu akan semakin lupa dengan dunia yang ada di sekitar mereka. Seolah ingin meminta lebih satu sama lain, mereka bergerak semakin agresif.

“Mphhh,” lirih Yosephine tertahan kala kecupan itu perlahan turun ke arah dadanya.

“Nghh, Phine,” lenguh Jerry saat gadisnya dengan sengaja mengusap kejantanannya.

Kemudian, tangan kekar itu bergerak menangkup tangan yang lebih mungil. Untuk sejenak, Jerry berhenti sebentar dari kegiatannya bersama Yosephine. Ia melonggarkan dasi berwarna hitam yang melingkar pada kemeja kerjanya lalu melilitkan benda tersebut di sekitar pergelangan tangan sang kekasih. Yosephine yang paham ke mana arah permainan ini hanya menyeringai puas.

“Kamu tau ‘kan artinya kalo udah iket tangan kamu itu apa?” tanya lelaki tampan itu sensual.

Yosephine mengangguk sekali. “Yes, Sir.”

Mendengarnya, Jerry tersenyum. “You're not allowed to do anything except my command,” jelasnya. “Understand, Ophine?” Tangan kanan Jerry bergerak menangkup dagu mungil sang gadis agar menatap lurus ke arah matanya.

Yosephine menganggukan kepalanya lagi. “Understood, My Lord,” jawabnya.

Berikutnya, Jerry kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Namun, kali ini, tangannya ikut bekerja. Selagi ia sibuk memberikan tanda kepemilikan di sekitar dada sang gadis, jari-jarinya bergerak melepas satu per satu kancing kemeja hitam yang dikenakan Yosephine. Kemudian, tampaklah sepasang payudara sintal yang memohon untuk segera dimainkan. Dengan gerakan pasti, lelaki tampan itu melepas pengait bra yang melindungi aset miliknya.

“Ahhh, Jerr,” desah Yosephine saat kekasihnya meremas, memijat, lalu sesekali memilin ujung puting payudaranya.

Yosephine, yang kedua tangannya diikat erat tidak dapat berbuat apa-apa selain mengelukan nama lawan mainnya. Jerry bagaikan bayi yang merindukan air susu ibunya. Lihat saja, bagaimana mulutnya dengan gencar menghisap sebelah payudara sang gadis. Yosephine menengadahkan kepalanya demi menetralisir rasa nikmat dari buah dada yang mengontak ke seluruh tubuhnya.

“Nghh, ahhh, Jerr,” lenguh gadis cantik itu.

“More?” tanya Jerry sembari mengangkat alis tebalnya.

“Yes,” balas Yosephine. “Please.”

Bukannya melakukan titah dari Yosephine, Jerry malah menegakkan tubuhnya. Ia membuka zipper pada celana kain berwarna hitam yang dipakainya setelah sebelumnya merenggangkan tali pinggang berbahan kulit yang melilit pinggangnya. Yosephine dapat melihat jelas penis besar yang terasa sesak dari balik pakaian dalam lelaki kesayangannya. Jerry benar-benar tergugah dengan permainan yang mereka ciptakan.

“Please me first,” perintahnya. “Then I’ll bring you heaven.”

Yosephine tersenyum lalu mengangguk pelan. Dengan gerakan yang terbatas, sebab pergelangan tangannya masih terikat sempurna, gadis cantik itu bergerak meluruhkan pakaian dalam sang kekasih. Voila! Batang berurat yang berdiri tegak siap untuk dipuaskan. Perlahan, Yosephine melumat ujung penis besar tersebut. Jerry dibuat mengerang kenikmatan oleh gadisnya.

“Mphhh. Good, Yosephine,” puji lelaki tampan itu. “Now, deeper.”

Sesuai perintah, Yosephine memasukkan kejantanan kekasihnya lebih dalam lalu kepalanya bergerak maju dan mundur dengan tempo sedang. Jika tadi Yosephine yang dipermainkan oleh kekasihnya maka kali ini Jerry yang mendapat giliran tersebut. Tangan kanannya bergerak menangkup rambut bagian belakang sang gadis. Kemudian, ditolongnya Yosephine untuk bergerak lebih cepat.

Jerry terus memanggil nama Yosephine selagi gadisnya memuaskan keinginan juniornya. Yosephine beberapa kali sempat tersedak karena benda besar yang memenuhi tenggorokannya tetapi itu bukanlah masalah yang signifikan. Selama Jerry merasa terpuaskan, gadis cantik itu rela diperlakukan dan dijadikan apa saja untuk membantu mencapai tujuan tersebut. Bisa dibilang, Yosephine berperan sebagai submissive di dalam hubungan ini.

Tak lama kemudian, Jerry mengomando gadisnya untuk berhenti. Ia mengusap bibir merah yang berair itu menggunakan ibu jarinya. Lalu, lelaki tampan itu kembali mencium kekasihnya mesra. Baik Jerry maupun Yosephine, melalui kecupan itu, dapat merasakan cinta dan kasih sayang dari pasangan masing-masing.

Meskipun, tidak menutup kemungkinan, Yosephine masih heran alasan Jerry menyuruhnya untuk berhenti. Padahal, ia sangat yakin bahwa Jerry akan menjemput pelepasannya sebentar lagi. “Kok berhenti?” tanya gadis cantik itu sesaat sang kekasih menyudahi ciumannya.

Jerry terkekeh kala sepasang indera pendengarannya mendengar pertanyaan polos yang dilontarkan gadisnya. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga kiri Yosephine. “I said I’ll bring heaven to you or have you forgotten?” bisik lelaki tampan itu.

Tentunya, Yosephine mengerti dengan isyarat itu. Dengan begitu, ia merendahkan bangku penumpang yang didudukinya. Yosephine yang sudah setengah telanjang, meletakkan kedua tangannya yang terikat ke atas kepalanya, memberikan Jerry pemandangan paling menggiurkan yang pernah ia lihat. Demi menyambut tubuh indah itu, Jerry mengubah posisi duduknya.

Jika tadi lelaki tampan itu duduk di kursi supir di belakang kemudi maka sekarang ia duduk di atas Yosephine. Tangan Jerry bergerak menurunkan zipper celana jeans cullote yang dikenakan sang gadis. Jerry tersenyum puas saat sepasang maniknya menangkap pakaian dalam berwarna putih yang memiliki bercak basah. Ia mengusap pelan vagina sang kekasih dari arah luar.

“Ahhh, Jerr,” desah Yosephine.

“You’re already wet, Ophine,” goda Jerry. “It’ll make me easier to bring heaven to you.”

Di detik berikutnya, Jerry meluruhkan kain terakhir yang melekat pada tubuh gadisnya. Dengan gerakan perlahan tetapi pasti, lelaki tampan itu memangkas jarak antara miliknya dan milik gadisnya. Sepasang kekasih itu saling memanggil nama satu sama lain kala kepemilikan mereka bersentuhan. Hanya selangkah lagi dan keduanya akan merasakan apa yang dinamakan surga dunia.

“Nghh, ahhh.”

“Ahhh.”

Jerry dan Yosephine sudah menjadi satu kesatuan. Di dalam hatinya, Yosephine sangat berterima kasih kepada sang kekasih sebab lelaki kesayangannya itu tidak mengenyampingkan aspek kesehatan dan keselamatan walaupun dirinya yang menjadi pemimpin. Jerry mulai bergerak dengan tempo lambat. Namun, hanya dengan kecepatan seperti itu, keduanya sudah seperti dibawa ke angkasa.

“Nghh, Jerr,” lirih Yosephine.

“Do you feel heaven, Yosephine?” tanya Jerry.

“Kinda,” jawabnya singkat.

Jerry terkekeh remeh. “It’s just a beginning, Ophine,” katanya. “Soon, you’ll know what heaven feels like.”

Dengan berakhirnya kalimat tersebut, Jerry mempercepat tempo gempurannya. Setidaknya, Yosephine dapat merasakan Jerry menghantamnya tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia juga dapat merasakan dengan jelas ujung penis itu terus menabrak dinding rahimnya. Mobil yang menjadi saksi bisu atas perilaku nakal mereka pun ikut bergerak seolah menyemangati kegiatan panas keduanya.

“Nghhh, Jerry, ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Yosephine tidak dapat menanggulangi rasa yang tengah menguasai dirinya. Dengan Jerry yang berada di atasnya, semua terasa sangat sempurna. Yosephine menengadahkan kepalanya ke arah atap mobil. Lalu, peluang itu Jerry manfaatkan dengan kembali menambahkan tanda khas kenikmatan di sekitar dada dan payudara sang gadis. Oleh sebab itu, Yosephine semakin dibuat meraungkan nama kekasihnya.

“Ahh, Jerry,” panggil Yosephine.

Jerry mengangkat pandangannya. Ia tidak dapat menahan senyumnya kala sepasang manik selegam malamnya menangkap pemandangan tak terlupakan berupa wajah cantik kekasihnya yang sedang bertarung dengan rasa nikmat. Jerry berani bertaruh bahwa skema bagaimana gadisnya larut dalam surga ala duniawi yang diciptakannya akan selalu menghantui isi pikirannya, terutama saat berkas di kantor menumpuk di meja kerjanya.

“About to cum, Girl?” tanya Jerry.

Yosephine mengangguk cepat. “Yes. Can I?” ucapnya meminta izin.

“With one condition,” jawab lelaki tampan itu. “On my count.”

Selanjutnya, Jerry menghantam gadisnya dengan seluruh kekuatan yang ia bisa kerahkan. Di satu sisi, ia sangat puas melihat gadisnya menanggung pelepasan yang seharusnya dijemput. Namun, di sisi lain, ia juga perlu untuk membebaskan hasrat yang sedari tadi tertahan. Oleh sebab itu, Jerry memutuskan untuk membiarkan Yosephine merasakan titik ternikmat bersama dengannya.

“I can’t, ahhh, hold it, nghhh, anymore, Jerr,” rintih Yosephine.

“On three, Yosephine,” jelas Jerry. “One.”

“Nghh, ahhh,” lirih gadis cantik itu.

“Two.”

“Jerry?!”

“Three.”

Pada hitungan ketiga, Jerry menyemburkan sperma hangatnya ke dalam rahim sang gadis. Berbeda dengan lelaki kesayangannya, Yosephine yang sudah berada di ujung tanduk, menjemput pelepasannya pada hitungan kedua. Sepasang kekasih itu beradu dengan napas satu sama lain. Jerry mengeluarkan kepemilikannya dari dalam kepemilikan sang kekasih untuk kemudian mengecup kening Yosephine dalam waktu yang cukup lama.

“I’m so sorry, Yosephine,” ucap lelaki tampan itu. “Maaf tadi aku ngebentak aku. Aku kelewatan. Maaf juga aku udah punya pikiran jelek sama kamu. Jadi, kayak keliatannya aku gak percaya sama kamu. To be honest, aku gak pengen kamu sakit dan sedih lagi. I truly worry bout that.”

Mendengarnya, Yosephine tersenyum teduh. “It’s okay, Jerry,” balasnya. “Aku yang gak peka sama perasaan kamu. Seandainya, aku yang ada di posisi kamu, mungkin aku sama marah dan sedihnya. Makasih, ya, udah perhatian sama hidup aku di saat aku sendiri gak sadar.”

Jerry tersenyum manis sembari mengusap pelan pucuk kepala Yosephine. Akhirnya, perkara yang berpotensi memunculkan keretakan pada hubungan keduanya kandas hanya dalam waktu satu malam. Jerry dan Yosephine sadar bahwa mereka hanya ingin menjaga satu sama lain. Namun, tak jarang cara yang mereka gunakan salah sehingga menimbulkan perdebatan. Jika sudah begitu maka komunikasi transparan yang menjadi jawabannya.

“Phine,” panggil Jerry di sela-sela momen romantis mereka.

“Hm?” Yang dipanggil namanya hanya berdehem pelan. Jari telunjuk gadis cantik itu sibuk bermain pada rangka wajah tegas yang tampan favoritnya.

“Kamu tau gak?” tanyanya.

“Tau apa?” balas Yosephine dengan kembali bertanya.

“We’re not done yet.”

Seketika, seluruh pergerakan gadis cantik itu berhenti. “What do you mean by that? What thing isn’t done yet?” Kening gadis cantik itu mengernyit keheranan.

Lagi, Jerry memangkas jarak antara dirinya dengan sang gadis. Ia berbisik. “Aku tau kamu tadi gak nurutin perintah aku. You were cum on the second count, weren’t you?”

Yosephine yang tertangkap basah hanya dapat bergeming. Ia mengulum bibirnya sebab gugup. Ia pikir, Jerry tidak akan tahu bahwa dirinya mendapat titik ternikmatnya satu detik lebih cepat dari waktu yang kekasihnya tentukan. Yosephine tahu, ia akan menanggung akibatnya apabila ia melakukan dua pelanggaran selagi bermain bersama. Satu, tidak menuruti perintah sang dominan. Dua, berbohong tentang menjemput pelepasannya.

“Am I right, Ms. Arawinda?” cecar Jerry. Wajah tampan itu kembali berubah drastis.

Yosephine menghela napas panjang sebelum menjawab. “I was, Sir.”

“Then, you know where did you go wrong,” jelas lelaki tampan itu.

“Iya,” balas Yosephine. “Tapi…,” ucapnya menggantung. “Boleh gak jangan di sini? Pinggang aku sakit banget.”

“Sakit banget, Phine?” tanya Jerry khawatir.

“Enggak juga sih,” ujarnya. “But it would be so much easier if we do that on bed.”

“As you wish, Yosephine.”

Mendengar kehendak demikian dari gadisnya, Jerry pun menyetujuinya. Setelah memakai kembali pakaian masing-masing yang sempat terlepas dan kini terlihat sangat kusut dan tidak karuan, Jerry menancap gas mobilnya untuk menuju rumahnya. Bukan rumahnya bersama kedua orang tuanya, melainkan rumah miliknya sendiri. Dengan begitu, Jerry dapat dengan bebas mengeksploitasi kekasihnya.

“Di sweet box banget nih?” tanya Alesha sinis.

“Iya. Kenapa? Kamu gak suka? Kalo kamu gak suka kita bisa ganti tempat duduknya,” balas Anthony.

Sesuai dengan rencana awal, Anthony sungguh-sungguh mengajak kekasihnya untuk menyaksikan film hantu yang seram bersamanya. Dan tentunya, bersama dengan tantangan yang secara sepihak ia berikan kepada sang gadis. Tidak ingin terlihat lemah atau semacamnya, Alesha-pun menyetujuinya. Toh, jika ia kalah yang akan menciumnya adalah kekasih tercintanya sendiri, Anthony Faresta.

“Emang bisa? Di mana?” skeptis sang gadis.

“Bisa. Di pangkuan aku,” enteng Anthony.

Mendengarnya, Alesha melayangkan satu pukulan keras ke arah lengan berotot yang ada di sebelah kirinya. Sementara itu, Anthony hanya terkekeh saat mengetahui gadisnya diam-diam tersipu malu. Setelah mencetak tiket yang dibeli secara online, Anthony dan Alesha berlalu ke arah cafetaria untuk membeli beberapa camilan, seperti caramel popcorn, ice green tea latte, dan ice americano.

“Ayy,” panggil Alesha.

“Hm?” Yang dipanggil hanya menyahut dengan deheman singkat. Anthony mengeluarkan kartu atm-nya untuk membayar makanan dan minuman yang mereka beli.

“Kenapa kamu milih tempat duduknya di sweet box? Biasanya juga di kursi biasa,” tanya Alesha yang masih belum puas dengan rasa penasarannya.

“Mau tau?” balas Anthony dengan kembali bertanya. “Mau tau apa alasan aku milih tempat duduknya di sweet box?” sambungnya.

Alesha menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya. Apa?”

Dengan begitu, Anthony mendekatkan wajahnya ke arah telinga sebelah kanan sang gadis. “Biar mudah ngasih hukuman buat kamu,” katanya.

Alesha mengumpat di dalam hatinya kala indera pendengarannya diusik oleh sepenggal kalimat yang berpotensi besar menghasilkan pukulan lain pada lengan lelaki kesayangannya. Namun, sebelum gadis cantik itu dapat melancarkan aksinya, Anthony terlebih dahulu bergerak. Ia mengecup singkat kening kekasihnya. Oleh sebab sekelebat aksi romantis itu, Alesha dibuat bergeming di tempatnya.

“Ih, Anthony!” protes Alesha setelah mengembalikan kesadarannya. “Malu tau. Diliatin orang-orang tuh.”

Lawan bicaranya hanya terkekeh gemas. “Biarin aja. Biar semua orang tau kalo kamu itu punya aku,” ucap Anthony.

Setelah mendapatkan pesanannya di pick up counter, Anthony menuntun gadisnya agar berjalan berdampingan dengannya menuju studio yang dijadwalkan. Sebelah tangannya yang terbebas ia gunakan untuk menarik pinggang ramping Alesha agar masuk ke dalam dekapannya. Untuk kesekian kalinya, lelaki tampan kesayangannya itu sukses membuat jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

Alesha bermonolog dalam hatinya. “Anthony clingy banget deh hari ini.”

“Kamu jangan ngomongin aku deh, Ayy. Orangnya ada di samping kamu kok,” ujar Anthony yang seolah-olah dapat membaca pikiran gadisnya dengan sangat jelas.

Mendengarnya, Alesha menatap heran ke arah lelaki tampan yang sekarang lebih tinggi darinya. “Kamu apaan deh? Siapa juga yang ngomongin kamu,” bantahnya.

Anthony tertawa puas ketika tahu Alesha sebenarnya salah tingkah dengan tebakannya yang tepat sasaran. Alesha hendak menjauhkan dirinya dari sang kekasih karena takut pikirannya akan kembali dibajak oleh Anthony. Namun, belum sempat Alesha mempercepat langkahnya, tangan kanannya ditarik agar kembali masuk ke dalam rangkulan lelaki kesayangannya. Alesha berdecak sebal.

“Ih, Anthony!” ucap Alesha kesal.

“Apa, Ayy? ‘Kan aku gak ngapa-ngapain,” ujarnya tanpa dosa.

“Kamu narik tangan aku. Gak sadar apa gimana, ya?” bantah gadis cantik itu.

Lebih memilih untuk tidak melawan, Anthony memuji gadisnya. “Kamu gemesin deh, Ayy,” katanya.

“Diem,” keluh Alesha.

Setelah melewati lorong yang panjang serta berbelok ke kanan sekali dan ke kiri dua kali, akhirnya dua sejoli itu sampai di studio yang dimaksud. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore dan masih ada lima belas menit tersisa sebelum film dimulai. Tidak ada siapa pun di sana selain pegawai yang bertugas untuk memeriksa tiket para pelanggan. Pegawai tersebut tersenyum ramah kepada Anthony dan Alesha.

“Kamu mau tunggu di sini atau di dalem, Ayy?” tanya Anthony.

Alesha bergumam. “Di dalem aja deh,” jawabnya.

Anthony menyerahkan tiketnya kepada sang pegawai untuk dirobek ujungnya. Dengan begitu, sepasang kekasih itu masuk ke dalam studio yang berukuran cukup besar. Di dalam sana, tiga baris pertama diisi dengan beberapa kursi sweet box yang cukup untuk diduduki oleh dua orang dan sisanya diisi dengan single seat. Anthony dan Alesha berjalan menuju kursi sweet box yang berposisi di paling atas di ujung kiri.

“Ujung banget, ya, Anthony,” ketus Alesha. “Bayangin aja gak ada orang yang dudukin kursi-kursi di sebelah kita. Apa suasananya gak kerasa serem banget?”

Anthony setengah mati menahan tawanya. Anthony tidak ingin kehilangan atmosfer yang sebenarnya terasa hangat ini dengan Alesha yang melayangkan pukulan maut jika ia berani menyanggah argumen sang gadis. Anthony mempersilakan gadisnya untuk memilih sisi tempat duduknya, di kanan atau kiri. Itu bukanlah hal yang signifikan untuknya. Sebab, di mana pun Alesha duduk, Anthony akan selalu mempunyai cara untuk menjangkau kekasihnya.

“Kamu mau duduk di kanan atau di kiri, Ayy?” tanya Anthony.

“Aku di kiri aja deh,” kata Alesha.

Anthony menyetujui kekasihnya. “Oke, Ayy.”

Selagi menunggu film horror yang akan disaksikan mulai, Anthony dan Alesha menyamankan posisi duduknya masing-masing seraya menikmati jajanan yang mereka beli tadi. Setelah menyesap es kopi miliknya, Anthony memusatkan atensinya pada ciptaan Tuhan terindah yang pernah ditemuinya. Alesha hendak mencomot berondong jagung yang ada di sebelah kirinya saat tangan besar menghentikan pergerakannya.

“Ih, Anthony!” keluh Alesha. “Aku ‘kan mau makan popcorn-nya.”

“Ya, makan aja, Ayy,” ucap Anthony tanpa memalingkan pandangannya.

Alesha menghela napas panjang. “Ya, gimana aku bisa makan? Kalo tangan aku kamu pegang kayak gini,” jelasnya sembari mengangkat tangannya yang dikepal erat oleh sang kekasih.

“Oh, iya. Kamu bener juga, Ayy,” balas Anthony.

Dengan inisiatifnya, lelaki tampan itu menyuapi seperempat genggam caramel popcorn untuk gadisnya. Awalnya, Alesha menolak. Namun, melihat antusiasme dua gadis remaja tanggung yang menjadi penonton kisah cintanya bersama Anthony dari jarak dua kursi di depannya membuatnya tidak tega apabila harus menolak. Oleh karena itu, dengan setengah hati, Alesha membuka mulutnya untuk menyantap berondong jagung yang disodorkan Anthony.

Anthony tertawa lalu berbicara pada sepasang gadis yang Alesha maksud. “Pacar aku cantik, ya?”

“Iya, Kak. Pacarnya cantik banget,” jawab salah satu dari mereka.

“Nanti kalo cari pacar harus yang baik dan ganteng kayak aku, ya,” ujar Anthony dengan kepercayaan diri setinggi langit.

“Oke, Kak!” ucap gadis yang satunya lagi dengan semangat.

Setelah selesai berbincang singkat dengan Anthony dan Alesha, kedua gadis itu kembali menghadap ke arah layar. Keduanya dapat mendengar dengan jelas bahwa para remaja tersebut membicarakan keharmonisan mereka meskipun niat mereka ialah berbisik satu sama lain. Sepasang kekasih itu hanya dapat tertawa pelan saat indera pendengarannya menangkap ada dua nama laki-laki yang disebutkan.

“Itu pasti crush-nya, ya, Ayy,” terka Anthony.

“Iya. Itu pasti salah satu dari mereka atau bahkan dua-duanya langsung semangat lagi buat PDKT sama crush masing-masing,” tambah Alesha.

Tak lama setelahnya, lampu di dalam studio mulai padam serentak. Anthony dan Alesha sama-sama melirik jam yang melingkar di tangannya dan waktu sudah menunjukkan setengah empat sore. Setelah menayangkan iklan yang bekerja sama dengan perusahaan, aturan-aturan saat menonton di dalam, serta beberapa trailer film yang menarik untuk ditonton, akhirnya film utama dimulai.

“Aku takut,” ucap Alesha.

“Ini belum mulai film-nya, Ayy, masih opening dolby atmos,” jelas Anthony. “Sini deketan sama aku.”

Alesha mendekatkan posisi duduknya ke arah kanan. Anthony merangkul kekasihnya menggunakan tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam erat kedua tangan Alesha. Alesha dapat merasakan hangat yang Anthony hantarkan dari tubuhnya. Ia cukup dibuat tenang oleh kehangatan tersebut. Perlahan, Alesha menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Anthony.

“Masih takut, Ayy?” tanya Anthony memastikan.

“Udah enggak,” balasnya.

“Kamu jangan lupa ya, Ayy,” ujar Anthony.

“Lupa apa?” tanya Alesha keheranan.

“Kamu harus cium aku kalo kamu teriak,” jelas lelaki tampan itu.

Alesha menghela napas panjang. “Iya, Anthony. Kamu liat aja, ya, aku gak akan teriak.”

“Yang barusan kaget sama opening dolby atmos itu siapa, ya, Ayy? Padahal setiap mau mulai nonton film, opening itu selalu muncul,” ledek lelaki tampan itu.

“Diem, ya, Anthony. Filmnya udah mau mulai,” sergah Alesha.

Detik berubah menjadi menit. Dua sejoli itu masih nyaman dalam posisi masing-masing. Setidaknya, ada dua adegan jumpscare yang berhasil Alesha lewati dengan tenang. Ia mengobservasi dan menganalisa film tersebut sehingga dapat memperkirakan apakah adegan selanjutnya merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengagetkan atau sekadar penyokong jalan cerita. Namun, keberuntungan itu tidak berlangsung lama.

“Ayy,” panggil Anthony.

“Hm?” balas Alesha singkat. Sepasang manik selegam senjanya meletakkan atensi penuh pada layar lebar di hadapannya.

“Abis ini ada jumpscare tau,” ucap Anthony. Sebetulnya, itu hanya lelucon saja. Anthony sendiri tidak akan menyangka bahwa ucapannya akan menjadi nyata.

Dan…

“MAMI?!?!”

Secara tiba-tiba, hantu perempuan yang bersembunyi di bawah ranjang muncul begitu saja. Alhasil, adegan tersebut sukses membuat teriakan pertama Alesha lolos. Ia mengutuk dirinya sendiri karena sudah lalai dan ditambah distraksi yang sengaja dilakukan oleh kekasihnya. Alesha menatap tidak suka kepada lelaki tampan yang duduk di sebelah kanannya. Berbeda dengan sang gadis, Anthony tidak dapat menahan tawanya. Kemudian, ia menyeringai.

“Dare is a dare, Ayy,” ejek Anthony. “You have to kiss me,” lanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Alesha menghela napas panjang. Ia menangkup rangka tegas yang berjarak hanya beberapa senti darinya. Ditatapnya lekat sepasang manik yang serupa rembulan malam yang mengkilat itu. Anthony memejamkan matanya dan begitu juga dengan Alesha. Lalu, perlahan Alesha mendaratkan bibirnya pada bibir sang kekasihnya. Ia mengecup mesra lelaki kesayangannya.

“Udah, ya,” kata Alesha seketika mengakhiri ciumannya.

Anthony yang bersemangat hanya mengacungkan jempolnya dengan semangat juga. Keduanya pun kembali melanjutkan film hantu yang sempat terabaikan. Berbeda dengan suasana sebelumnya, atmosfer yang menyelimuti Anthony dan Alesha cenderung menegangkan. Bukan karena film yang mereka saksikan, melainkan karena kecupan intim yang dilakukan beberapa detik lalu.

Siapa yang akan menyangka bahwa, dalam diamnya sepasang kekasih tersebut, ciuman yang baru saja terjadi membangkitkan gairah yang ada. Lihat saja, bagaimana Alesha tidak dapat duduk dengan tenang dan Anthony terbatuk beberapa kali sebab kerongkongannya yang terasa kering. Sementara keduanya sibuk mencoba membungkam hasrat masing-masing, film di depan mereka terus berlanjut dengan atau tanpa mereka perhatikan.

Lalu…

“PAPI?!?!?!”

Adegan seram nan mengejutkan kembali muncul. Kali ini, roh wanita yang penasaran itu membunuh kekasih dari sang pemeran utama laki-laki dengan menghujam pisau tepat ke arah jantungnya, persis seperti bagaimana sang pemeran utama laki-laki membunuh wanita tersebut setahun yang lalu. Ia tersenyum seram dengan wajahnya yang dipenuhi cipratan darah segar karena berhasil membalaskan dendamnya.

Setelah berteriak lebih keras dari yang sebelumnya, Alesha menelan salivanya susah payah. Itu berarti satu hal. Tanpa perlu diperintah, gadis cantik itu bergerak mencium kekasihnya. Pastinya, Anthony menyambut baik kecupan tersebut. Secara tidak sadar, Alesha mengusap dada bidang lelaki kesayangannya. Sedangkan, Anthony mendorong tengkuk gadisnya. Setelah beberapa menit barulah keduanya bersedia melepaskan satu sama lain.

“Ayy,” gumam Anthony. Netranya tidak ingin lepas dari wajah cantik di depannya.

Alesha, yang dipanggil tidak menjawab. “Hm?” Ia hanya berdehem pelan. Maniknya pun tidak mau melirik ke arah selain wajah lelaki kesayangannya.

Di detik selanjutnya, yang terjadi adalah Anthony dan Alesha, yang sama-sama sudah terbawa suasana intim, kembali melanjutkan kegiatan panas yang diduga sempat terhenti. Ciuman yang terjadi terlihat seolah-olah mereka tengah menyalurkan gairah dari satu pihak ke pihak lain atau memang kenyataannya seperti itu. Bagaikan studio milik berdua, Anthony dan Alesha tak acuh dengan keadaan di sekitarnya.

Entah sudah berapa kali sepasang kekasih itu mengubah posisi kepala mereka, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Di satu sisi, tangan Anthony bergerak ke semua permukaan yang dapat ia jamah. Di sisi lain, kedua lengan Alesha mengalung pada bahu lebar kekasihnya. Benda lunak yang ada di dalam mulut masing-masing terus bertanding demi meningkatkan hasrat yang terus meningkat.

“Nghhh,’ desah Alesha kala merasa tangan besar lelaki kesayangannya asyik bermain pada gunung sintalnya.

Dengan segera, Anthony mengakhiri ciumannya. “Jangan berisik, Ayy,” bisiknya.

Alesha mengangguk paham. Tentunya, ia tidak ingin menarik perhatian penonton lainnya saat sedang memadu kasih dengan Anthony. Meskipun tidak peduli apakah kamera pengawas menangkap dan merekam aksi kotor mereka, baik Anthony maupun Alesha tidak ingin kepergok secara terang-terangan bahwa mereka tengah bermain panas di dalam kursi sweet box paling kanan atas.

“Aku lanjutin, ya, Ayy,” gumam Anthony.

Alesha kembali menganggukan kepalanya. Dengan begitu, kegiatan intim yang sempat tertunda akan dilanjutkan kembali. Anthony menarik tubuh mungil Alesha agar duduk di atas pangkuannya. Awalnya, gadis cantik itu merasa tidak yakin karena aktivitas mereka mempunyai kemungkinan besar untuk tertangkap basah. Namun, dengan mantra dan obat penenangan seperti aja, gadisnya langsung menurut.

Anthony mulai mengecup bagian dada kekasihnya yang sudah terekspos sedikit sebab cardigan dengan kerah berbentuk ‘v’ yang dikenakannya. Alesha mengeratkan netranya saat merasakan nikmati ala duniawi yang lelaki kesayangannya ciptakan untuknya. Anthony meremas buah dada gadisnya. Sementara itu, Alesha mendorong tengkuk Anthony seolah meminta lebih.

“Mphhh,” lenguh Alesha tertahan.

Jika boleh jujur, suara-suara khas kenikmatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan, baik bagi Anthony maupun Alesha. Bersamaan dengan sumber kebisingan yang mengandung kenikmatan tersebut, Anthony seolah mendapatkan energi tambahan untuk bermain dengan gadisnya serta Alesha selalu menyukai segala macam permainan yang kekasihnya lakukan. Namun, untuk kali ini, permainan akan berlangsung dengan sunyi.

Walaupun begitu, permainan akan terus berlanjut. Lihat saja, dua kancing teratas pakaian Alesha sudah terbuka lebar. Memberikan Anthony akses lebih luas untuk menjangkau aset indah miliknya. Dengan sedikit celah yang ada, di dalam gelapnya studio bioskop, lelaki tampan itu menghisap puting gadisnya selagi tangannya yang terbebas meremas, memijat, lalu memilin payudara sebelahnya.

Alesha berusaha setengah mati agar lenguhannya tidak kembali lolos. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. Menyadari gadisnya sedang kesulitan bertarung dengan dirinya sendiri, Anthony berinisiatif membawa Alesha kembali masuk ke dalam ciumannya. Ia dapat merasakan gairah yang membuncah di dalam diri sang gadis. Alesha mencium kekasihnya dengan ganas. Keduanya dapat merasakan darah yang mengalir entah dari bibir siapa itu.

“Slow down, Ayy,” bisik Anthony setelah menyudahi cumbuannya.

“I can’t, Anthony,” rintih Alesha. “I can’t hold it anymore.”

Anthony tersenyum puas. Ia usap belahan menggiurkan yang di beberapa sisinya terdapat noda darah. Ia seka bekas tersebut menggunakan ibu jarinya untuk kemudian ia lumat ke dalam mulutnya. Anthony sangat menyukainya. Bagaimana gadisnya memohon untuk dipuaskan. Salahkan lelaki tampan itu. Alesha tidak akan meminta lebih apabila permainannya tidak memuaskan.

“You can, Ayy. Kita selesain kamu dulu, ya. Baru nanti kita lanjutin di tempat aku,” jelasnya.

Tanpa memberikan kesempatan untuk Alesha menjawab, Anthony sudah mendahuluinya. Keduanya kembali terhanyut ke dalam aktivitas intim. Tidak ada jarak yang tercipta di antara mereka. Anthony mengusap perut rata yang terasa hangat itu. Sedangkan, Alesha mengusap rangka tegas yang menguasai bibirnya. Ada rasa nikmat yang bercampur dengan adrenalin esktrem yang terjalin di antara mereka.

“Mphhh,” lenguh gadis cantik itu pelan. Sangat pelan dan hanya Anthony yang bisa mendengarnya.

Setelahnya, ciuman itu perlahan turun ke arah dada, di mana di sana sudah banyak terpampang tanda kepemilikan yang dibuat oleh sang kekasih. Kemudian, ciuman lelaki tampan itu kembali turun ke arah sepasang payudara yang menggoda. Anthony menyempatkan diri untuk kembali berinteraksi dengan aset favoritnya. Dan barulah pada sentuhan terakhir, Anthony mengusap kewanitaan gadisnya dari luar pakaian dalam di balik roknya.

“Nghhh,” desah Alesha.

Dengan sekelebat aksi tangan yang menyapu hangat kepunyaannya, Alesha seolah diberikan surga duniawi. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit yang gelap gulita. Bagaimana pun juga, permainan panas ini dipersembahkan untuknya dari sang kekasih. Mau di dalam situasi dan kondisi seperti apa, rasanya akan tetap nikmat. Tanpa ia sadari, pinggulnya sedari tadi bergoyang pelan.

Pastinya, Anthony menyadari hal tersebut. Tangannya bergerak menelusup ke bagian dalam pakaian gadisnya. Alesha dapat merasakan tangan besar yang hangat itu mengusik kepunyaannya. Oleh karena itu, pergerakannya semakin menjadi. Anthony juga tidak kalah memainkan jari-jarinya di dalam sana. Ibu jarinya memutari klitoris selagi jari telunjuk dan jari tengahnya menusuk ke lubang yang lebih dalam.

“Ahhh,” lirih Alesha.

“Enak, Ayy?” tanya Anthony sensual.

Alesha mengangguk semangat sebab memang ini yang ia inginkan. “Cepetin, Ayy,” titahnya.

Sesuai dengan permintaan dari gadisnya, Anthony menaikkan tempo permainannya. Lalu, sedikit dan samar-samar mulai terdengar suara perpaduan antara dua benda berair yang saling bertabrakan. Cairan yang dihasilkan semakin banyak pertanda lawan main merasa puas dengan servis yang ada. Tak lama setelahnya, film horror yang diputar di layar bioskop mulai menunjukkan akhir dari cerita.

“Aku cepetin lagi, ya, Ayy,” ucap Anthony.

Dengan begitu, Anthony kembali mempercepat gerakannya. Kali ini, dua kali lebih cepat dibanding yang sebelumnya. Tidak hanya sampai di situ saja, demi membantu gadisnya untuk menjemput pelepasannya, berhubung film akan selesai sebentar lagi, tangan kanan Anthony yang dari tadi menganggur digunakan untuk meremas kencang payudara sang gadis. Alesha semakin dibuat menggila.

“Ayy, nghh, aku kayaknya, ahhh, mau keluar,” ujar Alesha susah payah.

Dan benar saja, hanya berselang satu menit setelah kalimat itu terucap, Alesha mendapatkan titik ternikmatnya. Anthony dapat merasakan otot-otot di sekitar vagina gadisnya berkedut. Cairan kental juga membasahi pakaian dalam dan tangannya di dalam sana. Alesha mencoba untuk mengatur napasnya yang menggebu. Meskipun pendingin ruangan di dalam sana berfungsi, keringat tetap mengucur di seluruh tubuhnya.

Sebelum mengembalikan Alesha ke tempat duduk semula, Anthony terlebih dahulu menolong gadisnya untuk membersihkan area kewanitaannya. Alesha yang baru saja menjemput titik ternikmatnya tidak sanggup jika harus bergerak sendiri. Ditambah, tubuhnya masih bergetar hebat, terutama kedua pergelangan kakinya. Anthony menyeka cairan khas kenikmatan itu dengan tisu basah dan tisu kering yang selalu ia bawa di dalam sling bag-nya.

“Capek, Ayy?” tanya Anthony yang masih sibuk pada aset indah milik gadisnya, dan dirinya juga.

“Menurut kamu aja. Aku ngejer tau,” jawab Alesha yang beberapa kali tersendat napasnya sendiri.

Anthony terkekeh. “Udah selesai, Ayy,” ucapnya.

Kemudian, Anthony mengangkat tubuh mungil itu untuk kembali duduk ke sebelah kirinya. Namun, tidak dapat dipungkiri, kedua kaki Alesha masih bergetar kencang. Anthony dapat merasakannya ketika ia meletakkan telapak tangannya di atas paha sang gadis. Ia mengusap kaki jenjang yang berguncang itu menggunakan telapak tangannya, mencoba untuk meminimalisir getaran yang ada. Sementara itu, Alesha menyandarkan tubuhnya ke arah kursi.

Anthony dan Alesha sama-sama mengangkat pandangannya kala lampu di dalam bioskop hidup bersamaan. Layar di depan mereka sudah menampilkan daftar nama terakhir. Keduanya tidak menyadari bahwa selagi mereka sibuk dengan kegiatan dan perbincangan masing-masing, film horror yang terputar terus berlanjut. Anthony melirik ke arah gadisnya dan yang ia temukan adalah Alesha yang berusaha menutupi kedua kakinya dengan tas miliknya.

“Masih gemeter, Ayy?” tanya Anthony sedikit khawatir.

“Masih,” kata Alesha. “Aku tadi keluar dua kali,” lanjutnya.

“Hah?!” pekik Anthony.

Setidaknya, suara lelaki tampan itu menarik perhatian empat barus di depannya. Sepasang remaja tanggung tadi juga ikut memperhatikan mereka. Anthony tidak menyangka bahwa permainan tangannya begitu andal sehingga membuat gadisnya kewalahan. Di satu sisi, Anthony merasa puas. Di sisi lain, ia tidak tega apabila harus melihat gadisnya kesulitan seperti ini.

“Aku bantu jalan, ya, Ayy,” tawar Anthony.

“Gak usah, Ayy. Nanti malah ketauan,” sanggah Alesha.

“Enggak, Ayy. Gak ketauan kok,” ujar Anthony menenangkan. “Aku bantuin, ya.”

Anthony membantu Alesha untuk berdiri dengan memapah kedua tangan sang gadis untuk kemudian ia merangkul pinggul gadisnya. Anthony berjalan berdampingan bersama Alesha. Sedikit banyak, hal itu sedikit mampu untuk menutupi Alesha yang belum bisa melangkah dengan baik dan benar. Anthony mengawasi satu per satu langkah kaki sang gadis sesaat menuruni anak tangga.

Untuk kedua kalinya, dua gadis remaja yang secara tidak resmi menjadi penggemar Anthony dan Alesha kembali berteriak senang. Anthony yang dengan telaten merangkul pinggul gadisnya selagi jalan berdampingan membuat hati mereka luluh. Padahal, keduanya tidak tahu adegan orang dewasa apa yang sudah Anthony dan Alesha lakukan di atas kursi sweet box yang mereka tempati.

“Pacarnya sweet banget, ya,” ucap salah seorang dari mereka.

“Iya, sweet banget ih,” sahut yang satunya lagi.

Anthony dan Alesha yang tidak sengaja mendengar percakapan itu hanya dapat tertawa. Pasalnya, ini bukanlah adegan romantis yang biasa terjadi dalam film atau novel percintaan. Hal ini dapat terjadi sebab beberapa perilaku nakal penuh hasrat yang keduanya perbuat. Tangan besar yang melingkup pinggang ramping itu bergerak mengelus perlahan. Alesha dapat merasakan dengan jelas pergerakan itu.

“Jangan diusap, Ayy,” ujar Alesha seketika mereka keluar dari gedung bioskop.

“Kenapa? Jadi pengen lagi, ya?” goda lelaki tampan itu seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Ya, menurut kamu aja,” ketus Alesha.

“Adrenalinnya dapet ya, Ayy,” ucap Anthony.

“Iya, dapet,” kata gadis cantik itu tak santai.

“Jadi, lanjut ‘kan, Ayy?” tanya Anthony memastikan.

“Terserah deh,” final Alesha.

Mendengarnya, Anthony langsung menggendong tubuh gadisnya dan berlari kecil ke tempat parkir. Setidaknya, aksi mereka ini sudah menarik seluruh pengunjung mall yang ada di sekitar mereka. Alesha beberapa kali memerintahkan kekasihnya untuk segera melepaskannya dari dalam gendongan. Namun, apabila hasrat ataupun gairah yang sudah bicara, apapun akan dilakukan.

Starred by LTY as Anthony Faresta OC as Alesha Anjani

“Di sweet box banget nih?” tanya Alesha sinis.

“Iya. Kenapa? Kamu gak suka? Kalo kamu gak suka kita bisa ganti tempat duduknya,” balas Anthony.

Sesuai dengan rencana awal, Anthony sungguh-sungguh mengajak kekasihnya untuk menyaksikan film hantu yang seram bersamanya. Dan tentunya, bersama dengan tantangan yang secara sepihak ia berikan kepada sang gadis. Tidak ingin terlihat lemah atau semacamnya, Alesha-pun menyetujuinya. Toh, jika ia kalah yang akan menciumnya adalah kekasih tercintanya sendiri, Anthony Faresta.

“Emang bisa? Di mana?” skeptis sang gadis.

“Bisa. Di pangkuan aku,” enteng Anthony.

Mendengarnya, Alesha melayangkan satu pukulan keras ke arah lengan berotot yang ada di sebelah kirinya. Sementara itu, Anthony hanya terkekeh saat mengetahui gadisnya diam-diam tersipu malu. Setelah mencetak tiket yang dibeli secara online, Anthony dan Alesha berlalu ke arah cafetaria untuk membeli beberapa camilan, seperti caramel popcorn, ice green tea latte, dan ice americano.

“Ayy,” panggil Alesha.

“Hm?” Yang dipanggil hanya menyahut dengan deheman singkat. Anthony mengeluarkan kartu atm-nya untuk membayar makanan dan minuman yang mereka beli.

“Kenapa kamu milih tempat duduknya di sweet box? Biasanya juga di kursi biasa,” tanya Alesha yang masih belum puas dengan rasa penasarannya.

“Mau tau?” balas Anthony dengan kembali bertanya. “Mau tau apa alasan aku milih tempat duduknya di sweet box?” sambungnya.

Alesha menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya. Apa?”

Dengan begitu, Anthony mendekatkan wajahnya ke arah telinga sebelah kanan sang gadis. “Biar mudah ngasih hukuman buat kamu,” katanya.

Alesha mengumpat di dalam hatinya kala indera pendengarannya diusik oleh sepenggal kalimat yang berpotensi besar menghasilkan pukulan lain pada lengan lelaki kesayangannya. Namun, sebelum gadis cantik itu dapat melancarkan aksinya, Anthony terlebih dahulu bergerak. Ia mengecup singkat kening kekasihnya. Oleh sebab sekelebat aksi romantis itu, Alesha dibuat bergeming di tempatnya.

“Ih, Anthony!” protes Alesha setelah mengembalikan kesadarannya. “Malu tau. Diliatin orang-orang tuh.”

Lawan bicaranya hanya terkekeh gemas. “Biarin aja. Biar semua orang tau kalo kamu itu punya aku,” ucap Anthony.

Setelah mendapatkan pesanannya di pick up counter, Anthony menuntun gadisnya agar berjalan berdampingan dengannya menuju studio yang dijadwalkan. Sebelah tangannya yang terbebas ia gunakan untuk menarik pinggang ramping Alesha agar masuk ke dalam dekapannya. Untuk kesekian kalinya, lelaki tampan kesayangannya itu sukses membuat jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

Alesha bermonolog dalam hatinya. “Anthony clingy banget deh hari ini.”

“Kamu jangan ngomongin aku deh, Ayy. Orangnya ada di samping kamu kok,” ujar Anthony yang seolah-olah dapat membaca pikiran gadisnya dengan sangat jelas.

Mendengarnya, Alesha menatap heran ke arah lelaki tampan yang sekarang lebih tinggi darinya. “Kamu apaan deh? Siapa juga yang ngomongin kamu,” bantahnya.

Anthony tertawa puas ketika tahu Alesha sebenarnya salah tingkah dengan tebakannya yang tepat sasaran. Alesha hendak menjauhkan dirinya dari sang kekasih karena takut pikirannya akan kembali dibajak oleh Anthony. Namun, belum sempat Alesha mempercepat langkahnya, tangan kanannya ditarik agar kembali masuk ke dalam rangkulan lelaki kesayangannya. Alesha berdecak sebal.

“Ih, Anthony!” ucap Alesha kesal.

“Apa, Ayy? ‘Kan aku gak ngapa-ngapain,” ujarnya tanpa dosa.

“Kamu narik tangan aku. Gak sadar apa gimana, ya?” bantah gadis cantik itu.

Lebih memilih untuk tidak melawan, Anthony memuji gadisnya. “Kamu gemesin deh, Ayy,” katanya.

“Diem,” keluh Alesha.

Setelah melewati lorong yang panjang serta berbelok ke kanan sekali dan ke kiri dua kali, akhirnya dua sejoli itu sampai di studio yang dimaksud. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore dan masih ada lima belas menit tersisa sebelum film dimulai. Tidak ada siapa pun di sana selain pegawai yang bertugas untuk memeriksa tiket para pelanggan. Pegawai tersebut tersenyum ramah kepada Anthony dan Alesha.

“Kamu mau tunggu di sini atau di dalem, Ayy?” tanya Anthony.

Alesha bergumam. “Di dalem aja deh,” jawabnya.

Anthony menyerahkan tiketnya kepada sang pegawai untuk dirobek ujungnya. Dengan begitu, sepasang kekasih itu masuk ke dalam studio yang berukuran cukup besar. Di dalam sana, tiga baris pertama diisi dengan beberapa kursi sweet box yang cukup untuk diduduki oleh dua orang dan sisanya diisi dengan single seat. Anthony dan Alesha berjalan menuju kursi sweet box yang berposisi di paling atas di ujung kiri.

“Ujung banget, ya, Anthony,” ketus Alesha. “Bayangin aja gak ada orang yang dudukin kursi-kursi di sebelah kita. Apa suasananya gak kerasa serem banget?”

Anthony setengah mati menahan tawanya. Anthony tidak ingin kehilangan atmosfer yang sebenarnya terasa hangat ini dengan Alesha yang melayangkan pukulan maut jika ia berani menyanggah argumen sang gadis. Anthony mempersilakan gadisnya untuk memilih sisi tempat duduknya, di kanan atau kiri. Itu bukanlah hal yang signifikan untuknya. Sebab, di mana pun Alesha duduk, Anthony akan selalu mempunyai cara untuk menjangkau kekasihnya.

“Kamu mau duduk di kanan atau di kiri, Ayy?” tanya Anthony.

“Aku di kiri aja deh,” kata Alesha.

Anthony menyetujui kekasihnya. “Oke, Ayy.”

Selagi menunggu film horror yang akan disaksikan mulai, Anthony dan Alesha menyamankan posisi duduknya masing-masing seraya menikmati jajanan yang mereka beli tadi. Setelah menyesap es kopi miliknya, Anthony memusatkan atensinya pada ciptaan Tuhan terindah yang pernah ditemuinya. Alesha hendak mencomot berondong jagung yang ada di sebelah kirinya saat tangan besar menghentikan pergerakannya.

“Ih, Anthony!” keluh Alesha. “Aku ‘kan mau makan popcorn-nya.”

“Ya, makan aja, Ayy,” ucap Anthony tanpa memalingkan pandangannya.

Alesha menghela napas panjang. “Ya, gimana aku bisa makan? Kalo tangan aku kamu pegang kayak gini,” jelasnya sembari mengangkat tangannya yang dikepal erat oleh sang kekasih.

“Oh, iya. Kamu bener juga, Ayy,” balas Anthony.

Dengan inisiatifnya, lelaki tampan itu menyuapi seperempat genggam caramel popcorn untuk gadisnya. Awalnya, Alesha menolak. Namun, melihat antusiasme dua gadis remaja tanggung yang menjadi penonton kisah cintanya bersama Anthony dari jarak dua kursi di depannya membuatnya tidak tega apabila harus menolak. Oleh karena itu, dengan setengah hati, Alesha membuka mulutnya untuk menyantap berondong jagung yang disodorkan Anthony.

Anthony tertawa lalu berbicara pada sepasang gadis yang Alesha maksud. “Pacar aku cantik, ya?”

“Iya, Kak. Pacarnya cantik banget,” jawab salah satu dari mereka.

“Nanti kalo cari pacar harus yang baik dan ganteng kayak aku, ya,” ujar Anthony dengan kepercayaan diri setinggi langit.

“Oke, Kak!” ucap gadis yang satunya lagi dengan semangat.

Setelah selesai berbincang singkat dengan Anthony dan Alesha, kedua gadis itu kembali menghadap ke arah layar. Keduanya dapat mendengar dengan jelas bahwa para remaja tersebut membicarakan keharmonisan mereka meskipun niat mereka ialah berbisik satu sama lain. Sepasang kekasih itu hanya dapat tertawa pelan saat indera pendengarannya menangkap ada dua nama laki-laki yang disebutkan.

“Itu pasti crush-nya, ya, Ayy,” terka Anthony.

“Iya. Itu pasti salah satu dari mereka atau bahkan dua-duanya langsung semangat lagi buat PDKT sama crush masing-masing,” tambah Alesha.

Tak lama setelahnya, lampu di dalam studio mulai padam serentak. Anthony dan Alesha sama-sama melirik jam yang melingkar di tangannya dan waktu sudah menunjukkan setengah empat sore. Setelah menayangkan iklan yang bekerja sama dengan perusahaan, aturan-aturan saat menonton di dalam, serta beberapa trailer film yang menarik untuk ditonton, akhirnya film utama dimulai.

“Aku takut,” ucap Alesha.

“Ini belum mulai film-nya, Ayy, masih opening dolby atmos,” jelas Anthony. “Sini deketan sama aku.”

Alesha mendekatkan posisi duduknya ke arah kanan. Anthony merangkul kekasihnya menggunakan tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam erat kedua tangan Alesha. Alesha dapat merasakan hangat yang Anthony hantarkan dari tubuhnya. Ia cukup dibuat tenang oleh kehangatan tersebut. Perlahan, Alesha menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Anthony.

“Masih takut, Ayy?” tanya Anthony memastikan.

“Udah enggak,” balasnya.

“Kamu jangan lupa ya, Ayy,” ujar Anthony.

“Lupa apa?” tanya Alesha keheranan.

“Kamu harus cium aku kalo kamu teriak,” jelas lelaki tampan itu.

Alesha menghela napas panjang. “Iya, Anthony. Kamu liat aja, ya, aku gak akan teriak.”

“Yang barusan kaget sama opening dolby atmos itu siapa, ya, Ayy? Padahal setiap mau mulai nonton film, opening itu selalu muncul,” ledek lelaki tampan itu.

“Diem, ya, Anthony. Filmnya udah mau mulai,” sergah Alesha.

Detik berubah menjadi menit. Dua sejoli itu masih nyaman dalam posisi masing-masing. Setidaknya, ada dua adegan jumpscare yang berhasil Alesha lewati dengan tenang. Ia mengobservasi dan menganalisa film tersebut sehingga dapat memperkirakan apakah adegan selanjutnya merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengagetkan atau sekadar penyokong jalan cerita. Namun, keberuntungan itu tidak berlangsung lama.

“Ayy,” panggil Anthony.

“Hm?” balas Alesha singkat. Sepasang manik selegam senjanya meletakkan atensi penuh pada layar lebar di hadapannya.

“Abis ini ada jumpscare tau,” ucap Anthony. Sebetulnya, itu hanya lelucon saja. Anthony sendiri tidak akan menyangka bahwa ucapannya akan menjadi nyata.

Dan…

“MAMI?!?!”

Secara tiba-tiba, hantu perempuan yang bersembunyi di bawah ranjang muncul begitu saja. Alhasil, adegan tersebut sukses membuat teriakan pertama Alesha lolos. Ia mengutuk dirinya sendiri karena sudah lalai dan ditambah distraksi yang sengaja dilakukan oleh kekasihnya. Alesha menatap tidak suka kepada lelaki tampan yang duduk di sebelah kanannya. Berbeda dengan sang gadis, Anthony tidak dapat menahan tawanya. Kemudian, ia menyeringai.

“Dare is a dare, Ayy,” ejek Anthony. “You have to kiss me,” lanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Alesha menghela napas panjang. Ia menangkup rangka tegas yang berjarak hanya beberapa senti darinya. Ditatapnya lekat sepasang manik yang serupa rembulan malam yang mengkilat itu. Anthony memejamkan matanya dan begitu juga dengan Alesha. Lalu, perlahan Alesha mendaratkan bibirnya pada bibir sang kekasihnya. Ia mengecup mesra lelaki kesayangannya.

“Udah, ya,” kata Alesha seketika mengakhiri ciumannya.

Anthony yang bersemangat hanya mengacungkan jempolnya dengan semangat juga. Keduanya pun kembali melanjutkan film hantu yang sempat terabaikan. Berbeda dengan suasana sebelumnya, atmosfer yang menyelimuti Anthony dan Alesha cenderung menegangkan. Bukan karena film yang mereka saksikan, melainkan karena kecupan intim yang dilakukan beberapa detik lalu.

Siapa yang akan menyangka bahwa, dalam diamnya sepasang kekasih tersebut, ciuman yang baru saja terjadi membangkitkan gairah yang ada. Lihat saja, bagaimana Alesha tidak dapat duduk dengan tenang dan Anthony terbatuk beberapa kali sebab kerongkongannya yang terasa kering. Sementara keduanya sibuk mencoba membungkam hasrat masing-masing, film di depan mereka terus berlanjut dengan atau tanpa mereka perhatikan.

Lalu…

“PAPI?!?!?!”

Adegan seram nan mengejutkan kembali muncul. Kali ini, roh wanita yang penasaran itu membunuh kekasih dari sang pemeran utama laki-laki dengan menghujam pisau tepat ke arah jantungnya, persis seperti bagaimana sang pemeran utama laki-laki membunuh wanita tersebut setahun yang lalu. Ia tersenyum seram dengan wajahnya yang dipenuhi cipratan darah segar karena berhasil membalaskan dendamnya.

Setelah berteriak lebih keras dari yang sebelumnya, Alesha menelan salivanya susah payah. Itu berarti satu hal. Tanpa perlu diperintah, gadis cantik itu bergerak mencium kekasihnya. Pastinya, Anthony menyambut baik kecupan tersebut. Secara tidak sadar, Alesha mengusap dada bidang lelaki kesayangannya. Sedangkan, Anthony mendorong tengkuk gadisnya. Setelah beberapa menit barulah keduanya bersedia melepaskan satu sama lain.

“Ayy,” gumam Anthony. Netranya tidak ingin lepas dari wajah cantik di depannya.

Alesha, yang dipanggil tidak menjawab. “Hm?” Ia hanya berdehem pelan. Maniknya pun tidak mau melirik ke arah selain wajah lelaki kesayangannya.

Di detik selanjutnya, yang terjadi adalah Anthony dan Alesha, yang sama-sama sudah terbawa suasana intim, kembali melanjutkan kegiatan panas yang diduga sempat terhenti. Ciuman yang terjadi terlihat seolah-olah mereka tengah menyalurkan gairah dari satu pihak ke pihak lain atau memang kenyataannya seperti itu. Bagaikan studio milik berdua, Anthony dan Alesha tak acuh dengan keadaan di sekitarnya.

Entah sudah berapa kali sepasang kekasih itu mengubah posisi kepala mereka, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Di satu sisi, tangan Anthony bergerak ke semua permukaan yang dapat ia jamah. Di sisi lain, kedua lengan Alesha mengalung pada bahu lebar kekasihnya. Benda lunak yang ada di dalam mulut masing-masing terus bertanding demi meningkatkan hasrat yang terus meningkat.

“Nghhh,’ desah Alesha kala merasa tangan besar lelaki kesayangannya asyik bermain pada gunung sintalnya.

Dengan segera, Anthony mengakhiri ciumannya. “Jangan berisik, Ayy,” bisiknya.

Alesha mengangguk paham. Tentunya, ia tidak ingin menarik perhatian penonton lainnya saat sedang memadu kasih dengan Anthony. Meskipun tidak peduli apakah kamera pengawas menangkap dan merekam aksi kotor mereka, baik Anthony maupun Alesha tidak ingin kepergok secara terang-terangan bahwa mereka tengah bermain panas di dalam kursi sweet box paling kanan atas.

“Aku lanjutin, ya, Ayy,” gumam Anthony.

Alesha kembali menganggukan kepalanya. Dengan begitu, kegiatan intim yang sempat tertunda akan dilanjutkan kembali. Anthony menarik tubuh mungil Alesha agar duduk di atas pangkuannya. Awalnya, gadis cantik itu merasa tidak yakin karena aktivitas mereka mempunyai kemungkinan besar untuk tertangkap basah. Namun, dengan mantra dan obat penenangan seperti aja, gadisnya langsung menurut.

Anthony mulai mengecup bagian dada kekasihnya yang sudah terekspos sedikit sebab cardigan dengan kerah berbentuk ‘v’ yang dikenakannya. Alesha mengeratkan netranya saat merasakan nikmati ala duniawi yang lelaki kesayangannya ciptakan untuknya. Anthony meremas buah dada gadisnya. Sementara itu, Alesha mendorong tengkuk Anthony seolah meminta lebih.

“Mphhh,” lenguh Alesha tertahan.

Jika boleh jujur, suara-suara khas kenikmatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan, baik bagi Anthony maupun Alesha. Bersamaan dengan sumber kebisingan yang mengandung kenikmatan tersebut, Anthony seolah mendapatkan energi tambahan untuk bermain dengan gadisnya serta Alesha selalu menyukai segala macam permainan yang kekasihnya lakukan. Namun, untuk kali ini, permainan akan berlangsung dengan sunyi.

Walaupun begitu, permainan akan terus berlanjut. Lihat saja, dua kancing teratas pakaian Alesha sudah terbuka lebar. Memberikan Anthony akses lebih luas untuk menjangkau aset indah miliknya. Dengan sedikit celah yang ada, di dalam gelapnya studio bioskop, lelaki tampan itu menghisap puting gadisnya selagi tangannya yang terbebas meremas, memijat, lalu memilin payudara sebelahnya.

Alesha berusaha setengah mati agar lenguhannya tidak kembali lolos. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. Menyadari gadisnya sedang kesulitan bertarung dengan dirinya sendiri, Anthony berinisiatif membawa Alesha kembali masuk ke dalam ciumannya. Ia dapat merasakan gairah yang membuncah di dalam diri sang gadis. Alesha mencium kekasihnya dengan ganas. Keduanya dapat merasakan darah yang mengalir entah dari bibir siapa itu.

“Slow down, Ayy,” bisik Anthony setelah menyudahi cumbuannya.

“I can’t, Anthony,” rintih Alesha. “I can’t hold it anymore.”

Anthony tersenyum puas. Ia usap belahan menggiurkan yang di beberapa sisinya terdapat noda darah. Ia seka bekas tersebut menggunakan ibu jarinya untuk kemudian ia lumat ke dalam mulutnya. Anthony sangat menyukainya. Bagaimana gadisnya memohon untuk dipuaskan. Salahkan lelaki tampan itu. Alesha tidak akan meminta lebih apabila permainannya tidak memuaskan.

“You can, Ayy. Kita selesain kamu dulu, ya. Baru nanti kita lanjutin di tempat aku,” jelasnya.

Tanpa memberikan kesempatan untuk Alesha menjawab, Anthony sudah mendahuluinya. Keduanya kembali terhanyut ke dalam aktivitas intim. Tidak ada jarak yang tercipta di antara mereka. Anthony mengusap perut rata yang terasa hangat itu. Sedangkan, Alesha mengusap rangka tegas yang menguasai bibirnya. Ada rasa nikmat yang bercampur dengan adrenalin esktrem yang terjalin di antara mereka.

“Mphhh,” lenguh gadis cantik itu pelan. Sangat pelan dan hanya Anthony yang bisa mendengarnya.

Setelahnya, ciuman itu perlahan turun ke arah dada, di mana di sana sudah banyak terpampang tanda kepemilikan yang dibuat oleh sang kekasih. Kemudian, ciuman lelaki tampan itu kembali turun ke arah sepasang payudara yang menggoda. Anthony menyempatkan diri untuk kembali berinteraksi dengan aset favoritnya. Dan barulah pada sentuhan terakhir, Anthony mengusap kewanitaan gadisnya dari luar pakaian dalam di balik roknya.

“Nghhh,” desah Alesha.

Dengan sekelebat aksi tangan yang menyapu hangat kepunyaannya, Alesha seolah diberikan surga duniawi. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit yang gelap gulita. Bagaimana pun juga, permainan panas ini dipersembahkan untuknya dari sang kekasih. Mau di dalam situasi dan kondisi seperti apa, rasanya akan tetap nikmat. Tanpa ia sadari, pinggulnya sedari tadi bergoyang pelan.

Pastinya, Anthony menyadari hal tersebut. Tangannya bergerak menelusup ke bagian dalam pakaian gadisnya. Alesha dapat merasakan tangan besar yang hangat itu mengusik kepunyaannya. Oleh karena itu, pergerakannya semakin menjadi. Anthony juga tidak kalah memainkan jari-jarinya di dalam sana. Ibu jarinya memutari klitoris selagi jari telunjuk dan jari tengahnya menusuk ke lubang yang lebih dalam.

“Ahhh,” lirih Alesha.

“Enak, Ayy?” tanya Anthony sensual.

Alesha mengangguk semangat sebab memang ini yang ia inginkan. “Cepetin, Ayy,” titahnya.

Sesuai dengan permintaan dari gadisnya, Anthony menaikkan tempo permainannya. Lalu, sedikit dan samar-samar mulai terdengar suara perpaduan antara dua benda berair yang saling bertabrakan. Cairan yang dihasilkan semakin banyak pertanda lawan main merasa puas dengan servis yang ada. Tak lama setelahnya, film horror yang diputar di layar bioskop mulai menunjukkan akhir dari cerita.

“Aku cepetin lagi, ya, Ayy,” ucap Anthony.

Dengan begitu, Anthony kembali mempercepat gerakannya. Kali ini, dua kali lebih cepat dibanding yang sebelumnya. Tidak hanya sampai di situ saja, demi membantu gadisnya untuk menjemput pelepasannya, berhubung film akan selesai sebentar lagi, tangan kanan Anthony yang dari tadi menganggur digunakan untuk meremas kencang payudara sang gadis. Alesha semakin dibuat menggila.

“Ayy, nghh, aku kayaknya, ahhh, mau keluar,” ujar Alesha susah payah.

Dan benar saja, hanya berselang satu menit setelah kalimat itu terucap, Alesha mendapatkan titik ternikmatnya. Anthony dapat merasakan otot-otot di sekitar vagina gadisnya berkedut. Cairan kental juga membasahi pakaian dalam dan tangannya di dalam sana. Alesha mencoba untuk mengatur napasnya yang menggebu. Meskipun pendingin ruangan di dalam sana berfungsi, keringat tetap mengucur di seluruh tubuhnya.

Sebelum mengembalikan Alesha ke tempat duduk semula, Anthony terlebih dahulu menolong gadisnya untuk membersihkan area kewanitaannya. Alesha yang baru saja menjemput titik ternikmatnya tidak sanggup jika harus bergerak sendiri. Ditambah, tubuhnya masih bergetar hebat, terutama kedua pergelangan kakinya. Anthony menyeka cairan khas kenikmatan itu dengan tisu basah dan tisu kering yang selalu ia bawa di dalam sling bag-nya.

“Capek, Ayy?” tanya Anthony yang masih sibuk pada aset indah milik gadisnya, dan dirinya juga.

“Menurut kamu aja. Aku ngejer tau,” jawab Alesha yang beberapa kali tersendat napasnya sendiri.

Anthony terkekeh. “Udah selesai, Ayy,” ucapnya.

Kemudian, Anthony mengangkat tubuh mungil itu untuk kembali duduk ke sebelah kirinya. Namun, tidak dapat dipungkiri, kedua kaki Alesha masih bergetar kencang. Anthony dapat merasakannya ketika ia meletakkan telapak tangannya di atas paha sang gadis. Ia mengusap kaki jenjang yang berguncang itu menggunakan telapak tangannya, mencoba untuk meminimalisir getaran yang ada. Sementara itu, Alesha menyandarkan tubuhnya ke arah kursi.

Anthony dan Alesha sama-sama mengangkat pandangannya kala lampu di dalam bioskop hidup bersamaan. Layar di depan mereka sudah menampilkan daftar nama terakhir. Keduanya tidak menyadari bahwa selagi mereka sibuk dengan kegiatan dan perbincangan masing-masing, film horror yang terputar terus berlanjut. Anthony melirik ke arah gadisnya dan yang ia temukan adalah Alesha yang berusaha menutupi kedua kakinya dengan tas miliknya.

“Masih gemeter, Ayy?” tanya Anthony sedikit khawatir.

“Masih,” kata Alesha. “Aku tadi keluar dua kali,” lanjutnya.

“Hah?!” pekik Anthony.

Setidaknya, suara lelaki tampan itu menarik perhatian empat barus di depannya. Sepasang remaja tanggung tadi juga ikut memperhatikan mereka. Anthony tidak menyangka bahwa permainan tangannya begitu andal sehingga membuat gadisnya kewalahan. Di satu sisi, Anthony merasa puas. Di sisi lain, ia tidak tega apabila harus melihat gadisnya kesulitan seperti ini.

“Aku bantu jalan, ya, Ayy,” tawar Anthony.

“Gak usah, Ayy. Nanti malah ketauan,” sanggah Alesha.

“Enggak, Ayy. Gak ketauan kok,” ujar Anthony menenangkan. “Aku bantuin, ya.”

Anthony membantu Alesha untuk berdiri dengan memapah kedua tangan sang gadis untuk kemudian ia merangkul pinggul gadisnya. Anthony berjalan berdampingan bersama Alesha. Sedikit banyak, hal itu sedikit mampu untuk menutupi Alesha yang belum bisa melangkah dengan baik dan benar. Anthony mengawasi satu per satu langkah kaki sang gadis sesaat menuruni anak tangga.

Untuk kedua kalinya, dua gadis remaja yang secara tidak resmi menjadi penggemar Anthony dan Alesha kembali berteriak senang. Anthony yang dengan telaten merangkul pinggul gadisnya selagi jalan berdampingan membuat hati mereka luluh. Padahal, keduanya tidak tahu adegan orang dewasa apa yang sudah Anthony dan Alesha lakukan di atas kursi sweet box yang mereka tempati.

“Pacarnya sweet banget, ya,” ucap salah seorang dari mereka.

“Iya, sweet banget ih,” sahut yang satunya lagi.

Anthony dan Alesha yang tidak sengaja mendengar percakapan itu hanya dapat tertawa. Pasalnya, ini bukanlah adegan romantis yang biasa terjadi dalam film atau novel percintaan. Hal ini dapat terjadi sebab beberapa perilaku nakal penuh hasrat yang keduanya perbuat. Tangan besar yang melingkup pinggang ramping itu bergerak mengelus perlahan. Alesha dapat merasakan dengan jelas pergerakan itu.

“Jangan diusap, Ayy,” ujar Alesha seketika mereka keluar dari gedung bioskop.

“Kenapa? Jadi pengen lagi, ya?” goda lelaki tampan itu seraya mengangkat sebelah alisnya.

“Ya, menurut kamu aja,” ketus Alesha.

“Adrenalinnya dapet ya, Ayy,” ucap Anthony.

“Iya, dapet,” kata gadis cantik itu tak santai.

“Jadi, lanjut ‘kan, Ayy?” tanya Anthony memastikan.

“Terserah deh,” final Alesha.

Mendengarnya, Anthony langsung menggendong tubuh gadisnya dan berlari kecil ke tempat parkir. Setidaknya, aksi mereka ini sudah menarik seluruh pengunjung mall yang ada di sekitar mereka. Alesha beberapa kali memerintahkan kekasihnya untuk segera melepaskannya dari dalam gendongan. Namun, apabila hasrat ataupun gairah yang sudah bicara, apapun akan dilakukan.

DUARRR!!!

Terdengar suara pintu yang amat menggelegar sehingga memekakkan telinga siapa saja yang dapat mendengarnya, terutama Habel Abdizar. Lelaki penuh humor yang tengah sibuk bermain dengan playstation-nya itu bahkan hampir terjatuh dari tepi ranjangnya jika saja kaki-kaki jenjangnya yang sedari tadi bersila tidak sigap menumpu tubuh kekarnya.

Habel baru saja akan melayangkan protes kepada manusia yang merusak suasana hatinya kala sepasang indera penglihatannya menangkap sesosok yang membanting pintu lalu menerobos masuk ke dalam kamar tidurnya itu adalah orang ketiga setelah kedua orang tuanya yang mustahil untuk ditentang. Ya, Rasta Mahaprana, sang Ketua OSIS.

“Lo ‘kan bisa ngetok dulu, Ta. Itu pintu kamar gua dari kayu jati kok bukan jadi pudding karamel kalo lo ngetok masih kedengeran sama gua,” jelas Habel pada Rasta yang sudah mengambil posisi duduk di bangku meja belajarnya.

“Jangan berisik, Bel,” sergah Rasta. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Habel menghela napas panjang. “Rumah juga rumah gua tapi yang dimarahin gua juga,” keluhnya. “Lo kenapa?”

Rasta lebih memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan temannya namun tetap bertindak. Lelaki tampan itu mengeluarkan lima buah botol dari dalam tas ranselnya. Seketika botol-botol dengan isi air berwarna keruh itu tampak, Habel menganga. Pada raut wajahnya tergambar rasa senang serta penasaran di waktu yang bersamaan.

Habel menghampiri Rasta lalu menepuk pundaknya. “Waduh! OSIS lagi ribet banget, ya, Ta?”

Rasta masih diam. Ia membuka botol pertama dan langsung menegak isinya. “Enggak,” singkatnya seraya menggeleng. “Hanaya,” katanya.

Habel menarik kursi kayu lain yang ada di kamarnya. Ia memposisikan dirinya di hadapan sang sahabat. “Kenapa istri lo?” tanyanya. Habel membuka botol lain untuk ia teguk.

“Dia jalan sama Marcel,” jelas Rasta.

Habel menyemburkan alkohol yang baru saja akan mengalir dengan segar ke dalam kerongkongannya. Rasta mengeratkan sepasang maniknya sebab buliran air yang membasahi wajah tampannya. Untungnya, Habel tidak menerima bentuk balas dendam dari ketua sekolahnya itu. Rasta terlalu lesu untuk sekadar bertengkar dengan lawan sejatinya itu. Ya, setidaknya sekarang.

“Marcel sepupu gua?!” tanya Habel tidak santai.

Rasta mengangguk. “Gua juga gak tau kenapa. Hanaya juga bilang gua jalan sama cewek lain. Gua bener-bener gak ngerti kenapa,” ujarnya frustasi. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum meneguk setengah botol alkohol yang tersisa.

Habel menahan napasnya. Tentunya, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Juga, pastinya, ia tahu apa yang menyebabkan perang tersebut dapat terjadi, bukan lain karena dirinya sendiri. Lelaki manis itu mengusap tengkuknya canggung bersamaan simpul senyumnya yang terlihat serupa. Ah, benar juga. Seffy Amarani, sang Wakil Ketua OSIS.

“Hanaya bilang lo jalan sama Seffy, ya?” tanya Habel ragu.

Rasta mengangkat pandangannya. “Iya. Kok lo tau? ‘Kan gua belom bilang.”

“Ya, itu…,” ucap Habel sembari menggaruk pangkal hidung bangirnya.

“Itu gimana? Ngomong yang jelas dong, Bel!” Rasta terdengar semakin menuntut.

“Gua mau jelasin tapi lo jangan marah, ya, lo yang tabah, ya,” ujar Habel.

“Apaan sih, Bel? Lo jangan nakutin gua deh,” sergah Rasta. Ia membuka botol selanjutnya dari kumpulan alkohol yang dibawanya.

“Itu… tadi gua yang bilang ke Hanaya,” gumam Habel pelan. Jika Rasta tidak memusatkan atensinya pada suara yang biasanya terdengar sekeras dan senyaring klakson mobil itu, ia tidak akan bisa mendengarnya.

Rasta bangkit dari duduknya. “Apa?! Lo apa ke Hanaya?!” bentak Rasta.

Habel sudah melindungi dirinya dengan bantal empuk yang ia raih dari sofa di dekatnya sebagai gencatan senjata. Lelaki manis itu melihat sahabatnya mengangkat botol alkohol yang masih penuh untuk dilayangkan ke atas kepalanya. Namun, belum sempat Rasta merealisasikannya, ia sudah tumbang.

Sekarang, lelaki tampan itu sudah berbaring di atas lantai keramik yang dingin di kamar sahabatnya seraya mengucapkan mantra-mantra yang Habel tidak mengerti. Habel berlutut di samping Rasta. Ia menepuk pelan kedua pipi lawan bicaranya. “Ta,” panggilnya. “Lo gak apa-apa?”

“Hanayaaa,” ucap Rasta. Ia membalikkan tubuhnya menjadi telungkup. “Hanaya-nya punya Rastaaa.”

“Yah, anaknya mabok,” keluh Habel. “Udah tau gak kuat minum kenapa masih nekat sih, Ta?”

“Hanaya itu cantik banget,” kata Rasta tertahan sebab wajahnya yang menghadap langsung ke lantai. “Lebih cantik dibanding Seffy,” jelasnya.

Rasta yang kuat, gagah, dan tegas seketika hilang jika bertemu atau bersama dua hal, alkohol dan kekasihnya. Habel berusaha membopong tubuh mungil yang ternyata berat itu agar berbaring di ranjang tidurnya, namun usahanya sia-sia. Rasta malah menelusup masuk ke dalam dekapannya seolah ia adalah Hanaya.

“Aduh, Ta! Ini gua, Habel, bukan istri lo,” protes Habel.

“Hanayaaa,” panggil Rasta. “Mau gak jadi pacar aku?”

Sepertinya, kenangan di mana Rasta menyatakan cintanya kepada Hanaya kembali terputar di alam bawah sadarnya. Tidak seperti Marcellio yang memiliki keberanian setinggi langit untuk mengungkapkan perasaannya di hadapan seluruh penghuni sekolah, Rasta mengajak gadisnya ke taman di dekat sekolah lalu membelikannya es krim coklat dan gulali berbentuk kelinci.

“Rasta! Sadar dong,” kata Habel saat Rasta mengeratkan pelukannya.

Sepertinya, Rasta mendengar ratapan sahabatnya yang satu ini. Ia bangkit lalu berjalan ke arah nakas di samping kasur. Langkahnya gontai dan sesekali Rasta tersandung kakinya sendiri tetapi ia kembali bangun. Rasta menatap lekat lampu tidur dan bingkai foto yang terletak di sana. Ia tersenyum.

“Ini gua sama Hanaya, ya?” tanyanya.

Habel mengusap wajahnya tak habis pikir. “Bukan, Ta. Itu Restu.”

“Restu?!” tanya Rasta dengan suara yang melengking.

“Pacar gua, Ta, pacar gua,” jelas.

Rasta mengangguk untuk kemudian ber-oh ria. “Oh, Restu itu pacar lo.”

CTARRR!!!

Rasta membuang pigura foto itu ke arah lantai. “Kalo gua sama Hanaya putus…,” gantungnya. “Lo sama pacar lo juga harus putus!”

“Rasta?!” pekik Habel.

Ia mendekati sang sahabat. Selain perkara gambar dirinya bersama sang kekasih, Rasta bisa saja terluka karena serpihan kaca yang berserakan. Habel bekerja keras untuk membuat Rasta diam di tempatnya, namun lagi-lagi itu tidak ada artinya. Kali ini, Rasta berjalan ke arah lemari kayu. Ia membuka lemari dua pintu itu dengan kedua tangannya. Rasta melihat dengan tidak begitu jelas ada seragam yang tergantung di dalam sana.

“Ini seragam siapa?” tanyanya.

“Seragam gua, Ta,” jawab Habel. “‘Kan kita satu sekolah. Lo Ketua OSIS-nya.”

Rasta kembali mengangguk dan mulutnya membentuk lingkaran. “Kita satu sekolah?! Gua… Ketua OSIS?!”

“Iya, Rasta,” sergah Habel. “Udah, ya, kita tiduran aja,” ajaknya.

Mendengarnya, seketika Rasta memeluk dirinya sendiri. “Jangan!” teriaknya. “Aku cuma punya Hanaya,” jelasnya. “Gak boleh disentuh apalagi main sama yang lain.”

Habel membeku di tempatnya. Kemungkinan besar ia serangan jantung mendadak yang ia alami sekarang ini karena sudah lama tidak melihat efek samping dari sahabatnya yang menenggak minuman beralkohol itu. Rasta memang bukan tipe orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap minuman tersebut. Belum lagi, tingkah aneh akan muncul setelahnya.

“Ta, ini perlu gua panggil siapa sih? Biar lo gak kesurupan lagi,” gumam Habel.

Sontak, Hanaya-lah yang muncul di dalam pikirannya. Dengan cepat, Habel meraih ponsel yang ada di saku celana pendeknya. Ia tidak ingin berurusan lebih lama lagi dengan sahabatnya yang sudah seperti orang pengidap skizofrenia. Habel mengetik beberapa pesan untuk dikirimkan ke Hanaya.

“Hay,” monolog Habel. “Coba lo ada di sini sekarang. Pacar lo berubah jadi belalang sembah,” jelasnya sembari menggelengkan kepala.

Lihat saja, bagaimana Rasta berdiri dengan satu kaki di atas ranjang tidur miliknya. Tangannya mengatup satu sama lain selagi kedua maniknya terpejam. “Haaa… Naaa… Yaaa!!!!”

Tak lama setelahnya, Habel ikut berteriak. “HAAAAA!!!!!”

Sepertinya, jika Rasta tidak mendapatkan penanganan afektif lebih lanjut dari kekasihnya, mungkin lelaki tampan itu akan naik ke stadium berikutnya. Habel yang notabene manusia yang memiliki tingkah paling aneh seantero Sekolah Menengah Atas Pelita Bangsa saja tidak sanggup menghadapi Rasta. Hanya ada satu jalan keluar, Hanaya Marabella.

Tak lama kemudian, Habel mendengar langkah kaki mendentum dari arah tangga di dekat kamar tidurnya. Ia mulai bisa bernapas lega. Hanaya datang dengan sangat cepat demi lelaki kesayangannya. Habel mengelus dadanya seraya terduduk di atas lantai kamarnya. Bahkan, Habel belum sempat merasakan minuman keras itu mengalir di dalam darahnya.

“Rasta?!” pekik Hanaya. Sepasang manik selegam senjanya menelisik ke seluruh sudut ruangan.

“Itu di dalem selimut,” ucap Habel pasrah. Jari telunjuknya mengarah ke ranjang tidurnya, di mana Rasta yang tadinya dirasuki oleh hewan kecil yang dikenal sebagai ahli kung fu itu, kini berubah menjadi orang pengidap bipolar yang sedang menghadapi fase depresi.

“Urusan kita belom selesai, ya, Habel Abdizar,” ancam Hanaya. “Setelah ini, lo abis sama gua.”

Kemudian, Hanaya melangkah menghampiri kekasihnya. Ia duduk di tepian ranjang seraya sebelah tangannya perlahan meraih ujung selimut. Diangkatnya kain tersebut dan yang ia temukan ialah Rasta yang tengah meringkuk sembari memeluk dirinya sendiri. Entah mengapa, hati gadis cantik itu terasa menghangat.

“Ta,” panggil Hanaya sembari tersenyum.

Ada sebias suara yang tak asing memasuki telinganya, Rasta mengangkat pandangannya. Seketika ia menatap ke sumber suara, Rasta dapat melihat wajah cantik yang sudah ia kagumi selama tiga tahun terakhir, dengan rambut panjang terurai, binar mata seterang konstelasi bintang di galaksi, serta bibir yang berwarna merah muda. Rasta sangat menyukai pemandangannya, Hanaya.

“Hanaya?”

“Iya, Rasta. Ini Hanaya. Kamu gak apa-apa?” tanya Hanaya khawatir. Meskipun tidak tergambar pada ekspresinya, gadis cantik itu tentu saja cemas. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kekasihnya itu mendekati air beralkohol.

“Ini bener Hanaya-nya Rasta?”

Hanaya mengangguk. “Iya, bener kok. Ini Hanaya-nya Rasta.” Hanaya merentangkan tangannya. “Katanya Rasta mau peluk? Sini.”

Tidak butuh waktu lebih lama lagi, seolah Rasta sudah sadar dari mabuknya, lelaki tampan itu masuk ke dekapan sang kekasih. Ia memeluk Hanaya erat seperti gadisnya akan pergi meninggalkannya jika ia melepaskannya. Hanya mengusap kepala bagian belakang lelaki kesayangannya.

Ia dapat merasakan dengan jelas bagaimana kegelisahan yang bersarang di hati kekasihnya. Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara itu bagai menyalurkan rasa negatif yang ada di hati masing-masing. Memastikan bahwa yang terjadi hari ini adalah murni kesalahpahaman yang dibuat oleh teman mereka, Habel Abdizar.

“Syukur deh, Ta, lo sadar,” ucap Habel.

Hanaya melepaskan dekapannya terlebih dahulu. Ditatapnya netra yang seolah memancarkan rasa lelah. Hanaya dapat mencium aroma alkohol yang melekat dari lelakinya. Tangan kanan Rasta bergerak mengusap pipi yang ia yakini semakin tirus. Rasta dapat melihat dengan jelas jejak air mata kekasihnya di sana. Lalu, Keduanya melengkungkan senyum secara bersamaan.

“Hay, maafin aku,” kata Rasta.

Hanaya menggeleng. “Enggak, Ta,” balasnya. “Aku yang harusnya minta maaf. Harusnya aku gak percaya sama temen kamu yang aslinya berwujud setan.”

“Jangan pergi sama Marcel lagi,” pinta sang kekasih.

Hanaya menggangguk. “Iya, Rasta. Maafin aku, ya. Aku gak akan ketemu lagi sama Kak Marcel,” jawabnya.

Di sisi lain, Habel menggunjing pasangan kekasih itu. “Udah, ya, kalo mau melakukan hal yang iya-iya mending jangan di sini,” jelas Habel. “Silakan keluar,” lanjutnya.

Habel membukakan pintu kamarnya untuk Rasta dan Hanaya untuk mempersilakan kedua sahabatnya itu agar segera meninggalkannya sebab masalah yang terjadi sudah menemukan titik terang. Namun, bukan Rasta maupun Hanaya jika tidak mereka berhenti di sini. Habel harus diberi pelajaran agar mengerti bahwa ini bukan perkara mudah.

Rasta mendekatkan mulutnya ke telinga sebelah kanan Hanaya. Ada beberapa bisikan yang disampaikannya, bukan lain adalah rencana balas dendam. Hanaya sesekali tertawa mendengar ide gila yang kekasihnya itu ucapkan tetapi ia sangat setuju akan hal itu. Setelah selesai, sepasang kekasih itu saling bertukar tatap.

“Hay,” panggil Rasta. “‘Kan tadi aku punya permintaan lain ke kamu, ya?”

“Iya, ya, Ta? Apa, ya. Ta? Aku gak inget loh,” ucapnya jahil.

Habel yang mendengar bias suara dan raut wajah dari sahabat-sahabatnya itu berubah drastis mengangkat sebelah alisnya. Ia menutup kembali pintu kamarnya untuk kemudian berjalan mendekat ke arah Rasta dan Hanaya, namun tidak terlalu dekat. Habel masih takut dengan dugaan ia akan dikeroyok sampai mati malam ini.

“Ini laki bini gak jelas banget sumpah,” protesnya.

Rasta tidak mengindahkan perkataan lawannya itu. Ia melanjutkan skenario nakalnya. “Ah, masa kamu gak inget sih, Sayang? ‘Kan tadi aku mau peluk sama…,” gantung Rasta.

“Cium,” singkat Hanaya melanjutnya.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Rasta menarik tengkuk kekasihnya agar masuk ke dalam cumbuannya. Hanaya yang diperlakukan seperti itu pastinya tidak menolak karena memang ini bagian dari rencana yang mereka rancang. Dan seperti tebakan mereka, Habel membatu di tempatnya.

“Ya, gak di sini juga dong!” teriak Habel. “Aduh! Temen gua anjing semua.”

Mendengarnya, Rasta dan Hanaya hanya terkekeh di sela-sela ciumannya. Entahlah, sudah berapa kali sepasang kekasih itu mengubah arah kepalanya, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Keduanya begitu menikmati permainan yang sengaja mereka ciptakan. Selain sebagai media balas dendam, permainan ini juga dilakukan sebagai ajang untuk berbaikan.

Habel menjambak rambutnya sendiri. Pasalnya, apa yang menjadi pemandangannya saat ini begitu membangunkan gairahnya. Habel sangat berharap Restu datang ke kamar tidurnya lalu melakukan hal yang sama dengan apa yang Rasta dan Hanaya lakukan. Tidak tahan lagi, akhirnya, Habel berlari ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya.

Selepasnya, Rasta mengakhiri cumbuannya terlebih dahulu. Ia tersenyum lalu mengusap pelan pucuk kepala sang gadis. Hanaya terkekeh ketika menyadari bahwa Rasta sudah sepenuhnya sadar. Rasta-nya telah kembali. Mereka bersyukur bahwa pertengkaran hebat hari ini hanyalah kebohongan yang dibuat-buat belaka.

“Hay,” panggil Rasta lagi. “Kangen.”

Hanaya tertawa bahagia. “Aku juga kangen kamu, Ta.”

“Hay,” panggil Rasta lagi dan lagi. Sepertinya, nama kekasihnya itu selalu terngiang-ngian di pikirannya. “Kalo aku bilang aku kangen kamu gimana?” tanyanya.

“‘Kan tadi udah bilang, Ta. Aku juga udah bilang ‘kan? Kalo aku juga kangen kamu,” jelas Hanaya.

“Hay.” Sepasang manik selegam malam itu terlihat serius. Wajahnya datar namun menyiratkan seribu arti. “Kalo aku bilang aku ‘mau’ kamu… gimana?”

Hanaya terdiam. Pandangannya lurus menatap wajah tampan lelaki kesayangannya. Meskipun terlihat seperti membeku, tetapi aliran darahnya berdesir cepat, jantungnya berdegup seribu kali lebih kencang, serta keringat dingin mengucur di sekitar wajah dan tubuhnya. Hanaya terlalu gugup untuk megiakan permintaan kekasihnya. Oleh karena itu, ia menganggukan kepalanya.

Berikutnya, Rasta mengulurkan tangan kanannya untuk Hanaya, agar gadisnya itu ikut berbaring bersamanya di atas ranjang tidur sahabatnya. Namun, bukannya berbaring, Rasta malah menuntun Hanaya untuk duduk di atas pangkuannya. Hanaya mengalungkan lengannya pada bahu lebar lelakinya.

Kali ini, Hanaya yang mendahului kekasihnya dalam sesi ciuman panas. Rasta mengangkatkan kepalanya sebab Hanaya saat ini lebih tinggi darinya. Sementara sepasang lengan Hanaya yang tetap pada tempatnya, tangan lebar Rasta menjamah ke segala ruang yang dapat dijangkaunya, seperti punggung sempit dan perut rata dari balik hoodie lawan mainnya.

“Nghhh,” lenguh Hanaya saat tangan hangat kekasihnya terasa kontras dengan dinginnya udara dari pendingin ruangan yang ada.

Hanaya mendorong tengkuk Rasta agar memperdalam cumbuannya. Ciuman yang awalnya hanya melibatkan sepasang bibir ranum, kini bertambah bersama lidah dan deretan gigi. Hanaya suka bagaimana miliknya berperang dengan milik Rasta. Lihat saja, bagaimana sepasang kekasih itu semakin ingin lagi dan lagi.

Dirasa kehabisan napas, Hanaya menyudahi ciumannya. Setelah lepas, gadis cantik itu sebisa mungkin memasok oksigen untuk masuk ke dalam paru-parunya. Selagi Hanaya sibuk dengan sistem respirasinya, Rasta tertawa. Menurutnya, Hanaya sangat cantik, menggemaskan, dan menggoda malam ini.

“Kewalahan, Hay?” guyon Rasta.

Mendengarnya, Hanaya memukul pelan bahu Rasta. “Ih, Rasta! Jangan gitu,” katanya. “Kamu kayak makan orang.”

Rasta memangkas jarak antara wajahnya dan wajah gadisnya. “Emang iya,” ucapnya dengan suara sedalam palung. “‘Kan mau makan kamu.” Diakhiri dengan seringai.

Dengan begitu, Rasta memutar balik posisinya. Kini, Hanaya berada di bawah kungkungannya. Perlahan, Rasta menanggalkan hoodie miliknya yang sudah menjadi kesukaan gadisnya sejak tahun pertama mereka resmi berpacaran. Rasta dipuaskan dengan pemandangan Hanaya yang hanya berlapiskan bra dan celana pendek di balik hoodie-nya itu.

“Jangan diliatin gitu ah, Ta,” protes gadis cantik itu.

Rasta tertawa lepas. “Kamu tuh lucu banget tau, Hay.”

“Makasih,” gumam Hanaya.

“Terima kasih kembali, Cantik.”

Selanjutnya, Rasta mulai membumbui tubuh indah yang ada di bawahnya itu dengan tanda kepemilikannya khas dirinya. Dijilatnya rongga leher dan belakang telinga kekasih kemudian jilatan itu berubah menjadi kecupan di area dadanya yang sudah setengah terekspos lalu berakhir pada sepasang gunung sintal yang masih terlindungi kain.

“Aku buka, ya, Hay?” tanya Rasta meminta izin.

“Iya, Ta,” jawab Hanaya lembut.

Setelah mendapat izin, Rasta membuka pengait bra di belakang punggung gadisnya dan terlihatnya payudara kenyal yang sukses membangkitkan libidonya. Tanpa basa-basi, Rasta melahap hidangan pembukanya. Hanaya dibuat terhenyak saat kehangat menjalar dari pusat ke seluruh tubuhnya.

“Nghh, ahhh, Ta,” desahnya. “Enakhhh.”

Rasta yang disanjung begitu semakin gencar menyusu pada buah dada kekasihnya. Hanaya yang diberi kenikmatan seperti itu tidak bisa diam di tempatnya. Lihat saja, bagaimana kaki jenjangnya sedari tadi, entah dengan sengaja atau tidak, menggesek-gesek kejantanan lelaki kesayangannya yang masih terbungkus celana denim.

“Shh, ahhh, Hay,” racau Rasta setelah melepas puting gadisnya.

Sebab tidak tahan dengan keinginan yang memuncak, Rasta mencium kasar Hanaya. Cumbuannya itu terasa dan terlihat jauh lebih menuntut dari sebelumnya. Dengan Rasta yang berada di atasnya, setiap gerakan yang Hanaya hasilkan akan sangat berpengaruh terhadap nafsu keduanya.

“Mphhhh,” lirih Hanaya tertahan kala tangan kiri Rasta menelusup ke dalam pakaian dalamnya.

Rasta melepas ciumannya. “Enak, Hay?” tanyanya selagi ibu jarinya sibuk memutari klitoris sedangkan jari tengah dan telunjuknya menerobos masuk semakin dalam.

Hanaya tidak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk cepat. Tanpa disadari, pinggulnya bergoyang seolah meminta lebih. Apa yang ada di bawah sana sudah cukup membuatnya gila, namun Hanaya ingin lagi. Rasta menyadari hal itu tetapi ia akan menunggu sebentar lagi. Harus ada sesuatu yang hampir memuncak barulah ia akan ikut bergabung.

“Ahhh, Ta, mau keluar,” jelas Hanaya.

Rasta memberhentikan kegiatannya di bawah sana. Ia menarik tangannya keluar dari kewanitaan gadisnya. Rasta mendekat pada Hanaya. “Aku masukin, ya?” tanyanya lagi meminta izin. Setelah Hanaya mengangguk, Rasta menyempatkan diri untuk mengecup hangat kening gadisnya.

Rasta melepaskan semua kain yang menutupi tubuhnya tanpa terkecuali. Kemudian, ia meluruhkan kain terakhir yang menempel pada tubuh gadisnya. Disampirkannya selimut tebal dari ranjang tersebut untuk menutupi tubuh polos mereka. Rasta mempersiapkan kejantannya untuk masuk ke dalam Hanaya.

“Kalo sakit bilang, ya, Sayang,” ucap Rasta.

Hanya mengangguk pasti. Ia dapat merasakan kepala penis kekasihnya mulai mendekat ke arah vaginanya. Hanaya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar saat sesuatu yang besar di bawah sana sudah masuk separuh ke dalam dirinya. Lalu, setelah kejantanannya sang kekasih masuk sempurna, keduanya baru dapat kembali bernapas.

“Aku gerakin, ya, Hay,” kata lelaki tampan itu.

Belum sempat Hanaya menjawab, Rasta sudah bergerak menggempur kewanitaannya. Hanaya tidak dapat melakukan hal lain, selain mengelukan desahan yang mengandung nama kekasihnya. Kedua tangannya meremat kain kusut yang melapisi ranjang tersebut. Rasta bergerak semakin cepat.

“Nghh, ahhh, Ta,” lenguh Hanaya.

“Shhh, Hay, ahh,” balas Rasta.

Malam itu, ranjang serta kamar tidur Habel, atau mungkin Habel sendiri yang samar-samar mendengar keluh desah dari kamar mandinya, menjadi saksi bisu bagaimana Rasta dan Hanaya mengakhiri hari serta kesalahpahaman yang terjadi. Baik Rasta maupun Hanaya tidak keberatan apabila setiap perdebatan mereka diselesaikan dengan cara yang panas seperti ini.

Rasta menaikkan tempo gempurannya. Ia mencekik pelan seraya ibu jarinya masuk ke dalam mulut sang gadis. Hanaya kewalahan tetapi ia tetap dapat merasakan kenikmatan yang membuncah dan sepertinya titik ternikmatnya akan datang sebentar lagi. Mengingat, Rasta bermain dengan sangat andal malam ini.

“Ta, ahhh, aku mau, nghh, keluar,” ujar Hanaya susah payah.

“Shhh, sebentar lagi, ahh, Hay,” jawab Rasta.

Mendengar gadis cantiknya akan menjemput pelepasannya tidak lama lagi, Rasta kembali mempercepat tempo permainannya di bawah sana. Hanaya semakin gila dan hal yang sama berlaku juga bagi Rasta. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar, sama seperti yang Hanaya lakukan sebelumnya.

“Rasta!” pekik gadis cantik itu. Hanaya mendapatkan pelepasannya terlebih dahulu.

Setelah tiga kali gempuran, Rasta mencabut penisnya lalu menyemburkan cairan putih hangat ke atas perut rata kekasihnya. “Akhh!”

Rasta tumbang di sebelah kanan Hanaya. Sepasang kekasih yang baru saja selesai bermain itu sama-sama diburu napas. Juga, keringat membanjiri tubuh polos mereka di balik selimut tebal. Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi, baik Rasta maupun Hanaya lebih memilih untuk mengatur napas mereka masing-masing.

Ya, setidaknya sampai Hanaya tiba-tiba memeluk kekasihnya. “Maafin aku, Ta,” kata Hanaya tertahan sebab wajahnya yang bersembunyi di dada bidang sang kekasih.

“Sayang,” panggil Rasta. “‘Kan aku udah bilang gak apa-apa. Bukan salah kamu sepenuhnya juga kok. Emang temen kamu aja idenya terlalu kreatif,” jelas lelaki tampan itu diiringi dengan lelucon.

“Ya, tapi tetap aja, Ta, gak membenarkan tindakan aku yang langsung percaya dan langsung ngajak Kak Marcel jalan,” sanggah Hanaya.

“Hanaya.” Rasta membawa wajah mungil kekasihnya agar menatap langsung ke netranya. “Iya, emang kamu salah. Aku marah dan aku sedih tau kamu jalan sama Marcel. Tapi kamu ‘kan gak akan bertindak sejauh itu tanpa alasan. Aku percaya sama kamu, Sayang,” katanya.

“Makasih, ya, Ta,” balas gadis cantik itu. “Lain kali kalo Habel yang bilang, aku gak akan langsung percaya.”

“Nah, gitu dong! ‘Kan Hanaya-nya Rasta.” Rasta mencubit pangkal hidung kekasihnya.

Klek!

Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Memperlihatkan Habel dengan wajah yang berantakan serta baju yang dikenakannya setengah basah. Lelaki manis penuh humor itu menatap datar sepasang kekasih yang berbaring mesra di ranjangnya. Dengan sigap, Rasta mendekap Hanaya agar lebih masuk ke dalam selimut. Pastinya, Rasta tidak ingin orang lain, apalagi laki-laki, untuk melihat aset berharganya.

“Udah?” tanya Habel.

“Udah apaan?” balas Rasta tanpa dosa.

“Udah ngomongin gua-nya?”

Rasta mengangguk. “Udah?”

“Memasuki satu sama lainnya juga udah?” tanya Habel memastikan.

Rasta mengangguk lagi. “Udah juga.”

Habel mengacungkan jempolnya. “Bagus,” katanya. “Ini mah gua minta maaf, ya, karena udah bikin lo sama istri lo berantem. Sumpah gua gak ngira Hanaya bakal ngajak jalan Marcel.”

“Iya,” jawab Rasta ketus.

“Iya, Habel,” timpal Hanaya yang suaranya tertahan dari balik selimut.

“Yaudah. Sekarang gantian,” perintah Habel.

“Gantian apa?” tanya Rasta.

“Restu mau ke sini. Gantian. Gua mau pake kasurnya,” jelas lelaki manis itu.

“Gak bisa. Lo pake kamar lain dulu aja. Hanaya masih mau istirahat sama gua,” enteng Rasta. Kemudian, ia meraih ponselnya di atas nakas. “Udah sana lo pergi. Kasian nih Hanaya nyumput terus,” tambahnya.

Habel memijat keningnya sebab merasakan pening. “HAAAAA!!!!!”

“Hello. What do you want for today?” tanya seorang pegawai perempuan dari tempat makan cepat saji pada pelanggan yang berdiri di hadapannya.

“Hi. Can I get a half of sliced chicken with no cucumber and zaitun, please,” jawab Farelio setelah selesai membaca menu yang tertera jelas di atas kepala sang pegawai.

“Would you like to have the sandwich with cola?” tanya pegawai ramah itu lagi.

Farelio mengangguk. “Yes, please.”

Siang menjelang sore yang terasa cukup dingin hari itu, setelah menolak ajakan dari Clarissa, Farelio memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumahnya. Mengingat sang ayah mungkin sudah berada di sekitaran Bandar Udara Internasional Vancouver sekarang bersama Yolanda membuat Farelio semakin tidak ingin pulang ke rumah.

Setelah mendapat pesanannya, lelaki tampan itu keluar dari restoran makanan cepat saji tersebut lalu melangkah menuju taman yang berjarak tak jauh dari sana. Farelio mendudukkan dirinya di bangku kayu panjang di tengah-tengah taman dekat dengan air mancur. Ia melahap suapan pertamanya pada roti isi yang dibelinya.

Jika tidak salah, ini makanan pertama yang masuk ke dalam mulutnya sejak kemarin sore. Selagi menikmati sandwich yang menurutnya terasa hambar, Farelio mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman terbuka yang hamparan tanahnya dilapisi oleh rumput hijau segar. Sesekali, lelaki tampan itu mengeratkan jaket yang dikenakannya.

Hari ini, taman yang sudah menjadi comfort zone-nya selama satu tahun belakang itu tidak dikunjungi oleh banyak orang. Jika beberapa hari sebelumnya, ia melihat beberapa turis yang sedang duduk santai di dekat air mancur serta sepasang kakek dan nenek yang asyik menyuapi satu sama lain dengan roti coklat yang dibeli di minimarket terdekat, kini tidak tampak lagi.

Di taman yang tidak terlalu luas itu, hanya terlihat seorang anak laki-laki yang sedang sibuk dengan tablet dan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Farelio yakin bahwa anak laki-laki itu tidak datang sendiri dan bisa jadi ibunya sedang mampir ke penjual makanan kaki lima di sekitaran taman ini.

Farelio ikut tersenyum kala anak laki-laki itu tersenyum sembari menatap semangat ke layar tabletnya. Jika ia tidak salah dengar, anak itu tengah mengobrol dengan ibunya, yang benar seperti dugaannya, sedang membeli beberapa makanan ringan untuk disantap di sore yang awannya semakin tebal itu.

“I didn’t expect to see you here, Farelio,” ucap seseorang dari belakangnya.

Sontak, Farelio menolehkan kepalanya. Untungnya, lelaki tampan itu memiliki indera layaknya manusia laba-laba super. Jika tidak, mungkin air soda yang sedang ia teguk dari dalam gelas kartonnya sudah meresap ke dalam tanah berumput. Dan yang ia temukan adalah gadis dengan senyum paling hangat di dunia.

Farelio hendak menyeka bulira soda yang menempel di sudut bibirnya saat oknum yang mengejutkannya tadi melakukannya terlebih dahulu. Clarissa dengan telaten membersihkan, tidak hanya tumpahan air soda melainkan juga remah-remah dari roti isi, yang mengotori wajah tampan teman kuliahnya itu.

“You have to be careful, Farelio,” tambah Clarissa.

Setelah selesai, gadis cantik itu berjalan memutari bangku panjang di depannya untuk kemudian mengambil posisi duduk di samping Farelio. Clarissa menyilangkan kaki bagian bawahnya. Lalu, ia menepuk-nepuk pelan rok tebalnya yang berwarna coklat. Farelio berani bersumpah bahwa teman cantiknya ini adalah gadis paling anggun yang pernah ia temui.

“Thanks a lot, Clar,” balas lelaki tampan itu.

“What are you doing here? Aku pikir kamu punya janji makanya kamu gak bisa pas aku ajak nonton,” tanya Clarissa penasaran.

Padahal, bukan pertama kalinya tawaran dan ajakan atau hal-hal yang berhubungan seperti itu ditolak oleh teman kesayangannya. Dengan berbagai alasan pula, Farelio menolaknya. Tetapi, bukan Clarissa namanya jika ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Lihat saja, bahkan sampai saat ini, Clarissa tidak ingin menyerah.

Farelio tersenyum masam. Clarissa yang sangat peka dengan semua tingkah laku manusia di sampingnya itu mengangguk dalam diamnya. Oleh karenanya, ia tidak mempermasalahkan perkara itu dengan tidak menuntut Farelio untuk memberi penjelasan. Ia tidak berhak tahu seluruh kehidupan lelaki idamannya.

“Suddenly got canceled, ya?” tanya Clarissa menenangkan.

Dengan cepat, Farelio mengangguk. “Kinda,” singkatnya. “Kamu ngapain di sini?”

“Mau ketemu sama temennya Mama,” kata Clarissa. “Mama mau bikin baju untuk pesta di Toronto bulan depan.”

Farelio menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Kembali ke sepenggal kisah antara Farelio dan Clarissa. Keduanya pertama kali bertemu saat berada di kelas pertama di musim semi. Kala itu, Farelio lupa membawa buku yang seharusnya ia pinjam dari perpustakaan. Seperti cerita klasik lainnya, Clarissa datang sebagai penyelamatnya.

Farelio masih ingat betul bagaimana gadis cantik itu tersenyum sembari menawarkan untuk berbagi buku dengannya. “From Indonesia, ya? Barengan aja sama aku.” Dan pada saat itu juga, Farelio dan Clarissa memutuskan untuk berteman. Mempunyai teman dari negara asal yang sama sangat langka di sini. Makanya, keduanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Tetapi, siapa yang bisa menyangka? Dengan fakta bahwa Farelio sangat senang berteman dengan gadis cantik nan pintar di duduk di sebelahnya ini. Namun, Clarissa dengan berani menumbuhkan perasaan yang sedikit romantis pada lelaki tampan yang sering kali lupa membawa buku catatannya ke dalam kelas.

“Udah ketemu?” tanya Farelio lagi.

“Siapa? Temennya Mama? Belom. Aku baru ketemu sama anaknya aja,” jelas Clarissa.

Farelio terkekeh. “Okay. I’ll wait for you,” ucapnya.

Sepertinya, Farelio merasa sedikit bersalah setelah Clarissa menangkap dirinya secara terang-terangan berbohong perihal janji yang sebenarnya tidak pernah ada. Clarissa mengembangkan senyum termanisnya. Ia menganggukkan kepalanya dengan semangat. Tentunya, siapa yang tidak bahagia jika harus menghabiskan hari yang hampir berakhir bersama orang yang disukai.

Selepasnya, Farelio mulai menanyakan jadwal kelas beserta ujian yang akan datang. Clarissa sebagai teman dan mahasiswa yang cepat tanggap pastinya membantu temannya itu. Ternyata, cukup banyak yang sudah Farelio lewatkan, mulai dari analisis jurnal sampai tugas akhir yang harus ia kumpulkan pekan depan.

Jika boleh jujur, bukan tanpa sebab semua keterlambatan ini dapat terjadi. Ya, apalagi jika bukan karena Farelio dan perasaannya. Ah, mungkin lebih tepat adalah rasa rindunya. Pasalnya, beberapa pekan belakangan ini, otak dan hatinya hanya tertuju kepada gadis cantik di kampung halamannya.

Farelio secara berkala memeriksa semua akun media sosial, yang tadinya tidak pernah muncul di permukaan perlahan mulai menampakkan diri, yang Airin miliki. Padahal, banyak dari banyaknya informasi yang ia dapatkan, hampir semuanya berisikan kebersamaan Airin dengan Alby.

Sementara itu, Clarissa yang menyadari perubahan negatif dari teman kesayangannya itu selalu bersedia untuk membantu semua tugas-tugas Farelio yang terlambat. Tetapi, yang aneh adalah semakin sering Clarissa berada di dekatnya maka bayang-bayang Airin akan semakin menghantui sanubarinya.

Selagi Farelio merasakan bayang-bayang gadis kecintaannya yang jauh di sana, suara lembut Clarissa membangunkannya dari lamunannya. “Hi, Mark! Eating cupcakes again, huh?”

“It’s my first cupcake, Clarissa. Don’t make it so exaggerated,” protes anak kecil yang tiba-tiba menghampiri gadis cantik di sebelah Farelio.

Yang diceramahi begitu hanya tertawa. “Alright, Boy,” pasrah Clarissa sembari mengusap pelan pucuk kepala anak laki-laki bernama Mark itu.

“Siapa, Clar?” tanya Farelio.

“Mark Anderson. 6 years old this year,” ucap anak laki-laki itu seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan setelah mendengar teman dari kakak perempuan yang biasa bermain dengannya selama liburan musim dingin itu bertanya.

Farelio sempat tercekat dengan kesigapan anak laki-laki di hadapannya ini. Ia menundukkan pandangannya lalu menyambut uluran tangan dari Mark. “Hi, Mark! I’m Farelio. 20 years old this year,” ujarnya.

“Are you Clarissa’s boyfriend?” tanya Mark lagi setelah melepas genggaman tangannya dengan Farelio.

Farelio dan Clarissa sama-sama terhenyak dengan pertanyaan skak mat yang dilontarkan anak laki-laki tampan yang berdiri di depan mereka. Meskipun harus memandang ke bawah karena tinggi mereka yang terpaut, harga diri Mark seolah di atas keduanya sehingga ia dengan sangat berani bertanya hal demikian.

“I’m his friend, Mark, since day one,” jelas Farelio tenang.

Mendengarnya, Mark mengangguk beberapa kali. “Glad to hear that,” katanya. “Soalnya Clarissa sering cerita sama aku dan Mama tentang teman cowoknya yang selalu gak peka. Padahal, Clarissa suka banget sama dia,” lanjut anak kecil itu.

Clarissa yang mendengar pengakuan tiba-tiba dari Mark langsung membeku di tempat sembari sepasang maniknya membulat sempurna. Sedikit banyak, mungkin Farelio menyadari siapa ‘teman cowok’ yang dimaksud Mark, bukan lain adalah dirinya. Tetapi, demi menjaga perasaan Clarissa, Farelio pura-pura tuli.

“Mark can speak Indonesian?” tanya Farelio.

“Mamaku orang Indonesia,” jawab Mark singkat.

“Makanya Mamaku sama Mamanya Mark bisa temenan karena mereka sama-sama dari Indonesia,” tambah Clarissa.

“Oh, here you are, Mark,” ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang menghampiri sepasang remaja dan anak kecil itu.

Ia menggendong Mark agar masuk ke dalam dekapannya sebab ia tahu pasti anak satu-satunya itu sudah membuat keributan dengan bertanya hal-hal aneh kepada orang asing. Dan benar saja, target pertamanya adalah teman dari kakaknya, Farelio. Clarissa tersenyum dan bangkit dari duduknya untuk menyalami tangan hangat wanita itu.

“Maaf, ya, Clar. Tadi Tante sibuk nyari cupcake buat Mark,” jelas wanita cantik itu.

Ia masih belum sadar bahwa Clarissa tidak sendirian di sana. Keduanya sedang berbincang ringan selagi sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna. Tatapan Farelio lurus tertuju pada wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik yang sedang menggendong anaknya, Mark.

Perlahan, Farelio bangkit. Tubuh dan pikirannya seolah membeku tapi di saat yang bersamaan ditarik secara paksa ke masa yang sudah berlalu. Namun, Farelio tidak merasa keberatan sebab masa-masa itulah di mana ia merasakan bahagia yang amat sangat dengan kasih sayang seorang ibu.

“Mami…,” lirih Farelio.

Alisha mendengar ada yang bergumam pelan. Sebelum ia menoleh, ia mengeratkan gendongannya pada Mark. Lalu, ketika menoleh ke arah remaja yang berdiri di sebelah Clarissa, sepasang manik yang serupa seperti Farelio itu ikut membulat. Pandangannya intens kepada lelaki tampan yang keberadaannya sangat ia rindukan.

“Farel…,” ucap Alisha.

Dua pasang manik itu berbinar indah. Terdapat genangan di pelupuk netra masing-masing. Bukan karena kesedihan melainkan haru khas rasa rindu. Baik Farelio maupun Alisha sama-sama diburu napas seolah pasokan oksigen di sekitar mereka tidak cukup untuk dihirup ke dalam paru-paru. Rindu ini sangat menyesakkan dada.

“Tante, this is my friend, Farelio,” ujar Clarissa yang terdengar sedikit canggung.

Alisha tidak menghiraukan perkataan Clarissa yang memperkenalkan Farelio sebagai teman sekampusnya. Tidak hanya Clarissa, Mark juga sama bingungnya dengan apa yang terjadi dengan sang ibu bersama kakak laki-laki tampan teman kakak perempuannya yang ia temui beberapa menit lalu.

“Ma, are you okay?” tanya Mark khawatir.

Alisha yang sempat terpaku dengan kehadiran putra sulungnya itu akhirnya kembali tersadar. “I’m okay, Mark,” jawabnya seraya tersenyum. “Clarissa, bisa tolong gendong Mark dulu?” tanya Alisha kemudian. Ia menyerahkan anak kecil yang ada di dalam gendongannya itu kepada Clarissa.

Alisha melangkah satu kali agar mendekat kepada sosok yang selama bertahun-tahun menetap di hatinya. Ia hampir tidak percaya bahwa yang berdiri di hadapannya ini adalah Farelio Evan Pratama, anak pertamanya yang ia ‘tinggalkan’ bersama Kendrick karena isu perselingkuhan yang tidak dapat dimaafkan.

Serupa dengan sang ibu, Farelio juga mendekat. Alisha menangkupkan telapak tangannya pada wajah dengan rangka tegas yang ia kenal baik sejak anak itu lahir ke dunia. Ibu jarinya mengusap pipi tirus yang terlihat sangat kelelahan. Entah disadari atau tidak, sepasang anak ibu itu mulai terisak.

“Farel…,” panggil Alisha. “Apa kabar, Nak? Kok Farel bisa di sini? Sama siapa di sini?” tanyanya dengan suara yang terdengar serak.

“Farel baik-baik aja kok, Mi,” jawab Farelio sembari ikut mengusap punggung tangan yang mencerminkan beban terlalu banyak. “Mami apa kabar? Farel kangen banget sama Mami.”

Alisha berani bersumpah. Kalimat terakhir yang anak lelakinya itu ucapkan sangat menyayat hatinya. Mungkin, jika boleh berprasangka, Farelio jauh lebih merindukan Alisha dibanding Alisha merindukan anak laki-laki itu. Alisha semakin berlinang air matanya dan begitu juga dengan Farelio.

Alisha memeluk erat tubuh tinggi yang ada di depannya. Ia mengusap kepala bagian belakang sang anak dengan sangat lembut. Ia sudah lupa bagaimana rasanya memeluk anaknya yang satu ini. Namun, Alisha berani jamin bahwa hangat dan harumnya masih sama seperti yang dulu, anaknya, Farelio-nya.

“Maafin Mami, ya, Sayang,” kata Alisha. “Maaf Mami ninggalin Farel,” lanjutnya.

Farelio, di penghujung hari kala itu, tidak dapat berkata-kata. Selain tidak ingin, ia juga tidak mampu. Untuk hari ini, kali ini saja, Farelio ingin berada di pelukan itu, dekapan Mami Alisha, Mami-nya. Farelio menumpukan kepalanya di atas bahu sempit yang dulu selalu ada kapan pun ia butuhkan.

Dengan gerakan telaten, Farelio menyelipkan tangannya untuk memeluk pinggang ramping itu seolah berusaha kembali kepada ibunya yang hilang beberapa tahun terakhir. Tentunya, secara tidak langsung, Alisha menyambut anak pertamanya itu. Ia biarkan Farelio untuk memeluknya dan menyalurkan rasa sakit selama ia tidak ada di dekatnya.

Setelah puas menyiarkan rasa rindu satu sama lain, Farelio melonggarkan pelukannya. Ia dapat melihat jelas jejak air mata yang membasahi pipi ibunya. Sebelah tangan besarnya bergerak membersihkan air yang mengacak-acak riasan Alisha. Setelah sekian lama, ia dapat merasakan tingkah laku manis anak laki-lakinya ini.

“I’m okay, Farelio. You may stop crying,” ujar Alisha sambil terkekeh kecil.

Farelio tertawa mendengar sang ibu sudah dapat bercanda di atas rasa rindu mereka. “How are you, Mi? Farel di sini sama Papi,” jelas lelaki tampan itu.

“Sekarang Papimu di mana?” tanya Alisha.

Farelio terhenyak dengan pertanyaan satu itu. Ia tidak yakin harus menjawab dengan jujur. Alisha yang sedang menunggu jawaban dari anaknya itu sepertinya mulai menangkap sinyal yang secara tidak langsung Farelio edarkan. Jika ia tidak salah tebak, pasti Kendrick sedang bersama perempuan itu.

“Lagi sama Yolanda, ya?” terka Alisha.

Farelio mengusap tengkuknya. “Iya, Mi. Papi lagi di Edinburgh sama Tante Yolanda. Katanya ada perjalanan dinas ke sana.”

Alisha mengangguk beberapa kali. “Yaudah, kalo gitu,” finalnya.

Selanjutnya, wanita cantik itu berbalik menghadap Clarissa dan Mark yang sedari tadi kebingungan menyaksikan adegan mengharukan yang terjadi antara Farelio dan Alisha. Alisha kembali menarik Mark untuk masuk ke dalam gendongannya sementara satu tangannya yang terbebas mengusap kepala Clarissa.

“Maafin Mama, ya, Mark. Mama belum cerita ke Mark,” jelas Alisha. “Maafin Tante juga, ya, Clar, kamu pasti bingung deh.”

Clarissa melambaikan telapak tangannya. “Gak apa-apa kok, Tante. Pasti Tante senang sekaligus kaget ketemu sama Farelio,” ujarnya ramah.

Alisha kembali melirik putra pertama yang berdiri di sampingnya sembari tersenyum. Farelio pun membalas senyuman itu tak kalah lebar. Siapa yang akan sangka bahwa ternyata semesta mempertemukan mereka di negara ini. Entah suatu kesengajaan atau takdir, Farelio dan Alisha tidak ingin tahu.

“Mark,” panggil Alisha.

“Ya, Ma?” balasnya antusias.

“Meet your brother, Mas Farel,” jelas Alisha.

“My brother?” tanya Mark seraya menaikkan sebelah alisnya. Alisha mengangguk semangat menjawab pertanyaan anak bungsunya itu. “Clarissa,” panggil Alisha lagi.

“Iya, Tante?” balas Clarissa.

“Meet my first son, Farelio,” finalnya.

“Alby!” protes Airin saat kekasihnya itu dengan sengaja menendang deburan ombak yang menghampiri mereka sehingga percikan airnya membasahi pakaiannya.

“Makanya kamu sini dulu,” bujuk lelaki manis itu. Ia berlarian mengejar kekasihnya yang melangkah semakin jauh darinya.

“Gak mau! Nanti baju aku basah, By,” tolak Airin yang berlari semakin jauh dari kekasihnya.

“Kamu gak mau aku peluk sih,” keluh Alby.

“Tangan kamu basah semua, By, nanti baju aku ikutan basah,” ujar Airin.

Di petang yang hampir selesai ini, Airin dan Alby tengah menikmati hamparan pasir di pinggir pantai selagi gelombang air kecil menghantam pelan pergelangan kaki mereka. Alby dengan tingkah usilnya dengan sengaja memercikan air yang ia tangkup menggunakan kedua telapak tangannya.

Airin yang sedari tadi mencoba menghindari sang kekasih, tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Ia menemukan ranting kayu yang hampir lapuk di dekat kakinya. Kemudian, gadis cantik itu berjongkok. Airin menggunakan tangan kirinya untuk menahan ujung kain gaunnya agar tidak jatuh mengenai pasir yang dimakan air sana.

Sedangkan, tangan kanannya bergerak menuliskan namanya beserta nama sang kekasih dengan gambar hati yang bersanding di tengah-tengah mereka di atas pasir putih yang lembap. Alby berdiri di belakang Airin sembari menyaksikan aksi menulis di atas pasir yang dipertunjukkan kekasihnya hanya untuknya. Alby tertawa.

“Kamu kenapa ketawa?” tanya Airin kepada sosok setinggi tiang bendera di belakangnya.

Alby menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya yang besar. Ia tidak dapat menahan tawanya. “Coba liat nama aku. Kenapa kecil banget dibanding nama kamu? Gambar hatinya juga kenapa miring sebelah?”

Airin memiringkan kepalanya. Ia mencoba mengidentifikasi apakah yang dibilang kekasihnya itu benar adanya dan… ternyata benar. “Iya juga, ya,” gumam gadis cantik itu.

“Ayo benerin bareng-bareng,” kata Alby.

Setelahnya, Alby ikut berjongkok di sebelah gadisnya. Dipegangnya tangan kecil yang sedang menggenggam sebatang ranting pohon itu. Dengan gerakan yang selaras, Alby menuntun Airin untuk membenarkan serta merapikan mahakarya mereka yang terlukis di atas pasir. Keduanya tersenyum lebar saat hasil kreasi indah itu selesai diciptakan.

Namun, tak lama berselang, saat Airin tengah merogoh saku gaunnya untuk mengeluarkan ponselnya, ombak menghapus jerih payahnya. Airin menganga lebar. “Yaahhh!” pekiknya. “‘Kan belom difoto tulisannya,” gerutunya.

Airin terlihat sangat gusar. Sedangkan, Alby tertawa sangat kencang. Ia terjatuh sebab kepalang gemas melihat wajah cantik Airin yang tampak sangat gusar. Airin melirik ke sampingnya dengan tatapan sinis. Lalu, gadis cantik itu bangkit dan memukul pelan bahu kekasihnya.

“Ih! Kamu kok malah ketawa sih, By,” ucap Airin kesal.

“Aku juga baru mau foto tapi keburu kehapus ombak,” sanggah Alby.

Airin tertambat di tempatnya berdiri. Pandangannya menunduk memerhatikan karyanya yang paling indah tadi dengan tega dihapus oleh ombak, seola-olah semesta berkata padanya bahwa hasil buatannya terlihat tidak bagus, bahkan jelek. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Alby mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

“Sayang,” panggil Alby.

Airin menolehkan pandanganya. Sepasang maniknya yang seindah senja sore ini sempat mengerjap beberapa kali saat cahaya kilat dari kamera ponsel Alby menyilaukan matanya. Airin baru sadar bahwa Alby tengah memotret dirinya saat lelaki kesayangannya itu tidak berhenti tertawa dengan hasil jepretannya di layar ponsel.

“Alby!” pekik Airin. “Siniin hp kamu!”

Airin hampir saja berhasil meraih ponsel itu tetapi Alby bergerak lebih cepat. Diangkatnya tangan yang menggenggam ponsel itu setinggi langit agar Airin tidak dapat menggapainya. Namun, bukan Airin namanya jika berhenti saat usahanya sama sekali belum maksimal. Ia menekan bahu Alby agar mau berdiri lebih rendah selagi sebelah tangannya masih berusaha menjangkau ponsel yang memiliki foto aib dirinya.

“Kamu gak akan bisa, Airin. Kamu gak setinggi itu untuk bisa ngambil hp ini,” ledek lelaki manis itu seraya menjulurkan lidahnya.

Airin berhenti sejenak dari aktivitas merebutnya. Ia menatap intens sepasang manik indah yang lebih tinggi darinya. “Nantangin, ya?” tanyanya.

Alby mengangkat sebelah alisnya. “Kalo, iya? Kenapa?”

Di detik berikutnya, Airin mengecup sebelah pipinya kekasihnya. Hanya dengan perbuatan sederhana seperti itu mampu membuat Alby membeku. Sepasang manik yang sama indahnya dengan semesta itu membulat sempurna. Airin menggunakan peluang tersebut untuk merebut ponsel kekasihnya.

Kali ini, Airin yang menjulurkan lidahnya. Ia menjauhkan dirinya dari Alby yang masih setia dengan posisinya. “Makanya jangan nantangin, Sayang,” ejek gadis cantik itu.

Mendengarnya, Alby menyeringai. Bagaimana bisa sekelebat ide licik itu terpintas di pikiran gadisnya. Sebelum Airin berlari terlalu jauh, Alby kembali mengejarnya. “Oke, kalo kamu mau main licik.”

Alby berlari dengan kecepatan penuh untuk menangkap gadisnya. Airin yang mempunyai kaki jauh lebih kecil dan pendek dari kekasihnya tidak dapat berbuat banyak. Jika Airin melangkah tiga kali, maka Alby sudah melangkah enam kali alias dua kali lebih cepat darinya. Dan, lihat saja, gadis cantik itu sudah kembali berada di dalam dekapan lelaki kesayangannya.

“Mau ke mana kamu? Kamu gak bisa ke mana-mana sekarang,” guyon Alby dengan nada seolah mengancam. “Pacar aku berani nakal, ya, sekarang,” ucapnya.

“Kamu lagian usil banget sih, By, udah tau aku lagi jelek banget malah difoto,” jelas Airin.

Alby bergerak mencium pipi sebelah kanan Airin. “Siapa yang bilang kamu jelek?” Selanjutnya, lelaki manis itu mencium pipi sebelah kiri gadisnya. “Kamu ‘kan pacar aku yang paling cantik.”

“Bisa aja nih pacar aku ngomongnya,” balas Airin sembari mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya.

Airin menyunggingkan senyum dan dibalas serupa oleh Alby. Untuk sementara waktu, dan jika boleh untuk selamanya, sepasang kekasih itu ingin menikmati atmosfer nyaman nan menenangkan dengan orang yang paling dicintainya seperti ini. Ditemani dengan semburat oranye kemerahan di langit serta suara merdu dari karang yang memecah ombak, Airin dan Alby terhanyut dalam tatapan satu sama lain.

“Kalungnya cantik,” puji Alby saat menemukan liontin indah yang menggantung di leher kekasihnya.

“Iya dong. ‘Kan dari pacar aku,” jawab Airin semangat.

Alby terkekeh. “Yang pake kalungnya jauh lebih cantik,” katanya.

Ada kalimat sanjungan yang ditujukan untuknya, Airin menundukkan pandangannya sebab malu. Wajahnya juga memunculkan rona merah. Ia tidak dapat menahan senyum bahagia. Alby, lagi-lagi, membuatnya jatuh dan terus jatuh ke dalam cinta dan kasih sayang yang diberikannya kepadanya.

“Ada yang salting nih,” goda Alby.

Airin hanya tertawa menanggapi lelucon yang dilontarkan kekasihnya itu. Ia kembali memusatkan atensinya pada semestanya. Jika boleh, Airin ingin egois. Airin ingin memiliki Alby seutuhnya dan selamanya. Ia tidak tahu apakah Alby merasakan hal yang sama tetapi ia yakin Alby kurang lebih merasakan hal itu juga.

“Kalo kalungnya aku tambahin sama kalung, boleh gak, Rin?” tanya Alby serius.

Yang ditanya seperti itu tampak sangat amat terkejut. “Maksudnya, By?”

Alby melonggarkan pelukannya untuk kemudian ia memundurkan dirinya beberapa langkah. Di atas pasir putih kering, lelaki manis itu berlutut. Tangan kanannya bergerak merogoh saku di bagian belakang celananya. Alby mengeluarkan kotak berbahan beludru berwarna merah. Dibukanya kotak tersebut dan terlihatlah benda yang berkilauan.

Airin menutupi mulutnya yang terjatuh dari peraduannya. “By,” lirihnya.

Alby tersenyum. Ia mencoba untuk mengatur napasnya. “Airin,” panggilnya. “Aku tau ini terlalu cepat. Aku juga tau jalan kita masih panjang. Tapi, cincin ini aku berikan ke kamu sebagai tanda kalau aku bener-bener sayang dan cinta sama kamu. Aku gak meminta kamu untuk menikah sama aku, seenggaknya bukan sekarang. Aku mau kita sama-sama menjalani hidup dan impian yang harus kita kejar terlebih dahulu. Tapi, Airin, cincin ini aku persembahkan untuk kamu sebagai tanda keseriusan aku,” jelas lelaki manis itu. “Tolong diterima, ya.”

Selepas eksplanasi yang mengandung pengakuan cinta sehidup semati itu, Alby bangkit dari posisi berlututnya. Kemudian, ia berjalan ke arah sang kekasih. Disematkannya cincin berwarna silver itu di jari manis gadisnya. Berbeda dengan Alby yang simpulnya mengembang, Airin menangis terharu.

Alby menangkup bahu sempit di hadapannya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah kening Airin. Lalu, dikecupnya kening itu dalam waktu yang cukup lama. Keduanya mengeratkan netra masing-masing demi merasakan hangat yang tersalurkan satu sama lain. Baik Airin maupun Alby merasakan tenang dan bahagia di titik teratas.

Disaksikan langit yang warna merahnya mulai tergantikan biru gelap, matahari yang semakin turun dan bulan yang semakin naik, serta gelombak ombak dari tengah laut yang hadir untuk menghibur, sepasang kekasih itu, Airin dan Alby, saling berjanji untuk hidup bersama dengan cinta dan kasih sayang yang ada di dalam hati mereka.

“Hei,” tegur Abraham yang sedari tadi memusatkan atensinya pada gadis cantik yang duduk di sebelahnya sembari termenung. “Kenapa diem aja?” tanyanya.

Hana tersenyum masam. “Aku gak apa-apa kok,” jawabnya.

Sepasang kekasih itu tengah duduk berdampingan di atas pasir putih yang beralaskan kain. Berbeda dengan pasangan kekasih lainnya yang tengah asyik bermain dengan air asin dari gelombang kecil yang menghantam tepi pantai, Hana dan Abraham memutuskan untuk mengistirahatkan diri mereka selagi menikmati semburat oranye yang mendominasi luasnya hamparan langit.

“Kalo gak apa-apa, kenapa keliatan murung gitu? Aku udah bilang ‘kan ke kamu kalo ada apa-apa cerita aja,” ujar Abraham dengan suara seindah deburan ombak yang menghiasi pemandangan mereka petang ini.

“Aku gak apa-apa, Ham, beneran deh,” balas Hana meyakinkan kekasihnya itu.

Tangan kanan Abraham bergerak mengusap lembut pucuk kepala Hana lalu menariknya agar masuk ke dalam rangkulannya. “Gak apa-apa kalo kamu gak mau cerita sekarang. Tapi aku minta sama kamu kalo ada sesuatu yang berasa ngeganjel di hati kamu cerita sama aku, ya. Jangan membebani diri kamu sendiri,” jelasnya.

Hana tersenyum. Kali ini, simpulnya terlihat lebih tulus. “Makasih, ya, Ham. Aku masih gak ngerti kenapa kamu bisa sebaik ini sama aku,” katanya skeptis.

Mendengarnya, Abraham menghela napas berat. “Aku yang gak ngerti kenapa kamu masih ragu sama diri kamu sendiri sementara aku di sini udah yakin seyakin-yakinnya sama kamu,” ucapnya serius.

Hana melonggarkan tangan berotot yang melingkari bahunya. Gadis cantik itu menatap sepasang manik dengan binar paling indah yang pernah ia temui. Abraham terlihat jauh lebih tampan ketika ditimpa sinar mentari yang kemerahan. Kulit seputih susu dan senyum semanis madu itu selalu dapat meluluhkan hatinya lagi dan lagi.

“Kamu tau kisahku, Ham,” balas Hana singkat. Ia memalingkan wajahnya untuk menatap pemandangan bak lukisan yang ada di depannya.

Abraham menganggukkan kepalanya. “Iya, aku tau kok. Terus kenapa?”

“Setelah kamu tau apa yang aku pernah lakukan, seharusnya kamu gak kayak gini ke aku, Ham, seharusnya kamu gak jadi pacar aku, dan seharusnya kamu gak ada di sini untuk nenangin aku,” jelas Hana dengan manik yang berkaca-kaca.

“Kita udah pernah bahas ini sebelumnya ‘kan, Han? Cukup dengan kata ‘seharusnya’. Kamu layak nerima ini semua,” ucap lelaki tampan itu seraya menundukkan pandangannya.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Baik Hana maupun Abraham sama-sama terhanyut dengan perasaan masing-masing. Hana dengan perasaan rendah dirinya dan Abraham dengan perasaan gagalnya. Bagaimana sanubari memiliki kontrol kuat terhadap diri mereka.

Di satu sisi, menurut Hana, ia tidak pantas mendapat semua kebahagiaan ini setelah apa yang pernah ia perbuat dulu kepada sahabatnya, Airin, dan sepupunya, Alby. Di sisi lain, menurut Abraham, ia selalu gagal untuk meyakinkan kekasihnya bahwa kebahagiaan yang ada sekarang merupakan hal yang pantas untuk ia dapatkan.

“Aku orang jahat, Ham,” ucap Hana memecah keheningan. Perlahan, genangan yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya mulai bocor dan membanjiri kedua pipinya.

Abraham refleks mengangkat pandangannya saat ada kalimat negatif yang keluar dari mulut gadisnya. Ditatapnya pahatan indah ciptaan Tuhan yang diberikan hanya untuknya. Lelaki tampan itu bahkan dapat merasakan pilu yang Hana pendam di dalam hatinya. Terlepas bagaimana kehidupan gadis itu sebelum bertemu dengannya, Abraham akan tetap mencintainya.

“Enggak, Hana. Kamu bukan orang jahat. Jangan ngomong gitu, ya, Cantik.” Suara yang biasanya melengking dan memekakkan telinga itu, kini terdengar bergetar.

“Aku udah tega nyakitin dua orang yang paling aku sayang sekaligus yang paling sayang sama aku,” sambung gadis cantik itu.

Hana memeluk kedua kakinya lalu menyembunyikan wajah serta rasa bersalahnya di sana. Abraham dapat mendengar dengan jelas gadisnya menangis tersedu-sedu. Tanpa ia sadari, air matanya ikut mengalir deras. Ia tidak tega melihat bagaimana Hana selalu menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi di masa lalu. Hatinya seolah dihunus bilah bambu runcing.

“Kamu gak sengaja, Hana. Kamu ngerasa harus ngelindungin orang yang kamu sayang. Semua orang pasti rela melakukan apapun untuk ngelindungin orang yang dia sayang,” ujar Abraham. “Bagian terpentingnya adalah kamu tau kamu salah dan kamu udah minta maaf,” sambungnya.

Hana mengangkat pandangannya. Wajahnya kembali memerah. Sepasang maniknya berbinar sebab bulir air mata yang terus-menerus turun. “Tapi itu gak mengubah fakta bahwa aku pernah nyakitin mereka, Ham,” bantahnya.

Abraham diam. Bukan karena ia marah, namun lelaki tampan itu tengah menyusun kalimat di dalam otaknya. Ia ingin sudut pandangnya dapat diterima baik oleh Hana tanpa membentak ataupun menghakiminya. Abraham ingin Hana melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat diri gadis cantik itu.

“Hana,” panggilnya. “Kamu boleh ngerasa marah, ngerasa salah, ngerasa nyesel, dan segala rasa negatif yang ada di dalam diri kamu tapi kamu juga jangan lupa bahwa semua emosi itu merupakan bagian dari diri kamu yang harus kamu akui. Kalo kamu bahagia, ya, ketawa. Kalo kamu sedih, ya, nangis. Selain emosi positif, ada emosi negatif yang perlu kamu rasain. Kamu gak bisa terus-terusan mendam rasa yang seharusnya keluar, Han,” ujar Abraham panjang lebar. Selagi mengutarakan penjelasannya, kedua bola mata itu tidak ingin memandang ke arah selain wajah cantik kekasihnya.

Hana bergeming. Ia mencoba mencerna satu per satu kata yang Abraham lontarkan untuknya. Dari kumpulan kalimat itu, Hana dapat mengambil makna yang tersurat. Abraham ingin dirinya merasakan segala emosi yang ada dalam pada dirinya, secara garis besar kurang lebih seperti itu.

“Dan apa yang terjadi sama diri kamu, baik di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, itu semua juga bagian dari diri kamu,” lanjut Abraham. “Kalo Airin sama Alby gak memaafkan atau menyimpan dendam sama kamu, mereka gak mungkin ada di sini sama kamu sekarang, Han, sama aku juga. Airin sama Alby udah maafin kamu bahkan kamu dari dulu. Kamu kapan?”

Lagi, frasa yang disampaikan Abraham untuknya menembus hati terdalamnya. Abraham benar. Jika Hana boleh sombong, ia mempunya sahabat, sepupu, serta kekasih yang menerima dirinya apa adanya dan bukan ada apanya. Sebetulnya, gadis cantik itu memiliki kesempatan istimewa yang mungkin tidak dimiliki orang lain.

“Kamu harus memaafkan diri kamu sendiri untuk bisa bahagia, Hana,” final lelaki tampan itu.

Hana masih membeku di tempatnya. Namun, ia dapat menangkap maksud dari kalimat terakhir yang Abraham katakan padanya. Jika boleh jujur, kata-kata itu benar-benar membuka mata hatinya. Bagaimana bisa ia melewatkan fakta itu selama ini? Bagaimana bisa ia tidak sadar bahwa yang ia perlu lakukan hanyalah memaafkan dirinya sendiri?

Hana mulai mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Kemudian, gadis cantik itu bergerak cepat memeluk kekasihnya. Kedua tangannya melingkar di bahu lebar yang selalu ada kapanpun ia butuhkan. Hana kembali terisak tetapi yang membedakan tangisannya kali ini adalah motif dari mengalirnya air mata yang membanjiri kemeja kekasihnya. Hana menangis bahagia.

“Makasih banyak, Ham,” ucap Hana dengan napas tersendat.

“Yang kuat, ya, Hana. Aku selalu ada di sini kalo kamu butuh tempat untuk cerita. Aku sama sekali gak keberatan buat ngerasain beban yang kamu rasain,” kata Abraham seraya membalas pelukan gadisnya. Ia menjatuhkan kepalanya di atas bahu Hana. “Makasih juga karena kamu udah bertahan sejauh ini. Bahagia selalu, ya, Han.”

Tak lama kemudian, Hana melepas pelukannya. Pandangannya terlihat sedikit buram karena air yang berkumpul di pelupuk matanya. Namun, gadis cantik itu masih dapat melihat dengan jelas senyum setulus malaikat yang Abraham tampilkan untuk menyemangatinya. Hana pun ikut menyunggingkan senyumnya.

“Han,” panggil Abraham lagi.

“Iya, Ham?” balas Hana dengan suara serak.

“Kamu tau kenapa akhirnya Alby sama Airin dan aku sama kamu?” tanya lelaki tampan itu.

Hana menggelengkan kepalanya. Ia tertawa kecil sebab mungkin kekasihnya itu akan melemparkan guyonan renyah padanya. “Enggak. Emangnya kenapa?”

Sebelah tangan Abraham bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. Meskipun sudah seharian penuh Abraham memandangi wajah kekasih itu tetapi tidak ada sedikit pun terbesit rasa bosan. Jika boleh, kalau waktu waktu mengizinkan, ia ingin melihat wajah ini setiap hari, pada saat sebelum dan bangun tidur.

“Alby ada untuk Airin karena Tuhan ngirim Alby untuk nyembuhin lukanyanya. Sedangkan, aku ada untuk kamu karena Tuhan ngirim aku untuk nyembuhin luka kamu,” jelas Abraham diakhiri senyum manis.

Abraham benar. Sejatinya, selain momen membahagiakan, peristiwa yang menyakitkan juga merupakan bagian dari diri yang harus diakui keberadaannya. Dan sudah seharusnya bagi manusia untuk menyalurkan emosi yang tengah dirasakan, baik itu senang maupun sedih. Semuanya saling melengkapi satu sama lain.

Tidak ada manusia yang tumbuh tanpa rasa sakit. Sesuai dengan kata pepatah yang menyatakan bahwa hidup itu bagaikan sebuah roda yang terkadang berada di atas dan tidak jarang juga berada di bawah. Jika sudah begini, apa yang seharusnya dilakukan? Maka, jawabannya hanya ada satu, menerimanya dengan lapang dada.

Terlepas dari apa yang dilakukan atau dirasakan, manusia hendaknya memanusiakan sesamanya. Tuhan pasti mempunyai suatu, atau bahkan banyak, alasan mengapa satu insan dipertemukan dengan insan lainnya. Betapa indahnya hidup ini jika kita tahu cara menikmatinya.

“Sialan, Samuel!” keluh gadis cantik itu sembari mengunci pintu perpustakaan dari dalam. “Kalo gak ada Aldo aja tadi langsung gua seret ke sini anaknya,” lanjutnya.

Kini, Ranindya tengah merebahkan setengah tubuhnya pada salah satu meja panjang berbahan kayu yang ada di dalam ruangan tersebut. Ia menghela napasnya panjang. Otaknya masih saja mengganggunya dengan memutar kembali adegan panas yang terjadi beberapa menit sebelum rapat organisasi sekolah dimulai. Samuel, lelaki tampan itu selalu saja menyita atensinya.

Ranindya memanyunkan bibirnya kesal. Sebenernya, sudah menjadi kewajiban bagi Samuel untuk mengadakan serta menghadiri rapat bersama anggota lainnya di waktu-waktu tertentu, seperti sekarang ini. Namun, gadis cantik itu belum juga terbiasa. Waktu berkualitasnya dengan Samuel selalu saja tertunda, terutama waktu berkualitas yang panas di antara keduanya.

“Nanggung banget. Gua udah kepalang pengen,” gumam Ranindya sembari menenggelamkan wajahnya di permukaan meja. Tak lama berselang, gadis cantik itu kembali mengangkat pandangannya. Sekelebat ide gila terlintas di dalam pikiran kotornya. Ia menyunggingkan seringai kecil. “Main sendiri enak kali, ya?” monolognya.

Tanpa berpikir panjang, Ranindya bangkit dari posisi duduknya yang sekarang untuk kemudian berjalan ke sudut ruang perpustakaan. Kali ini, ia mendudukkan dirinya di atas kursi kayu bekas. Lalu, gadis cantik itu menggeser beberapa rak buku agar membentuk benteng pertahanan di sekeliling kursi yang akan ia jadikan sebagai tempat eksekusi.

Ranindya kembali menyimpulkan senyumnya. “Gak apa-apa lah, ya, main sebentar sebelum Sam selesai rapat,” ujarnya.

Setelahnya, Ranindya memposisikan dirinya untuk duduk dengan nyaman di atas kursi kayu yang sudah ia tata sedemikian rupa tadi. Ia mengatur napasnya supaya rileks sebelum memulai permainan solonya. Dengan bermodalkan fantasi liar, pengalaman bermainnya dengan sang kekasih, serta gairah yang membuncah, gadis cantik itu memulai permainannya.

Ranindya membuka dua kancing teratas kemeja seragam sekolahnya lalu meremas kedua buah dadanya. “Nghh, ahh, Sam,” lirihnya.

Berikutnya, Ranindya membuka pengait bra yang melingkar pada payudaranya tanpa melepaskannya. Melalui celah kecil itu, ia mengusap putingnya yang mencuat keras. “Ahhh, Sam, enakhh,” desah gadis cantik itu.

Ranindya, pada siang menjelang sore hari itu, setelah sekian lama akhirnya kembali bermain dan menjamah dirinya sendiri. Pasalnya, dalam beberapa waktu belakangan ini, tepatnya setelah menjalin hubungan asmara dengan Samuel, jika gadis cantik itu butuh untuk dipuaskan maka Samuel sebagai kekasih yang siap siaga akan langsung membantunya menyalurkan hasratnya.

Ranindya melanjutkan permainannya. Ia melebarkan kedua pahanya. Tangan kanannya bergerak meremas, memijat, lalu memilin ujung putingnya. Sedangkan, tangan kirinya menjalar ke bagian perut, paha bagian dalamnya, dan berakhir pada daerah kewanitaannya. Dari luar pakaian dalamnya, Ranindya memutarkan ibu jarinya pada area klitorisnya.

“Ahhh, nghh, Sam,” lenguh Ranindya seraya menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang perpustakaan. Ia menutup kedua kakinya lalu menggeseknya satu sama lain. Hal itu bertujuan agar jari-jari yang bermain di dalam keintimannya terasa semakin menusuk.

Ranindya baru akan melepaskan pakaian dalamnya kala indera pendengarannya dikejutkan dengan suara bantingan hebat yang ia yakini berasal dari pintu perpustakaan. Mendengarnya, sepasang manik selegam senja itu membelalak. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasa.

“Ranindya!” pekik lelaki tampan itu disertai dengan langkahnya yang mendentum keras.

“Bangsat!” umpat gadis cantik itu.

Ranindya buru-buru merapikan baju seragamnya yang berantakan. Di dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa di tengah permainannya yang terasa nikmat ini, tiba-tiba saja Samuel datang menghampirinya. Ranindya bisa mati saat itu juga jika sang kekasih memergokinya melakukan adegan kotor.

Ranindya langsung berdiri dari posisi duduknya saat lelaki tampan setinggi tiang bendera kesayangannya muncul di hadapannya. Ia mengulas senyum selebar mungkin. Berbeda dengan gadisnya, Samuel menatap intens ke arah Ranindya. Sepasang manik selegam malamnya menelisik tubuh sang kekasih dengan teliti.

Kancing baju yang dipasang tak beraturan, dua buah jari di tangan kiri terlihat lembap bahkan basah, napas yang menggebu, keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, serta bercak basah yang tercetak jelas di rok seragam gadis cantik itu. Setidaknya, beberapa hasil identifikasi itulah yang membuat Samuel yakin bahwa Ranindya sedang menyentuh dirinya sendiri, tadi.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Samuel dingin.

“‘Kan tadi kamu yang nyuruh aku nunggu di sini, Sam,” jawab Ranindya yakin.

“Aku nyuruh kamu nunggu di dalem perpustakaan, bukan di sudut perpustakaan. Ngapain kamu di sudut sini? Segala rak bukunya digeser. Ngaku sebelum aku bikin kamu gak bisa jalan seminggu,” ancam lelaki tampan itu.

Mendengarnya, Ranindya menghela napas panjang. Jika sudah begini, mau tidak mau, ingin tidak ingin, ia harus mengakui dosanya kepada Samuel, bukan? Sejenak, gadis cantik itu bergumul dengan pikirannya sendiri. Di satu sisi, ia merasa kesal sebab permainannya yang belum rampung. Di sisi lain, ia merasa bersalah sebab sudah mengganggu sesi rapat kekasih tercintanya itu.

“Maaf, Sam. Aku—” Belum sempat Ranindya menyelesaikan kalimatnya, Samuel kembali bergerak.

Ia berjalan menghampiri Ranindya lalu memeluknya dengan erat. Ia menelusupkan pucuk sang gadis ke dalam dekapannya untuk kemudian Samuel mengusap kepala Ranindya lembut. Ranindya, gadis cantik itu mematung di tempatnya. Dengan alasan dan motif seperti apa yang membuat lelaki tampan kesayangannya ini tiba-tiba memeluknya erat?

“Sam,” panggil Ranindya.

Samuel, yang dipanggil namanya dengan sengaja tidak merespon panggilan itu. Ia masih sibuk memeluk gadis cantik yang ada di hadapannya. “Maafin aku, Ran,” ucapnya.

“Maaf? Kenapa, Sam?” tanya Ranindya seraya mengangkat pandangannya untuk melihat wajah tampan itu lebih jelas.

“Kamu pasti kepancing gara-gara aku tadi, ya,” jelas Samuel. “Aku bukannya ngelanjutin main sama kamu malah rapat. Maaf, ya, Sayang,” ujar Samuel lembut.

Mendengarnya, hati Ranindya menghangat. Perlahan, senyumnya mengembang. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya ini. “Kamu lagian macem-macem sih. Udah tau ini tuh candu buat aku,” ledek gadis cantik itu sembari mengusap belahan ranum favoritnya.

“Ini juga candu buat aku,” balas Samuel.

Sepersekian detik berikutnya, yang terjadi adalah Samuel menarik tengkuk Ranindya agar masuk ke dalam ciumannya. Tentu saja, dengan senang hati, Ranindya menyambut cumbuan itu. Ia mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya. Dalam waktu yang cukup lama, sepasang kekasih itu terhanyut dalam keintiman masing-masing.

Sebelah tangan Samuel bergerak mengusap punggung gadisnya pelan. Ranindya tahu betul, baik dirinya dan Samuel, menginginkan lebih dari ini. Jika sudah bertemu satu sama lain, maka tidak ada aktivitas yang lebih baik selain memuaskan hasrat bersama. Namun, sebelum kegiatan panas ini berlanjut semakin jauh, Ranindya menyudahi acara bertukar saliva bersama Samuel.

“Ah, kok udahan?” protes lelaki tampan itu.

“Jangan di sini, Sam,” ucap Ranindya.

“Oke. Kalo gitu, mau di mana?” tanya Samuel sembari mengeratkan pelukannya.

“Di rumah aja. Kalo di sekolah, takut ketauan,” jelas gadis cantik itu.

Samuel menggelengkan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban. “Kelamaan,” bantahnya.

“Ya, terus—” Ranindya lagi-lagi tidak berhasil merampungkan kata-katanya sebab Samuel melepas pelukannya lalu menarik sebelah tangannya dan membawanya keluar dari ruang perpustakaan.

“Mau ke mana, Sam?” tanya Ranindya sedikit terbata saat keduanya berlarian kecil di sepanjang lorong kelas.

“Ke sini,” jawab Samuel singkat kala langkah mereka berhenti di depan ruang Unit Kesehatan Sekolah.

BUGH!

Ranindya memukul dada bidang kekasihnya dengan cukup keras sampai membuat Samuel meringis. “Sakit, Ran,” keluhnya.

“Kamu jangan gila, Sam. Nanti kalo ketauan anak-anak gimana?” tanya Ranindya gelisah.

“Enggak. Percaya sama aku. Semuanya udah pulang, cuma kita doang yang belum soalnya ‘kan kita mau main,” goda lelaki tampan itu.

BUGH!

Samuel kembali mendapatkan pukulan lain sebelum Ranindya berjalan memasuki ruangan tersebut. Ia terkekeh, “Mau juga ‘kan,” gumamnya.

Benar apa yang dikatakan oleh Samuel, tidak ada satu orang pun di ruangan serba putih dengan bau alkohol menyengat, selain mereka berdua. Ranindya memilih ranjang paling ujung yang ada di dalam ruang UKS. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang tersebut lalu diikuti oleh Samuel.

Berbeda dengan Ranindya yang menelentangkan seluruh tubuhnya di atas ranjang, Samuel menggunakan tangan kanannya untuk menumpu kepalanya. Tubuhnya berbaring ke arah sang kekasih. Samuel sibuk memandangi pahatan wajah cantik yang sepasang maniknya tengah terpejam erat.

“Kamu ngapain ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Ranindya masih dengan posisi yang sama seperti tadi.

“Ya, emangnya aku gak boleh ngeliatin pacar sendiri?” jawab Samuel tidak santai.

“‘Kan aku—” Lagi dan lagi, gadis cantik itu diberhentikan secara sepihak oleh lelaki kesayangannya.

Samuel kembali mencium gadisnya, tetapi yang kali ini lebih serakah, lelaki tampan itu seolah meminta lebih. Tidak ingin kalah dengan dominannya, kedua tangan Ranindya bergerak meraba tubuh atletis yang masih terbalut oleh seragam sekolah itu. Merasa terangsang, Samuel memperdalam ciuman antara dirinya dan gadisnya.

Tidak ingin kalah dari Ranindya, masih di dalam cumbuan panas itu, sebelah tangan Samuel bergerak meremas lalu memijat buah dada sang gadis. Hal itu sukses membuat tubuh Ranindya menggelinjang. Kemudian, sebelah tangan Samuel yang terbebas mulai membuka satu persatu kancing seragam sekolah Ranindya.

“Mphhh,” lenguh Ranindya tertahan.

Ranindya ingin membalas perbuatan Samuel yang membuat gairahnya semakin memuncak. Dengan sengaja, gadis cantik menggesekkan lututnya pelan ke arah kepemilikan Samuel yang terasa mengeras seolah meminta segera untuk dipuaskan. Mendapat serangan tiba-tiba, Samuel mengakhiri ciumannya.

“Kamu curang,” protes Samuel.

“Aku curang di mananya?” goda Ranindya. Sebelah tangannya terangkat mengusap rangka wajah yang tegas nan tampan di sampingnya. “Kamu pegang punya aku, masa aku gak boleh pegang punya kamu,” tambahnya.

Mendengarnya, Samuel menyeringai. Ia terkekeh pelan. “Kita liat kamu masih bisa ngomong kayak gini gak setelah ini?” ancam lelaki tampan itu.

Di detik berikutnya, tangan kiri Samuel kembali bergerak. Ia menyingkap rok seragam sekolah yang Ranindya kenakan. Awalnya, tangan hangat itu hanya mengelus pelan paha bagian dalam gadisnya. Namun, setelahnya, dengan gerakan tiba-tiba, tangan Samuel menghampiri bagian selatan sang gadis.

“Ahh, Sam!” pekik Ranindya saat merasa vaginanya penuh dengan jari-jari Samuel.

“Tadi mainnya belum sampe selesai ‘kan?” tanya Samuel menggoda.

Ranindya, yang dilecehkan seperti itu tidak mampu menjawab. Ia hanya mampu menikmati setiap tusukan yang menghujam area kewanitaannya. Ranindya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit ruang UKS. Tubuhnya menggelinjang hebat hanya dengan permainan jari yang dilakukan oleh Samuel.

“Nghh, ahhh, Sam,” lenguh gadis cantik itu.

Mendengar ada desahan yang mengandung namanya, Samuel tersenyum. “Enak, Sayang? Mau lagi gak?” tanyanya.

Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali, tertanda jawaban iya. Dengan begitu, Samuel menambah tempo pada bagian bawah gadisnya. Oleh sebab itu, Ranindya menggigit bibir bagian bawahnya demi menetralisir rasa nikmat yang menyerangnya. Samuel benar-benar mempermainkannya kali ini.

“Ahh, mphh, Sam,” panggil Ranindya susah payah.

“Ya, Sayang?” balas Samuel tanpa mengurangi kecepatan permainan pada vagina Ranindya.

“Nghh, kayaknya aku, ahh, mau, ahhh, keluar,” jelas Ranindya setengah mati.

Samuel mendekatkan mulutnya pada telinga kiri Ranindya untuk kemudian berbisik. “Aku masukin, boleh, ya?” tanyanya meminta izin.

Tanpa berpikir panjang sebab Ranindya juga menginginkannya, gadis cantik itu mengangguk semangat. Samuel merubah posisinya menjadi di atas sang gadis, mengungkung Ranindya. Setelahnya, sebelah tangan lelaki tampan itu bergerak meraih bantal paling empuk yang ada di ranjang mereka untuk kemudian benda itu ia letakkan persis di bawah pinggul gadisnya.

Sebelum memulai permainan inti, lelaki tampan itu mengecup kening gadisnya untuk waktu yang cukup lama. “Kalo sakit, bilang, ya, Ran,” ujar Samuel dengan bias suara sedalam palung.

Mendengarnya, aliran darah Ranindya berdesir lebih cepat. Samuel, permainan panas, dan kata-kata manis, jika dikombinasikan menjadi satu merupakan kelemahan baginya. Samuel menurunkan zipper celana seragamnya lalu membuka pakaian dalamnya. Ranindya bersusah payah menelan saliva saat sepasang manik selegam senjanya begitu terpikat dengan sesuatu yang berurat dan mencuat yang sebentar lagi akan menghantamnya.

“Nghhh,” lirihan Ranindya tertahan kala penis Samuel mulai mendatangi vaginanya.

Ranindya memejamkan maniknya erat. Napasnya menggebu hebat. Keringat membanjiri tubuhnya. Bahkan Samuel belum mulai untuk menggepurnya, tetapi hatinya sudah terasa tidak karuan. Perlahan namun pasti, Samuel memastikan kepemilikannya masuk dengan sempurna tanpa menyakiti kekasihnya.

“Ahhh,” desah Samuel kala merasa kepala penisnya sudah menyentuh dinding rahim sang gadis.

“Nghh, gerakin aja, Sam,” pinta Ranindya.

Dengan begitu, Samuel mulai bergerak maju dan mundur dalam tempo pelan. Sepasang kekasih itu saling mengumpat di dalam hati masing-masing. Permainan ini terlalu nikmat sampai membuat mereka merasa pusing. Tak lama setelahnya, Samuel mulai mempercepat gempurannya.

“Ahh, Ran,” lirih Samuel.

“Ahh, nghh, Sam, terushhh,” racau Ranindya.

Mendengar perintah demikian, Samuel kembali meningkatkan tempo permainannya. Suara pertemuan antara kulit yang lembap menggema di seluruh ruang UKS sore itu. Tirai putih yang tertutup rapi serta kain sprei yang berantakan menjadi saksi bisa kenikmatan yang tercipta di antara keduanya.

“Nghh, Sam, ahh, enakhh,” desah Ranindya.

Serupa dengan kekasihnya, Samuel juga merasakan hal yang sama. Permainan kali ini benar-benar membuat keduanya mabuk kepayang. Ditemani dengan suara decitan dari kaki-kaki ranjang yang terbuat dari logam, baik Ranindya maupun Samuel, mungkin akan mencapai titik ternikmatnya sebentar lagi.

“Mphh, Sam, aku mau, nghh, keluar,” ujar Ranindya.

“Bareng, Ran,” perintah Samuel.

Setelahnya, Samuel kembali mempercepat tempo gempurannya. Ia suka bagaimana pangkal penisnya terus menabrak titik termanis gadisnya sehingga ia terus mengelukan namanya. Ranindya juga mungkin setuju bahwa di antara permainan yang sudah berlangsung, permainan kali inilah yang terasa paling nikmat dan bermakna.

“Ahh!” pekik Ranindya.

Tak lama setelahnya, Samuel juga mendapat peepasannya. Dengan segera, ia mencabut penisnya dari dalam sana lalu menyemburkan spermanya ke arah perut rata Ranindya. “Akh!” pekik Samuel.

Sesuai rencana, sepasang kekasih itu menjemput pelepasannya bersama-sama. Keduanya diburu napas masing-masing. Keringat membanjiri tubuh mereka. Namun, meskipun begitu, Ranindya dan Samuel merasa bahagia dan puas di saat yang bersamaan. Lihat saja, bagaimana sepasang kekasih itu saling melempar senyum.

Samuel terlebih dahulu menarik selimut untuk disampirkan di tubuh keduanya yang setengah telanjang lalu mengecup kening, pipi, hidung, dan terakhir bibir Ranindya. Di atas ranjang yang hampir hancur itu, Samuel kembali menarik Ranindya untuk masuk ke dalam pelukannya. Ia mengusap pelan kepala bagian belakang kekasihnya.

“Sam,” panggil Ranindya.

“Hm?” jawab Samuel dengan deheman singkat.

“Maaf, ya,” ujarnya.

“Maaf kenapa, Sayang?” tanya Samuel serius. Ia menatap wajah cantik itu lamat.

“Tadi,” ucap Ranindya. “Aku main sendiri,” lanjutnya.

Mendengarnya, Samuel terkekeh. “Iya, Ranie. Aku juga minta maaf, ya, Sayang,” balasnya lembut. “Tapi kalo kamu gitu lagi, aku beneran bakal bikin kamu gak bisa jalan seminggu,” tambahnya.

“Ih! Kenapa?” protes gadis cantik itu.

“‘Kan ada aku. Aku udah bilang ‘kan kalo kamu pengen tinggal bilang ke aku,” jelas Samuel.

“Ya, tapi ‘kan tadi kamu lagi rapat, Samuel. Masa iya aku manggil kamu di tengah-tengah rapat cuma karena aku lagi pengen,” sambar Ranindya.

“Aku gak peduli, Ran. Mau aku lagi makan atau lagi di luar kota juga, kalo kamu pengen kamu harus bilang ke aku,” tegas lelaki tampan itu.

Ranindya lebih memilih untuk mengalah sebab ia tahu Samuel adalah orang paling keras kepala yang pernah ia temui. “ Ya udah, iya,” pasrahnya.

“Nah, gitu dong. ‘Kan pacarnya Samuel,” puji Samuel.

“Iyalah. Masa pacarnya Aldo,” sarkas Ranindya.

“Tadi Aldo denger suara kamu loh,” ledek Samuel.

“Hah?!” teriak Ranindya. “Suara apaan? Kamu jangan ngaco deh, Sam,” ucapnya.

“Aku serius. Tadi pas rapat aku sama Aldo denger suara kamu, makanya rapatnya langsung aku batalin,” jelasnya.

Mendengar penjelasan seperti itu, Ranindya menundukkan kepalanya sebab malu. “Aduh, Sam. Kenapa kamu gak bilang sih? Asli, aku malu banget,” ujarnya.

Berbeda dengan Ranindya, Samuel malah tertawa puas. “Udah ah, jangan malu gitu, jadi makin cantik,” guyonnya. “Love you, Ran,” final Samuel sembari mencuri satu ciuman singkat dari gadisnya.

Ranindya memukul keras dada sang kekasih kala dirasa ciuman itu semakin menuntut. Lihat saja, bagaimana sebelah tangan lelaki setinggi tiang bendera sekolah itu terus bergerilya di seluruh ruang tubuh gadisnya yang dapat dijangkaunya.

“Sam!” pekik Ranindya. “Suka gak inget tempat deh,” keluhnya.

Samuel yang diprotes seperti itu hanya dapat terkekeh. “Biasanya juga gak nolak,” ledeknya.

Mendengarnya, Ranindya berdecak kesal. “Ih! Bukan gitu. Aku bukannya gak mau—” Belum sempat gadis cantik tersebut merampungkan kalimatnya, sang kekasih sudah berdiri tegak di hadapan dirinya yang tengah duduk manis di atas meja. Wajah tampan itu kian mendekat. Ini bukan pertama kalinya bagi Ranindya, tetapi tetap saja ia belum terbiasa.

“Apa? Kalo bukan nolak apa namanya?” tanya Samuel.

Lelaki tampan itu berusaha mati-matian untuk menahan tawanya. Bagaimana wajah cantik kesukaannya itu perlahan mencuatkan rona merah serupa kepiting rebus. Napasnya juga tercekat. Ya, bagaimana tidak? Dari jarak sedekat ini, Ranindya dapat melihat dengan jelas karya Tuhan paling indah yang pernah ia temui.

Sepasang lengan kekar yang sedari tadi berdiam diri di dalam saku celana seragam Samuel, kini mulai bergerak. Ia meletakkan kedua tangannya di samping sisi kanan dan diri tubuh Ranindya. Berbeda dengan lelaki tampan itu, Ranindya semakin memundurkan posisinya. Jika Samuel lupa, mereka masih berada di kawasan sekolah.

“Sam,” panggil gadis cantik itu gugup.

Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat. Samuel masih sibuk menikmati pemandangan indah favoritnya, setiap inci dari wajah cantik kekasihnya. Lelaki tampan sang penguasa sekolah itu baru saja akan melayangkan ciuman lain kala gadisnya mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat.

Dengan cepat, Ranindya mendorong tubuh kekar itu agar menjauh darinya. Ia turun dari posisinya di atas meja kayu untuk kemudian berdehem. “Jangan di sini. Nanti aja,” bisiknya. Kemudian, sepasang tangannya terulur untuk merapikan dasi yang melingkar di kerah kemeja sekolah Samuel.

Melihatnya, lelaki tampan itu tersenyum sumringah. Sebelah tangannya bergerak mengusap lembut pucuk kepala gadisnya. “Good girl. You can handle yourself, even myself,” ujar Samuel.

“Widih! Ada pengantin baru nih,” guyon Aldo sesaat baru sampai di dalam ruang sekretariat sekolah.

“Iri aja lo,” balas Samuel.

“Aku tunggu di sebelah, ya,” kata Ranindya.

Namun, baru saja gadis cantik itu membalikkan tubuhnya, sebelah tangan sang kekasih kembali bergerak. Tubuh mungil itu Samuel bawa lagi untuk menghadap ke arahnya. Di detik berikutnya, lelaki tampan itu bergerak maju dan…

Cup!

Samuel mengecup kening gadisnya singkat. Ranindya yang diberi perlakuan manis seperti itu langsung mematung di tempatnya. Sepasang manik selegam senjanya mengerjap beberapa kali. Ah, mari jangan lupakan Aldo yang menjadi saksi hidup keharmonisan yang terjadi antara si penguasa sekolah dan musuhnya.

“Gak apa-apa kok, Gengs. Gua gak apa-apa banget jadi nyamuk di sini. Jangan hiraukan gua, ya. Gua hanya butiran debu yang menjadi saksi keromantisan kalian di ruangan ini,” sarkas lelaki manis itu sembari menari-nari sesuka hatinya demi mengejek Ranindya dan Samuel. Belum sempat ia menyelesaikan dansanya, Samuel memukul pelan kepalanya. “Aduh, Samuel Anjing!” pekik Aldo seraya mengusap kepalanya.

“Udah sana kamu ke perpus,” perintah Samuel kepada kekasihnya. “Apa mau aku anter?” tanyanya.

“Gak usah. Aku bisa sendiri kok. Semangat, Sam!” final gadis cantik itu untuk kemudian ia berlari kencang untuk keluar dari ruangan itu. Ranindya, siang menuju sore hari itu, entah merasa malu atau terpanah dengan sikap sang kekasih.

“Ganggu aja lo,” protes Samuel pada Aldo Lalu, lelaki tampan itu mengambil posisi duduk pada kursi paling depan yang ada di ruang tersebut. Aldo atau seantero sekolah mengenalnya sebagai tangan kanan dari Samuel, merupakan seorang Wakil Ketua OSIS di SMA Bina Nusa Bangsa.

“Lo yang gak tau tempat, ya, Anjing! Di sekolah kerjaannya pacaran terus,” sinis Aldo setelah mengambil posisi duduk di sebelah sang ketua.

Tak berselang lama setelahnya, anggota struktur organisasi sekolah yang lain mulai memenuhi ruangan. Setelah semuanya berkumpul, rapat segera dimulai. Pada pertemuan kali ini, beberapa siswa dan siswi tersebut akan berdiskusi tentang proposal anggaran salah satu acara sekolah yang sangat dielu-elukan oleh warga sekolah lainnya, konser tahunan.

“Gua tau alumni dari sekolah kita kebanyakan ngambil kuliah di luar negeri. Makanya, gua minta sama kalian untuk cari data siapa aja alumni sekolah kita yang masih kuliah di sini, yang di luar kota dikasih tau juga. Tujuan kita ngundang alumni buat nambahin anggaran proposal. Alumni gak bakal pelit kok kalo tau kita perwakilan dari BiNusBa,” jelas Samuel.

Lainnya hanya mengangguk mengerti beberapa kali pada perintah yang dilontarkan ketua mereka barusan. Setelahnya, beberapa dari mereka mengajukan pernyataan dan pertanyaan pada Samuel. Tidak lain dan tidak bukan, banyak dari pertanyaan itu berasal dari siswa sekolah yang bukan termasuk ke dalam organisasi tersebut.

“Ya, gak apa-apa. Bilang ke mereka kalo kita gak bisa undang band itu. Kalo banyak dari junior kita yang masih protes, kasih tau gua aja, nanti biar gua yang urus mereka,” ujar Samuel lagi. “Ada yang—” Belum sempat lelaki tampan itu merampungkan pertanyaannya, ada suara yang tak asing menyeruak ke dalam indera pendengarannya.

Jika Samuel tidak salah dengar, itu adalah suara seorang gadis. Selain Samuel, Aldo-lah yang mendengar bunyi serupa. Lelaki manis yang memiliki hobi bermain game itu hanya dapat menahan tawanya. Aldo mengepalkan tangannya di depan mulut. Menyadari tidak hanya dirinya yang mendengar suara itu, Samuel bertukar tatap dengan wakilnya.

“Kayaknya harus lo samperin deh, Sam,” bisik Aldo pada Samuel. Samuel mengusap tengkuknya dengar gusar. Ia juga berdehem. “Gua tinggal sebentar, ya. Kalo 10 menit lagi gua gak balik, kalian pulang aja. Kita lanjutin rapatnya besok,” finalnya.

Sepersekian detik kemudian, Samuel dengan langkah tergesa berjalan menuju perpustakaan yang terletak tak jauh dari ruangan rapatnya tadi. Lelaki tampan itu baru akan melengang masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku lama itu saat suara yang mengganggu telinganya kian menggema.

“Shit, Ranindya!” umpat Samuel.

Lelaki tampan itu kembali dibuat geram kala mengetahui pintu berbahan kayu itu terkunci dari dalam. Sepertinya, sang penghuni tidak menyadari kehadiran sosok lain. Lihat saja, sudah beberapa kali Samuel mengalunkan nama kekasihnya. Namun, tidak ada sedikit pun respon yang muncul. Tidak ingin sabar lebih lama lagi, akhirnya…

BRAK!

Samuel mendobrak paksa pintu perpustakaan tersebut. Pada radar penglihatannya, ia tidak menemukan sumber suara mengerikan tersebut. Lalu, ia berlari ke sudut ruangan dan di situlah dari mana suara ittu berasal. Sepasang manik selegam malamnya membelalak sempurna.