Vengeance
Claretta menutup mulutnya yang menganga lebar menggunakan kedua telapak tangannya. Pasalnya, mobil sedan hitam mewah benar-benar terparkir di halaman rumahnya. Melihat ada sesosok yang keluar dari mobil tersebut, Claretta segera menutup jendela kamarnya dan berlari kecil menuruni tangga di rumahnya. Saat sepasang tangan mungilnya berusaha membuka pintu utama rumahnya, tampaklah seorang lelaki tampan yang menatap datar ke arahnya.
“Rendika?” tanya Claretta ragu.
Yang ditanya mengangguk sekali. “Iya. Claretta ‘kan?” balasnya dengan bertanya.
Rahang tajam gadis cantik itu kembali terjatuh. Namun, kali ini kepalan tangannya tidak berusaha untuk melindungi. “Lo beneran tau rumah gua?! Lo stalker, ya?”
Rendika menghela napas panjang. Ia mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi oleh bungkusan berbagai macam makanan berat, makan ringan, hingga camilan. “Sebelum lo protes mending lo suruh gua masuk dulu. Berat nih makanannya,” jelas lelaki tampan itu. “Atau kalo lo tetep bersikukuh gak ngebolehin gua masuk gua bakal dobrak pintu rumah lo.”
Claretta lagi-lagi dibuat tercengang oleh lelaki tampan yang berdiri di hadapannya ini. Jika tadi ia dikejutkan dengan kedatangannya yang tiba-tiba, sekarang ia dikejutkan dengan kalimat tanpa batas yang keluar dari mulutnya. Meskipun begitu, Claretta tetap mempersilakan Rendika untuk masuk ke dalam kediamannya. Di dalam sana, Rendika menelisik segala sudut yang ada. Ia mengerutkan keningnya.
“Gua liat-liat kayaknya lo orang kaya,” ucap Rendika sembari mendudukkan dirinya di atas sofa impor yang orang tuanya Claretta beli setahun lalu tanpa persetujuan dari sang empunya.
“I am,” balas Claretta. “Gua emang kaya kok.”
Rendika terdiam sebentar sebelum berujar. “Tapi kenapa lo bisa digoblokin orang kayak Noah? I mean… lo tau ‘kan Noah orangnya kayak apa?” sarkasnya.
Claretta menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ia memandang sinis makhluk tampan, yang bahkan ia berani jamin lebih tampan dari kekasihnya, Noah Gibson, yang bersikap semena-mena padanya. Claretta menatap Rendika dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rendika pun melakukan hal yang sama. Keduanya seolah-olah tengah mengobservasi lawan bicara masing-masing.
“Sini duduk,” ucap Rendika. Ia menepuk-nepuk sisi kosong sofa di sebelahnya seolah dia-lah si pemilik rumah megah itu dan bukannya Claretta.
Entah dengan kesadaran penuh atau tidak, Claretta menurutinya. Ia mendudukkan dirinya di sebelah kiri Rendika. “Lo masih belum jawab pertanyaan gua, Rendika,” katanya.
“Yang mana, Claretta? Pertanyaan kenapa gua bisa tau rumah lo? Gua temen deketnya Noah,” jelas Rendika. “Noah cerita banyak tentang lo ke gua.”
“Lo temen deketnya Noah?” tanya Claretta skeptis.
Rendika mengangguk. “Bisa dibilang begitu.”
“Tapi kenapa lo bisa kecolongan? I mean… kenapa pacar lo bisa selingkuh sama pacar gua.” Sekarang giliran Claretta yang menusuk Rendika menggunakan sindirannya.
Rendika menyeringai. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya pada wajah cantik yang baru pertama kali ditemuinya. Rendika berani bertaruh tentang kecantikan dan aura yang dimiliki gadis yang duduk tepat di sebelahnya. Claretta jauh lebih menawan dibanding Alicia Wong, kekasihnya sekarang. Sesekali sepasang manik selegam malamnya mencuri pandangan pada belahan ranum yang sangat menggiurkan.
“Itu artinya lo gak boleh terlalu percaya sama orang,” ujarnya. “Ngerti, ya, Cantik?”
Rendika mengembalikan posisinya semula, sedikit menjauh dari Claretta. Sementara itu, Claretta membeku di tempatnya. Ia mengerjapkan netranya beberapa kali lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh jatuh dengan pesona palsu yang dipancarkan Rendika. Seperti yang sudah disinggung oleh lelaki tampan itu sebelumnya. Jika Noah, sang kekasih, saja bisa berkhianat kepadanya, apalagi Rendika yang notabenenya ialah orang asing untuknya.
“Gua gak ngerti kenapa Noah harus ninggalin lo demi pacar gua,” celetuk Rendika. Ia melepaskan hoodie yang dikenakannya. “Lo jauh lebih cantik dan pinter dibanding Alicia.”
Claretta menyeringai. Ia menyandarkan tubuhnya ke arah sofa sembari memandang layar televisi yang hitam sebab tidak dinyalakan. Claretta dapat melihat dirinya duduk bersebelahan dengan Rendika. “Lo tau dari mana kalo gua pinter?” tanya gadis cantik itu penasaran.
“Gua pernah sekelas sama lo tapi kayaknya lo sibuk ngebulol sama Noah,” jawab Rendika yakin. “Walaupun lo sibuk ngebucin gak jelas sama Noah tapi nilai lo yang paling tinggi di kelas kita. Dari situ gua tau kalo lo ternyata pinter. ”
Claretta menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rendika benar mengenai fakta itu tentang dirinya. “You’re an observant, Rendika, aren’t you?” tanya gadis cantik itu setelahnya.
Rendika menyetujui pernyataan gadis cantik di depannya. “Ya, approximately.”
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi antara sepasang remaja akhir yang sama-sama dikhianati pasangan satu sama lain itu. Rendika sibuk menata rapi makanan dan minuman yang dibelinya. Sedangkan, Claretta sibuk menggulirkan ibu jarinya pada layar ponselnya. Rendika mencoba mengintip apa kegiatan yang sedang dilakukan Claretta di sana. Dan ternyata…
“Lo ngapain re-read chat lo sama Noah sih?”
Sontak, Claretta langsung mengunci ponselnya. “Lo gak sopan, ya,” keluhnya.
“Makan dulu,” perintah Rendika.
Claretta tidak menyadari bahwa ketika ia sedang fokus pada ponselnya dan pesan-pesan singkat manis dari Noah, Rendika menyiapkan makan malam dan beberapa camilan untuknya. Sepasang manik selegam senjanya mengabsen satu per satu makanan yang tersedia di atas meja. Claretta kagum dan juga tersentuh. Noah bahkan tidak pernah melakukan hal-hal seromantis seperti ini kepadanya.
Claretta menolehkan pandangannya pada lelaki tampan yang duduk di sebelahnya. “Ini semua buat gua?” tanyanya.
“Iya. Gua gak tau lo sukanya apa. Jadi, gua bawain semua makanan yang sekiranya cewek bakal suka,” jelas Rendika diakhiri dengan senyum manis.
Tanpa sadar, gadis cantik itu menyimpulkan senyumnya untuk membalas senyum serupa malaikat yang ditampilkan oleh Rendika. “Makasih, ya, Rendika.”
Claretta tidak paham bagaimana Rendika dapat mengetahui bahwa tidak ada makanan lain selain air putih yang ditegaknya semenjak kemarin malam. Claretta juga tidak paham kenapa hatinya berdebar kencang padahal makanan yang dibawakan oleh Rendika kebanyakan adalah makanan kaki lima tetapi rasanya mengalahkan koki yang sehari-hari biasa memasak di rumahnya. Claretta yakin aksi yang Rendika lakukan-lah yang menjadi sumbernya.
Selagi menyantap makanan yang ada, gadis cantik itu tidak berhenti tersenyum. Berulang kali kata terima kasih terlontar dari mulutnya. “Makasih banyak, ya, Ren. Gua gak expect lo bakal bawa makanan sebanyak ini untuk gua.”
Rendika terkekeh. Ia tidak tahan melihat kegemasan yang Claretta lakukan. Lihat saja, sepasang pipi tirus itu menggembung dipenuhi oleh makanan. “Iya, Ta, sama-sama. Lo udah bilang ‘makasih’ seribu kali ke gua. Makan yang banyak, ya.” Kemudian, Rendika mengusap pelan pucuk kepala Claretta.
Setelah menghabiskan hampir setengah hidangan yang tersedia di hadapannya, akhirnya Claretta mengakhiri sesi makan malamnya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya ke atas kepala sofa yang empuk seraya mengusap perutnya yang terlihat sedikit membuncit. Dibanding Claretta, Rendika-lah yang lebih merasakan puas saat mengetahui makanan yang dibawanya tidak terbuang sia-sia.
“Makan lo banyak juga, ya, Ta,” ucap Rendika.
Claretta, yang tengah memejamkan maniknya seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit, menggeleng. “Gua gak biasanya makan sebanyak ini, Ren,” jawabnya.
“Bohong banget lo,” bantah lelaki tampan itu. “Gua berani bertaruh lo punya chef sendiri di rumah ini. Jadi, gak mungkin kalo setiap harinya lo gak bertambah nafsu makannya.”
Claretta kembali menggeleng. Namun, kali ini mencoba untuk mengembalikan fungsi indera penglihatannya. Ia menoleh ke arah Rendika. “Gua gak bohong, Ta,” katanya. “Dulu gua pernah stress eating karena dapet nilai di bawah kkm pas ujian tengah semester dan berat badan gua naik karena itu. Besoknya, pas gua ketemu sama Noah, dia bilang gini, ‘Kamu gendutan, ya, Ta? Aku lebih suka bentuk badan kamu yang kemaren loh.’,” jelas Claretta.
Rendika yang diceritakan kisah sedih seperti itu sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya. Ia bertanya-tanya. Ke mana Noah yang selalu berkata manis? Ke mana Noah yang selalu bersikap baik dan ramah? Ke mana Noah yang selalu membantu siapa saja yang sedang membutuhkan? Jika seperti itu praduga yang Rendika spekulasikan, maka ia salah besar. Noah tidak berubah. Ia hanya baru menunjukkan wajah aslinya saja.
“Semenjak saat itu, gua selalu jaga makan gua atau kalo bisa gua gak makan. Karena gua pikir, apapun yang gua lakukan itu untuk Noah. Iya dong, ya? Kalo bukan untuk dia, untuk siapa?” tambah gadis cantik itu.
“Tapi tetep aja, Ta. Dia gak seharusnya ngomong kayak gitu ke lo. Itu namanya dia mencintai lo ada apanya bukan karena apa adanya. Maksud gua, lo kurangnya apa sih? Hampir gak ada. Noah aja yang gak bersyukur punya lo,” sanggah Rendika.
Claretta tertawa miris. “Gitu, ya, Ren?” Di sisi lain, hati Claretta menghangat. Entah mengapa kalimat yang Rendika ucapkan padanya terdengar sangat amat tulus di telinganya.
“Udah deh, Ta. Gua gak mau ngomongin Noah lagi. Semakin gua denger ceritanya semakin gua pengen datengin rumahnya terus tonjokin sampe pingsan,” ujar lelaki tampan itu menggebu-gebu.
“Calm down, Rendika. Kita gak tau ‘kan siapa tau gua yang emang pantas diperlakukan seperti itu.”
“Claretta!” Rendika menolehkan wajahnya untuk menatap lamat wajah cantik yang banyak menyembunyikan rasa sakit itu. Ia dapat melihat dengan jelas air mata yang terbendung di kedua mata indah gadis cantik itu. “Gak ada manusia yang pantas diperlakukan semena-mena oleh manusia lain, termasuk lo.”
“Ren,” panggil Claretta.
“We better arrange our vengeance to them,” tegas Rendika. “Gua gak tahan kalo salah satu dari kita harus ada yang tersakiti lagi,” sambungnya. “Terutama lo, Claretta.”
Claretta mengernyitkan keningnya. “Gimana caranya?”
“Di mana kamar lo?” tanya Rendika serius.
“Kamar?” balas gadis cantik itu dengan kembali bertanya. “Ngapain lo nanya kamar gua?!”
Rendika mengusap wajahnya kasar. “Tadi katanya lo mau balas dendam ‘kan? Ayo.”
Sedikit banyak, Claretta tahu ke mana arah perbincangan ini akan berakhir. Jika boleh jujur, ia sedikit keberatan. “Kalo cara harus kayak ‘gitu’ gua gak mau,” ujarnya.
Rendika tahu bahwa Claretta resah. Rendika juga tahu Claretta akan menolak mentah-mentah rencananya ini. Setidaknya, pada awalnya. “Kita gak harus kayak ‘gitu’, Ta. Kita buat seola-olah kita kayak ‘gitu’. Gimana? Kalo lo gak mau, gua gak akan maksa. I won’t force you. Kita bisa cari cara lain.”
Dalam waktu yang cukup lama, Claretta bergumul dengan pikirannya sendiri. Ia bertanya-tanya, apakah cara ini akan berhasil? Atau Noah akan benar-benar pergi meninggalkannya? Claretta tidak pernah berbuat lebih selain bergandengan tangan, merangkul bahu satu sama lain, atau mencium pipi kekasihnya. Oleh sebab itu, ia ragu. Haruskah gadis cantik itu melakukan hal ‘tersebut’ bersama laki-laki lain?
“I have nothing to lose,” sergah Claretta. “Toh, cuma pura-pura aja ‘kan?”
“Iya,” jawab Rendika. “We just have to pretend like we do ‘that’.”
Claretta menghela napas panjang. “Okay, then. Let’s go!”
“So…,” ucap lelaki tampan itu menggantung. “Where’s your room?”
Dengan begitu, Claretta menuntun Rendika untuk menuju kamar tidurnya di lantai atas. Di dalam sana, Rendika tidak henti-hentinya terkesima. Bagaimana tidak? Kamar luas dengan interior mewah, barang-barang yang ditata dengan sangat rapi, serta penerangan yang temaram. Rendika, yang memiliki jiwa perfeksionis tinggi, merasa sangat dipuaskan. Ia tersenyum karena Claretta mengingatkan pada dirinya.
Claretta terkekeh menyadari Rendika takjub dengan isi kamarnya. “Ren,” panggilnya.
Seketika, Rendika kembali pada kesadarannya. “Kamar lo rapi banget,” pujinya. “Gua suka.”
“Makasih. Gua selalu gak tahan kalo ngeliat kamar gua berantakan,” jelas gadis cantik itu.
“Sama berarti,” timpal Rendika.
“Keliatan sih,” ucap Claretta sembari mendudukkan dirinya di tepi ranjang. “Dari cara berpakaian lo, dari cara lo parkir mobil di depan halaman rumah gua, sama dari cara lo susun makanan di atas meja yang tadi gua. Semuanya memperlihatkan kalo lo orang yang disiplin, teratur, dan terencana. So, I can assume that you’ve been thinking ‘this scene’ all night long or—” Belum sempat Claretta menyelesaikan kalimatnya, Rendika melakukan hal di luar dugaan.
Rendika menerjang gadisnya di atas tempat tidur. Tubuh besar lelaki tampan itu menghimpit tubuh yang lebih kecil. “You mean ‘this scene’?”
Dua pasang netra itu saling melempar pandang. Claretta bersusah payah menelan salivanya. Dari jarak sedekat ini, Rendika terlihat seribu kali lebih menawan. Pemandangan yang gadis cantik itu dapat lihat secara langsung antara lain seperti rambut hitam yang dipotong rapi dan menyesuaikan rangka wajahnya, sepasang mata yang menunjukkan binar kepastian, hidung bangir yang terlihat indah, serta bibir tipis yang sangat menggiurkan.
Tak berbeda jauh dengan lawan mainnya, Rendika jatuh ke dalam tatapan Claretta. Kini, di bawah tubuhnya ada seorang gadis cantik yang baru saja merasakan sakit yang teramat dalam. Rendika penasaran, laki-laki bodoh mana yang tega menyakiti gadis secantik, sepandai, dan sekarismatik Claretta? Ah, itu sahabatnya sendiri, Noah. Rendika tahu bahwa Noah telah membuang sebongkah berlian demi jagung sebiji.
“Kita…,” kata Claretta memecah keheningan. “Kayak gini terus? Atau gimana?” tanyanya gugup.
Rendika berdehem. “Ya, kurang lebih kayak gini,” jawabnya seraya menegakkan tubuhnya untuk berpindah posisi.
Setelahnya, tanpa menghiraukan peristiwa canggung yang baru saja terjadi, Rendika dan Claretta mengatur posisi masing-masing. Sesuai rencana yang sebelumnya sudah didiskusikan, keduanya akan mengambil foto seolah-olah mereka tengah bermesraan satu sama lain untuk kemudian foto-foto tersebut diunggah ke sosial media yang hanya berisikan Noah dan Alicia. Mereka berharap, setidaknya, ini akan memberikan efek jera kepada para pengkhianat itu.
Percobaan pertama, Rendika dan Claretta berdiri menghadap satu lain. Claretta mengulas senyum terbaiknya selagi Rendika menangkup pipi chubby gadis cantik itu. Mereka terlihat sangat bahagia. Percobaan kedua, Claretta duduk di atas pangkuan Rendika di atas sofa yang ada di kamarnya sembari mengalungkan lengannya pada bahu lelaki tampan itu. Rendika menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Claretta. Mereka terlihat sangat romantis.
Percobaan ketiga, yang terakhir, tidak jauh berbeda dengan ketidaksengajaan yang terjadi sebelumnya. Claretta merebahkan dirinya di atas ranjang dan Rendika berada di atasnya. Ia mendekatkan bibirnya dengan bibir Claretta sehingga terlihat keduanya tengah berciuman. Pada pose inilah, semuanya berakhir, dari foto untuk rencana balas dendam sampai hubungan tidak sehat dengan pasangan masing-masing.
Setelah mengunggah foto di akun sosial media satu sama lain, Rendika menukar ponselnya dengan milik Claretta dan sebaliknya. Rendika membiarkan Claretta untuk menanggapi protes dan celotehan tidak jelas dari mantan kekasihnya, Alicia. Sedangkan, Claretta membiarkan Rendika menanggapi kata-kata manis yang penuh dengan dusta dari sahabatnya yang bermuka dua, Noah.
“Pacar lo cerewet banget, ya, Ren. Kok lo bisa tahan sih pacaran sama nenek lampir kayak gini?” ujar Claretta.
“Noah ada aja alasannya, yang inilah, yang itulah. Udah tau salah bukannya ngaku salah malah membela diri,” cecar Rendika.
Tidak ingin merasa pusing lebih lanjut, Rendika dan Claretta meletakkan ponsel masing-masing di nakas yang tersedia di samping tempat tidur. Selagi memandang langit-langit kamar yang tinggi dan dihiasi oleh chandelier berukuran besar, keduanya tertawa demi menyalurkan emosi negatif yang selama ini bersarang di hati. Sekarang, semua amarah serta kesedihan sudah sirna dan digantikan dengan ketenangan jiwa.
“Ren,” panggil Claretta pelan.
“Apa?” balas lelaki tampan itu.
“Makasih, ya,” kata Claretta seraya mendudukkan dirinya di atas ranjang. Ia tatap sepasang manik selegam malam terindah yang pernah ditemuinya, milik Rendika. Ia juga dapat melihat dengan jelas lengkungan manis yang terpatri di wajah tampan itu.
Rendika terkekeh. “Iya, Claretta, sama-sama.” Rendika bangkit dari posisi berbaringnya untuk menyamakan pandangannya dengan Claretta. Tangannya bergerak mengusap pucuk kepala lalu bergantian dengan sebelah pipi sang gadis. “Cepet sembuh, ya. Semoga abis ini lo ketemu sama cowok yang bisa menghargai dan menghormati diri lo apa adanya. Bukan karena usaha atau apapun yang lo punya tapi karena itu lo, Claretta Anamari.”
Di malam yang semakin larut itu, Claretta sadar bahwa ia telah jatuh ke dalam pesona yang ia sempat kira dibuat-buat oleh sang empunya. Namun, ternyata anggapannya salah. Rendika memang tulus kepadanya. Meskipun, lelaki tampan itu gemar berbuat dan berkata sesuka hatinya tetapi jauh di dalam hatinya ia adalah seseorang yang Claretta mungkin cari selama ini. Pada pertemuan pertamanya, Claretta dibuat luluh hatinya oleh Rendika.
Rendika juga sadar bahwa ia telah terperangkap dengan aura yang dipancarkan oleh lawan mainnya. Claretta mempunyai semua hal yang Rendika idam-idamkan, mulai dari wajah yang cantik, isi kepala yang mengagumkan, hingga kepribadian yang anggun. Rendika sangat bersyukur dapat bertemu dengan gadis cantik di hadapannya ini. Pada pertemuan pertamanya, Rendika dibuat terkesima oleh Claretta.
“Ta,” panggil Rendika.
“Kenapa, Ren?” balas Claretta.
Kedua netra lelaki tampan itu tidak dapat lepas dari pemandangan indah yang terlihat semakin menggoda di bawah sinar lampu yang redup. Tentunya, Claretta juga menyadari hal itu. Serupa dengan Rendika, gadis cantik itu juga tidak dapat mengalihkan tatapannya dari wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Atmosfer yang tadinya terasa menenangkan berubah menjadi menegangkan. Keduanya larut di dalam suasana yang mulai memanas.
“Kalo…,” kata Rendika terputus. “Kita lanjutin balas dendam ke Noah sama Alicia. Lo mau?”
Claretta bergeming seolah disirih oleh kalimat yang dilontarkan Rendika padanya. Beberapa adegan sudah terputar di kepalanya. Benarkah ia benar-benar menginginkan hal tersebut atau hanya sekadar gairah belaka? Claretta tahu apa yang ia inginkan. Ia menganggukkan kepalanya pelan. “Mau.”
Selanjutnya, yang terjadi adalah tangan besar itu bergerak menangkup dagu mungil di hadapannya. Rendika memangkas jarak yang memang sudah sangat dekat antara dirinya dan juga Claretta. Claretta memejamkan erat kedua netranya dan begitu pun dengan Rendika. Hanya berselang satu detik, dua belah ranum yang saling menginginkan itu akhirnya bertemu. Rendika dapat merasakan hangatnya bibir yang ia kehendaki itu.
Walaupun terlihat pelan namun sensasi yang ada terasa pasti. Rendika melumat bibir tebal itu lalu dibalas oleh sang gadis. Kemudian, Claretta mengalungkan lengannya pada bahu lebar lelaki tampan itu. Rendika seolah mendapatkan isyarat untuk bergerak maju. Oleh karena itu, dengan perlahan, Rendika bergerak menidurkan tubuh Claretta. Lagi, Rendika berada di atas Claretta dan mencoba untuk menguasainya.
“Ahh.” Lenguhan pertama berhasil lolos.
Cumbuan panas itu berpindah haluan. Rendika mengecup seluruh permukaan yang bisa ia jangkau. Dimulai dari leher jenjang sampai bagian dada yang sudah sedikit terekspos sebab Claretta mengenakan gaun tidur berbahan satin berwarna biru laut. Sepasang kaki jenjang yang dikekang oleh sang dominan itu sedari tadi tidak dapat berhenti bergerak menggesek stau sama lain.
“Nghhh,” lirih gadis cantik itu.
Kini, lelaki tampan itu sedang bermain dengan dua gunung sintal yang mulai sekarang akan menjadi favoritnya. Tangan besar itu memijat, meremas, dan sesekali memilin ujung puting payudara yang masih terlindungi oleh pakaian. Rendika menyeringai puas kala sepasang maniknya menangkap ekspresi wajah Claretta yang tengah menikmati permainan intim mereka. Claretta sangat amat cantik saat berada di bawah kendalinya.
“Enak, Ta?” tanya Rendika.
Claretta mengangguk cepat. “Nghh, ahhh, iya,” jawabnya.
“Lagi?” goda lelaki tampan itu.
“Yes, please.” Tidak terdengar keraguan dari permintaan yang Claretta titahkan pada Rendika.
Berikutnya, Rendika melepas semua pakaian yang dikenakan untuk kemudian melakukan hal yang sama kepada Claretta. Awalnya, gadis cantik itu sempat terhenyak. Pasalnya, ia tidak pernah seterbuka ini kepada orang lain bahkan saat bersama Noah. Namun, dengan cepat, Rendika menyampirkan selimut untuk menutupi tubuh mereka karena ia tahu Claretta masih merasa sedikit malu.
“Lo gak pernah bilang kalo lo ternyata secantik ini, Ta,” puji Rendika menenangkan gadisnya.
Sanjungan itu sukses membuat wajah cantik Claretta menyemburatkan rona merah. “Jangan gitu, Ren. Gua malu tau.”
Rendika tertawa pelan. Claretta terlihat menggemaskan dan menggoda di saat yang bersamaan. “Gua nyesel gak kenal lo lebih cepet, Ta.”
Bahkan, di sela-sela kegiatan panas seperti itu saja, Rendika masih bisa mencairkan suasana untuk meneduhkan hati Claretta. Mendengar ada kalimat yang membuat hatinya semakin jatuh dan jantungnya berdegup lebih kencang, Claretta tersenyum. Di dalam diamnya, ia menyetujui pernyataan yang lelaki tampan itu ucapkan. Seandainya, waktu dapat diputar kembali, Claretta ingin jatuh kepada Rendika alih-alih sahabatnya.
“Ta,” panggil Rendika pelan.
“Ya?” balas Claretta lembut.
“Is this your first time?” tanyanya.
Meskipun, Claretta ragu untuk berkata jujur. Akhirnya, ia mengangguk juga. “Iya.”
Simpul bak mentari pagi yang menghangatkan semesta kembali muncul di wajah tampan Rendika. “Thank you,” katanya. “Makasih udah percaya sama gua. Kalo lo sakit atau lo gak mau, lo bilang sama gua, ya, Ta.”
Claretta membalas senyum lelaki tampan itu dengan tak kalah manis. “Iya, Rendika.”
Setelahnya, Rendika kembali memimpin permainan. Perlahan, ia meneroboskan penisnya untuk masuk ke dalam vagina sang gadis. Saat kepemilikan mereka bertemu, Rendika dan Claretta menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit tempat tidur. Ini baru permulaan tetapi rasanya sudah membuat kepala pusing sebab rasa nikmat. Claretta menggigit bibir bagian bawahnya. Ada rasa nikmat dan perih yang bercampur jadi satu.
“Nghhh, ahh,” desah Claretta.
“Shh, ahhh,” lirih Rendika.
Keduanya bernapas lega kala kejantannya itu akhirnya dapat masuk dengan sempurna ke dalam organ intim gadisnya. Setelah dirasa sudah beradaptasi, Rendika mulai bergerak dengan tempo pelan. Ia sembunyikan wajahnya di perpotongan leher Claretta. Sedangkan, Claretta yang sedang dilingkupi terlalu banyak rasa nikmat hanya dapat memeluk tubuh besar di atasnya.
“Ahhh, Ren,” lenguh gadis cantik itu.
Merasa terpanggil, Rendika mengangkat pandangannya. Ditatapnya wajah yang tetap cantik itu walaupun keringat membasihnya. “Sakit, Ta?” tanyanya khawatir.
Claretta menggeleng. “Nghhh, enggak,” jawabnya.
Rendika mengangkat sebelah alisnya. “Faster?”
“Yes, please.”
Sesuai perintah, lelaki tampan itu bergerak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Sepasang lengan kurus yang sedari tadi mengalung kini meluruh. Claretta meremat kain yang melapisi ranjangnya. Nikmat yang ada semakin menguasainya dan begitu juga Rendika yang semakin mengendalikannya. Ia merasakan sesuatu membuncah pada kewanitaannya. Claretta sangat menyukai sensasi itu.
“Mphh, Ren, ahhh,” desah gadis cantik itu.
Rendika sangat dimanjakan sepasang indera pendengarannya. Pasalnya, selama sesi intim ini berlangsung, Claretta tidak berhenti meneriakan suara-suara indah yang mengandung namanya, di mana hal tersebut menjadi pasokan bahan bakar untuk terus menggempur gadisnya. Lihat saja, lelaki tampan itu bergerak semakin brutal. Decitan dari kaki ranjang bersamaan dengan suara pertemuan kulit yang lembap menjadi pengiring.
“Nghh, Ren,” panggil Claretta.
“Iya, Cantik?” balas Rendika dengan bias suaranya yang sedalam palung.
“Harder, please,” pintanya.
Sepertinya, Claretta akan menjemput pelepasannya sebentar lagi. Beruntungnya, Rendika merasakan hal yang sama. Rendika menambah kekuatan gempuran penisnya pada vagina sang gadis. Dan lagi-lagi, Claretta dibuat terbang ke angkasa. Sementara itu, Rendika sangat menikmati bagaimana lubang surgawi itu seolah menghisap dan memijat kejantanannya. Baik Rendika dan Claretta, dipuaskan satu sama lain.
“Ren, ahhh, i’m close, ahh,” ujar gadis cantik itu susah payah.
“Shhh, me too, Claretta,” kata Rendika.
Di malam yang hampir berganti hari, disaksikan oleh lampu yang bersinar tenang, suara khas kenikmatan yang menggelora di seluruh ruangan, serta rasa yang secara masif tumbuh di dalam hati, Rendika dan Claretta terhanyut dalam atmosfer yang mereka ciptakan sendiri. Di kesempatan ini, keduanya memutuskan untuk lebih mengenal satu sama lain melalui kegiatan intim yang sedang dilakukan.
Siapa yang akan menyangka? Bahwa balas dendam akan terasa senikmat ini. Rendika terus mempercepat dan memperkuat hantamannya. Sedangkan, Claretta semakin masuk ke alam bawah sadarnya. Tanpa diduga, keduanya mencapai titik ternikmatnya di waktu yang bersamaan. Namun, sebelum Rendika benar-benar menjemput pelepasannya, ia menarik penisnya keluar dari bawah sana.
“Ahh!”
“Akh!”
Cairan kental berwarna putih itu menyembur ke segala sudut di tempat kejadian perkara, terutama di atas perut rata Claretta. Rendika menjatuhkan dirinya di sebelah sang gadis. Rendika dan Claretta sama-sama diburu napas dan tubuh mereka dibanjiri keringat. Masih di balik selimut yang sama, keduanya termenung meratapi peristiwa yang baru saja terjadi. Tidak ada yang menyangka semuanya akan berakhir seperti itu.
Kemudian, Rendika membangkitkan setengah tubuhnya. Ditatapnya Claretta yang masih mencoba mengatur napasnya selagi sepasang manik selegam senjanya terpejam. “Ta,” panggilnya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya.
“Iya, Ren?” Claretta mengembalikan fungsi indera penglihatannya dan yang ia temukan adalah wajah tampan Rendika tengah mengulas senyum padanya.
Rendika terkekeh. “Capek, ya?” tanyanya.
Claretta tertawa pelan. “Lumayan sih. Soalnya pertama kali,” jelas gadis cantik itu.
Kedua muda-mudi itu kembali larut dalam tatapan satu sama lain tanpa sadar hari telah berganti. Jam kuno berukuran besar terletak di ruang keluarga di kediaman sang gadis berdenting keras menandakan sudah lewat tengah malam. Rendika melirik jam tangan kulit yang melingkar di tangan kirinya. Claretta menolehkan pandangannya pada jam kecil berbentuk kelinci di nakas sebelah ranjangnya.
“It’s June 1st,” ucap Claretta.
Tidak ada jawaban yang terdengar dari Rendika. Ia masih setia menatap jam di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 00.01 dini hari. Lalu, lelaki tampan itu berkata, “Claretta. I want to tell you something.”
Mendengarnya, Claretta memusatkan atensinya pada Rendika. “Bilang aja, Ren,” katanya.
“This is the end of May, right?” tanya lelaki tampan itu.
“Iya. And then?” balas Claretta
“You’re the best thing that happened to me in the end of May, Ta,” jelas Rendika. Sepasang manik selegam malamnya menatap lamat pasangan manik lainnya. “So…,” ucapnya terpotong. “May I be yours?”