ttoguxnanaxranie

Alby mengedarkan pandangannya setelah sampai di dalam ruangan yang sejak dahulu ia ketahui menjadi tempat pelarian ternyaman bagi Hana kala sepupunya itu merasa sedih atau sendiri. Ia tersenyum tipis saat indera penglihatannya menangkap sesosok gadis mungil tengah menelungkupkan wajahnya ke arah meja kayu yang ditempatinya.

“Han,” panggil Alby pelan.

Mendengar ada bias suara sedalam palung yang menyeruak ke dalam telinganya, Hana menolehkan pandangannya. Alby memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah kanan Hana. Sejenak, dua pasang manik itu memandang satu sama lain dengan tatapan yang bahkan keduanya tidak dapat artikan.

“Lo gak ke kantin?” tanya Hana basa-basi.

“Lo kenapa gak ke kantin?” jawab Alby dengan kembali bertanya.

Hana menghela napas panjang. Meskipun raut wajahnya mengekspresikan kekesalan, namun di dasar hatinya ia merasa lega. Setelah beberapa hari belakang ini merasakan keresahan yang hebat, kini semuanya sirna kala lelaki manis kesayangannya ini menampakkan diri tepat di hadapannya.

“Lo sendiri di sini?” tanya Alby.

Hana menganggukkan kepalanya beberapa kali. Entah mengapa, sekarang rasa guguplah yang menyelimuti dirinya. Ia mengulum lalu sesekali menggigit bibir bagian bawahnya. Hana mengerti betul akan ke mana arah perbincangannya ini. Berbeda dengan sang gadis, Alby justru terlihat sangat tenang.

“Airin udah sehat, Han,” ujar Alby. “Airin juga udah mulai sekolah,” lanjutnya.

“Iya, gua tau. ‘Kan gua sekelas sama Airin, By,” sergah Hana.

Mendengarnya, Alby terkekeh. Ia tahu, pasti di lubuk sanubarinya yang terdalam, Hana masih mempedulikan sahabatnya yang satu itu. “Airin sering nanyain lo pas lagi dirawat di rumah sakit,” jelasnya.

“Lo bilang apa ke Airin?” tanya Hana penasaran. Sepasang maniknya menatap Alby intens.

“Ya, gua jawab aja kalo lo lagi sibuk bantuin Mama di resto,” sanggah Alby.

“Lo tau gimana perasaan gua yang sebenarnya ke Airin ‘kan, By?” tanya gadis mungil itu memastikan.

Alby menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan sang sepupu. “Iya, tau kok,” entengnya. “Sebenernya lo sesayang itu sama Airin, Cil,” sambungnya.

Pada akhirnya, Alby kembali memanggil Hana dengan panggilan sayang yang biasa ia ucapkan, ‘Acil’. Ia hanya tidak ingin memperburuk atmosfer yang terjadi di antara keduanya. Ada kata tak asing yang terdengar oleh telinganya, hati Hana mulai menghangat. Di dalam hatinya, ia bertanya kepada dirinya sendiri.

“Lo ngomong apaan sih, By,” elak Hana.

Di detik berikutnya, Alby mencengkram sebelah bahu Hana. “Dengerin gua, ya, Cil. Gua gak akan ngebahas kalimat lo tempo hari yang bikin gua sampe gak bisa tidur semaleman karena semakin dipikir semakin gak masuk akal. Itu perasaan lo dan gua gak berhak untuk ngaturnya tapi yang gua bakal gua tegaskan di sini adalah kita itu sepupu, Cil. Gua gak tau sebenernya rasa yang lo rasain itu diliat dari sudut pandang siapa,” jelas lelaki manis itu.

Hana yang mendengar kalimat itu keluar dari mulut sepupunya, hanya dapat menundukkan pandangannya. Sepasang manik indahnya menatap sepatu putih pada kakinya yang menyentuh lantai ruang perpustakaan. Terdapat sebersit penyesalan di dalam hatinya. Mengapa mereka terlahir sebagai sepasang sepupu dan bukannya sepasang kekasih?

“Hana Vilory. Lo itu orang paling baik yang gua kenal. Gua punya kepribadian sekuat dan seberani sekarang itu karena lo,” ujar Alby. “Inget gak lo rela berantem di atas lumpur pas lagi hujan cuma untuk ngebelain gua yang waktu itu tasnya dirusakin sama temen sekelas? Padahal lo paling gak suka kalo baju sama sepatu lo basah dan kotor,” sambungnya.

Mendengarnya, simpul senyum itu mengembang. Seketika banyak kenangan indah nan lucu yang terputar di dalam otaknya. Bagaimana sepasang sepupu yang serupa perangko dan amplop itu selalu menjalani hari-harinya bersama. Tanpa terasa, genangan yang sedari tadi tertahan itu perlahan mengalir deras.

“Ya, lagian lo digangguin malah diem aja,” sela Hana sembari mengusap jejak air mata pada sepasang pipi chubby-nya. Ia mengangkat pandangannya agar dapat menatap wajah manis sepupunya dengan jelas.

Melihatnya, Alby tersenyum manis. Sepasang manik minimalisnya semakin menyipit saat menangkap sebuah simpul yang sudah lama tidak ia lihat keberadaannya. Menurutnya, sepupunya ini paling cantik ketika sedang tersenyum. “Mereka badannya gede-gede banget, Cil,” ucap lelaki manis itu.

“Harusnya lo tetep lawan mereka, By. Itu ‘kan tas kesukaan lo yang dibeliin sama Bunda,” jelas Hana.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Entah sebab satu atau dua hal lainnya, baik Alby maupun Hana, seolah-olah mengenang masa lalu mereka secara diam. Lihat saja, bagaimana sepasang sepupu itu terlihat terkekeh sesekali saat adegan menggemaskan terputar pada ingatan mereka.

Kemudian, Alby menatap lamat wajah mungil Hana. “Kemaren pas di rumah sakit, Airin banyak cerita tentang lo, Cil,” kata Alby membuka suara.

Tidak ada jawaban yang terdengar dari Hana. Namun, Alby berani bertaruh bahwa sepasang manik itu memancarkan binar khas rasa penasaran. Entah mengapa Hana bersikap seolah-olah ia adalah orang yang jahat. Bagi Alby dan Airin, Hana adalah gadis mungil yang manis dan cantik yang memiliki sifat layaknya malaikat.

“Katanya Airin, dulu dia gak punya temen pas ospek di sekolah ini,” jelas Alby. “Tapi tiba-tiba aja ada cewek cantik yang rambutnya dikuncir dua nyamperin dia terus banyak nanya ke dia. Lo emang dari dulu cerewet, ya, Cil,” ledeknya.

“Ih, Alby!” protes Hana. Sebelah tangannya terangkat untuk melayangkan pukulan keras pada lengan lelaki manis itu.

“Gua lanjutin, ya,” ucap Alby. “Airin bukan tipe orang yang suka ngobrol sama orang lain tapi entah kenapa ngobrol sama cewek cantik yang cerewet ini dia ngerasa nyaman banget. Walaupun beberapa kali Airin ngerasa kewalahan karena temennya ini gak berhenti nanya tapi Airin bersyukur. Seenggaknya, ada orang yang peduli sama dia. Airin gak pernah ngerasa seseneng dan sebersyukur itu sampe punya temen kayak lo, Hana,” sambungnya.

Di akhir ceritanya, Alby tersenyum lebar. Berbeda dengan sang sepupu, Hana, gadis mungil itu sibuk menyeka air matanya yang membanjiri wajahnya. Alby tahu Hana tidak merasa sedih, melainkan terharu. Hana ingat betul bagaimana dirinya dan Airin selalu membeli jajanan yang sama di kantin selama jam istirahat pada tingkat pertama.

Mengingatnya, simpul senyum Hana merekah. Ternyata, Alby benar. Hana memang menyayangi sahabatnya yang satu itu. Ada seberkas rasa penyesalan yang menusuk ke dalam hatinya perihal peristiwa yang beberapa waktu lalu sempat menimpa Airin. Hana juga ingat bagaimana nafsu makannya hilang total setelah mengetahui teman sebangkunya itu dilarikan ke rumah sakit.

“Gua terlalu menyangkal, ya, By,” lirih Hana seraya sepasang maniknya yang berkaca-kaca itu menatap Alby. “Gua udah jahat banget sama Airin, By,” lanjutnya.

Tidak ada respon yang terdengar. Alby hanya tersenyum tipis. Selanjutnya, yang terjadi adalah Alby merengkuh sepupunya itu agar masuk ke dalam dekapannya. Hana, secara sadar atau tidak, juga tidak menginginkan hal seperti ini terjadi antara dirinya dan Airin. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan sang sepupu.

“Hubungan persahabat lo sama Airin terlalu berharga untuk diakhiri, Cil,” ujar Alby.

Airin tersenyum saat sepasang manik selegam senjanya menangkap sesosok lelaki manis bertubuh tinggi tengah duduk memandangi lantai rumah sakit yang dingin sembari bermain dengan jari-jari tangannya. Ia tidak tahu apa yang Alby sedang lakukan, namun itu mampu membuat gadis cantik itu kepalang bahagia.

“Hai, By,” sapa Airin ramah sesaat setelah kursi rodanya sampai di hadapan Alby.

Alby mengangkat pandangannya. “Eh, Rin? Dari mana?” tanyanya disertai dengan senyuman. Namun, simpul itu tidak bertahan lama kala maniknya menemukan Farelio di sana. Alby segera membuang pandangannya.

“Udah lama di sini, By?” tanya Airin.

“Udah dari hari pertama, gua gak pernah ke mana-mana,” sindir Alby seraya menatap sinis musuh sejatinya itu.

Melihatnya, Farelio menatap ke segala arah asalkan tidak memandang langsung ke wajah Alby. Ia sedang mencoba berdamai dengan keadaan, alias bersama Alby yang menjadi pilihan gadisnya, dengan tidak memulai pertengkaran di tengah-tengah gedung rumah sakit, apalagi di depan Airin.

Sedangkan, Airin, di satu sisi, ia benar-benar gemas dengan Alby yang mungkin cemburu dengan kehadiran Farelio. Di sisi lain, ia sudah tidak sabar dengan beberapa hal yang akan disampaikannya kepada lelaki manis penuh humor itu. Setelah sekian lama, Airin tidak memandang wajah manis kesukaannya itu, ia sangat merindukan Alby.

“Oh, iya, bener juga. Ternyata suara lo yang gua denger pas gua lagi tidur panjang. Makasih, ya, By, udah mau stay di samping gua,” ujar gadis cantik itu.

“Lo dari mana? Kok lo gak istirahat?” tanya Alby bertubi-tubi.

“Abis ngobrol—” Belum sempat Airin menyelesaikan penjelasannya, Farelio sudah lebih dulu berbicara.

“Abis ngobrol sama gua,” ketusnya.

“Oh,” singkat Alby.

Mendengarnya, Farelio menatap tajam ke arah Alby dan sebaliknya. Alby tidak suka bagaimana Farelio bersikap padanya dan juga Airin. Setelah mencampakkan Airin begitu saja, tiba-tiba saja Farelio datang lagi dan memohon untuk kembali bersama gadis cantik itu. Airin bukanlah barang yang bisa ia pungut dan ambil sepuasnya.

“Sekarang Airin mau ngobrol sama lo,” ujar Farelio. “Aku duluan, ya, Rin. See you when I see you,” ucap lelaki tampan itu sembari mengusap pelan pucuk Airin.

“See you when I see you Take care, ya, Rel,” balas Airin ramah.

Alby mengernyitkan keningnya. Ia tidak percaya dengan adegan yang baru saja terjadi tepat di depannya. Bagaimana bisa Airin merespon semua yang dikatakan Farelio dengan senyuman yang amat sangat manis? Bahkan setelah semua yang sudah Farelio perbuat untuknya? Airin memang memiliki hati seperti malaikat, batin Alby.

“Lo gak apa-apa, Rin?” tanya Alby khawatir.

“Gua gak apa-apa, By,” jawab Airin disertai dengan senyuman.

“Farel mau ke mana?” tanyanya lagi.

“Pulang. Farel mau pindah ke Kanada,” enteng Airin.

Manik selegam malam itu membulat. “Maksudnya?” tanya Alby penasaran.

“Ya, Farel pulang karena dia mau pindah ke Kanada,” jelas gadis cantik itu. “Gua sama Farel udahan, By. Kita mutusin buat jalan masing-masing,” lanjutnya.

Lagi, sepasang manik itu kian membulat. Airin banyak membawa kejutan padanya hari ini. Akhirnya, Alby dapat bernapas dengan lega. Airin tidak lagi terjebak dalam hubungan labirin dengan lelaki tampan itu. Serupa dengan Airin, Alby sama bahagianya. Apakah ini memang jalan yang Tuhan ciptakan untuk mereka?

“Lo serius, Rin?” tanya Alby tanpa henti.

Airin menganggukan kepalanya dengan semangat. “Gua sayang sama Farel, By, tapi gua butuh lo. Gua bahagia sama Farel tapi gua jauh lebih bahagia bareng lo,” jelas Alby.

Penjelasan yang tidak terlalu panjang itu membuat Alby mematung di tempatnya. Ditatapnya sepasang manik selegam senja yang sudah menjadi kesukaannya sejak hari pertama ia mendatangi sekolah yang sama dengan Airin. Tanpa ia sadari, senyum manisnya mengembang.

“Makasih, ya, Rin. Makasih udah ngasih kesempatan buat gua,” ujar Alby tergesa-gesa. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

“Harusnya gua yang bilang makasih, By,” balas Airin serius. “Makasih udah selalu ada di samping gua, gak cuma pas seneng aja tapi pas sedih juga. Di saat dunia menjauh dari gua, lo malah mendekat. Maaf gua pernah buat lo kecewa, By,” ujarnya.

Di detik berikutnya, tanpa diduga-duga, Alby menarik Airin agar masuk ke dalam pelukannya. Airin dapat merasakan pelukan khas rasa rindu yang tulus dari Alby. Kedua tangannya bergerak mengusap punggung sempit yang sudah memikul beban berat selama ini. Untuk pertama kalinya, ia menghirup aroma tubuh Airin yang mungkin akan menjadi candu baginya.

“Jangan minta maaf, Airin. Lo gak salah apa-apa,” kata Alby masih di dalam dekapannya.

“Makasih, ya, By. Makasih banyak untuk semuanya,” ucap Airin seraya mengeratkan dekapannya.

Tak lama, Alby melonggarkan pelukannya. “Eh, sorry, Rin. Gua kelepasan.” Ia mengusap tengkuknya canggung.

Berbeda dengan Alby, Airin malah tertawa puas. “Gak apa-apa, Alby. Ini nih yang bikin gua gak bisa jauh dari lo, By. Gua baru tau dari mana semua kebaikan lo setelah ketemu sama Bunda,” jelas Airin.

“Lo udah ketemu sama Bunda? Ngobrol apa aja sama Bunda?” tanya Alby semangat.

Airin kembali menganggukkan kepalanya beberapa. Ia tersenyum, namun kali ini terlihat berbeda seolah kesedihan tersirat di dalamnya. “Gak banyak sih. Bunda cuma nyampein apa yang perlu disampein dari dr. Tiffany,” ujarnya.

Alby, lelaki manis itu menyadari ada yang salah dari gadisnya. Senyum itu mengisyaratkan sesuatu yang buruk. “Lo gak apa-apa, Rin?”

“Gua…,” kata Airin. “Keguguran, By,” lirihnya.

Mendengarnya, Alby kembali mematung di tempatnya. Ia mengerjapkan maniknya beberapa kali. Indera pendengarannya seperti tidak mau menerima informasi menyedihkan yang satu ini. Alby dapat melihat dengan jelas bagaimana gadisnya itu merasa kehilangan. Perlahan, titik air mata jatuh membanjiri pipi Airin.

“Gua izin peluk lo lagi, ya, Rin,” ucap Alby.

Tidak mampu menjawab dengan kata-kata, Airin hanya mengangguk untuk mengiyakan permintaan lelaki manis itu. Alby merengkuh sang gadis agar kembali masuk ke dalam pelukannya. Di dalam pelukan yang terasa sangat lara itu, bahu Airin bergetar. Alby tidak dapat berbuat banyak selain menenangkan gadis cantik itu.

“Jangan sedih lagi, ya, Airin. Lo punya gua yang selalu ada di samping lo,” jelas Alby sembari mengusap kepala bagian belakang Airin. “Gua minta maaf karena lo harus sampe ngerasain semua rasa sakit ini,” lanjutnya.

Airin menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Alby. Hanya bersama lelaki manis itulah, Airin dapat menjadi dirinya sendiri. Hanya dengan Alby, gadis cantik itu dapat meluapkan semua emosi yang selama ini ia tahan sendiri. Tuhan mendatangkan Alby di hidupnya bukan tanpa tujuan.

“Gua gagal, By. Gua gak bisa jagain dia,” gumam Airin dalam tangisannya.

“Enggak, Rin. Lo gak gagal dalam apapun. Jangan ngerasa bersalah, ya, Airin,” bantah Alby. Hatinya seperti disayat mendengar gadisnya ini merintih sebab rasa sedih.

Dari semua peristiwa yang terjadi hari ini, Airin dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup adalah tentang pilihan. Kita semua mempunyai pilihan bagaimana kita akan menjalani hidup ini. Airin lebih memilih untuk bersama Alby dibanding Farelio sebab memang lelaki manis itulah yang Airin butuhkan.

Katanya, mencari pasangan itu bukan hanya berdasarkan kemauan, tetapi juga kebutuhan. Airin ingin Farelio untuk menemani hari-harinya, namun ia membutuhkan Alby untuk ada di hidupnya. Bukan opsi yang sederhana, tetapi Airin diharuskan untuk memilih sebab bagaimana pun juga kebahagiaannya adalah yang utama. Di antara Farelio dan Alby, Alby-lah yang menyadari hal itu.

Perlahan, sepasang lengan kekar itu menggenggam gagang dari kursi roda yang diduduki oleh gadisnya. Setelah menjemput Airin dari kamar inapnya, Farelio membawa gadis cantik itu untuk menghirup udara segar di taman rumah sakit yang berada tak jauh dari sana. Sesuai janji yang telah dibuat, keduanya akan berbicara empat mata, tentang kelanjutan dari hubungan mereka.

“You sure you okay, Rin? You look so pale,” ujar Farelio sesaat setelah mendudukan dirinya di salah satu bangku panjang yang ada di taman itu. Ia memposisikan dirinya sejajar dengan sang gadis.

“I’m okay, Farel,” balas Airin sembari tersenyum.

“It’s been a while, Airin. I really miss you,” ucap Farelio seraya meraih sebelah tangan Airin untuk ia usap lembut lalu mengecupnya.

“I miss you too, Farelio,” kata Airin lembut.

Melihatnya, hati Airin menghangat. Sudah lama sekali sejak lelaki kesayangannya itu memanjakan dirinya seperti ini. Setelah kepergiannya, Airin sempat hilang arah. Ada ruang di hatinya yang terasa hampa. Ketidakhadiran Farelio membawa dampak yang cukup besar pada kesehariannya.

Dalam waktu yang lama, keduanya saling bertukar tatap melalui manik masing-masing seolah melepaskan kerinduan yang sempat tertahan dan membuncah. Baik Farelio maupun Airin menyadari bahwa mereka memang saling mencintai satu sama lain. Farelio memilik peran di dalam hidup gadisnya dan Airin memiliki peran di dalam hidup lelakinya.

“My beautiful beautiful Airin,” ujar Farelio tiba-tiba seraya tersenyum manis.

Hanya dengan seberkas sanjungan yang dilontarkan lelaki kesayangan mampu membuat Airin tersipu malu. Ia menundukkan kepalanya menghadap tanah berumput sembari menahan senyum. Farelio, lelaki tampan itu selalu saja berhasil membuatnya menjadi gadis paling bahagia di dunia, meskipun hanya sesaat.

“Kamu bilang tadi aku pucet banget, kenapa tiba-tiba jadi cantik?” tanya Airin.

“Ya, karena kamu Airin. Kamu pasti cantik mau gimana pun keadaan kamu,” jelas Farelio.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi. Mereka berdua, Farelio dan Airin, terhanyut dalam atmosfer yang menyelimuti. Ditemani oleh sinar mentari pagi serta angin sepoi yang berhembus pelan, keduanya seolah membuka lembaran baru. Tetapi, jika boleh jujur, bukan itu tujuan Airin untuk menemui dengan Farelio.

“Farelio, i have to tell you something,” ucap Airin memecah keheningan.

“Go ahead, Airin. I’m listening,” balas Farelio.

“Let’s stop,” singkat gadis cantik itu.

Mendengarnya, simpul senyum yang terpatri pada wajah tampan Farelio perlahan memudar. Ia ingin menyangkal, namun indera pendengarannya menangkap sangat jelas apa yang dikatakan Airin barusan. “What do you mean by stop, Airin?” tanyanya memastikan.

Sebelum menjawab pertanyaan Farelio, gadis cantik itu menengadahkan kepalanya ke arah langit biru yang membentang luas di atasnya. Kala itu, awan berjalan sangat pelan seolah menunggu keputusan yang akhirnya Airin berani untuk bicarakan dengan lelaki kesayangannya. Kemudian, ia kembali memusatkan atensinya pada lelaki tampan di sebelahnya.

“Kamu tau aku hamil ‘kan, Rel?” balas Airin dengan kembali bertanya.

“Ya, of course. I know that you’re pregnant. That’s why I’m here. Our baby, right?” jelas Farelio.

Airin menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya, bayi kita,” katanya. “Tapi sekarang bayi itu udah bahagia di surga, Rel. Dia bantu aku biar aku gak ngerasain sakit lagi,” lanjut Airin.

Farelio, lelaki tampan itu hampir tidak mempercayai penjelasan yang keluar dari mulut gadisnya. Apakah itu artinya…

“Aku keguguran, Rel,” tambahnya lagi.

Hanya dengan kalimat singkat yang diucapkan Airin, Farelio sukses dibuat mematung di tempatnya. Maniknya menatap kosong ke arah sang gadis. Indera penglihatannya dapat menangkap dengan jelas bagaimana senyum yang tersimpul di wajah gadisnya sebenarnya menyembunyikan rasa sakit dan sedih yang teramat dalam.

“Airin, aku minta maaf,” kata Farelio. “Aku—” Belum sempat lelaki tampan itu merampungkan kalimatnya, Airin kembali bersuara.

“Jangan minta maaf, Rel. Ini bukan sepenuhnya salah kamu,” jelasnya.

“Maaf, Rin, aku bener-bener gak tau,” tambah Farelio. Sepasang manik selegam malam itu mulai berkaca-kaca

Sebelah tangan Airin bergerak menangkup tangan yang lebih besar. Diusapnya punggung tangan yang dipenuhi dengan guratan rasa lelah itu. Farelio jauh lebih terkejut dibanding dirinya. Apakah lelaki tampan itu benar-benar merasa kehilangan? Airin tidak tahu pasti, tetapi Farelio sama sedihnya dengannya.

“Iya, gak apa-apa, Farelio. Dia belum siap ketemu sama kita,” ujar Airin menenangkan.

Di detik selanjutnya, Farelio merengkuh erat gadis cantik kesayangannya yang beberapa waktu terakhir ini telah melewati masa-masa paling menyakitkan di dalam hidupnya dan ditambah dirinya tidak pernah ada di sisinya saat masalah menghampiri. Farelio sangat menyesal akan hal itu.

“Be strong, Farelio. Kamu gak inget dulu kamu yang gak pengen dia ada di antara kita?” sarkas gadis cantik itu.

Farelio melepas pelukannya. “No, I’m not, Airin. Aku dikuasai amarah waktu itu. Kamu tau aku pengen banget dia hadir di antara kita. Aku pengen kita ulang semuanya dari awal, Rin,” ujarnya.

Mendengarnya, Airin tersenyum pilu. “Gak ada yang perlu kita ulang dari awal, Rel. Like I’ve said before, we have to stop,” ucapnya.

“You… don’t love me anymore, Airin?” tanya Farelio ragu-ragu.

Airin menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Aku bukannya udah gak sayang lagi sama kamu, Farelio, tapi kita udah gak bisa sama-sama. Kalo dipaksa untuk lanjut, kita kayak menggenggam setangkai bunga mawar di tangan kita. Kita suka banget sama bunga mawar, tapi semakin kita menggenggamnya semakin kita akan merasa sakit,” jelas gadis cantik itu.

“I don’t want to lose you, Airin,” lirih Farelio.

“Kamu gak kehilangan aku, Farel. Aku cuma gak bisa ada lagi di samping kamu, nemenin hari-hari kamu, jadi tempat pelampiasan kalo kamu lagi marah, itu aja,” tegas Airin.

“Aku cuma ngasih luka aja ke kamu, ya, Rin” kata lelaki tampan itu.

Mendengarnya, Farelio baru sadar sepenuhnya ternyata selama ini yang ia berikan pada Airin hanyalah rasa sakit. Farelio bukannya tidak menyadari hal itu, hanya saja dirinya menganggap caranya mencintai merupakan suatu hal yang unik tanpa memperhatikan bahwa keunikannya itu banyak memberi luka pada gadisnya.

“Kamu banyak ngasih aku kenangan indah juga kok, Farel. Dua tahun lebih deket sama kamu bakal banyak yang aku inget pas kamu gak ada,” ujar Airin.

Farelio, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak melanjutkan percakapannya dengan sang gadis. Ia merenungkan semua perbuatannya kepada Airin selama dua tahun lebih belakangan. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, dirinya harus mengerti bahwa inilah keputusan yang diambil Airin.

“Aku rasa aku udah cukup ngejelasin apa yang pengen aku sampein ke kamu, Rel. Makasih, ya, untuk dua tahunnya,” final Airin.

“Maaf, ya, Rin, aku terlambat ngerti,” balas Farelio diiringi dengan senyum yang dipaksakan.

“Let’s hug each other for the last time,” tawar Airin.

Tentunya, Farelio tidak ingin menolak yang satu itu. Sepasang tangannya membentang lebar lalu perlahan Airin masuk ke dalam dekapannya yang beberapa tahun terakhir selalu menjadi candunya. Farelio bukanlah lelaki jahat, bagi Airin. Ia hanya tidak dapat mengekspresikan emosinya dengan baik.

“Live well, Airin. Cepet sembuh, ya,” ujar lelaki tampan itu masih di dalam pelukannya.

“Kamu juga, ya, Farel,” balas Airin.

Setelah melepaskan dekapan masing-masing, keduanya kembali bertukar pandangan. Baik Farelio maupun Airin tidak mengira bahwa hari ini akan menghampiri mereka, hari di mana keduanya harus melepaskan satu sama lain, bukan karena rasa benci melainkan demi kebaikan masing-masing.

“Can you help me, Farel?” tanya gadis cantik itu.

“Sure, Airin. Just say anything,” balas Farel.

“Kamu bisa anterin aku balik ke kamar, Alby udah nungguin aku,” kata Airin.

Airin menghela napas panjang sembari merebahkan dirinya di atas ranjang rumah sakit yang menurutnya terasa lebih nyaman dibanding ranjang yang ada di tempat tinggalnya. Entah mengapa gadis cantik itu merasa gedung serba putih yang dipenuhi oleh dokter, perawat, dan para pasien ini akan menjadi rumah keduanya.

“Gua harus apa sekarang?” gumam Airin seraya menatap kosong ke arah langit-langit ruang inapnya.

Terhitung sudah sejak dua jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering, baik itu pesan singkat atau panggilan yang masuk, dari Farelio. Lelaki tampan itu benar-benar tak gentar untuk mendapatkan perhatian gadisnya atau mungkin permohonan maaf? Airin belum lagi mau membahas apapun terkait hal itu.

“Farel… Alby…,” lirih gadis cantik itu.

Sejenak, Airin kembali bergumul dengan pikirannya. Ada banyak, banyak sekali, hal yang terlintas, mulai dari kondisi kesehatannya sampai dengan hubungan percintaannya. Airin tentunya ingin sekali menjalani hidup yang tenang barang sehari. Namun, apalah daya, Tuhan sangat menyayanginya.

Tok! Tok! Tok!

Airin membangkitkan dirinya agar duduk di atas ranjang. Ia mengernyitkan keningnya. Siapa yang datang berkunjung, pikirnya. Bukankah dr. Tiffany baru saja keluar dari ruangannya beberapa menit yang lalu? Airin tidak mengizinkan siapapun masuk, kecuali tenaga kesehatan yang bertugas untuk memeriksanya.

Klek!

Tak lama setelahnya, pintu itu terbuka. Sepasang manik selegam senja itu membulat kala menangkap sesosok wanita paruh baya yang kecantikannya setara dengan seorang dewi. Airin belum pernah melihat wanita ini sebelumnya, tapi ia berani bertaruh bahwa fitur wajah yang ada pada wanita ini terlihat tidak asing. Seperti Airin pernah melihatnya pada seseorang.

“Permisi,” ucapnya lembut sembari berjalan mendekat ke arah Airin. “Airin, ya?”

“I-Iya,” jawab Airin terbata.

“Perkenalkan, saya Shinta Arumnika, Bundanya Alby,” jelas Shinta seraya tersenyum lembut.

Medengarnya, Airin menganggukkan kepalanya beberapa kali. Ia membalas senyum manis nan menenangkan yang terukir di wajah cantik Shinta. “Oh? Iya, Tante. Saya Airin, temennya Alby,” ujarnya.

“Airin gimana kondisinya, Nak? Perutnya sakit gak?” tanya Shinta ramah.

“Sedikit sih, Tante,” jawab Airin lagi.

“Makannya gimana? Teratur gak?” tanyanya lagi.

“Masih agak mual, Tante. Makanan yang masuk jadi keluar lagi,” jelas gadis cantik itu.

“Oh, gitu. Sudah dijelaskan ke dr. Tiffany apa yang dirasain sama Airin, Nak?” lanjut Shinta.

“Sudah, Tante,” katanya.

Shinta banyak mengajukkan pertanyaan kepada gadis yang duduk di hadapannya. Wajahnya terlihat pucat pasi, namun tetap terlihat cantik. Shinta akhirnya mengetahui alasan mengapa anak tunggalnya itu bisa jatuh cinta pada pandangan pertama kepada gadis cantik ini. Belum lagi, senyum manis nan menenangkan yang terpatri pada wajahnya.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi antara Airin dan Shinta. Wanita paruh baya itu sibuk menelisik seluruh keadaan gadis cantik dambaan sang putra. Ia mengulas senyum pilu kala maniknya menangkap banyak luka sayat yang bersarang di lengan kurus Airin.

“Sakit, ya, Nak?” tanya Shinta tiba-tiba. Sebelah tangannya terulur mengusap punggung tangan Airin yang terbebas dari jarum dan selang infus.

Airin sontak mengangkat pandangan yang sedari hanya tertuju pada kepalan tangannya yang bergerak gelisah. Suara selembut awan itu bertanya tentang kondisinya, lagi. “Enggak kok, Tante. Airin cuma mual aja,” jawabnya sembari tersenyum.

Airin, gadis cantik itu sebisa mungkin menyembunyikan lukanya. Menurutnya, rasa sakit yang ada hanya cukup diketahui oleh Tuhan dan dirinya. Sejak kecil, Airin sudah terlatih untuk mengunci semua emosi negatifnya di dalam hati. Orang lain tidak perlu tahu tentang kesedihannya, termasuk kedua orang tuanya dulu. Emosi yang dirasakannya adalah hal receh.

“Airin kalo perlu apa-apa, kasih tau Tante, ya, Nak,” pinta wanita cantik paruh baya itu.

“Iya, Tante. Makasih banyak. Alby di mana, Tante?” jawab Airin dengan kembali bertanya. Ia hanya basa-basi.

“Ada di luar sama Ayahnya. Tante denger katanya Airin belum mau ketemu sama orang lain, ya?” ucap Shinta.

Mendengarnya, Airin kembali menundukkan pandangannya. “Iya, Tante.” Airin bersuara sepelan mungkin.

“Gak apa-apa, Sayang. Makasih banyak, ya, udah izinin Tante ketemu sama Airin.” Sebelah tangan Shinta kembali bergerak, kali ini mengusap lembut pucuk kepala gadis cantik itu.

Airin, gadis cantik itu menghangat hatinya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Sekarang Airin mengerti mengapa Alby selalu hadir saat semesta bahkan menjauh darinya. Ternyata semua itu diwariskan oleh ibunya sendiri. Jika boleh jujur, Airin merasa memiliki seorang ibu, hanya untuk hari ini.

“Iya, Tante, sama-sama,” balasnya.

“Tante dateng ke sini mau ngasih tau beberapa hal dari dr. Tiffany untuk Airin,” jelas Shinta. “Tante gak mau bohong sama Airin perihal apa yang mau Tante sampein ke Airin, Nak. Kalo Airin gak kuat, Airin nangis aja, ya, Nak. Peluk Tante kalo perlu,” lanjutnya.

Penjelasan singkat nan mencekam yang menusuk ke dalam indera pendengarannya membuat Airin menahan napasnya sejenak. Apa yang telah terjadi pada saat dirinya mengalami tidur panjang selama beberapa hari belakangan ini? Shinta tentunya menyadarinya. Oleh sebab itu, ia kembali mengulas senyum semenenangkan mungkin.

“Airin jangan khawatir, ya. Banyak yang sayang Airin di sini. Ada Tante, Alby, sama temen-temen Airin lainnya yang setia nungguin Airin di depan ruangan. Airin siap, Nak?” tanya wanita cantik itu memastikan.

Sepasang manik selegam senja yang biasanya berbinar indah itu kini terlihat redup. Terlihat jelas bahwa dari tatapannya, Airin menyimpan banyak sekali perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Namun, mau bagaimana pun juga, ia tetap harus menghadapi apa yang sudah menunggunya sejak lama.

“Airin siap, Tante,” ucap Airin.

“Tante jelasin pelan-pelan ke Airin, ya. Airin tau ‘kan kalo di dalem perutnya ada janin?” tanya Shinta.

Airin, gadis cantik itu mengangguk pelan. “Iya, Tante.”

“Tadi dr. Tiffany bilang sama Tante. Sewaktu Airin dibawa ke rumah sakit ini, ‘kan Airin sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri karena pendarahan hebat, ya? Nah, di saat yang bersamaan juga, janin yang ada di dalem perut Airin gak kuat nahan pendarahan hebat yang terjadi sama Airin. Jadi—” Belum sempat Shinta merampungkan eksplanasinya.

Airin menyela. “Airin keguguran, Tante?” tanya gadis cantik itu memastikan.

Shinta mengangguk pelan, “Janin yang ada di perut Airin gak bisa diselamatkan, Nak,” ujarnya pelan.

Mendengarnya, Airin membeku di tempatnya. Pandangannya tiba-tiba saja terasa menghilang. Hatinya seolah tidak menerima informasi yang satu ini. Ternyata, keinginannya yang sempat terlintas di dalam benaknya untuk menghilangkan nyawa dari manusia mungil di dalam perutnya itu benar-benar terwujud. Namun, bukan rasa bahagia yang menghampiri, Airin malah menangis sejadi-jadinya.

Shinta merengkuh gadis ringkih itu ke dalam pelukannya. Shinta tahu betul apa yang sedang dirasakan oleh anak gadis itu sebab dirinya pernah ada di posisi yang sama. Kehilangan memang tidak pernah gagal dalam mendatangkan lirih pada manusia. Meskipun Airin sempat membenci apa yang ada di dalam perutnya, tetapi ia juga tidak ingin kehilangannya.

“Airin yang sabar, ya, Nak. Ada Tante di sini,” kata Shinta menenangkan Airin. “Airin gak apa-apa nangis. Tante bakal temenin Airin.”

“Anak Airin, Tante,” lirih Airin dalam tangisannya.

“Iya, Nak. Itu anaknya Airin. Sekarang, anaknya Airin udah bahagia di surga. Dia gak mau lihat Mamanya terus kesakitan,” tegas Shinta.

Airin tidak pernah mengira bahwa nyawa kecil yang pernah ia anggap sebagai hasil dari rasa benci dan kesalahan itu akan membawa dampak sebesar ini baginya. Penyesalan itu seolah menusuk hatinya sampai ke yang terdalam. Di antara banyak hal menyedihkan yang ada di kepalanya, ada satu hal yang ia sadari. Apakah Farelio mengetahui hal ini? Apakah lelaki tampan itu tahu bahwa anaknya telah meninggalkan dunia ini?

“Maafin Mama, Sayang,” monolog Airin di dalam batinnya.

Setelah melewati rintangan tersulit, yaitu pengawal sewaan sang ayah, akhirnya Farelio sampai di rumah sakit tempat Airin dirawat. Sesampainya di sana, Farelio menghampiri bagian administrasi dan bertanya di mana ruangan sang gadis dirawat. Ia ingin cepat-cepat menghampiri tambatan hatinya.

“Makasih, Sus,” ucap lelaki tampan itu.

Kemudian, Farelio kembali berlarian di sekitar lorong rumah sakit. Tidak jarang, sebab kepalang panik, ia menabrak beberapa orang yang berjalan melewatinya dan dengan sopan ia meminta maaf atas perbuatannya.

Di dalam hatinya, hanya ada Airin, Airin, dan Airin. Persetan dengan ayahnya yang mengetahui hal ini. Entah seperti apalagi hukuman yang akan Kendrick lampiaskan untuknya karena sekarang yang terpenting adalah Farelio dapat bertemu dengan Airin.

“I’m coming for you, Airin,” gumamnya.

Tak lama setelahnya, di ujung lorong, sepasang manik selegam malam ini menangkap dua orang sedang berbincang serius di depan ruang perawatan. Itu Alvino dan Nalandra, sahabat kesayangannya. Melihatnya, simpul senyum itu mulai merekah.

“FAREL?!” pekik Nalandra saat Farelio berhenti di hadapannya dengan napasnya yang tersendat. Ia menumpukkan kedua tangannya pada lututnya.

Tidak hanya Nalandra, Alvino yang terhitung sudah mengetahui kabar ini juga sama terkejutnya. Ia tidak menyangka bahwa sahabatnya itu akan datang secepat ini. Perasaannya campur aduk saat itu, sedih dan senang di saat yang bersamaan.

“Lo gak apa-apa, Rel?” tanya Alvino khawatir. Ia mengusap pelan punggung Farelio.

“I’m okay,” jawab Farelio seraya kembali menegakkan tubuhnya.

“Lo ke sini sama siapa, Rel?” tanya Nalandra penasaran.

“Sendiri. Gua kabur,” singkatnya. “Airin gimana?” tanya lelaki tampan itu.

“Masih belum siuman,” jawab Alvino.

“Airin di dalem sendiri?” tanya Farelio lagi.

“Enggak. Di dalem ada Alby,” jelas Nalandra.

Mendengar ada satu nama tak asing yang tertangkap indera pendengarannya, Farelio menahan napasnya sejenak. Dugaannya selama ini ternyata benar. Dirinya mungkin bukan lagi satu-satunya lelaki yang ada di hati Airin. Posisinya mungkin sudah tergantikan oleh Alby. Tidak ingin berbohong, Farelio cukup tersakiti dengan fakta itu.

“Gua mau ke dalem,” ucap lelaki tampan itu. Baru saja Farelio melangkahkan kakinya mendekat pada pintu ruangan rawat inap, aksinya didahului oleh seseorang.

Cklek!

“Lo ngapain di sini?” tanya Alby sinis.

“Mau nemuin Airin. Makasih udah jagain Airin selama gua pergi. Sekarang lo boleh minggir,” sarkas Farelio.

Dua pasang itu saling bertemu. Bukan lagi mengindikasikan kebencian, keduanya seolah berperang melalui jendela dunia itu. Jika boleh jujur, Alby sangat amat terganggu dengan kedatangan Farelio yang tiba-tiba ini dan mungkin Airin juga merasakan hal yang sama, menurutnya.

Di sisi lain, Farelio kurang lebih merasakan hal yang serupa dengan Alby. Ia tidak suka bahwa di masa kritis gadis cantik tersebut, entah dari mana Farelio kembali menghampirinya. Jika memang ia peduli dengan Airin, tidak seharusnya ia meninggalkan Airin bersama semua rasa sakit itu.

Alvino dan Nalandra yang menyaksikan perang dingin itu hanya dapat bungkam. Keduanya lebih memilih untuk netral dan tidak memihak kepada siapapun. Dalam urusan ini, biarlah Airin yang menentukan pilihannya.

“Airin belom sadar. Mending lo tunggu di luar. Airin gak boleh diganggu,” ujar Alby.

“Gua mau liat Airin,” balas Farelio tidak mau kalah.

“Lo gak denger apa kata gua? Airin lagi gak boleh diganggu,” ulang lelaki manis itu.

Farelio mulai kehilangan kesabarannya. Ia melangkah lebih maju agar wajahnya dapat menatap secara langsung wajah yang menurutnya sudah merusak hubungannya dengan Airin sejak dulu. Melihatnya, Alby tidak gentar. Ia pun melakukan hal yang sama seperti Farelio. Namun, di saat atmosfer yang menyelimuti keduanya semakin mencekam. Seseorang kembali membuka pintu ruang perawatan intensif tersebut.

Cklek!

“Airin?” ucap Alvino dan Nalandra serempak.

“Airin,” ujar Farelio dan Alby bersamaan.

Farelio menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya kasar. Setelah memutuskan untuk kembali pada gadisnya, ia menyegerakan diri untuk menghampiri Airin. Namun, sepasang manik selegam malamnya menangkap adanya stimulus berbahaya yang ada tepat di hadapannya, berupa barisan pria berjas hitam lengkap dengan senjata tajam serta senapan api.

Baru saja lelaki tampan itu melengang keluar dari penjaranya ketika dirinya disambut dengan sekumpulan

Farelio sedikit meregangkan sendi di seluruh tubuhnya sebelum berkata. “Alright. Here we go again,” ujarnya sembari menyiapkan kepalan tangannya untuk menghadiahi beberapa pukulan kepada jejeran lawan di depannya.

Setidaknya, ada tujuh sampai sembilan orang di sana, jika Farelio tidak salah hitung. Sesuai perintah, mereka siaga untuk melaksanakan tugas dari sang atasan, Kendrick. Farelio menatap tajam satu per satu pengawal yang ada di sana demi menjatuhkan mental mereka. Ia tidak akan kalah hari ini, demi Airin.

“Laksanakan, Tuan,” ucap salah satu pria berjas yang berada di paling belakang dekat dengan elevator. Perintah itu berasal dari in-ear yang terpasang di telinga kanannya. “Serang!” pekiknya kemudian.

Mendengarnya, dua orang pengawal yang ada di barisan terdepan mengambil langkah terlebih dahulu. Mereka hendak melayangkan pukulan pada Farelio secara bersamaan, tetapi lelaki tampan itu bergerak lebih cepat. Ia berlari menghampiri dua orang tersebut.

BUAGH!

Tinjuan pertama mendarat pada wajah salah satu dari mereka dan ia pun tumbang sementara. Lalu, dengan cepat, Farelio kembali bergerak. Kali ini lelaki tampan itu menendang tepat di dada pengawal lainnya.

BUAGH!

“Maju!” ucap sang ketua dari mereka lagi.

Setelahnya, empat orang pria bertubuh besar nan kekar kembali menghampiri Farelio. Mereka siap menghadang segala pergerakan anak tunggal dari atasannya yang berpotensi memperlancar aksinya dalam melarikan diri.

“Come on and get me,” sarkas Farelio diiringi dengan gerakan tangan yang seolah-olah memancing mereka untuk menghajar dirinya. Namun, sebelum salah satu dari mereka berhasil menangkapnya, lelaki manis itu menunduk untuk menghindar.

BUAGH! BUAGH!

Farelio meninju lawannya dari arah bawah. Lalu, dirinya bersembunyi di balik tubuh besar itu dan menggunakannya sebagai tameng. Dari belakang sana, Farelio melakukan tendangan tiga kali berturut-turut, dari dada satu ke dada pengawal yang lain. Ketiganya ambruk secara bersamaan.

Sekarang, masih tersisa dua orang lagi yang harus Farelio taklukan. Sebelum memulai perkelahian selanjutnya, Farelio menggulung kemeja yang dikenakannya sebatas siku. Di antara keenam pengawal tadi, yang akan ia hadapi sekarang adalah pengawal dengan tubuh paling besar dan paling kekar.

“Shit!” umpatnya. “Do you guys have PT class every morning? I like your body but let us see who’s gonna win today. I have a beautiful girl to fight for,” lanjut Farelio seraya kembali menyiapkan kepalan tangannya seolah siap meninju.

Berbeda dengan pengawal-pengawal yang sebelumnya, kedua pria bertubuh paling atletis ini melakukan beberapa jurus awalan sebelum memulai pertandingan. Sepertinya, mereka adalah yang terbaik di antara yang terbaik, sang penguasa segala teknik bela diri. Walaupun begitu, tidak membuat Farelio bergidik ngeri.

“Habisi sekarang juga!” teriak pemimpin pengawal tersebut.

Mereka mengeluarkan dua buah benda dari saku celana masing-masing. Farelio dapat mengidentifikasinya dengan jelas, itu jarum suntik yang di dalamnya berisikan obat bius dosis tinggi dan ujung jarum itu siap menghujam setiap titik dari tubuhnya kapan pun.

“Okay, let’s go!” pekik Farelio.

Selanjutnya, kedua pengawal itu berlari menghampiri Farelio. Namun, belum sempat benda tajam itu menyentuh permukaan kulitnya, Farelio menggelincirkan dirinya di atas lantai melalui dua orang pengawal tersebut untuk kemudian dengan cepat berdiri dan meninju keras wajah pengawal utama yang menjadi tangan kanan langsung sang ayah.

BUAGH! BUAGH!

Ini kesempatan emas dan tentunya Farelio tidak ingin menyia-nyiakannya. Pria berjas itu sempat terhuyung dan di saat yang bersamaan dua orang tadi berbalik ke arahnya. Farelio menggunakan tubuh pengawal tersebut untuk melindunginya. Alhasil, kumpulan jarum suntik itu menyerang tepat pada jantung sang ketua pengawal.

“Have a good sleep, Sir,” final Farelio sebelum berlalu pergi. Lelaki tampan itu lebih memilih tangga darurat untuk turun dari sana.

Dengan langkah yang tergesa, Faya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan rumah dengan interior kuno itu. Tidak kumuh, namun tidak terlihat modern juga. Satu hal yang pasti, bangunan tersebut tetap nyaman untuk ditinggali, terutama bagi Gibran. Lelaki tampan itu tersenyum sampai menampilkan deretan giginya. Kedua tangannya terbentang lebar.

“Gibran,” lirih Faya saat dirinya masuk ke dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukn itu.

Gibran, lelaki tampan itu tentunya merasakan hal serupa. “Halo, Faya. Apa kabar?” tanyanya.

“Aku kangen kamu, Gib,” ujar wanita cantik itu seraya mengeratkan pelukannya.

Oleh sebab itu, Gibran tersenyum. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala wanitanya. “Kita ngobrol di dalem aja, ya. Di luar lagi dingin. Aku gak mau alergimu kambuh,” jelasnya.

Keduanya berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu utamanya. Sesampainya di dalam sana, Faya dapat dengan jelas mencium aroma melati dari diffuser yang dipasang Gibran untuknya. Ternyata, selain susu coklat hangat, Gibran masih mengingat kesukaan Faya yang satu ini.

“Harum,” ucap Faya sambil tersenyum manis.

Gibran lebih memilih untuk tidak membalas pernyataan Faya dengan kata-kata. Lelaki tanpan itu hanya menyimpulkan senyum terbaiknya, senyum yang hanya ia berikan untuk Faya. Kemudian, Gibran berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas coklat hangat dan secangkir kopi hitam miliknya.

“Udah gelas keberapa hari ini, Gib?” tanya Faya lembut. Ia menyesap coklat panasnya.

Gibran terlebih dahulu menyedot racikan kopi yang dibuatnya. “Baru ini, Fay,” jawabnya.

“Jangan lupa apa kata dokter, ya, Gib,” ujar Faya lagi.

Gibran terkekeh kecil. Ia letakkan gelas berisi minuman pahit itu di hadapannya untuk kemudian menatap lamat sepasang manik selegam senja yang selalu berbinar terang untuknya.

“Aku gak pernah dengerin apa kata dokter, Fay. Aku dengerin apa kata kamu. Kalo kamu larang aku minum kopi, ya, aku gak akan minum,” enteng lelaki tampan itu. “Selain Bunda, cuma omongan kamu yang aku percaya,” lanjutnya.

Mendengarnya, Faya tertawa remeh. Gibran tidak pernah berubah semenjak empat tahun lalu ia meninggalkannya. Gibran tetap menjadi lelaki tampan dengan senyuman khas serupa kelinci yang selalu mengganggu pikirannya, terutama saat bersama dengan Asrhav.

“Ashrav,” ucap Gibran. “Kalo kamu di sini, dia gimana?” tanyanya ragu.

Ada satu nama yang disebut oleh Gibran, Faya menoleh. Ia tahu, cepat atau lambat, lelaki kesayangannya itu akan bertanya perihal kabar saudara kembarnya. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran.

“Aku gak bisa, Gib. Aku gak bisa sama Ashrav,” jelas Faya.

Wanita cantik itu tidak mampu memandang manik selegam malam favoritnya. Tiba-tiba saja, skenario menyakitkan terlintas di sanubarinya, tentang bagaimana Faya menyakiti Gibran dulu. Perlahan, ia menitihkan air mata.

“Maafin aku, Gib,” lirih wanita cantik itu.

Dengan sigap, Gibran merengkuh wanitanya agar masuk ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Tidak peduli seberapa sakit luka yang ditinggalkan, Gibran akan selalu menyambut kedatangan Faya.

“Jangan sedih, Ay,” ucap Gibran menenangkan.

Akhirnya, panggilan manis itu terucap dari mulutnya. Faya dibuat cukup tenang hatinya kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang tidak asing. Wanita cantik itu berusaha untuk menghentikan tangisannya sebab perasaan yang campur aduk.

Gibran melonggarkan pelukannya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Faya. Lelaki tampan itu banyak melempar senyum pada wanitanya hari ini. Ia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah. Faya kembali padanya.

“Ay,” panggil Gibran. “Aku gak peduli seberapa besar rasa sakit yang kamu sebabkan ke aku, itu gak akan merubah sedikit pun rasa sayang aku ke kamu. Dari pertama kali aku ketemu kamu di kampus, aku udah jatuh cinta sama kamu dan selamanya akan begitu. Aku gak peduli apa kata orang. Aku sayang sama kamu. Kita mulai dari awal, ya.”

Dengan langkah yang tergesa, Faya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan rumah dengan interior kuno itu. Tidak kumuh, namun tidak terlihat modern juga. Satu hal yang pasti, bangunan tersebut tetap nyaman untuk ditinggali, terutama bagi Gibran. Lelaki tampan itu tersenyum sampai menampilkan deretan giginya. Kedua tangannya terbentang lebar.

“Gibran,” lirih Faya saat dirinya masuk ke dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukn itu.

Gibran, lelaki tampan itu tentunya merasakan hal serupa. “Halo, Faya. Apa kabar?” tanyanya.

“Aku kangen kamu, Gib,” ujar wanita cantik itu seraya mengeratkan pelukannya.

Oleh sebab itu, Gibran tersenyum. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala wanitanya. “Kita ngobrol di dalem aja, ya. Di luar lagi dingin. Aku gak mau alergimu kambuh,” jelasnya.

Keduanya berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu utamanya. Sesampainya di dalam sana, Faya dapat dengan jelas mencium aroma melati dari diffuser yang dipasang Gibran untuknya. Ternyata, selain susu coklat hangat, Gibran masih mengingat kesukaan Faya yang satu ini.

“Harum,” ucap Faya sambil tersenyum manis.

Gibran lebih memilih untuk tidak membalas pernyataan Faya dengan kata-kata. Lelaki tanpan itu hanya menyimpulkan senyum terbaiknya, senyum yang hanya ia berikan untuk Faya. Kemudian, Gibran berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas coklat hangat dan secangkir kopi hitam miliknya.

“Udah gelas keberapa hari ini, Gib?” tanya Faya lembut. Ia menyesap coklat panasnya.

Gibran terlebih dahulu menyedot racikan kopi yang dibuatnya. “Baru ini, Fay,” jawabnya.

“Jangan lupa apa kata dokter, ya, Gib,” ujar Faya lagi.

Gibran terkekeh kecil. Ia letakkan gelas berisi minuman pahit itu di hadapannya untuk kemudian menatap lamat sepasang manik selegam senja yang selalu berbinar terang untuknya.

“Aku gak pernah dengerin apa kata dokter, Fay. Aku dengerin apa kata kamu. Kalo kamu larang aku minum kopi, ya, aku gak akan minum,” enteng lelaki tampan itu. “Selain Bunda, cuma omongan kamu yang aku percaya,” lanjutnya.

Mendengarnya, Faya tertawa remeh. Gibran tidak pernah berubah semenjak empat tahun lalu ia meninggalkannya. Gibran tetap menjadi lelaki tampan dengan senyuman khas serupa kelinci yang selalu mengganggu pikirannya, terutama saat bersama dengan Asrhav.

“Ashrav,” ucap Gibran. “Kalo kamu di sini, dia gimana?” tanyanya ragu.

Ada satu nama yang disebut oleh Gibran, Faya menoleh. Ia tahu, cepat atau lambat, lelaki kesayangannya itu akan bertanya perihal kabar saudara kembarnya. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran.

“Aku gak bisa, Gib. Aku gak bisa sama Ashrav,” jelas Faya.

Wanita cantik itu tidak mampu memandang manik selegam malam favoritnya. Tiba-tiba saja, skenario menyakitkan terlintas di sanubarinya, tentang bagaimana Faya menyakiti Gibran dulu. Perlahan, ia menitihkan air mata.

“Maafin aku, Gib,” lirih wanita cantik itu.

Dengan sigap, Gibran merengkuh wanitanya agar masuk ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Tidak peduli seberapa sakit luka yang ditinggalkan, Gibran akan selalu menyambut kedatangan Faya.

“Jangan sedih, Ay,” ucap Gibran menenangkan.

Akhirnya, panggilan manis itu terucap dari mulutnya. Faya dibuat cukup tenang hatinya kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang tidak asing. Wanita cantik itu berusaha untuk menghentikan tangisannya sebab perasaan yang campur aduk.

Gibran melonggarkan pelukannya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Faya. Lelaki tampan itu banyak melempar senyum pada wanitanya hari ini. Ia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah. Faya kembali padanya.

“Ay,” panggil Gibran. “Aku gak peduli seberapa besar rasa sakit yang kamu sebabkan ke aku, itu gak akan merubah sedikit pun rasa sayang aku ke kamu. Dari pertama kali aku ketemu kamu di kampus, aku udah jatuh cinta sama kamu dan selamanya akan begitu. Aku gak peduli apa kata orang. Aku sayang sama kamu. Kita mulai dari awal, ya.”

Selepas mengantar sang sepupu untuk berkunjung ke rumah nenek, tak lupa juga lelaki manis itu meminta izin serta maaf bahwa dirinya tidak dapat ikut berkunjung hari ini, mobil klasik itu berhenti di sebuah toko boneka di samping perempatan jalan. Di dalam sana, tersedia banyak boneka dalam berbagai jenis dan ukuran.

Setelah mengadakan konferensi kecil bersama beberapa sel otak di dalam kepalanya, Alby memutuskan untuk kembali dan sekaligus akan menyatakan cintanya pada gadis cantik yang telah menarik perhatiannya sejak insiden roti coklat di hari pertamanya di sekolah baru, Airin Herning Kamarana.

Sepasang manik itu beredar ke segala sudut rak yang tersusun di sana, mulai dari boneka dalam bentuk bayi manusia sampai hewan lucu ada di sana. Alby ingat betul bahwa gadisnya itu memiliki alergi pada serbuk sari dan sangat menyukai makanan manis. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memberikan Airin sebuah boneka dan beberapa potong kue coklat.

“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya salah satu pegawai dari toko boneka itu ramah.

“Eh, iya, Mbak. Ini saya mau cari boneka buat temen, eh, maksudnya buat calon pacar saya,” jelas Alby sembari terkekeh.

Melihat lelaki manis di hadapannya salah tingkah, pegawai toko tersebut ikut tertawa kecil. “Oh, Kakaknya mau nembak gebetannya, ya?” tanyanya.

“Iya nih, Mba. Doain diterima, ya, Mbak,” guyon Alby. Sepertinya, selain memohon restu dari kedua orang tuanya, meminta doa kepada setiap orang yang ia temui merupakan keharusan bagi Alby.

“Iya, Kak. Saya doain Kakaknya diterima sama gebetannya, ya,” ujar sang pegawai. “Silakan ikut saya, Kak. Saya liatin koleksi boneka yang biasanya dibeli cowok untuk pacarnya,” sambungnya.

Kemudian, keduanya naik ke lantai dua untuk melihat kumpulan boneka beruang berukuran sedang sampai besar dengan berbagai pilihan warna. Setelah hampir 20 menit berdiskusi bersama di antara barisan boneka beruang yang lucu, akhirnya Alby memilih seekor boneka beruang berukuran besar berwarna coklat muda dengan pita berwarna putih sebagai hiasan di lehernya.

“Semuanya jadi 275.000 rupiah, ya, Kak,” ujar pegawai tadi yang sekarang berada di kasir.

Alby menyerahkan uang pecahan seratus ribu sebanyak tiga lembar kepada sang kasir. “Kembaliannya buat Mbak aja, ya,” ucapnya.

“Makasih banyak, ya, Kak. Silakan kembali lagi. Semoga diterima sama gebetannya, ya, Kak,” ucap pegawai tersebut dengan sangat bersemangat.

Setelah selesai, sekarang, waktunya bagi Alby mampir ke toko kue terdekat untuk membeli beberapa potong kue manis kesukaan Airin. Di dalam toko kue tersebut, banyak dijajarkan berbagai macam kue potong, mulai dari strawberry shortcake sampai premium belgian chocolate.

“Saya mau premium belgian chocolate-nya empat potong, ya, Mas,” ucap Alby ramah kepada pegawai yang bertugas.

“Baik, Kak. Semuanya jadi 150.000 ribu rupiah, Kak,” ucap sang pegawai.

Alby kembali menyerahkan pecahan uang seratus ribu sebanyak dua lembar kepada pegawai yang juga merangkap sebagai kasir itu. “Ini, Mas. Kembaliannya buat Mas aja, ya.” Lagi-lagi Alby merelakan uang kembaliannya kepada pegawai yang bertugas di sana.

Bukannya ingin sombong, Alby juga tidak dilimpahkan banyak uang jajan oleh kedua orang tuanya. Namun, menurut ajaran dan kepercayaannya serta orang tuanya, berbagi dengan sesama adalah salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan sebab kita sudah diberi kehidupan yang cukup. Lihat saja, bagaimana lelaki manis itu selalu membawa buah tangan kepada Pak Bagus sang petugas keamanan di unit apartemen Airin.

“Oh? Makasih banyak, ya, Kak. Semoga berkah,” kata pegawai yang ramah itu.

Semua keperluan dan segala persiapan sudah ada pada genggamannya. Selama perjalanan menuju tempat tinggal gadisnya pun, Alby ikut bersenandung pada lagu-lagu romantis dari playlist yang terputar melalui audio di dalam mobilnya, ‘Madam Airin’.

Tak butuh waktu lama bagi mobil klasik itu untuk menyusuri jalanan yang tidak terlalu dipadati oleh pengendara lain. Sesampainya di pekarangan apartemen Airin, Alby memarkirkan mobilnya lalu menghampiri Pak Bagus yang sedang berjaga dari dalam pos.

“Selamat sore, Pak Bagus,” sapa Alby.

“Eh, selamat sore, Nak Alby. Baru keliatan lagi nih, ke mana aja?” tanya Pak Bagus basa-basi.

Alby mengusap tengkuknya. “Iya nih, Pak. Lagi sibuk ujian di sekolah,” elaknya.

“Owalah. Lagi masa ujian di sekolah, ya?” tanyanya lagi.

“Iya, Pak. Ini Alby ada kue buat Bapak,” ujar lelaki manis itu sembari memberikan sekotak kue kepada lelaki paruh baya di depannya.

“Ya ampun, Nak Alby. Makasih banyak, ya. Nak Alby gak pernah lupa sama Bapak, apalagi sama Nak Airin, bawaannya aja banyak begitu,” ucap sang petugas keamanan.

“Iya, Pak, sama-sama. Alby ke tempat Airin dulu, ya, Pak. Mari,” jelas Alby ramah.

Untuk setelahnya, lelaki penuh humor itu mulai berjalan ke dalam gedung apartemen gadisnya lalu menaiki lift. Sebelah tangannya memeluk boneka beruang yang tak kalah besar dengan ukuran tubuhnya dan sebelah tangannya lagi menenteng bungkusan kue coklat.

TING! TONG!

Alby menekan tombol bel pada pintu yang beberapa waktu lalu ia rusak. Tidak ada jawaban yang terdengar. Airin tidak menyahuti panggilannya. Ia merasakan déjà vu, seperti waktu lalu.

TING! TONG!

Kali keduanya masih tidak ada jawaban. Alby mulai gelisah. Ia tidak ingin peristiwa mengenaskan yang pernah terjadi terulang kembali. Tidak, Airin tidak boleh merasakan sakit lagi. Alby sudah berjanji akan menjaga gadisnya, bukan?

TING! TONG!

“Airin,” panggilnya. “Ini gua, Alby,” lanjutnya. “Maafin gua, Rin. Gua mau jelasin banyak hal ke lo. Boleh tolong buka pintunya?”

Hasilnya masih nihil. Alby, pikirannya mulai berkelana ke mana-mana, perasaannya juga mulai cemas. Terbesit rasa bersalah pada hati lelaki manis itu. Benar, memang seharusnya ia tidak meninggalkan Airin sejak itu. Ia tidak pernah tahu apa yang sedang gadisnya coba untuk lalui. Seberapa berat hidup yang tengah disembunyikannya.

“Airin,” panggilnya lagi.

Ini tidak benar. Sesuatu pasti telah terjadi. Apa saja bisa terjadi pada gadisnya. Alby meletakkan boneka beruang yang ada di dalam gendongannya ke atas lantai. Sekotak kue yang ada pada genggamannya juga ia letakkan di sebelah boneka tersebut. Alby menghela napas panjang lalu…

BRAKKK!

Lelaki manis itu mendobrak pintu apartemen gadisnya untuk yang kedua kalinya. Sepasang maniknya langsung mengedar ke segala arah. Airin tidak ada di ruang televisi maupun di dapur. Kemudian, ia berlari ke arah kamar tidur. Di dalam sana, tidak ada siapa-siapa, yang terdengar hanyalah suara tetesan air dari arah kamar mandi.

“Airin!” pekik Alby kala indera penglihatannya menangkap sosok gadis cantik yang tergeletak di sebelah toilet dengan darah segar mengalir dari alat vitalnya serta banyak bungkusan blister obat yang berserakan tak jauh dari sana.

Alby menghampiri Airin lalu memangku tubuhnya. Ia dapat merasakan betapa dinginnya tubuh ringkih itu serta wajah cantik yang mulai memucat. Kedua kalinya, lelaki manis itu menemukan gadis cantik pujaannya dalam keadaan sekarat. Alby menangis sejadi-jadinya.

“Maafin gua, Rin. Gua gak seharusnya ninggalin lo. Gua mohon jangan pergi secepat ini, Rin,” lirih Alby pada tubuh yang ada di dalam dekapannya.

“Akhirnya, ya, By. Lo makan makanan selain soto daging. Lo gak muak apa makan gituan setiap hari?” sindir Hana.

Pada siang menjelang sore hari itu, Alby mengajak sepupunya untuk mampir ke sebuah rumah makan sebelum mereka singgah ke kediaman nenek tercinta. Akhirnya, setelah hampir sepekan menjalani hari layaknya mayat hidup, Alby perlahan mulai kembali seperti biasanya, aneh dan penuh humor receh.

Sebelum menjawab pertanyaan Hana, lelaki manis itu menyesap teh hangat tawar pesanannya. “Enggak dan gua gak akan bisa bosen. Gua punya kenangan indah di rumah makan itu,” jelasnya.

“Ya, pasti sih. Soalnya ‘kan itu rumah makan langganan keluarga kita dari dulu,” ujar Hana sembari kembali menyuap sesendok penuh nasi.

Alby menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Bukan,” katanya. “Selain itu,” sambungnya.

“Apaan?” tanya gadis mungil itu penasaran.

“Gua pernah ke sini sama Airin pas dia lagi ulang tahun buat ajak dia makan malem,” jelas Alby.

Mendengarnya, Hana terdiam di tempatnya. Alat makan yang digenggamnya, jika tidak segera diselamatkan, mungkin akan patah saat itu juga. Perlahan, tatapannya menjadi intens. Ia menolehkan pandangannya pada lelaki manis yang duduk di samping kanannya.

“Airin lagi, By,” dingin Hana.

Alby mengerjapkan maniknya beberapa kali. Ia menghela napas panjang. Dalam beberapa waktu belakangan ini, ada sesuatu hal yang lelaki manis itu sadari. Entah ini hanya perasaannya yang semakin emosional saja atau memang Hana yang merasa tersinggung jika ia membahas apapun yang berkaitan dengan Airin sang dambaan hatinya.

“Gua udah bilang sama Ayah, sama Bunda juga,” ucap Alby.

“Bilang apa?” Suara yang biasanya terdengar seperti anak-anak itu kini berubah menjadi sedatar lantai yang dingin.

“Kalo gua suka sama Airin,” singkatnya.

“Terus apa kata Ayah sama Bunda lo? Lo juga ceritain masalah Airin ke mereka?” Hana terdengar sangat putus asa dan penasaran di saat yang bersamaan.

“Gua cerita semuanya ke Ayah sama Bunda. Mereka bilang semuanya terserah gua karena gak ada siapapun yang paling paham tentang perasaan gua selain diri gua sendiri. Mereka juga bilang, ‘ketika lo memutuskan untuk jatuh cinta sama seseorang berarti lo juga memutuskan untuk jatuh cinta sama semua hal yang ada di dalam dirinya, termasuk kekurangan dan masa lalunya’,” ujar Alby panjang lebar.

“Iya, gua tau, By. Tapi lo kalo jatuh cinta juga harus pake logika, kalo lo cuma ngandelin cinta doang nanti yang ada lo malah makan hati terus,” bantah Hana tidak santai. “Kayak sekarang contohnya,” lanjutnya.

Sejujurnya, Alby cukup terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut sepupunya itu. Tidak banyak dan tidak sedikit juga yang mengetahui bahwa Airin dan Hana berteman baik satu sama lain. Namun, sepertinya yang Alby rasakan saat ini tidak ada relasi semacam itu antara gadis kesukaannya dan sepupunya.

Hana sangat membenci Airin. Alby tidak ingin memiliki prasangka buruk terhadap sepupu yang menjadi teman main dan berbagi cerita sejak kecil itu, tetapi ia juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa Hana sangat kontra dengan hubungannya bersama Airin.

“Bohong kalo gua bilang gua gak kepikiran sama masalah Airin yang mungkin ada hubungannya sama rumor yang pernah di-posting sama admin di Neofess, Cil, karena semua bukti yang ada mengarah ke Airin,” ucap lelaki manis itu.

“Itu lo tau,” jawab Hana.

“Tapi pas beberapa hari ini gua ngehindar dari Airin… rasanya sakit, Cil. Gua deket sama Airin rasanya sakit, tapi jauh dari Airin rasanya jauh lebih sakit. Gua gak tau dia pernah ngapain aja sama cowoknya yang dulu, si Karel Karel itu, tapi itu ‘kan masa lalu dia, Cil. Ya, masa lalu dia biarin jadi masa lalu dia sama orang lain. Tugas gua sama Airin cuma mikirin masa sekarang dan kalo bisa masa depan juga kalo kita masih bareng-bareng.”

Terdapat keseriusan di setiap kata yang diucapkan oleh Alby. Eksplanasinya perihal perasaannya terhadap Airin yang beberapa hari ini seolah mengambang mampu membuat Hana membeku saat itu juga. Bagaimana lelaki manis itu benar-benar jatuh pada perasaannya bersama Airin dan mungkin gadis cantik itu merasakan hal yang serupa.

Selepas perbincangan serius tentang perasaan Alby terhadap Airin, tidak ada percakapan signifikan lagi antara lelaki manis itu dengan sepupunya. Entah Hana merasa tersinggung atau apapun itu, Alby juga tidak tahu. Keduanya tenggelam dalam pikiran terdalam masing-masing.

Di hadapan meja makan kayu yang di atasnya dipenuhi dengan piring makan kosong beserta alat makan yang kotor setelah digunakan menjadi saksi bisu bahwa hari itu adalah hari di mana Alby memutuskan untuk kembali pada Airin, dimulai dari perasaannya.

Hana, gadis mungil itu sibuk mengadu-aduk es teh tawar pesanannya menggunakan sedotan sembari menatap kosong ke arah depan. Alby, lelaki manis itu bukannya tidak menyadari, hanya saja ia kurang setuju dengan opini sepupunya kali ini. Tentunya, Alby berharap semoga momen ini tidak merusak tali persaudaraan yang sudah terjalin cukup lama di antara mereka.

“Cil,” panggil Alby.

Hana yang dipanggil namanya hanya berdehem kecil tanpa memalingkan pandangannya pada sumber suara. Hari itu, sang sepupu kesayangannya sukses menghancurkan suasana hatinya. Bukan hanya perihal Alby yang kembali pada Airin, tetapi juga sebab beberapa hal lain yang selama ini ia sembunyikan sendiri.

“Hana,” panggilnya lagi.

“Apa, By?” balas Hana malas.

“Lo jangan marah dong,” ucap Alby sembari mengusap sebelah bahu Hana.

“Gua gak marah, By,” jawab Hana. “Gua mana bisa marah sama lo,” ujarnya. Akhirnya, gadis mungil itu mau menatap sepupunya yang penuh humor itu.

Mendengarnya, Alby tersenyum manis. Sepasang manik minimalis itu hilang seketika simpulnya terbentuk. “Makasih, ya, Cil. Cuma lo yang selalu ada buat gua,” lanjutnya sembari mengusap pelan pucuk kepala Hana.

Walaupun kata-katanya begitu manis, namun tidak ada satupun respon yang Hana tunjukkan. Berbeda dengan gadis mungil itu, Alby bagaikan hidup kembali hari ini. Bagaimana perasaan dan pikiran yang beberapa waktu belakangan ini menggantung seolah terpecahkan satu per satu. Keduanya terlihat sangat kontras. Alby dengan perasaan yang kembali berbunga-bunga dan Hana dengan perasaannya yang muram nan kelam.

“Cil, sorry banget nih. Kayaknya gua gak bisa nemenin lo di rumah Nenek hari ini,” sela Alby.

Hana melirik sepupunya itu tajam. “Mau kemana lo? Ke tempat Airin?” tanyanya.

Alby menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan semangat sampai rambut yang menutupi keningnya ikut memantul. “Iya. Lo mau ikut?” tawarnya.

“Enggak,” tolak gadis mungil itu. “Gua ke rumah Nenek aja. ‘Kan gua udah janji sama Nenek,” lanjutnya.

“Jangan marah sama gua, ya, Cil. Besok gua traktir bakso aci deh,” ujar Alby.

“Gak suka bakso aci,” tolak Hana lagi.

“Yaudah. Kalo gitu gua traktir apa aja yang lo mau deh, mumpung gua lagi seneng banget,” ucap lelaki manis itu.

“Iya, terserah lo. Udah ah, cepetan, anterin gua ke rumah Nenek,” rengek Hana.

“Yaudah, ayo, Anak Kecil. Kita ke rumah Nenek, ya. Jangan menyerah ngedeketin Nenek walaupun cucu kesayangannya tetep gua,” ledek Alby seraya menarik sebelah tangan Hana untuk keluar dari rumah makan itu.