“Ran.” panggil Haksara lembut.
“Iya, Chan,” balas Ranindya tak kalah lembut.
“Sini, deketan dong,” ucap lelaki manis itu.
Di dalam bagasi mobil van, pada hari menuju tengah malam saat itu, Ranindya dan Haksara mengistirahatkan diri mereka di balik selimut tebal yang melindungi tubuh masing-masing. Haksara menarik kekasihnya agar masuk ke dalam pelukannya. Melihat tingkah lucu kekasihnya itu, Ranindya hanya dapat terkekeh.
“Kamu kenapa sih, Chan? Kayaknya manja banget hari ini,” jelas Ranindya.
“Ya, gak kenapa-kenapa sih. Cuma pengen manja aja sama kamu,” jawab Haksara.
Setelahnya, lelaki manis itu kembali melanjutkan aksinya. Kali ini, ia mengusakkan wajahnya di antara sepasang gunung sintal kesukaannya. Selagi bermain di sana, Haksara menghirup dalam-dalam harum pada tubuh gadisnya, wangi bunga lily yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh gadis cantik itu sukses membuat Haksara dimabuk kepayang.
“Ih, Chan! Geli tau,” protes Ranindya.
“Diem, Ran. Aku lagi fokus,” sergah Haksara. Kemudian, ia kembali melanjutkan aktivitasnya yang sedang terhenti.
“Geli, Chandra,” keluh gadis cantik lagi.
Akhirnya, dengan sedikit paksaan, Haksara menghentikan kegiatannya. Ia menatap lamat wajah cantik yang kini berada sedikit lebih tinggi darinya untuk kemudian tersenyum manis. Entah mengapa, hari ini Haksara sedang ingin bermanja-manja lebih intens dengan kekasihnya. Sedikit banyak, Ranindya peka akan hal itu.
“Kamu gak mau kasih aku hadiah lain, Chan?” tanya Ranindya menggoda.
Mendengarnya, Haksara mengernyitkan keningnya. “Hadiah? Kamu pengen yang lain lagi?” ucapnya sedikit terkejut.
Ranindya tertawa puas saat melihat lelaki kesayangannya itu kalang kabut. Padahal, bukan di hari ulang tahun pun, Ranindya sering kali mendapatkan hadiah itu dari Haksara. “Iya, aku pengen yang lain lagi,” jelasnya.
Sepasang manik selegam malam itu semakin membelalak. “Kamu pengen apa? Ayo kita cari mumpung tokonya masih buka,” ujar Haksara.
Haksara baru saja akan bangkit dari posisi berbaringnya bersama sang kekasih kala Ranindya menarik tubuh kekar itu untuk kembali mendarat di sampingnya. Selanjutnya, dengan sigap, gadis cantik itu melumat bibir Haksara. Sejenak, Haksara membeku di tempatnya. Kecupan gadisnya terasa sangat menggoda. Setelah sempat bergeming, Haksara mulai mengikuti permainan Ranindya.
“Mphhh,” lenguh Ranindya tertahan.
Ciuman yang terjadi di antara keduanya kian memanas. Sepertinya, mereka melanjutkan acara pertukaran saliva yang sempat tertunda tadi. Lihat saja, bagaimana tangan besar itu bergerak menjangkau bagian tubuh gadisnya yang dapat ia jamah. Tidak ingin kalah, Ranindya juga melakukan hal serupa.
Kemudian, Ranindya mengubah posisinya bersama Haksara. Jika tadi Haksara yang berada di atasnya, memimpin permainan, sekarang gadis cantik itulah yang duduk di atas Haksara. Permainan kembali berlanjut dengan cukup lama. Paling tidak, sampai keduanya merasa pasokan oksigen yang ada di paru-paru mereka mulai menipis.
“Ini apa maksudnya?” tanya Haksara sembari menaikkan sebelah alisnya.
Ranindya menumpukkan kedua lengannya di samping kanan dari kiri tubuh sang kekasih. Ia memangkas jaraknya dengan Haksara. “Gak ada maksud apa-apa,” bisiknya.
“Kamu jangan mancing, Ran. Aku bisa gila kalo kamu kayak gini terus,” jelas Haksara.
Mendengarnya, Ranindya menyeringai puas karena sebenarnya memang hal inilah yang ia inginkan. Haksara yang menjadi tidak waras selama bermain intim dengannya adalah hadiah yang diharapkan gadis cantik itu. Kali ini, satu dari dua tangan Ranindya bergerak mengusap seluruh tubuh kekar yang ada di bawahnya.
Bukan tanpa alasan tertentu, Ranindya sengaja melakukannya agra gairah sang kekasih semakin meningkat. Lihat saja, bagaimana tangan gadis itu menari di seluruh titik rangsang yang Haksara miliki, mulai dari tengkuk, leher, telinga bagian belakang, dan berakhir pada kejantannya.
“Nghh, ahh, Ran,” desah lelaki manis itu.
“Kasih aku hadiah dong, Chan,” ucap Ranindya menggoda. Tangannya masih aktif menggoda kepemilikan kekasihnya yang sudah mulai sesak di balik celana denim itu.
Tidak ingin bersabar lebih lama lagi, Haksara memutar balik keadaan. Dengan cepat, lelaki manis itu membalikkan posisinya dengan Ranindya. Akhirnya, lelaki manis itu kembali pada posisinya semula, di atas sang kekasih sembari mengungkungnya. Ranindya dapat melihat sorot dari sepasang manik selegam malam kesukaannya, Haksara sangat lapar akan tubuhnya.
“Kamu mau hadiah, Ran?” tanya Haksara menggoda.
Ranindya tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Ayo, kasih aku hadiah,” ucapnya tidak kalah menggoda.
Haksara menyeringai seram. “Jangan nyesel, ya,” bisiknya pada sebelah telinga gadisnya. “Bakal banyak kejutan,” lanjutnya.
Ranindya menelan ludahnya dengan susah payah kala bariton itu menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Tentunya, Haksara tidak pernah ingkar dengan kata-kata. Mengingat ada kata ‘kejutan’ yang sempat disinggung lelaki manis kesayangannya itu, tiba-tiba saja aliran darahnya berdesir cepat.
Haksara memulai permainan yang seharusnya. Ia mengecup belahan ranum manis gadisnya dengan ganas. Haksara melengangkan lidahnya agar masuk ke dalam mulut Ranindya untuk mengabsen setiap deretan giginya. Malam itu, Haksara benar-benar dibakar api gairah yang bukan lain dipicu oleh Ranindya sendiri.
“Mphhh,” lenguh Ranindya saat merasakan ciuman itu semakin menuntut.
Tidak sampai di situ saja, sekarang tangan kekar itu bergerilya di daerah yang bisa ia jamah. Kini giliran lelaki manis itu untuk menghidupkan setiap titik rangsang yang ada di tubuh ramping gadisnya. Ternyata, umpan yang dilempar oleh Ranindya berhasil dilahap oleh Haksara. Alhasil, ia mendapatkan hadiah panas ini sebagai ganjarannya.
“Ahhh,” desah gadis cantik itu.
Haksara menjilat daun telinga kekasihnya dan hanya dengan gerakan sederhana seperti itu mampu membuat Ranindya dibakar api gairah. Perlahan, jilatan itu turun ke arah leher dan sedikit ruang pada dada kekasihnya yang terekspos. Selagi menikmati setiap inci kulit gadisnya, tangan Haksara bergerak membuka satu per satu kancing cardigan berwarna dusty pink yang Ranindya kenakan.
“Nghhh, Chan,” lirih Ranindya saat Haksara meremas sepasang buah dadanya yang masih dibalut dengan bra berwarna broken white.
“Enak, Ran?” goda Haksara.
Ranindya, yang ditanya seperti itu tidak lagi bisa menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali seraya tangannya meremat kencang kain yang melapisi tempat tidurnya. Meskipun begitu, Ranindya tidak menyesal. Ia sangat menikmati semua kesenangan ini.
Berikutnya, Haksara melepaskan pengait bra yang melindungi payudara kekasihnya. Ia begitu terkesima dengan puting yang berwarna kecoklatan itu mencuat sempurna. Dengan ide gila yang terlintas di otaknya, lelaki manis itu kembali meraih kue ulang tahun milik kekasihnya untuk kemudian hiasan whipped cream yang ada di sana ia oleskan pada ujung puting payudara gadisnya.
“Ah, sial, Chandra!” umpat Ranindya.
“Kamu keliatan manis banget, Ran. Aku cobain, ya,” ucap Haksara sensual.
“Ahhh, Chan,” lirih gadis cantik itu saat Haksara menjilat kedua putingnya.
Ranindya, gadis cantik itu lagi-lagi dibawa terbang menembus langit hitam yang dipenuhi bintang saat Haksara melecehkan sepasang buah dadanya. Haksara, lelaki manis itu seolah bayi yang merindukan susu ibunya. la tidak berhenti menjilat, melumat, lalu sesekali menggigit gunung sintal kesukaannya.
Setelah selesai dengan dua buah benda lembut itu, Haksara ingin mencoba bagian lain dari tubuh kekasihnya. Lagi, ia melumuri perut rata gadi kesayangannya dengan krim kocok dari kue ulang tahun yang ia beli tadi sore di bakery terdekat. Haksara kembali menggoda Ranindya dengan mengusap perut bagian bawah sang gadis lalu menekannya pelan.
“Nghhh, Chan, ahh,” lenguh Ranindya. Sepasang manik selegam senjanya tertutup erat seraya kepalanya menengadah ke arah atas.
“Suka, Ran?” tanya Haksara.
Ranindya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia merasakan nikmat setara surga dunia. Haksara benar-benar berpegang teguh pada prinsip, yaitu untuk memuaskan pasangannya. Haksara memiliki kecenderungan untuk memberikan lawan mainnya kenikmatan yang tiada tara agar dirinya juga merasakan nikmat yang sama.
Dengan begitu, Haksara kembali bermain dengan Ranindya. Permukaan kulit seputih susu yang ditutupi lapisan whipped cream itu kini dipenuhi dengan tanda khas kenikmatan berwarna ungu kehitaman. Haksara meninggalkan jejak kekuasaannya di sana. Ia terus bersemangat sebab kekasih cantik yang terus mengelukan namanya.
“Ahhh, Chan, mphh, enakhhh,” racau Ranindya.
Saat namanya disandingkan dengan desahan ala kenikmatan, Haksara semakin dibuat menggila. Kini, tangannya bergerak melepas rok berbahan tartan berwarna serupa dengan cardigan yang sudah melayang entah ke mana. Haksara tersenyum lebar saat sepasang manik selegam malamnya menangkap celana dalam berwarna broken white itu dipenuhi bercak lembap dari cairan yang dihasilkan gadisnya.
“Udah basah, ya?” tanya Haksara seraya menaikkan sebelah alisnya lagi.
Lalu, Haksara membuka satu per satu kancing baju kemejanya setelah sebelumnya melepas vest yang melindunginya tubuh kekarnya. Namun, sebelum lelaki manis itu rampung dengan kegiatannya, Ranindya menginterupsi. “Aku aja yang buka, Chan. Boleh gak?” tanyanya lembut.
Tidak menjawab secara lisan, lelaki manis itu mendekatkan tubuhnya ke arah Ranindya. Ia menahan beban tubuhnya dengan kedua lengan kekarnya yang menumpu di sisi sebelah kanan dan kiri tubuh sang kekasih. Selama proses pelepasan pakaian milik lelaki tercintanya, Ranindya menatap manik dengan binar indah kesukaannya.
“Chandra ganteng banget hari ini,” puji Ranindya setelah selesai dengan aktivitasnya.
Mendengarnya, Haksara tersipu malu. Ia membuang pandangannya ke sembarang arah, ke mana saja yang penting tidak melihat langsung netra indah gadisnya. Haksara tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Hanya dengan sanjungan singkat seperti itu mampu membuat jantungnya berdegup lima puluh kali lebih kencang.
“Lucu banget pacar aku,” ujar gadis cantik itu sembari mengusap rangka tegas yang ada di atasnya.
Kemudian, Ranindya mengalungkan sepasang lengannya pada bahu tegap di hadapannya. Ia memberi isyarat kepada kekasihnya agar melanjutkan lagi permainan intimnya. Dengan begitu, Haksara kembali mencium gadis cantik kesayangannya. Namun, kali ini sedikit berbeda sebab tangan kirinya bergerak aktif mengusap kewanitaan kekasihnya yang sudah lembap.
“Nghhh,” desah Ranindya tertahan kala jari-jari nakal itu sekarang menelusup masuk ke dalam miliknya.
Haksara, dengan gerakan tiba-tiba, melesatkan dua jarinya ke dalam kemaluan Ranindya. Di dalam sana, jari telunjuk dan jari tengah itu bergerak aktif, mulai dari menekan lubang vagina sampai memutari klitorisnya. Tubuh gadis cantik itu tidak bisa diam di tempat selama Haksara melecehkannya.
Haksara merasa keintiman kekasihnya semakin menghasilkan cairan pelumas. Oleh sebab itu, ia mempercepat tempo adukannya. Merasa pergerakannya sedikit terhambat, lelaki manis itu meluruhkan kain terakhir yang menempel pada tubuh gadisnya. Dengan begitu, Haksara kembali bermain dengan lubang surgawi favoritnya.
Ritme yang tidak beraturan, tusukan dan gerakan memutar yang memuaskan miliknya, serta ciuman yang terasa mengganas sukses membuat Ranindya akan menjemput pelepasannya sebentar. Sejenak, ia menyudahi ciumannya bersama Haksara. “Nghh, Chan, kayaknya aku, ahhh, pengen, mphh, keluar,” jelas Ranindya susah payah.
Mendengar gadisnya akan mencapai titik ternikmatnya dalam waktu dekat, Haksara menghentikan aktivitasnya. “Aku masukin, ya, Cantik?” tanya lelaki manis itu lembut.
Dengan senyum secerah mentari pagi, Ranindya menganggukkan kepalanya. “Iya, Chan,” jawabnya tak kalah lembut.
Di detik berikutnya, yang terjadi adalah lelaki tampan itu melepas celana denimnya untuk kemudian melakukan hal yang sama dengan celana dalamnya. Manik sepasang senja itu membulat sempurna saat apa yang menjadi milik kekasihnya itu menegang sempurna.
“Kalo sakit bilang, ya, Sayang,” kata Haksara sebelum mulai menggempur kekasihnya.
Perlahan, lelaki manis itu melengangkan penisnya untuk masuk ke dalam lubang kecil yang penuh kenikmatan itu. Ranindya menahan napasnya kala merasakan sesuatu yang besar akan menghantam dirinya. Haksara paham betul bahwa gadisnya selalu merasa gugup jika berkaitan dengan hal itu.
Ditangkupnya dagu mungil itu lalu ditatapnya netra dengan kilau bintang terindah di langit. Haksara tersenyum selembut mungkin sembari melanjutkan kegiatannya di bawah sana. Ranindya yang ditatap begitu seolah tersihir. Tidak ada lagi rasa ragu apalagi takut yang bersarang di hatinya.
“Kalo sakit bilang, ya, Ranie. Aku gak bakal lanjutin kalo kamu gak mau,” jelas Haksara tanpa memudarkan senyumnya.
Dengan cepat, Ranindya menggeleng. “Jangan, Chan, lanjutin aja,” ujarnya. “Tapi pelan-pelan, ya,” lanjut gadis cantik itu.
“Iya, Cantik. Aku pelan-pelan, ya,” balas Haksara.
Permainan yang hampir memasuki acara inti itu berlanjut. Tanpa terasa, penis terbesar yang pernah Ranindya lihat itu sudah masuk sempurna ke dalam vaginanya. Haksara menggerakannya dengan sangat pelan, namun kenikmatan yang terasa menggitu menggelegar.
“Ahhh.”
“Akhh.”
Lenguh keduanya bersamaan. Di dalam bagasi van, di mana hari sudah melewati tengah malam dan kini menuju awalnya pagi, sepasang kekasih itu berbagi nikmat dari tubuh masing-masing. Walaupun di luar sana, dingin terasa menusuk, tetapi tidak di dalam mobil berukuran cukup besar itu sebab permainan panas nan intim sedang berlangsung.
“Aku cepetin, boleh, Ran?” tanya Haksara untuk memastikan agar gadis cantik kesayangannya itu setuju dengan pendapatnya.
Ranindya hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak lagi bisa menjawab pertanyaan yang satu itu sebab rasa nikmat yang menguasainya. Perlahan, Haksara meningkatkan tempo gempurannya. Serupa dengan sang kekasih, Ranindya merasa permainan ini kian terasa menggila. Keduanya, Ranindya dan Haksa, sama-sama menengadahkan kepala mereka ke arah langit-langit.
Ranindya, gadis cantik itu ingin meminta lebih sehingga mengomando Haksara untuk mempercepat gerakannya. “Nghh, Chan, cepetih lagihhh,” pintanya.
Diberi perintah begitu, Haksara kembali menaikkan kecepatan hantamannya. Ranindya sangat suka bagaimana kepala penis kekasihnya menabrak dengan brutal titik manisnya. Lihat saja, bagaimana titik ternikmatnya yang sempat tertunda, kini kembali. Ranindya akan segera menjemput pelepasannya, lagi.
“Chan, ahhh, aku mau, ahh, keluarhh,” jelas Ranindya tertatih.
“Aku juga, Ran,” jawab lelaki manis itu singkat.
Alhasil, Haksara mengerahkan seluruh kekuatan yang ada dalam dirinya untuk menyerang kekasihnya. Keduanya tidak peduli dengan kemungkinan ada saksi mata yang melihat perbuatan kotor yang mereka lakukan di dalam mobil van ini, baik Ranindya maupun Haksara, terlalu sibuk untuk menikmati rasa yang ada dengan maksimal.
“Mphh, aku gak, nghh, kuat, Chan,” ucap Ranindya.
“Sebentar lagi, Ran,” ujar Haksara masih dengan kerja kerasnya.
Ranindya memejamkan maniknya erat kala merasa hal itu akan meledak di dalam dirinya sebentar lagi. Ia berharap Haksara akan datang bersamaan dengannya. Ranindya tidak kuat lagi menahan titik ternikmatnya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya untuk menetralisirnya untuk kemudian memeluk tubuh kekar Haksara dengan erat. Sepersekian detik kemudian, Haksara mengeluarkan kepemilikannya dari bagian selatan gadisnya.
“Ahh!”
“Akh!”
Keduanya benar-benar menjemput pelepasannya secara berbarengan. Tubuh mungil yang telanjang itu dipenuhi dengan sperma hangat. Napas mereka saling memburu. Tubuh mereka juga dibanjiri keringat. Haksara tumbang di atas Ranindya. Tangan mungil itu bergerak mengusap pucuk yang ada di atas dadanya dengan lembut.
“Hadiahnya enak, Chan,” ucap Ranindya membuka percakapan.
Mendengarnya, Haksara tertawa dan diikuti oleh Ranindya. “Enak, ya?” tanyanya. “Lain kali, kalo mau kado begini, bilang, ya, Ran,” sambungnya.
Berikutnya, Haksara kembali bergerak. Lelaki manis itu berpindah posisi menjadi di samping sang gadis. Ia menyampirkan selimut tebal untuk menutupi tubuh mereka yang polos. Haksara menarik Ranindya agar masuk ke dalam dekapannya, lagi. Tangannya bergerak mengelus pucuk lalu punggung sempit itu secara bergantian.
“Selamat ulang tahun, ya, Kesayangannya Chandra,” ujar Haksara yang lagi-lagi mengucapkan selamat ulang tahun kepada kekasihnya.
“Ini udah lewat tengah malem, Chan, ulang tahun aku udah selesai,” jelas Ranindya.
“Gak apa-apa. Aku mau tiap hari kamu ulang tahun. Biar kamu tiap hari minta kado kayak gini,” guyon lelaki manis itu.
“Ih, Chandra!” pekik Ranindya seraya memukul keras dada bidang di depannya.
“Aku bercanda, Ranie. Ya, tapi kalo gak bercanda juga gak apa-apa,” tambahnya lagi.
Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Sepertinya, mereka terhanyut dengan atmosfer masing-masing. Tangan kekar lelaki manis itu masih bergerak mengusap bagian tubuh kekasihnya sementar gadis cantik itu tidak mau melepaskan pelukannya dari lelaki kesayangannya. Ya, paling tidak, sampai Ranindya kembali berucap.
“Makasih, ya, Chan,” kata gadis cantik itu. “Makasih udah bikin aku jadi perempuan paling bahagia di dunia ini,” lanjutnya.
“Iya, Sayang, sama-sama,” balas Haksara lembut. “Kamu anugerah terindah yang pernah aku terima dari Tuhan,” tambahnya.
“Janji kayak gini terus sama aku, ya, Chan?” ucap Ranindya meyakinkan sang kekasih.
“Iya, Cantik, kita kayak gini terus bareng-bareng, ya,” jawabnya. “Sayang kamu banyak-banyak, Ranindya,” final Haksara.