reasoning (1)
Perlahan, sepasang lengan kekar itu menggenggam gagang dari kursi roda yang diduduki oleh gadisnya. Setelah menjemput Airin dari kamar inapnya, Farelio membawa gadis cantik itu untuk menghirup udara segar di taman rumah sakit yang berada tak jauh dari sana. Sesuai janji yang telah dibuat, keduanya akan berbicara empat mata, tentang kelanjutan dari hubungan mereka.
“You sure you okay, Rin? You look so pale,” ujar Farelio sesaat setelah mendudukan dirinya di salah satu bangku panjang yang ada di taman itu. Ia memposisikan dirinya sejajar dengan sang gadis.
“I’m okay, Farel,” balas Airin sembari tersenyum.
“It’s been a while, Airin. I really miss you,” ucap Farelio seraya meraih sebelah tangan Airin untuk ia usap lembut lalu mengecupnya.
“I miss you too, Farelio,” kata Airin lembut.
Melihatnya, hati Airin menghangat. Sudah lama sekali sejak lelaki kesayangannya itu memanjakan dirinya seperti ini. Setelah kepergiannya, Airin sempat hilang arah. Ada ruang di hatinya yang terasa hampa. Ketidakhadiran Farelio membawa dampak yang cukup besar pada kesehariannya.
Dalam waktu yang lama, keduanya saling bertukar tatap melalui manik masing-masing seolah melepaskan kerinduan yang sempat tertahan dan membuncah. Baik Farelio maupun Airin menyadari bahwa mereka memang saling mencintai satu sama lain. Farelio memilik peran di dalam hidup gadisnya dan Airin memiliki peran di dalam hidup lelakinya.
“My beautiful beautiful Airin,” ujar Farelio tiba-tiba seraya tersenyum manis.
Hanya dengan seberkas sanjungan yang dilontarkan lelaki kesayangan mampu membuat Airin tersipu malu. Ia menundukkan kepalanya menghadap tanah berumput sembari menahan senyum. Farelio, lelaki tampan itu selalu saja berhasil membuatnya menjadi gadis paling bahagia di dunia, meskipun hanya sesaat.
“Kamu bilang tadi aku pucet banget, kenapa tiba-tiba jadi cantik?” tanya Airin.
“Ya, karena kamu Airin. Kamu pasti cantik mau gimana pun keadaan kamu,” jelas Farelio.
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi. Mereka berdua, Farelio dan Airin, terhanyut dalam atmosfer yang menyelimuti. Ditemani oleh sinar mentari pagi serta angin sepoi yang berhembus pelan, keduanya seolah membuka lembaran baru. Tetapi, jika boleh jujur, bukan itu tujuan Airin untuk menemui dengan Farelio.
“Farelio, i have to tell you something,” ucap Airin memecah keheningan.
“Go ahead, Airin. I’m listening,” balas Farelio.
“Let’s stop,” singkat gadis cantik itu.
Mendengarnya, simpul senyum yang terpatri pada wajah tampan Farelio perlahan memudar. Ia ingin menyangkal, namun indera pendengarannya menangkap sangat jelas apa yang dikatakan Airin barusan. “What do you mean by stop, Airin?” tanyanya memastikan.
Sebelum menjawab pertanyaan Farelio, gadis cantik itu menengadahkan kepalanya ke arah langit biru yang membentang luas di atasnya. Kala itu, awan berjalan sangat pelan seolah menunggu keputusan yang akhirnya Airin berani untuk bicarakan dengan lelaki kesayangannya. Kemudian, ia kembali memusatkan atensinya pada lelaki tampan di sebelahnya.
“Kamu tau aku hamil ‘kan, Rel?” balas Airin dengan kembali bertanya.
“Ya, of course. I know that you’re pregnant. That’s why I’m here. Our baby, right?” jelas Farelio.
Airin menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya, bayi kita,” katanya. “Tapi sekarang bayi itu udah bahagia di surga, Rel. Dia bantu aku biar aku gak ngerasain sakit lagi,” lanjut Airin.
Farelio, lelaki tampan itu hampir tidak mempercayai penjelasan yang keluar dari mulut gadisnya. Apakah itu artinya…
“Aku keguguran, Rel,” tambahnya lagi.
Hanya dengan kalimat singkat yang diucapkan Airin, Farelio sukses dibuat mematung di tempatnya. Maniknya menatap kosong ke arah sang gadis. Indera penglihatannya dapat menangkap dengan jelas bagaimana senyum yang tersimpul di wajah gadisnya sebenarnya menyembunyikan rasa sakit dan sedih yang teramat dalam.
“Airin, aku minta maaf,” kata Farelio. “Aku—” Belum sempat lelaki tampan itu merampungkan kalimatnya, Airin kembali bersuara.
“Jangan minta maaf, Rel. Ini bukan sepenuhnya salah kamu,” jelasnya.
“Maaf, Rin, aku bener-bener gak tau,” tambah Farelio. Sepasang manik selegam malam itu mulai berkaca-kaca
Sebelah tangan Airin bergerak menangkup tangan yang lebih besar. Diusapnya punggung tangan yang dipenuhi dengan guratan rasa lelah itu. Farelio jauh lebih terkejut dibanding dirinya. Apakah lelaki tampan itu benar-benar merasa kehilangan? Airin tidak tahu pasti, tetapi Farelio sama sedihnya dengannya.
“Iya, gak apa-apa, Farelio. Dia belum siap ketemu sama kita,” ujar Airin menenangkan.
Di detik selanjutnya, Farelio merengkuh erat gadis cantik kesayangannya yang beberapa waktu terakhir ini telah melewati masa-masa paling menyakitkan di dalam hidupnya dan ditambah dirinya tidak pernah ada di sisinya saat masalah menghampiri. Farelio sangat menyesal akan hal itu.
“Be strong, Farelio. Kamu gak inget dulu kamu yang gak pengen dia ada di antara kita?” sarkas gadis cantik itu.
Farelio melepas pelukannya. “No, I’m not, Airin. Aku dikuasai amarah waktu itu. Kamu tau aku pengen banget dia hadir di antara kita. Aku pengen kita ulang semuanya dari awal, Rin,” ujarnya.
Mendengarnya, Airin tersenyum pilu. “Gak ada yang perlu kita ulang dari awal, Rel. Like I’ve said before, we have to stop,” ucapnya.
“You… don’t love me anymore, Airin?” tanya Farelio ragu-ragu.
Airin menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Aku bukannya udah gak sayang lagi sama kamu, Farelio, tapi kita udah gak bisa sama-sama. Kalo dipaksa untuk lanjut, kita kayak menggenggam setangkai bunga mawar di tangan kita. Kita suka banget sama bunga mawar, tapi semakin kita menggenggamnya semakin kita akan merasa sakit,” jelas gadis cantik itu.
“I don’t want to lose you, Airin,” lirih Farelio.
“Kamu gak kehilangan aku, Farel. Aku cuma gak bisa ada lagi di samping kamu, nemenin hari-hari kamu, jadi tempat pelampiasan kalo kamu lagi marah, itu aja,” tegas Airin.
“Aku cuma ngasih luka aja ke kamu, ya, Rin” kata lelaki tampan itu.
Mendengarnya, Farelio baru sadar sepenuhnya ternyata selama ini yang ia berikan pada Airin hanyalah rasa sakit. Farelio bukannya tidak menyadari hal itu, hanya saja dirinya menganggap caranya mencintai merupakan suatu hal yang unik tanpa memperhatikan bahwa keunikannya itu banyak memberi luka pada gadisnya.
“Kamu banyak ngasih aku kenangan indah juga kok, Farel. Dua tahun lebih deket sama kamu bakal banyak yang aku inget pas kamu gak ada,” ujar Airin.
Farelio, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak melanjutkan percakapannya dengan sang gadis. Ia merenungkan semua perbuatannya kepada Airin selama dua tahun lebih belakangan. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, dirinya harus mengerti bahwa inilah keputusan yang diambil Airin.
“Aku rasa aku udah cukup ngejelasin apa yang pengen aku sampein ke kamu, Rel. Makasih, ya, untuk dua tahunnya,” final Airin.
“Maaf, ya, Rin, aku terlambat ngerti,” balas Farelio diiringi dengan senyum yang dipaksakan.
“Let’s hug each other for the last time,” tawar Airin.
Tentunya, Farelio tidak ingin menolak yang satu itu. Sepasang tangannya membentang lebar lalu perlahan Airin masuk ke dalam dekapannya yang beberapa tahun terakhir selalu menjadi candunya. Farelio bukanlah lelaki jahat, bagi Airin. Ia hanya tidak dapat mengekspresikan emosinya dengan baik.
“Live well, Airin. Cepet sembuh, ya,” ujar lelaki tampan itu masih di dalam pelukannya.
“Kamu juga, ya, Farel,” balas Airin.
Setelah melepaskan dekapan masing-masing, keduanya kembali bertukar pandangan. Baik Farelio maupun Airin tidak mengira bahwa hari ini akan menghampiri mereka, hari di mana keduanya harus melepaskan satu sama lain, bukan karena rasa benci melainkan demi kebaikan masing-masing.
“Can you help me, Farel?” tanya gadis cantik itu.
“Sure, Airin. Just say anything,” balas Farel.
“Kamu bisa anterin aku balik ke kamar, Alby udah nungguin aku,” kata Airin.