cognizant (1)

“Akhirnya, ya, By. Lo makan makanan selain soto daging. Lo gak muak apa makan gituan setiap hari?” sindir Hana.

Pada siang menjelang sore hari itu, Alby mengajak sepupunya untuk mampir ke sebuah rumah makan sebelum mereka singgah ke kediaman nenek tercinta. Akhirnya, setelah hampir sepekan menjalani hari layaknya mayat hidup, Alby perlahan mulai kembali seperti biasanya, aneh dan penuh humor receh.

Sebelum menjawab pertanyaan Hana, lelaki manis itu menyesap teh hangat tawar pesanannya. “Enggak dan gua gak akan bisa bosen. Gua punya kenangan indah di rumah makan itu,” jelasnya.

“Ya, pasti sih. Soalnya ‘kan itu rumah makan langganan keluarga kita dari dulu,” ujar Hana sembari kembali menyuap sesendok penuh nasi.

Alby menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Bukan,” katanya. “Selain itu,” sambungnya.

“Apaan?” tanya gadis mungil itu penasaran.

“Gua pernah ke sini sama Airin pas dia lagi ulang tahun buat ajak dia makan malem,” jelas Alby.

Mendengarnya, Hana terdiam di tempatnya. Alat makan yang digenggamnya, jika tidak segera diselamatkan, mungkin akan patah saat itu juga. Perlahan, tatapannya menjadi intens. Ia menolehkan pandangannya pada lelaki manis yang duduk di samping kanannya.

“Airin lagi, By,” dingin Hana.

Alby mengerjapkan maniknya beberapa kali. Ia menghela napas panjang. Dalam beberapa waktu belakangan ini, ada sesuatu hal yang lelaki manis itu sadari. Entah ini hanya perasaannya yang semakin emosional saja atau memang Hana yang merasa tersinggung jika ia membahas apapun yang berkaitan dengan Airin sang dambaan hatinya.

“Gua udah bilang sama Ayah, sama Bunda juga,” ucap Alby.

“Bilang apa?” Suara yang biasanya terdengar seperti anak-anak itu kini berubah menjadi sedatar lantai yang dingin.

“Kalo gua suka sama Airin,” singkatnya.

“Terus apa kata Ayah sama Bunda lo? Lo juga ceritain masalah Airin ke mereka?” Hana terdengar sangat putus asa dan penasaran di saat yang bersamaan.

“Gua cerita semuanya ke Ayah sama Bunda. Mereka bilang semuanya terserah gua karena gak ada siapapun yang paling paham tentang perasaan gua selain diri gua sendiri. Mereka juga bilang, ‘ketika lo memutuskan untuk jatuh cinta sama seseorang berarti lo juga memutuskan untuk jatuh cinta sama semua hal yang ada di dalam dirinya, termasuk kekurangan dan masa lalunya’,” ujar Alby panjang lebar.

“Iya, gua tau, By. Tapi lo kalo jatuh cinta juga harus pake logika, kalo lo cuma ngandelin cinta doang nanti yang ada lo malah makan hati terus,” bantah Hana tidak santai. “Kayak sekarang contohnya,” lanjutnya.

Sejujurnya, Alby cukup terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut sepupunya itu. Tidak banyak dan tidak sedikit juga yang mengetahui bahwa Airin dan Hana berteman baik satu sama lain. Namun, sepertinya yang Alby rasakan saat ini tidak ada relasi semacam itu antara gadis kesukaannya dan sepupunya.

Hana sangat membenci Airin. Alby tidak ingin memiliki prasangka buruk terhadap sepupu yang menjadi teman main dan berbagi cerita sejak kecil itu, tetapi ia juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa Hana sangat kontra dengan hubungannya bersama Airin.

“Bohong kalo gua bilang gua gak kepikiran sama masalah Airin yang mungkin ada hubungannya sama rumor yang pernah di-posting sama admin di Neofess, Cil, karena semua bukti yang ada mengarah ke Airin,” ucap lelaki manis itu.

“Itu lo tau,” jawab Hana.

“Tapi pas beberapa hari ini gua ngehindar dari Airin… rasanya sakit, Cil. Gua deket sama Airin rasanya sakit, tapi jauh dari Airin rasanya jauh lebih sakit. Gua gak tau dia pernah ngapain aja sama cowoknya yang dulu, si Karel Karel itu, tapi itu ‘kan masa lalu dia, Cil. Ya, masa lalu dia biarin jadi masa lalu dia sama orang lain. Tugas gua sama Airin cuma mikirin masa sekarang dan kalo bisa masa depan juga kalo kita masih bareng-bareng.”

Terdapat keseriusan di setiap kata yang diucapkan oleh Alby. Eksplanasinya perihal perasaannya terhadap Airin yang beberapa hari ini seolah mengambang mampu membuat Hana membeku saat itu juga. Bagaimana lelaki manis itu benar-benar jatuh pada perasaannya bersama Airin dan mungkin gadis cantik itu merasakan hal yang serupa.

Selepas perbincangan serius tentang perasaan Alby terhadap Airin, tidak ada percakapan signifikan lagi antara lelaki manis itu dengan sepupunya. Entah Hana merasa tersinggung atau apapun itu, Alby juga tidak tahu. Keduanya tenggelam dalam pikiran terdalam masing-masing.

Di hadapan meja makan kayu yang di atasnya dipenuhi dengan piring makan kosong beserta alat makan yang kotor setelah digunakan menjadi saksi bisu bahwa hari itu adalah hari di mana Alby memutuskan untuk kembali pada Airin, dimulai dari perasaannya.

Hana, gadis mungil itu sibuk mengadu-aduk es teh tawar pesanannya menggunakan sedotan sembari menatap kosong ke arah depan. Alby, lelaki manis itu bukannya tidak menyadari, hanya saja ia kurang setuju dengan opini sepupunya kali ini. Tentunya, Alby berharap semoga momen ini tidak merusak tali persaudaraan yang sudah terjalin cukup lama di antara mereka.

“Cil,” panggil Alby.

Hana yang dipanggil namanya hanya berdehem kecil tanpa memalingkan pandangannya pada sumber suara. Hari itu, sang sepupu kesayangannya sukses menghancurkan suasana hatinya. Bukan hanya perihal Alby yang kembali pada Airin, tetapi juga sebab beberapa hal lain yang selama ini ia sembunyikan sendiri.

“Hana,” panggilnya lagi.

“Apa, By?” balas Hana malas.

“Lo jangan marah dong,” ucap Alby sembari mengusap sebelah bahu Hana.

“Gua gak marah, By,” jawab Hana. “Gua mana bisa marah sama lo,” ujarnya. Akhirnya, gadis mungil itu mau menatap sepupunya yang penuh humor itu.

Mendengarnya, Alby tersenyum manis. Sepasang manik minimalis itu hilang seketika simpulnya terbentuk. “Makasih, ya, Cil. Cuma lo yang selalu ada buat gua,” lanjutnya sembari mengusap pelan pucuk kepala Hana.

Walaupun kata-katanya begitu manis, namun tidak ada satupun respon yang Hana tunjukkan. Berbeda dengan gadis mungil itu, Alby bagaikan hidup kembali hari ini. Bagaimana perasaan dan pikiran yang beberapa waktu belakangan ini menggantung seolah terpecahkan satu per satu. Keduanya terlihat sangat kontras. Alby dengan perasaan yang kembali berbunga-bunga dan Hana dengan perasaannya yang muram nan kelam.

“Cil, sorry banget nih. Kayaknya gua gak bisa nemenin lo di rumah Nenek hari ini,” sela Alby.

Hana melirik sepupunya itu tajam. “Mau kemana lo? Ke tempat Airin?” tanyanya.

Alby menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan semangat sampai rambut yang menutupi keningnya ikut memantul. “Iya. Lo mau ikut?” tawarnya.

“Enggak,” tolak gadis mungil itu. “Gua ke rumah Nenek aja. ‘Kan gua udah janji sama Nenek,” lanjutnya.

“Jangan marah sama gua, ya, Cil. Besok gua traktir bakso aci deh,” ujar Alby.

“Gak suka bakso aci,” tolak Hana lagi.

“Yaudah. Kalo gitu gua traktir apa aja yang lo mau deh, mumpung gua lagi seneng banget,” ucap lelaki manis itu.

“Iya, terserah lo. Udah ah, cepetan, anterin gua ke rumah Nenek,” rengek Hana.

“Yaudah, ayo, Anak Kecil. Kita ke rumah Nenek, ya. Jangan menyerah ngedeketin Nenek walaupun cucu kesayangannya tetep gua,” ledek Alby seraya menarik sebelah tangan Hana untuk keluar dari rumah makan itu.