necessarily
Alby mengedarkan pandangannya setelah sampai di dalam ruangan yang sejak dahulu ia ketahui menjadi tempat pelarian ternyaman bagi Hana kala sepupunya itu merasa sedih atau sendiri. Ia tersenyum tipis saat indera penglihatannya menangkap sesosok gadis mungil tengah menelungkupkan wajahnya ke arah meja kayu yang ditempatinya.
“Han,” panggil Alby pelan.
Mendengar ada bias suara sedalam palung yang menyeruak ke dalam telinganya, Hana menolehkan pandangannya. Alby memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah kanan Hana. Sejenak, dua pasang manik itu memandang satu sama lain dengan tatapan yang bahkan keduanya tidak dapat artikan.
“Lo gak ke kantin?” tanya Hana basa-basi.
“Lo kenapa gak ke kantin?” jawab Alby dengan kembali bertanya.
Hana menghela napas panjang. Meskipun raut wajahnya mengekspresikan kekesalan, namun di dasar hatinya ia merasa lega. Setelah beberapa hari belakang ini merasakan keresahan yang hebat, kini semuanya sirna kala lelaki manis kesayangannya ini menampakkan diri tepat di hadapannya.
“Lo sendiri di sini?” tanya Alby.
Hana menganggukkan kepalanya beberapa kali. Entah mengapa, sekarang rasa guguplah yang menyelimuti dirinya. Ia mengulum lalu sesekali menggigit bibir bagian bawahnya. Hana mengerti betul akan ke mana arah perbincangannya ini. Berbeda dengan sang gadis, Alby justru terlihat sangat tenang.
“Airin udah sehat, Han,” ujar Alby. “Airin juga udah mulai sekolah,” lanjutnya.
“Iya, gua tau. ‘Kan gua sekelas sama Airin, By,” sergah Hana.
Mendengarnya, Alby terkekeh. Ia tahu, pasti di lubuk sanubarinya yang terdalam, Hana masih mempedulikan sahabatnya yang satu itu. “Airin sering nanyain lo pas lagi dirawat di rumah sakit,” jelasnya.
“Lo bilang apa ke Airin?” tanya Hana penasaran. Sepasang maniknya menatap Alby intens.
“Ya, gua jawab aja kalo lo lagi sibuk bantuin Mama di resto,” sanggah Alby.
“Lo tau gimana perasaan gua yang sebenarnya ke Airin ‘kan, By?” tanya gadis mungil itu memastikan.
Alby menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan sang sepupu. “Iya, tau kok,” entengnya. “Sebenernya lo sesayang itu sama Airin, Cil,” sambungnya.
Pada akhirnya, Alby kembali memanggil Hana dengan panggilan sayang yang biasa ia ucapkan, ‘Acil’. Ia hanya tidak ingin memperburuk atmosfer yang terjadi di antara keduanya. Ada kata tak asing yang terdengar oleh telinganya, hati Hana mulai menghangat. Di dalam hatinya, ia bertanya kepada dirinya sendiri.
“Lo ngomong apaan sih, By,” elak Hana.
Di detik berikutnya, Alby mencengkram sebelah bahu Hana. “Dengerin gua, ya, Cil. Gua gak akan ngebahas kalimat lo tempo hari yang bikin gua sampe gak bisa tidur semaleman karena semakin dipikir semakin gak masuk akal. Itu perasaan lo dan gua gak berhak untuk ngaturnya tapi yang gua bakal gua tegaskan di sini adalah kita itu sepupu, Cil. Gua gak tau sebenernya rasa yang lo rasain itu diliat dari sudut pandang siapa,” jelas lelaki manis itu.
Hana yang mendengar kalimat itu keluar dari mulut sepupunya, hanya dapat menundukkan pandangannya. Sepasang manik indahnya menatap sepatu putih pada kakinya yang menyentuh lantai ruang perpustakaan. Terdapat sebersit penyesalan di dalam hatinya. Mengapa mereka terlahir sebagai sepasang sepupu dan bukannya sepasang kekasih?
“Hana Vilory. Lo itu orang paling baik yang gua kenal. Gua punya kepribadian sekuat dan seberani sekarang itu karena lo,” ujar Alby. “Inget gak lo rela berantem di atas lumpur pas lagi hujan cuma untuk ngebelain gua yang waktu itu tasnya dirusakin sama temen sekelas? Padahal lo paling gak suka kalo baju sama sepatu lo basah dan kotor,” sambungnya.
Mendengarnya, simpul senyum itu mengembang. Seketika banyak kenangan indah nan lucu yang terputar di dalam otaknya. Bagaimana sepasang sepupu yang serupa perangko dan amplop itu selalu menjalani hari-harinya bersama. Tanpa terasa, genangan yang sedari tadi tertahan itu perlahan mengalir deras.
“Ya, lagian lo digangguin malah diem aja,” sela Hana sembari mengusap jejak air mata pada sepasang pipi chubby-nya. Ia mengangkat pandangannya agar dapat menatap wajah manis sepupunya dengan jelas.
Melihatnya, Alby tersenyum manis. Sepasang manik minimalisnya semakin menyipit saat menangkap sebuah simpul yang sudah lama tidak ia lihat keberadaannya. Menurutnya, sepupunya ini paling cantik ketika sedang tersenyum. “Mereka badannya gede-gede banget, Cil,” ucap lelaki manis itu.
“Harusnya lo tetep lawan mereka, By. Itu ‘kan tas kesukaan lo yang dibeliin sama Bunda,” jelas Hana.
Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Entah sebab satu atau dua hal lainnya, baik Alby maupun Hana, seolah-olah mengenang masa lalu mereka secara diam. Lihat saja, bagaimana sepasang sepupu itu terlihat terkekeh sesekali saat adegan menggemaskan terputar pada ingatan mereka.
Kemudian, Alby menatap lamat wajah mungil Hana. “Kemaren pas di rumah sakit, Airin banyak cerita tentang lo, Cil,” kata Alby membuka suara.
Tidak ada jawaban yang terdengar dari Hana. Namun, Alby berani bertaruh bahwa sepasang manik itu memancarkan binar khas rasa penasaran. Entah mengapa Hana bersikap seolah-olah ia adalah orang yang jahat. Bagi Alby dan Airin, Hana adalah gadis mungil yang manis dan cantik yang memiliki sifat layaknya malaikat.
“Katanya Airin, dulu dia gak punya temen pas ospek di sekolah ini,” jelas Alby. “Tapi tiba-tiba aja ada cewek cantik yang rambutnya dikuncir dua nyamperin dia terus banyak nanya ke dia. Lo emang dari dulu cerewet, ya, Cil,” ledeknya.
“Ih, Alby!” protes Hana. Sebelah tangannya terangkat untuk melayangkan pukulan keras pada lengan lelaki manis itu.
“Gua lanjutin, ya,” ucap Alby. “Airin bukan tipe orang yang suka ngobrol sama orang lain tapi entah kenapa ngobrol sama cewek cantik yang cerewet ini dia ngerasa nyaman banget. Walaupun beberapa kali Airin ngerasa kewalahan karena temennya ini gak berhenti nanya tapi Airin bersyukur. Seenggaknya, ada orang yang peduli sama dia. Airin gak pernah ngerasa seseneng dan sebersyukur itu sampe punya temen kayak lo, Hana,” sambungnya.
Di akhir ceritanya, Alby tersenyum lebar. Berbeda dengan sang sepupu, Hana, gadis mungil itu sibuk menyeka air matanya yang membanjiri wajahnya. Alby tahu Hana tidak merasa sedih, melainkan terharu. Hana ingat betul bagaimana dirinya dan Airin selalu membeli jajanan yang sama di kantin selama jam istirahat pada tingkat pertama.
Mengingatnya, simpul senyum Hana merekah. Ternyata, Alby benar. Hana memang menyayangi sahabatnya yang satu itu. Ada seberkas rasa penyesalan yang menusuk ke dalam hatinya perihal peristiwa yang beberapa waktu lalu sempat menimpa Airin. Hana juga ingat bagaimana nafsu makannya hilang total setelah mengetahui teman sebangkunya itu dilarikan ke rumah sakit.
“Gua terlalu menyangkal, ya, By,” lirih Hana seraya sepasang maniknya yang berkaca-kaca itu menatap Alby. “Gua udah jahat banget sama Airin, By,” lanjutnya.
Tidak ada respon yang terdengar. Alby hanya tersenyum tipis. Selanjutnya, yang terjadi adalah Alby merengkuh sepupunya itu agar masuk ke dalam dekapannya. Hana, secara sadar atau tidak, juga tidak menginginkan hal seperti ini terjadi antara dirinya dan Airin. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan sang sepupu.
“Hubungan persahabat lo sama Airin terlalu berharga untuk diakhiri, Cil,” ujar Alby.