distinctness
Airin menghela napas panjang sembari merebahkan dirinya di atas ranjang rumah sakit yang menurutnya terasa lebih nyaman dibanding ranjang yang ada di tempat tinggalnya. Entah mengapa gadis cantik itu merasa gedung serba putih yang dipenuhi oleh dokter, perawat, dan para pasien ini akan menjadi rumah keduanya.
“Gua harus apa sekarang?” gumam Airin seraya menatap kosong ke arah langit-langit ruang inapnya.
Terhitung sudah sejak dua jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering, baik itu pesan singkat atau panggilan yang masuk, dari Farelio. Lelaki tampan itu benar-benar tak gentar untuk mendapatkan perhatian gadisnya atau mungkin permohonan maaf? Airin belum lagi mau membahas apapun terkait hal itu.
“Farel… Alby…,” lirih gadis cantik itu.
Sejenak, Airin kembali bergumul dengan pikirannya. Ada banyak, banyak sekali, hal yang terlintas, mulai dari kondisi kesehatannya sampai dengan hubungan percintaannya. Airin tentunya ingin sekali menjalani hidup yang tenang barang sehari. Namun, apalah daya, Tuhan sangat menyayanginya.
Tok! Tok! Tok!
Airin membangkitkan dirinya agar duduk di atas ranjang. Ia mengernyitkan keningnya. Siapa yang datang berkunjung, pikirnya. Bukankah dr. Tiffany baru saja keluar dari ruangannya beberapa menit yang lalu? Airin tidak mengizinkan siapapun masuk, kecuali tenaga kesehatan yang bertugas untuk memeriksanya.
Klek!
Tak lama setelahnya, pintu itu terbuka. Sepasang manik selegam senja itu membulat kala menangkap sesosok wanita paruh baya yang kecantikannya setara dengan seorang dewi. Airin belum pernah melihat wanita ini sebelumnya, tapi ia berani bertaruh bahwa fitur wajah yang ada pada wanita ini terlihat tidak asing. Seperti Airin pernah melihatnya pada seseorang.
“Permisi,” ucapnya lembut sembari berjalan mendekat ke arah Airin. “Airin, ya?”
“I-Iya,” jawab Airin terbata.
“Perkenalkan, saya Shinta Arumnika, Bundanya Alby,” jelas Shinta seraya tersenyum lembut.
Medengarnya, Airin menganggukkan kepalanya beberapa kali. Ia membalas senyum manis nan menenangkan yang terukir di wajah cantik Shinta. “Oh? Iya, Tante. Saya Airin, temennya Alby,” ujarnya.
“Airin gimana kondisinya, Nak? Perutnya sakit gak?” tanya Shinta ramah.
“Sedikit sih, Tante,” jawab Airin lagi.
“Makannya gimana? Teratur gak?” tanyanya lagi.
“Masih agak mual, Tante. Makanan yang masuk jadi keluar lagi,” jelas gadis cantik itu.
“Oh, gitu. Sudah dijelaskan ke dr. Tiffany apa yang dirasain sama Airin, Nak?” lanjut Shinta.
“Sudah, Tante,” katanya.
Shinta banyak mengajukkan pertanyaan kepada gadis yang duduk di hadapannya. Wajahnya terlihat pucat pasi, namun tetap terlihat cantik. Shinta akhirnya mengetahui alasan mengapa anak tunggalnya itu bisa jatuh cinta pada pandangan pertama kepada gadis cantik ini. Belum lagi, senyum manis nan menenangkan yang terpatri pada wajahnya.
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi antara Airin dan Shinta. Wanita paruh baya itu sibuk menelisik seluruh keadaan gadis cantik dambaan sang putra. Ia mengulas senyum pilu kala maniknya menangkap banyak luka sayat yang bersarang di lengan kurus Airin.
“Sakit, ya, Nak?” tanya Shinta tiba-tiba. Sebelah tangannya terulur mengusap punggung tangan Airin yang terbebas dari jarum dan selang infus.
Airin sontak mengangkat pandangan yang sedari hanya tertuju pada kepalan tangannya yang bergerak gelisah. Suara selembut awan itu bertanya tentang kondisinya, lagi. “Enggak kok, Tante. Airin cuma mual aja,” jawabnya sembari tersenyum.
Airin, gadis cantik itu sebisa mungkin menyembunyikan lukanya. Menurutnya, rasa sakit yang ada hanya cukup diketahui oleh Tuhan dan dirinya. Sejak kecil, Airin sudah terlatih untuk mengunci semua emosi negatifnya di dalam hati. Orang lain tidak perlu tahu tentang kesedihannya, termasuk kedua orang tuanya dulu. Emosi yang dirasakannya adalah hal receh.
“Airin kalo perlu apa-apa, kasih tau Tante, ya, Nak,” pinta wanita cantik paruh baya itu.
“Iya, Tante. Makasih banyak. Alby di mana, Tante?” jawab Airin dengan kembali bertanya. Ia hanya basa-basi.
“Ada di luar sama Ayahnya. Tante denger katanya Airin belum mau ketemu sama orang lain, ya?” ucap Shinta.
Mendengarnya, Airin kembali menundukkan pandangannya. “Iya, Tante.” Airin bersuara sepelan mungkin.
“Gak apa-apa, Sayang. Makasih banyak, ya, udah izinin Tante ketemu sama Airin.” Sebelah tangan Shinta kembali bergerak, kali ini mengusap lembut pucuk kepala gadis cantik itu.
Airin, gadis cantik itu menghangat hatinya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Sekarang Airin mengerti mengapa Alby selalu hadir saat semesta bahkan menjauh darinya. Ternyata semua itu diwariskan oleh ibunya sendiri. Jika boleh jujur, Airin merasa memiliki seorang ibu, hanya untuk hari ini.
“Iya, Tante, sama-sama,” balasnya.
“Tante dateng ke sini mau ngasih tau beberapa hal dari dr. Tiffany untuk Airin,” jelas Shinta. “Tante gak mau bohong sama Airin perihal apa yang mau Tante sampein ke Airin, Nak. Kalo Airin gak kuat, Airin nangis aja, ya, Nak. Peluk Tante kalo perlu,” lanjutnya.
Penjelasan singkat nan mencekam yang menusuk ke dalam indera pendengarannya membuat Airin menahan napasnya sejenak. Apa yang telah terjadi pada saat dirinya mengalami tidur panjang selama beberapa hari belakangan ini? Shinta tentunya menyadarinya. Oleh sebab itu, ia kembali mengulas senyum semenenangkan mungkin.
“Airin jangan khawatir, ya. Banyak yang sayang Airin di sini. Ada Tante, Alby, sama temen-temen Airin lainnya yang setia nungguin Airin di depan ruangan. Airin siap, Nak?” tanya wanita cantik itu memastikan.
Sepasang manik selegam senja yang biasanya berbinar indah itu kini terlihat redup. Terlihat jelas bahwa dari tatapannya, Airin menyimpan banyak sekali perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Namun, mau bagaimana pun juga, ia tetap harus menghadapi apa yang sudah menunggunya sejak lama.
“Airin siap, Tante,” ucap Airin.
“Tante jelasin pelan-pelan ke Airin, ya. Airin tau ‘kan kalo di dalem perutnya ada janin?” tanya Shinta.
Airin, gadis cantik itu mengangguk pelan. “Iya, Tante.”
“Tadi dr. Tiffany bilang sama Tante. Sewaktu Airin dibawa ke rumah sakit ini, ‘kan Airin sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri karena pendarahan hebat, ya? Nah, di saat yang bersamaan juga, janin yang ada di dalem perut Airin gak kuat nahan pendarahan hebat yang terjadi sama Airin. Jadi—” Belum sempat Shinta merampungkan eksplanasinya.
Airin menyela. “Airin keguguran, Tante?” tanya gadis cantik itu memastikan.
Shinta mengangguk pelan, “Janin yang ada di perut Airin gak bisa diselamatkan, Nak,” ujarnya pelan.
Mendengarnya, Airin membeku di tempatnya. Pandangannya tiba-tiba saja terasa menghilang. Hatinya seolah tidak menerima informasi yang satu ini. Ternyata, keinginannya yang sempat terlintas di dalam benaknya untuk menghilangkan nyawa dari manusia mungil di dalam perutnya itu benar-benar terwujud. Namun, bukan rasa bahagia yang menghampiri, Airin malah menangis sejadi-jadinya.
Shinta merengkuh gadis ringkih itu ke dalam pelukannya. Shinta tahu betul apa yang sedang dirasakan oleh anak gadis itu sebab dirinya pernah ada di posisi yang sama. Kehilangan memang tidak pernah gagal dalam mendatangkan lirih pada manusia. Meskipun Airin sempat membenci apa yang ada di dalam perutnya, tetapi ia juga tidak ingin kehilangannya.
“Airin yang sabar, ya, Nak. Ada Tante di sini,” kata Shinta menenangkan Airin. “Airin gak apa-apa nangis. Tante bakal temenin Airin.”
“Anak Airin, Tante,” lirih Airin dalam tangisannya.
“Iya, Nak. Itu anaknya Airin. Sekarang, anaknya Airin udah bahagia di surga. Dia gak mau lihat Mamanya terus kesakitan,” tegas Shinta.
Airin tidak pernah mengira bahwa nyawa kecil yang pernah ia anggap sebagai hasil dari rasa benci dan kesalahan itu akan membawa dampak sebesar ini baginya. Penyesalan itu seolah menusuk hatinya sampai ke yang terdalam. Di antara banyak hal menyedihkan yang ada di kepalanya, ada satu hal yang ia sadari. Apakah Farelio mengetahui hal ini? Apakah lelaki tampan itu tahu bahwa anaknya telah meninggalkan dunia ini?
“Maafin Mama, Sayang,” monolog Airin di dalam batinnya.