the peculiar senior
Pada malam yang semakin larut hari itu, bukannya memperhatikan arahan dan masukan dari Mas Edwin yang tengah sibuk menjelaskan, Aruna malah asyik dengan dunianya sendiri. Di balik kamera laptop yang dimatikan, terdapat Aruna yang sedang bermain dengan dirinya sendiri.
Dapat terlihat jelas bagaimana wanita cantik itu menikmati setiap sentuhan dari permainan yang ia ciptakan sendiri. Hanya dengan modal wajah manis dengan rangka tegas milik Mas Edwin yang terpampang di layar laptopnya mampu membuat Aruna memikirkan segala fantasi yang tidak mungkin terjadi di dalam kepalanya.
“Mphh, ahhh,” desah wanita cantik itu. Akhirnya, lenguhan pertamanya lolos.
Aruna menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Sementara itu, dua jari di tangan kirinya terus mengaduk-aduk kepemilikannya. Meskipun ini bukan pertama kalinya bagi wanita cantik itu untuk membayangkan lelaki manisnya sebagai bahan bakar seks, namun kenikmatan yang dirasakan sukses membawanya ke surga dunia.
Jika biasanya ia hanya mendengarkan suara Mas Edwin yang diam-diam ia rekam saat sedang melangsungkan sesi konsultasi pekerjaan atau hal semacamnya, kali ini permainan Aruna diwarnai oleh kehadiran sang tokoh utama secara langsung melalui pertemuan virtual.
“Ahhh, Mas,” lirih Aruna lagi.
Tidak apa-apa. Walaupun Mas Edwin tidak ada di hadapannya saat ini, tetapi Aruna sudah cukup puas dengan permainan solonya. Bagaimana Mas Edwin menyentuh sepasang payudaranya lalu meremas, memijat, serta memilin ujung putingnya. Tidak sampai di situ, lelaki manis sang pekerja keras itu juga tidak lupa untuk memanjakan baguan kewanitaan Aruna lidahnya.
Ya, setidaknya skenario liar seperti itu yang sekarang tengah berenang-renang ria di pikiran Aruna. Jika dipikir lagi, wanita cantik ini memang gila. Di saat teman-temannya, Cheryl dan Natya, mengincar sesosok lelaki kaya dengan tubuh menggiurkan, berbeda dengan Aruna. Ia sudah cukup puas dengan Mas Edwin dengan tubuh mungil yang berisi serta otaknya yang hanya dipenuhi dengan hal-hal tentang pekerjaan.
“Nghh, ahhh, Mas, iya di situ,” racaunya sembari mempercepat gerakan jarinya di bawah sana.
Aruna adalah wanita cantik dengan definisi akan menerima pasangannya apa adanya sebab ia sudah jatuh hati terlalu dalam. Entah apa yang membuat Aruna masih mengurungkan niatnya untuk menyatakan cinta pada sang pujaan hati. Ah, benar juga. Mas Edwin pernah berkata padanya bahwa ia tidak akan menikah jika uang di dalam tabungnya tidak memiliki jumlah sebanyak satu milyar rupiah. Aruna yang malang.
Tanpa ia sadari, lelaki manis pujaannya itu sudah sampai di akhir penjelasan. Di seberang sana, dari balik layar, tangan kanannya bergerak untuk menekan tombol enter. Mas Edwin menghidupkan mikrofonnya lalu berkata, “Sudah mengerti, Aruna? Kira-kira seperti itu cara pengerjaannya. Ada yang mau kamu tanyakan lagi?”
Sialan! Aruna baru saja akan mendapatkan titik ternikmatnya saat konsentrasi penuhnya diinterupsi oleh suara bariton yang menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Ia mengulurkan tangannya yang terbebas untuk ikut menghidupkan mikrofonnya.
“S-Sudah, mphh, Mas,” jawabnya susah payah. “Ar-Aruna sudah, ahh, mengerti.”
“Aruna. Kamu gak apa-apa? Kok suaramu bergetar?” balas Mas Edwin dengan bertanya. Lelaki manis itu khawatir dengan juniornya.
“Nghh, gak apa-apa kok, Mas,” ujar wanita cantik itu. “Aruna lagi, nghh ahh, makan.”
“Oh, saya kira kenapa. Meeting-nya jangan diputus dulu ya, Run. Saya mau ngerjain laporan yang kemungkinan Pak Wishnu akan suruh kamu follow up lagi,” jelas Mas Edwin yang diakhiri dengan senyuman manis pada layar laptopnya padahal lawan bicaranya di seberang sana sedang sibuk dengan fantasinya sendiri.
Tentunya, hal itu mampu menyita atensi Aruna. Ia menghentikan aktivitas nakalnya sejenak. Lihat saja, sepasang pipi tirus itu mulai memerah sebab tersipu dengan simpulan seindah malaikat yang ada di hadapannya. “Oh, iya, Mas. Aruna gak akan putus meeting-nya dulu,” ujarnya.
Di detik berikutnya, Mas Edwin kembali mematikan mikrofonnya dan kemudian mengambil berkas yang ada di laci meja kerjanya. Ia mulai mengerjakan laporan tersebut menggunakan komputer lain. Sepasang manik selegam malam itu terfokus pada layar komputer yang menampilkan beberapa diagram beserta penjelasannya.
Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, Aruna menggunakan momen ini sebagai kesempatan emasnya. Klimaks yang sempat tertunda akan ia tuntaskan sekarang. Dengan wajah manis Mas Edwin yang terpampang jelas di hadapannya akan menjadi perangsang yang kuat baginya.
“Maaf, ya, Mas. Salah Mas sendiri mukanya manis gitu, saya jadi gak tahan,” monolog wanita cantik itu.
Dengan cepat, Aruna bangkit dari posisi duduknya menuju nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya. Dari dalam sana, ia meraih sebuah benda berbentuk tabung kecil dengan ujung tumpul berwarna merah muda. Benda itu dilengkapi dengan remote control. Ya, itu adalah salah satu alat bantu seks, vibrator.
Selepas kembali memposisikan dirinya duduk di depan sang dambaan hati, Aruna memasangkan benda itu ke dalam vaginanya. Padahal benda itu belum bergetar, namun wanita cantik itu kembali mendesahkan nama sang seniornya di kantor.
“Nghhh, iya, Mas, ahh, di situ,” lirih Aruna sesaat vibator itu terpasang sempurna pada kepemilikannya. “Ahhh, Mas,” lenguhnya saat benda itu mulai bergetar.
Berbeda dengan wanita cantik itu, Mas Edwin masih sibuk dengan laporan yang bahkan masa tenggatnya saja masih dua pekan ke depan. Namun, justru hal itulah yang membuat Aruna jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada si gila kerja, Mas Edwin. Terlihat bagaimana wanita cantik itu semakin terbuai dengan permainannya sendiri.
“Ahhh, Mas Edwin, enak, Mas,” desahnya seraya tangan sebelahnya bermain dengan tombol tempo dari remote control yang digenggamnya.
Kombinasi getaran hebat, fantasi liar, serta kehadiran langsung sang pujaan hati mampu membuat wanita cantik itu akan menjemput pelepasannya sebentar lagi. Sebelah tangannya yang terbebas memegang erat sudut meja kerjanya. Sepasang maniknya yang sedari tadi memandang lapar ke arah Mas Edwin, kini menutup erat. Wajahnya kembali menengadah ke arah atas.
“Nghh, ahh, Mas Edwin!” pekik Aruna saat mendapatkan pelepasannya.
Aruna, wanita cantik itu napasnya menggebu, wajah dan tubuhnya dibanjiri keringat, serta kedua kakinya di bawah meja bergetar hebat. Ia segera mematikan benda yang berada di vaginanya lalu mengeluarkannya dari sana. Benda yang berukuran kecil namun sedikit panjang itu dipenuhi dengan cairan khas rasa nikmatnya.
Bertepatan dengan berakhirnya permainan panas solo dari Aruna, di seberang sana, Mas Edwin juga sudah merampungkan laporannya. Aruna segera merapikan pakaian yang ia kenakan dan juga posisi duduknya. Sekarang, barulah wanita cantik berani menghidupkan kamera dan menampilkan dirinya di hadapan Mas Edwin.
“Saya sudah selesai, Run. Kamu gak apa-apa kalo meeting-nya jadi sedikit agak lama?” tanya Mas Edwin setelah menghidupkan mikrofonnya.
Aruna hendak menekan tombol enter untuk menghidupkan mikrofonnya, namun sesuatu yang aneh telah terjadi. Ikon bergambar mikrofon yang ada pada layarnya tidak dilengkapi dengan tanda garis miring, di mana artinya mikrofon itu sudah hidup sejak tadi. Apakah wanita cantik itu lupa untuk mematikan mikrofonnya setelah percakapan terakhirnya dengan Mas Edwin beberapa menit lalu?
“Ehm, halo, Mas?” ujar Aruna ragu. Jantungnya berdegup kencang bahkan lebih kencang dibandingkan saat ia menjemput titik ternikmatnya.
“Iya. Kenapa, Aruna?” balas Mas Edwin. Lelaki manis itu menatap intens pada sosok wanita cantik yang ada di layar laptopnya.
“Ini…,” gantungnya. “Suara saya terdengar, ya?” tanya Aruna.
“Kedengeran kok,” enteng sang senior. “Saya langsung jelaskan saya, ya. Kayaknya kamu udah capek banget, Run. Wajahmu keliatan lesu,” jelas Ma Edwin.
“I-Iya. Baik, Mas,” jawab wanita cantik itu.
Entah berpura-pura tidak mendengarnya atau mikrofonnya yang sedang rusak, Aruna tidak tahu apa yang terjadi malam itu, tetapi satu hal yang ia ketahui adalah permainan solonya tadi sangatlah memuaskan. Aruna tidak peduli jika Mas Edwin memang mendengarnya. Aruna ingin Mas Edwin tahu bahwa ia mencintai lelaki manis itu dengan setulus hatinya.
Detik berubah menjadi menit dan menit berubah menjadi jam. Sesi diskusi dan tanya jawab antara Aruna dan Mas Edwin akhirnya berada di penghujung acara dan bertepatan pada pergantian hari. Keduanya sama-sama menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruangan masing-masing, pukul 12 dini hari.
“Gak kerasa udah tengah malem aja, ya, Run,” ucap Mas Edwin.
“Iya, Mas, gak kerasa. Kalo diskusi kerjaan sama Mas Edwin selalu lupa waktu,” balas Aruna sembari terkekeh.
“Aduh. Saya jadi gak enak dengernya, Run,” ujar lelaki manis itu.
“Eh, jangan gak enak gitu, Mas Edwin. Saya gak apa-apa banget kok kalo bahas kerjaannya sama Mas,” jelasnya.
“Ada yang mau ditanyakan lagi sebelum kita selesai meeting, Run?” tanya Mas Edwin.
“Ada sih, Mas. Ada detail yang mau saya tanyain ke Mas. Tapi besok aja deh, Mas, sekalian pas ketemu di kantor,” ujar Aruna.
“Sekarang aja gak apa-apa, Run,” tegas Mas Edwin.
“Gak apa-apa, Mas, besok aja. Mas Edwin harus istirahat,” ucap wanita cantik itu.
Aruna menegak botol air mineral yang ada di atas meja kerjanya. Tanpa ia sadari, sedari tadi ia ditatap lamat oleh sang pujaan hati. Perlahan, simpul yang biasanya terlihat manis itu kini berubah. Jika tidak sigap, mungkin wanita cantik itu akan tersedak atau mungkin air mineral yang digenggamnya akan membanjiri kemeja putih yang ia kenakan.
“Eh, maaf, Mas. Saya gak izin mau minum dulu,” kata Aruna.
Bukannya menjawab, Mas Edwin malah menyeringai sembari bermain dengan pena yang ada di tangan kanannya. Aruna berani bersumpah bahwa untuk pertama kalinya di dalam hidup, ia melihat sisi dari Mas Edwin yang satu ini.
“Gak apa-apa, Aruna. Kamu gak perlu minta maaf,” jelas Mas Edwin.
Sejenak, wanita cantik itu terdiam. Entah mengapa sepertinya aura mencekam menyelimutinya dan sang senior. Aruna menundukkan pandangannya. Seketika, adegan-adegan panas dari permainan yang juga panas tadi terlintas di dalam kepalanya.
“Daripada cuma dibayangin mending direalisasikan langsung aja, Aruna,” sela Mas Edwin.
Mendengarnya, Aruna sontak mengangkat pandangannya. “Hah?! Gimana maksudnya, Mas Edwin?” tanyanya setengah berteriak.
“Sebelum sesi diskusi tadi, kamu tanya ke saya kalo suara kamu terdengar atau enggak ‘kan, Run? Iya, terdengar jelas, Aruna. Saya bisa mendengar jelas setiap desahan, lenguhan, dan lirihan dari mulut kamu yang menyebutkan nama saya,” sambung Mas Edwin.
Wajah manis dan sepasang manik Mas Edwin berubah drastis menjadi serius nan tegas. Aura dominan yang lelaki manis ktu pancarkan tiba-tiba saja menguasai atmosfer yang melingkupi keduanya. Di satu sisi, Aruna merasa bahagia dapat melihat Mas Edwin yang seperti ini. Namun, di sisi lain, ia juga merasa takut sebab Mas Edwin bisa melakukan apa saja kepadanya.
“Ah, iya, anu, itu, Mas,” ucap Aruna terbata-batas.
“Kirim alamat tempat tinggal kamu ke saya sekarang. Saya akan jawab pertanyaan yang kamu mau ajukan tadi. Sekalian…,” ucap Mas Edwin. Ia sengaja menggantungnya.
“Sekalian apa, Mas?” tanya Aruna sedikit ragu dan takut.
“Sekalian kita realisasikan adegan yang ada di pikiran kamu,” finalnya.