ttoguxnanaxranie

Pada malam yang semakin larut hari itu, bukannya memperhatikan arahan dan masukan dari Mas Edwin yang tengah sibuk menjelaskan, Aruna malah asyik dengan dunianya sendiri. Di balik kamera laptop yang dimatikan, terdapat Aruna yang sedang bermain dengan dirinya sendiri.

Dapat terlihat jelas bagaimana wanita cantik itu menikmati setiap sentuhan dari permainan yang ia ciptakan sendiri. Hanya dengan modal wajah manis dengan rangka tegas milik Mas Edwin yang terpampang di layar laptopnya mampu membuat Aruna memikirkan segala fantasi yang tidak mungkin terjadi di dalam kepalanya.

“Mphh, ahhh,” desah wanita cantik itu. Akhirnya, lenguhan pertamanya lolos.

Aruna menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Sementara itu, dua jari di tangan kirinya terus mengaduk-aduk kepemilikannya. Meskipun ini bukan pertama kalinya bagi wanita cantik itu untuk membayangkan lelaki manisnya sebagai bahan bakar seks, namun kenikmatan yang dirasakan sukses membawanya ke surga dunia.

Jika biasanya ia hanya mendengarkan suara Mas Edwin yang diam-diam ia rekam saat sedang melangsungkan sesi konsultasi pekerjaan atau hal semacamnya, kali ini permainan Aruna diwarnai oleh kehadiran sang tokoh utama secara langsung melalui pertemuan virtual.

“Ahhh, Mas,” lirih Aruna lagi.

Tidak apa-apa. Walaupun Mas Edwin tidak ada di hadapannya saat ini, tetapi Aruna sudah cukup puas dengan permainan solonya. Bagaimana Mas Edwin menyentuh sepasang payudaranya lalu meremas, memijat, serta memilin ujung putingnya. Tidak sampai di situ, lelaki manis sang pekerja keras itu juga tidak lupa untuk memanjakan baguan kewanitaan Aruna lidahnya.

Ya, setidaknya skenario liar seperti itu yang sekarang tengah berenang-renang ria di pikiran Aruna. Jika dipikir lagi, wanita cantik ini memang gila. Di saat teman-temannya, Cheryl dan Natya, mengincar sesosok lelaki kaya dengan tubuh menggiurkan, berbeda dengan Aruna. Ia sudah cukup puas dengan Mas Edwin dengan tubuh mungil yang berisi serta otaknya yang hanya dipenuhi dengan hal-hal tentang pekerjaan.

“Nghh, ahhh, Mas, iya di situ,” racaunya sembari mempercepat gerakan jarinya di bawah sana.

Aruna adalah wanita cantik dengan definisi akan menerima pasangannya apa adanya sebab ia sudah jatuh hati terlalu dalam. Entah apa yang membuat Aruna masih mengurungkan niatnya untuk menyatakan cinta pada sang pujaan hati. Ah, benar juga. Mas Edwin pernah berkata padanya bahwa ia tidak akan menikah jika uang di dalam tabungnya tidak memiliki jumlah sebanyak satu milyar rupiah. Aruna yang malang.

Tanpa ia sadari, lelaki manis pujaannya itu sudah sampai di akhir penjelasan. Di seberang sana, dari balik layar, tangan kanannya bergerak untuk menekan tombol enter. Mas Edwin menghidupkan mikrofonnya lalu berkata, “Sudah mengerti, Aruna? Kira-kira seperti itu cara pengerjaannya. Ada yang mau kamu tanyakan lagi?”

Sialan! Aruna baru saja akan mendapatkan titik ternikmatnya saat konsentrasi penuhnya diinterupsi oleh suara bariton yang menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Ia mengulurkan tangannya yang terbebas untuk ikut menghidupkan mikrofonnya.

“S-Sudah, mphh, Mas,” jawabnya susah payah. “Ar-Aruna sudah, ahh, mengerti.”

“Aruna. Kamu gak apa-apa? Kok suaramu bergetar?” balas Mas Edwin dengan bertanya. Lelaki manis itu khawatir dengan juniornya.

“Nghh, gak apa-apa kok, Mas,” ujar wanita cantik itu. “Aruna lagi, nghh ahh, makan.”

“Oh, saya kira kenapa. Meeting-nya jangan diputus dulu ya, Run. Saya mau ngerjain laporan yang kemungkinan Pak Wishnu akan suruh kamu follow up lagi,” jelas Mas Edwin yang diakhiri dengan senyuman manis pada layar laptopnya padahal lawan bicaranya di seberang sana sedang sibuk dengan fantasinya sendiri.

Tentunya, hal itu mampu menyita atensi Aruna. Ia menghentikan aktivitas nakalnya sejenak. Lihat saja, sepasang pipi tirus itu mulai memerah sebab tersipu dengan simpulan seindah malaikat yang ada di hadapannya. “Oh, iya, Mas. Aruna gak akan putus meeting-nya dulu,” ujarnya.

Di detik berikutnya, Mas Edwin kembali mematikan mikrofonnya dan kemudian mengambil berkas yang ada di laci meja kerjanya. Ia mulai mengerjakan laporan tersebut menggunakan komputer lain. Sepasang manik selegam malam itu terfokus pada layar komputer yang menampilkan beberapa diagram beserta penjelasannya.

Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, Aruna menggunakan momen ini sebagai kesempatan emasnya. Klimaks yang sempat tertunda akan ia tuntaskan sekarang. Dengan wajah manis Mas Edwin yang terpampang jelas di hadapannya akan menjadi perangsang yang kuat baginya.

“Maaf, ya, Mas. Salah Mas sendiri mukanya manis gitu, saya jadi gak tahan,” monolog wanita cantik itu.

Dengan cepat, Aruna bangkit dari posisi duduknya menuju nakas yang ada di sebelah ranjang tidurnya. Dari dalam sana, ia meraih sebuah benda berbentuk tabung kecil dengan ujung tumpul berwarna merah muda. Benda itu dilengkapi dengan remote control. Ya, itu adalah salah satu alat bantu seks, vibrator.

Selepas kembali memposisikan dirinya duduk di depan sang dambaan hati, Aruna memasangkan benda itu ke dalam vaginanya. Padahal benda itu belum bergetar, namun wanita cantik itu kembali mendesahkan nama sang seniornya di kantor.

“Nghhh, iya, Mas, ahh, di situ,” lirih Aruna sesaat vibator itu terpasang sempurna pada kepemilikannya. “Ahhh, Mas,” lenguhnya saat benda itu mulai bergetar.

Berbeda dengan wanita cantik itu, Mas Edwin masih sibuk dengan laporan yang bahkan masa tenggatnya saja masih dua pekan ke depan. Namun, justru hal itulah yang membuat Aruna jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada si gila kerja, Mas Edwin. Terlihat bagaimana wanita cantik itu semakin terbuai dengan permainannya sendiri.

“Ahhh, Mas Edwin, enak, Mas,” desahnya seraya tangan sebelahnya bermain dengan tombol tempo dari remote control yang digenggamnya.

Kombinasi getaran hebat, fantasi liar, serta kehadiran langsung sang pujaan hati mampu membuat wanita cantik itu akan menjemput pelepasannya sebentar lagi. Sebelah tangannya yang terbebas memegang erat sudut meja kerjanya. Sepasang maniknya yang sedari tadi memandang lapar ke arah Mas Edwin, kini menutup erat. Wajahnya kembali menengadah ke arah atas.

“Nghh, ahh, Mas Edwin!” pekik Aruna saat mendapatkan pelepasannya.

Aruna, wanita cantik itu napasnya menggebu, wajah dan tubuhnya dibanjiri keringat, serta kedua kakinya di bawah meja bergetar hebat. Ia segera mematikan benda yang berada di vaginanya lalu mengeluarkannya dari sana. Benda yang berukuran kecil namun sedikit panjang itu dipenuhi dengan cairan khas rasa nikmatnya.

Bertepatan dengan berakhirnya permainan panas solo dari Aruna, di seberang sana, Mas Edwin juga sudah merampungkan laporannya. Aruna segera merapikan pakaian yang ia kenakan dan juga posisi duduknya. Sekarang, barulah wanita cantik berani menghidupkan kamera dan menampilkan dirinya di hadapan Mas Edwin.

“Saya sudah selesai, Run. Kamu gak apa-apa kalo meeting-nya jadi sedikit agak lama?” tanya Mas Edwin setelah menghidupkan mikrofonnya.

Aruna hendak menekan tombol enter untuk menghidupkan mikrofonnya, namun sesuatu yang aneh telah terjadi. Ikon bergambar mikrofon yang ada pada layarnya tidak dilengkapi dengan tanda garis miring, di mana artinya mikrofon itu sudah hidup sejak tadi. Apakah wanita cantik itu lupa untuk mematikan mikrofonnya setelah percakapan terakhirnya dengan Mas Edwin beberapa menit lalu?

“Ehm, halo, Mas?” ujar Aruna ragu. Jantungnya berdegup kencang bahkan lebih kencang dibandingkan saat ia menjemput titik ternikmatnya.

“Iya. Kenapa, Aruna?” balas Mas Edwin. Lelaki manis itu menatap intens pada sosok wanita cantik yang ada di layar laptopnya.

“Ini…,” gantungnya. “Suara saya terdengar, ya?” tanya Aruna.

“Kedengeran kok,” enteng sang senior. “Saya langsung jelaskan saya, ya. Kayaknya kamu udah capek banget, Run. Wajahmu keliatan lesu,” jelas Ma Edwin.

“I-Iya. Baik, Mas,” jawab wanita cantik itu.

Entah berpura-pura tidak mendengarnya atau mikrofonnya yang sedang rusak, Aruna tidak tahu apa yang terjadi malam itu, tetapi satu hal yang ia ketahui adalah permainan solonya tadi sangatlah memuaskan. Aruna tidak peduli jika Mas Edwin memang mendengarnya. Aruna ingin Mas Edwin tahu bahwa ia mencintai lelaki manis itu dengan setulus hatinya.

Detik berubah menjadi menit dan menit berubah menjadi jam. Sesi diskusi dan tanya jawab antara Aruna dan Mas Edwin akhirnya berada di penghujung acara dan bertepatan pada pergantian hari. Keduanya sama-sama menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruangan masing-masing, pukul 12 dini hari.

“Gak kerasa udah tengah malem aja, ya, Run,” ucap Mas Edwin.

“Iya, Mas, gak kerasa. Kalo diskusi kerjaan sama Mas Edwin selalu lupa waktu,” balas Aruna sembari terkekeh.

“Aduh. Saya jadi gak enak dengernya, Run,” ujar lelaki manis itu.

“Eh, jangan gak enak gitu, Mas Edwin. Saya gak apa-apa banget kok kalo bahas kerjaannya sama Mas,” jelasnya.

“Ada yang mau ditanyakan lagi sebelum kita selesai meeting, Run?” tanya Mas Edwin.

“Ada sih, Mas. Ada detail yang mau saya tanyain ke Mas. Tapi besok aja deh, Mas, sekalian pas ketemu di kantor,” ujar Aruna.

“Sekarang aja gak apa-apa, Run,” tegas Mas Edwin.

“Gak apa-apa, Mas, besok aja. Mas Edwin harus istirahat,” ucap wanita cantik itu.

Aruna menegak botol air mineral yang ada di atas meja kerjanya. Tanpa ia sadari, sedari tadi ia ditatap lamat oleh sang pujaan hati. Perlahan, simpul yang biasanya terlihat manis itu kini berubah. Jika tidak sigap, mungkin wanita cantik itu akan tersedak atau mungkin air mineral yang digenggamnya akan membanjiri kemeja putih yang ia kenakan.

“Eh, maaf, Mas. Saya gak izin mau minum dulu,” kata Aruna.

Bukannya menjawab, Mas Edwin malah menyeringai sembari bermain dengan pena yang ada di tangan kanannya. Aruna berani bersumpah bahwa untuk pertama kalinya di dalam hidup, ia melihat sisi dari Mas Edwin yang satu ini.

“Gak apa-apa, Aruna. Kamu gak perlu minta maaf,” jelas Mas Edwin.

Sejenak, wanita cantik itu terdiam. Entah mengapa sepertinya aura mencekam menyelimutinya dan sang senior. Aruna menundukkan pandangannya. Seketika, adegan-adegan panas dari permainan yang juga panas tadi terlintas di dalam kepalanya.

“Daripada cuma dibayangin mending direalisasikan langsung aja, Aruna,” sela Mas Edwin.

Mendengarnya, Aruna sontak mengangkat pandangannya. “Hah?! Gimana maksudnya, Mas Edwin?” tanyanya setengah berteriak.

“Sebelum sesi diskusi tadi, kamu tanya ke saya kalo suara kamu terdengar atau enggak ‘kan, Run? Iya, terdengar jelas, Aruna. Saya bisa mendengar jelas setiap desahan, lenguhan, dan lirihan dari mulut kamu yang menyebutkan nama saya,” sambung Mas Edwin.

Wajah manis dan sepasang manik Mas Edwin berubah drastis menjadi serius nan tegas. Aura dominan yang lelaki manis ktu pancarkan tiba-tiba saja menguasai atmosfer yang melingkupi keduanya. Di satu sisi, Aruna merasa bahagia dapat melihat Mas Edwin yang seperti ini. Namun, di sisi lain, ia juga merasa takut sebab Mas Edwin bisa melakukan apa saja kepadanya.

“Ah, iya, anu, itu, Mas,” ucap Aruna terbata-batas.

“Kirim alamat tempat tinggal kamu ke saya sekarang. Saya akan jawab pertanyaan yang kamu mau ajukan tadi. Sekalian…,” ucap Mas Edwin. Ia sengaja menggantungnya.

“Sekalian apa, Mas?” tanya Aruna sedikit ragu dan takut.

“Sekalian kita realisasikan adegan yang ada di pikiran kamu,” finalnya.

“Lo harus tenang dulu, By. Kalo lo panik lo jadi gak bisa berpikir jernih,” jelas Hana.

Di siang menjelang sore hari itu, seperti rencana di awal, Alby dan Hana memutuskan untuk kembali berkunjung ke tempat tinggal Airin. Ya, walaupun semua ini murni dari inisiatif lelaki manis itu. Jangan tanya, sang sepupu sangat keberatan dengan hal ini.

Kini, keduanya tengah berdiri menunggu sang pemilik unit untuk membukakan pintu. Namun, seperti saat sebelumnya, Airin seperti tidak berniat untuk memberi siapapun akses masuk, baik ke dalam apartemennya maupun ke dalam kehidupannya.

Ditinggal yang terkasih sudah sangat menyedihkan baginya. Belum lagi, sekarang dirinya tengah berbadan dua. Airin tidak dapat bersikap layaknya manusia normal pada umumnya. Semuanya terasa hancur, terutama hidupnya.

TING! TONG!

Alby kembali menekan bel yang tersedia di samping pintu unit apartemen gadisnya, tetapi kali ini jauh lebih tergesa-gesa dari sebelumnya. Sampai akhirnya tangan yang lebih kecil menghentikan aksinya.

“Alby!” pekik Hana.

“Gua khawatir, Han!” balas Alby dengan nada bicara dan pitam yang semakin naik. “Gua gak tau keadaan Airin di dalem sana kayak gimana. Lo tau seberapa berharga Airin buat gua,” sambungnya.

Mendengarnya, Hana memutar bola matanya. Seperti yang pernah disinggung sebelumnya, Alby tidak pernah seemosional ini sebelumnya. Ya, setidaknya sebelum ia bertemu dengan Airin. Bagi lelaki manis yang penuh dengan humor itu, gadis cantik dambaannya mampu merebut hatinya hanya dalam beberapa detik. Hal itulah yang menyebabkan Alby bertingkah seperti ini.

Alby mengusap wajahnya kasar. “Gua dobrak aja pintunya,” ucapnya.

“Hah? Gimana?” tanya Hana terheran-heran.

“Gua mau dobrak pintunya. Airin bisa aja kenapa-kenapa di dalem sana,” jelasnya.

BRAK!

Dorongan pertama tidak berhasil.

BRAK!

Kali ini dorongannya jauh lebih kuat.

BRAK!

Barulah pada dorongan ketiga, pintu berwarna putih itu lepas kuncinya dan perlahan mulai terbuka.

Alby menguarkan kepalanya ke dalam ruangan yang terlihat gulita. Tidak ada satu pun lampu yang hidup. Hanya ada televisi yang tengah menampilkan sinetron terbaru dengan volume yang sangat besar.

“Rin,” panggil Alby sesaat kakinya melangkah masuk ke dalam sana dengan Hana yang mengekorinya.

Dua pasang manik itu menelisik segala sudut yang dapat dijangkau. Jika boleh jujur, tempat tinggal Airin terlihat seperti unit yang ditinggal oleh penghuninya secara tiba-tiba sebab ada urusan mendadak.

Bagaimana tidak, pemandangan di sana mendeskripsikan demikian. Potongan baju yang tergeletak di mana-mana. Tas sekolah yang biasa Airin gunakan tergantung di atas lemari makanan. Kemudian, tumpukan piring dan alat makan lainnya di atas meja serta bungkus makanan yang berserakan di segala tempat.

“Airin,” panggil Alby lagi. Namun, tidak ada seorang pun yang merespon panggilannya.

Berbeda dengan Alby dan semua rasa cemasnya, Hana menatap jijik ke sekelilingnya. Bagaimana bisa seorang gadis cantik tinggal di dalam kandang sapi seperti ini, batinnya. Untuk sesaat, Hana tidak ingin jauh dari sang sepupu. Ia takut setengah mati.

“Aduh!” keluh Hana kala kepalanya terbentur dengan punggung lebar Alby.

Pasalnya, lelaki manis itu berhenti secara tiba-tiba di depan pintu yang diduga sebagai ruang yang gadisnya gunakan untuk tidur. Sepasang manik minimalis yang terlihat indah saat tersenyum itu kini hilang.

Alby memandangi pintu kamar dengan hiasan makrame berwarna beige di depannya itu dengan perasaan yang sangat campur aduk. Perlahan namun pasti, tangannya terulur menggenggam kenop pintu yang terbuat dari bahan mental itu. Ia menghela napas panjang.

Cklek.

Berbeda dengan ruangan-ruangan sebelumnya, ruang tidur ini terlihat begitu terang. Semua lampu dan sistem penerangan yang ada hidup dengan sempurna. Juga, jika tidak salah dengar, ada keran air mengalir yang terbuka dari kamar mandi di dalam sana.

Tanpa rasa ragu sedikit pun sebab ingin mengetahui kondisi gadis kesayangannya sesegera mungkin, Alby membuka lebar pintu kamar tidur tersebut. Betapa terkejutnya sepasang sepupu itu kala manik mereka menangkap sebuah tubuh ringkih yang bersimbah darah kental tergeletak di atas ranjang.

Alby mematung di tempatkan. Sedangkan, Hana berusaha kerasa menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya. Untuk sejenak, keduanya sempat tidak percaya dengan apa yang manik mereka saksikan secara langsung.

“Airin!” pekik Alby. Ia berlari menghampiri gadisnya. “Sadar, Rin!” teriaknya sembari menepuk pelan pipi Airin.

“Airin…,” lirih Hana.

Hana dapat melihat dengan jelas bagaimana semua luka terbuka yang ada pada tubuh sahabatnya itu mengeluarkan banyak darah serta benda tajam kecil berwarna silver yang jatuh dari genggamannya saat Alby memeluk tubuh Airin.

Hana berniat untuk mencari untuk menghubungi paramedis telepon saat pandangannya mengedar ke seluruh sudut kamar tidur itu. Namun, bukannya menemukan telepon kabel atau alat komunikasi lainnya yang ia temukan, melainkan…

“Tolongin gua bawa Airin, Han. Kita bawa Airin ke rumah sakit,” lirih Alby dengan napasnya yang tersendat sebab dadanya terasa sangat sesak.

“Hah? Apa? Oh, iya, By,” jawab Hana terbata.

Meskipun linglung, Alby dan Hana mengerahkan tenaga mereka secara maksimal untuk membopong Airin. Selain mereka berdua, Pak Bagus juga tak kalah terkejut dengan adegan yang terjadi tepat di hadapannya.

“Ya Tuhan, Nak Airin?!” ujar pria paruh baya itu. Kemudian, ia membantu Alby dan Hana menggotong tubuh Airin agar masuk ke dalam mobil Alby. “Nak Alby duluan ke rumah sakit, ya, Nak. Pak Bagus nanti nyusul ke sana setelah tukeran shift sama temen Bapak. Hati-hati, ya, Nak,” lanjutnya.

Terdengar dengan jelas bagaimana rasa khawatir yang muncul pada diri Pak Bagus kala melihat gadis sekolahan yang sangat ia hormati itu ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Semuanya berusaha dengan keras untuk menyelamatkan nyawa Airin, termasuk Hana.

Di dalam mobil, Hana duduk di kursi penumpang bagian belakang seraya memangku kepala sahabatnya yang tak sadarkan diri. Sementara itu, di kursi supir di bagian depan, Alby beberapa hampir membentur pinggir trotoar jika saja motor yang melewatinya tidak membunyikan klakson.

“Konsen, By. Jangan sampe lo lukain kita semua juga,” tegas Hana.

Berkat kesigapan keduanya, kini mereka sudah sampai di pekarangan rumah sakit. Sesaat mobil klasik Alby berhenti di depan instalasi gawat darurat, sekumpulan perawat dengan cepat membawa ranjang khas rumah sakit untuk mengangkut Airin lalu di bawa ke dalam ruang tindakan.

“Temennya pasien, ya?” tanya salah satu perawat yang bertugas.

“Iya, Sus,” balas Hana.

“Tunggu di luar aja, ya. Biar dokter yang tanganin temennya. Nanti kalo sudah selesai, dokternya akan segera keluar,” jelas sang perawat.

Menurut apa kata perawat tersebut, akhirnya Hana menududukkan dirinya di bangku panjang berbahan logam yang tersedia di sana. Tak lama, ada suara langkah yang menggema di sekitar lorong.

“Airin?” tanya Alby terngengah-engah.

“Ada di ruang tindakan lagi ditanganin sama dokter,” jelas Hana.

Mendengarnya, Alby mulai dapat bernapas dengan normal. Lelaki manis itu bertumpu pada kedua lututnya sembari menatap kakinya yang menapak pada lantai dingin di rumah sakit. Melihatnya, Hana mengusap sebelah pundak lebar sepupu kesayangannya.

“By,” panggilnya.

“Iya, Cil?” balas Alby tanpa menolehkan pandangannya.

Sejenak, gadis mungil itu terdiam. Perasaannya berkecamuk. Haruskah ia menjelaskan apa yang ia lihat tadi selain cutter kecil yang ada di genggaman Airin? Atau mungkin tidak? Tidak sekarang atau tidak pernah? Di sore menjelang malam hari itu, Hana diselimuti rasa ragu dan bimbang.

“Kenapa, Cil?” tanya Alby lagi sembari menatap Hana sebab sepupunya itu tidak kunjung menjawab.

“Gak apa-apa, By. Semoga Airin gak kenapa-napa,” dusta Hana.

Di lorong rumah sakit yang sepi itu, Alby sibuk merapalkan doa setelah mengambil posisi duduk di sebelah Hana. Sedangkan, gadis mungil itu mengabari orang tuanya bahwa ia sedang menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.

Tanpa keduanya sadari, sedari tadi ada seorang lelaki yang tengah berdiri dengan jarak cukup jauh di ujung lorong seraya memerhatikan gerak-gerik keduanya seolah sedang memata-matai sepasang sepupu itu.

“Banyak banget, ya, By. Padahal kita mau jenguk Airin doang, bukan jenguk satu apartemennya,” sindir Hana.

“Harus totalitas dong, Cil. Kalo sama orang yang disayang gak boleh perhitungan,” balas lelaki manis itu.

“Gua liat-liat dari buah tropis sampe buah impor juga ada di buah bawaan lo,” ucap Hana lagi.

Yang diujar begitu hanya membalas dengan sentilan di kening mungil dan mulus lawan bicaranya. Sepasang sepupu itu baru saja keluar dari toko buah yang ada di perempatan di dekat sekolah mereka. Sesuai rencana awal, Alby dan Hana akan berkunjung ke tempat tinggal Airin untuk memeriksa keadaannya.

Berbeda dengan Hana, Alby kelewat cemas semenjak dirinya mengetahui bahwa gadis cantik pujaan tidak memberi kabar baik padanya maupun pada teman terdekatnya. Airin yang diketahui sudah melewatkan sekolah selama beberapa hari belakangan sukses membuat lelaki manis penuh humor itu kepalang khawatir.

Setelah mendapat bingkisan buah yang diinginkan, keduanya melengang pergi dari sana untuk menuju apartemen Airin. Sesaat sepasang sepupu itu sampai di pelataran parkiran gedung apartemen, mereka disambut baik oleh Pak Bagus sang petugas keamanan.

“Sore, Pak Bagus,” sapa Alby.

“Sore, Pak,” ucap Hana serupa.

“Saya mau jenguk Airin, Pak. Airin udah beberapa hari ini gak masuk sekolah,” jelas lelaki manis itu.

Pak Bagus yang mendengar pernyataan demikian hanya dapat menganga heran. “Owalah. Pantesan, ya, Nak. Bapak udah beberapa hari ini juga gak pernah liat Nak Airin pergi sama pulang sekolah. Bapak gak tau kalo Nak Airin sakit. Semoga Nak Airin cepat sembuh, ya. Tolong sampaikan salam Bapak sama Nak Airin,” ujarnya.

“Iya, Pak. Nanti saya sampaikan. Saya ke atas dulu, ya, Pak. Mari,” ucap Alby diakhiri dengan senyuman ramah.

Selepasnya, Alby dan Hana mulai masuk ke dalam bangunan tempat tinggal Airin. Mereka menaiki lift untuk sampai ke lantai yang di tuju. Pada awalnya, tidak ada percakapan signfikan yang terjadi antara sepasang sepupu itu. Alby sibuk dengan perasaan cemasnya dan Hana dengan rasa cemburunya.

Setidaknya, sampai gadis mungil itu mulai penasaran dan bertanya pada sang sepupu kesayangan. “Satpamnya kenal sama lo, By?” tanya Hana.

“Iya,” singkat Alby. “Gua ‘kan sering anter sama jemput Airin,” lanjutnya.

Mendengarnya, Hana memutar bola matanya jengah dan itu bertepatan dengan dentingan bel dari elevator tersebut yang menandakan bahwa mereka telah sampai di lantai yang dimaksud. Suasana di lorong unit tersebut terasa cukup mencekam mengingat para penghuninya yang masih melakukan aktivitas di luar.

Baik Alby maupun Hana hanya dapat merasakan atmosfir yang sunyi nan senyap. Sesampainya di depan unit tempat tinggal Airin, sembari masih memeluk keranjang yang berisi buah-buahan yang tadi dibeli, Alby menekan tombol bel yang tersedia di sana.

TING! TONG!

Satu kali dan tidak ada jawaban.

TING! TONG!

Sekali lagi dan masih tidak ada respon yang terdengar.

TING! TONG!

Alby menekan tombol bel seraya mengetuk daun pintunya, namun hasilnya tetap nihil.

“Coba lo telpon, Cil,” perintah Alby.

Dengan begitu, Hana merogoh saku rok seragam sekolahnya untuk mengambil ponselnya. Ia menelusuri kontak dengan nama Airin lalu membuat panggilan atas nama tersebut. Tidak hanya Hana, tetapi Alby juga mendengar suara itu, suara nada dering yang terus berbunyi sebab pihak seberang tidak menjawab panggilannya.

“Gak diangkat, By,” ucap Hana. “Mungkin Airin lagi berobat kali,” sambungnya.

Alby hanya dapat menghela napas panjang. Seketika sepasang bahunya meluruh. Pikirannya kalut dan hatinya gelisah. Ke mana gadis cantik dambaan hatinya selama beberapa hari ini? Keberadaan Airin sekarang mampu membuat seorang Alby tidak dapat berpikir jernih.

“Pulang, yuk, By. Guru privat gua udah mau dateng ke rumah. Buah sama nomor ujiannya dititip aja di pos satpam,” ujar gadis mungil itu. “Sabar, ya, By,” lanjut Hana seraya mengusap bahu lebar di sampingnya.

“Yaudah,” singkat Alby.

Akhirnya, sepasang sepupu itu memutuskan untuk pulang. Alby melangkah lebih dulu untuk kemudian diekori oleh Hana. Namun, di waktu yang bersamaan, pada saat Hana hendak membalikkan tubuhnya, indera pendengarannya menangkap sebuah stimulus berupa suara seorang perempuan yang sedang menangis.

Oleh sebab itu, bulu kuduknya langsung merinding. Melihat Alby yang langkahnya hampir mendekati elevator, Hana dengan segera menyusulnya. Dalam sekejap, jantungnya berdegup dengan sangat kencang, aliran darah di tubuhnya berdesir cepat, serta napasnya ikut menggebu.

Tangan gadis mungil itu bergerak menekan bel dengan tanda panah ke bawah itu berkali-kali yang ada di samping pintu elevator. Alby sadar sepupunya itu tiba-tiba bertingkah aneh. Ia mengulurkan tangannya untuk menghentikan pergerakan kompulsif yang dilakukan Hana.

“Heh, Cil. Lo kenapa?” tanya lelaki manis itu sembari menggenggam tangan mungil yang dipenuhi dengan keringat dingin.

“Hah? Apa?” balas Hana dengan kembali bertanya. Ia menolehkan kepalanya pada lelaki manis yang lebih tinggi yang berdiri di sebelahnya.

“Lo kenapa? Lo keringet dingin ini,” jelas Alby. Tangan besar yang tengah menggandeng tangan yang lebih kecil itu terangkat.

“Oh…,” ucap gadis mungil itu terbata. “Gua gak apa-apa,” dustanya.

Mendengarnya, Alby mengangkat sebelah alisnya. Ia tahu ada yang tidak beres dengan sepupu kesayangannya ini. “Aneh lo,” ledeknya.

Setelah elevator sampai dan membuka pintunya secara otomatis, dengan cepat Hana menarik tangan Alby untuk masuk ke dalamnya. Gadis mungil itu melakukan hal serupa pada tombol bertuliskan lower ground di dalam tabung besi tersebut tersebut. Dengan begitu, paru-parunya baru dapat bernapas sewajarnya.

“Itu gua gak salah denger ‘kan? Masa iya ada suara cewek nangis dari kamar Airin? Itu hantu atau…,” batin Hana sengaja menggantung perkataannya sendiri.

“Dua tahun aku deket sama kamu, aku baru tau ini tempat kamu nongkrong sama Alan-Vino,” sergah Airin selagi maniknya menginvestigasi setiap sudut dari markas tempat The Celestial’s biasa berkumpul.

Di salah satu gedung bertingkat yang berjarak tak jauh dari sekolah itu dipenuhi dengan keperluan musik ala anak band, seperti gitar, bass, drum, speaker serta standing microphone yang tersusun rapi di sudut ruangan.

Farelio, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak menghiraukan pernyataan gadisnya. Ia mempersilakan Airin untuk duduk di salah satu sofa besar berlapis kulit berwarna hitam yang ada di sana.

“Kamu mau minum apa, Rin?” tanya Farelio.

Mendengarnya, Airin tersenyum masam sembari menundukkan pandangannya. Indera pendengarannya terasa asing saat mendengar lelaki kesayangannya itu melontarkan sesuatu yang manis dan lembut padanya.

“Sorry, Rel. It feels kinda weird for me,” balas gadis cantik itu.

“It’s totally okay, Airin. I knew it,” ujar Farelio.

“Better for you to make it fast, Farelio. Aku gak punya waktu banyak,” tegas Airin.

Sepasang manik selegam senja yang biasa berbinar itu kini hilang. Di sore menjelang malam hari itu, Farelio benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda dari gadisnya. Ia tidak mengetahui pasti apa itu, tetapi ia tahu bahwa perubahan itu berkaitan dengan perasaan mereka satu sama lain.

“Ah, iya, i’m sorry. Aku bakal langsung ke intinya aja,” katanya. “I love you, Airin.”

Mendengar ada tiga kata keramat yang menyeruak masuk ke dalam telinganya, Airin bergeming. Wajah cantiknya menunjukkan ekspresi yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa jelaskan. Perasaannya berkecamuk kala itu.

Ia tersenyum sebelum membalas perkataan Farelio. “Di mana, Rel?”

“What do you mean by ‘di mana’, Airin?” balas Farelio dengan sebelah alisnya yang terangkat.

“You said you love me, right, Farelio?” tanya Airin memastikan.

“Of course. I love you and it will always,” ujar lelaki tampan itu.

“Then show me the love you mean by that,” ucapnya. “Selama ini aku gak pernah bisa liat, aku gak pernah bisa sentuh, aku gak pernah bisa denger, aku gak pernah bisa ngerasain apa yang kamu maksud dengan ‘cinta’, Farelio.”

“Kamu tau persis gimana cara aku mencintai kamu, Airin,” tegas Farelio.

Airin menghela napas panjang. Sebisa mungkin gadis cantik itu menahan tangisnya. “Kamu bener, Rel. Aku bisa kok liat, sentuh, denger, dan ngerasain cinta kamu yang ‘unik’ itu.”

Farelio mengusap wajahnya kasar. Sebelumnya, ia tidak pernah mengira bahwa proses mencintai dan dicintai akan menjadi serumit ini. “Terus aku harus gimana, Rin? Aku gak bisa kehilangan kamu. Aku bisa berubah kalo kamu mau, tapi aku mohon jangan tinggalin aku. I will never live if it’s without you.”

“I’m so sorry, Farelio. Apapun yang kamu ucapkan sekarang ke aku….” Airin sengaja menggantung kalimatnya. Ia tatap sepasang manik selegam malam yang pernah menjadi kesukaannya, lalu ia berkata. “Aku cuma mau bilang semuanya terlambat. Aku gak bisa lanjutin ‘kita’.”

“Rin, please…,” pinta Farelio. “I beg you.”

Di detik berikutnya, sebelah tangan lelaki tampan itu bergerak menggenggam tangan yang lebih kecil. Farelio menarik tangan mungil itu agar Airin masuk ke dalam dekapannya. Di sisi lain, Airin mencoba memberontak. Ia sangat tidak menginginkan hal ini terjadi.

“Rel, please….” Kali ini, Airin yang memohon. “Let me go.”

Bukannya mendengar apa yang gadisnya ucapkan, Farelio malah semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah Airin benar-benar akan pergi jika ia melepaskannya. Tak lama, terdengar suara dari seseorang yang menekan tombol angka pada pintu smart lock ruangan itu.

“Rel,” panggil Alvino yang datang bersama Nalandra.

Dengan begitu, Farelio baru mau melepaskan dekapannya. Kesempatan itu Airin gunakan untuk meloloskan diri dari lelaki tampan yang selama dua tahun belakang membuat perasaannya campur aduk.

“You okay, Rin?” tanya Alvino.

“I’m okay, Vin. Thanks,” ucap Arin.

Berbeda dengan Alvino yang lebih memberi perhatian pada Airin, Nalandra justru merasa prihatin dengan Farelio. Lelaki tampan yang sering bercanda itu menatap iba pada sang sahabat.

Menurut Nalandra, usaha yang Farelio lakukan selama ini semata-mata untuk mempertahankan keberadaan gadis yang dicintainya. Namun, entah mengapa semua ini terasa tidak benar.

Sepasang sahabat dari Farelio itu kemudian mengambil posisi duduk di seberang Airin dan Farelio. Untuk sejenak, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara mereka. Setidaknya, sebelum Alvino kembali berucap.

“Udah makan, Rin? Kalo belom, gua pesenin makan, ya,” tawarnya.

Airin menggeleng. “Gak usah, Vin. Gua udah makan sama Alby kok sebelom ke sini,” ujarnya.

Farelio menggeram rendah sembari mengepalkan kuat telapak tangannya saat ada satu nama tak asing yang ia benci masuk melalui indera pendengarannya. Sudut maniknya melirik Airin yang terlihat seolah tidak berdosa setelah mengucapkan nama lelaki lain tepat di hadapannya.

“I really need to talk to you, Airin, and i’ll take you home later,” jelas Farelio. “You need to know that i risk my life for this talk with you,” lanjutnya.

Suara sedalam palung yang mengekspresikan keseriusan itu menyita perhatian Airin. Meskipun begitu, ia lebih memilih untuk diam. Untuk saat ini, hati kecilnya cukup merasa aman dan lega sebab kehadiran Alvino dan Nalandra di antara mereka. Farelio tidak mungkin melakukan hal gila pada gadisnya di depan teman-temannya, bukan?

Selepasnya, Farelio sibuk berbincang bersama Alvino dan Nalandra, meninggalkan Airin yang akhirnya memilih untuk berkirim pesan singkat dengan Alby melalui ponselnya. Sesekali, lelaki tampan itu melirik ke arah layar ponsel gadisnya dan yang ia temukan lagi-lagi adalah nama sang musuh.

Tanpa terasa, sore sudah berganti jadi malam. Dari jendela besar yang ditutupi tirai putih terpancar sinar berwarna oranye yang perlahan meredup. Selagi ketiga sahabat itu masih serius mengobrol, Farelo merasakan bahu sebelah kanannya semakin berat. Saat dirinya menoleh yang ia temukan ialah Airin yang tidak sadarkan diri tengah bersandar padanya.

Farelio tersenyum melihat gadisnya yang terlelap. “It’s been a long time since you slept next to me, Airin,” bisiknya.

Alvino dan Nalandra yang berada di tempat kejadian hanya dapat memandang satu sama lain. “Lo anterin pulang sana, Rel,” ujar Nalandra.

“Iya, ini mau gua anter pulang kok,” jawab Farelio tanpa memalingkan pandangannya. Lelaki tampan itu tengah asyik menyeka helaian rambut yang menghalangi wajah cantik yang sedang tertidur pulas di bahunya.

“Poor you, Farel,” gumam Alvino.

“Tutup mata kalian,” ujar lelaki tampan itu diiringi dengan tatapan serius pada kedua sahabatnya.

“Heh, Farelio! Anak orang lagi tidur, ya. Kebangetan lo,” ucap Nalandra setengah berbisik.

“Lo gak lupa masih ada gua sama Alan di sini ‘kan, Rel?” tambah Alvino.

Mendengarnya, sang pelaku hanya terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. “Gua tau gua minta kalian ke sini untuk nahan gua kalo gua kelepasan sama Airin, tapi itu bukan maksud gua sekarang,” balas Farelio. “Lo gak liat rok seragam Airin pendek banget gitu? Kalo gua gedong Airin nanti pahanya keliatan kemana-mana dan gua gak mau kalian ngeliat punya gua,” jelasnya.

“Udah jantungan aja gua denger lo nyuruh tutup mata,” balas Nalandra seraya mengelus-elus dadanya.

Setelahnya, sepasang sahabat yang sudah menemani Farelio sejak kecil itu mengeratkan manik masing-masing, sesuai perintah. Dengan begitu, Farelio baru merasa cukup tenang untuk menggendong gadisnya. Lelaki tampan itu membawa Airin masuk ke dalam mobilnya lalu mengantar gadis cantik itu pulang menuju apartemennya.

Di pelataran parkir gedung tempat tinggal Airin, Farelio menyempatkan diri untuk menikmati pemandangan yang mungkin tidak akan dapat ia lihat lagi selamanya setelah ini, yaitu momen saat Airin sedang tertidur pulang di hadapannya. Farelio mendekatkan wajahnya pada kening sang gadis.

“Sleep well, Airin,” ucapnya. “Also eat and live well,” lanjutnya. “I will always be love you no matter when and where i am,” final Farelio diiringi dengan kecupan hangat di kening Airin.

sumpah.. kalo gabisa gua harus apa? aneh banget jadi gak aesthetic hshshshshshshs

bisa gak ya?

nyoba lagi

halo lagi..

halo..

halo..

Selepas menikmati makanan berkuah di rumah makanan langganan, Alby memutuskan untuk tidak langsung mengantar pulang Airin ke apartemennya. Tentunya, ia sudah izin terlebih dahulu dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.

Airin berkata dengan kejujuran sepenuh hatinya bahwa ia tidak ingin cepat-cepat pulang sebab ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan lelaki manis itu. Di malam yang penuh bintang itu, Alby dibuat tersipu oleh gadis pujaannya.

Bolehkah kita mengatakan bahwa rasa yang tumbuh di antara keduanya sudah mulai menyatu? Tidak ada yang tahu. Rasa hanya diketahui oleh si pemilik hati dan Tuhannya. Namun, jika semesta menyambut, harapan boleh tumbuh.

“Gua udah lama gak keluar malem-malem kayak gini,” ujar Airin. Sepasang maniknya menatap lekat pada lukisan ala kota besar. “Ah, mungkin lebih tepatnya gua gak pernah keluar,” sambungnya.

Mendengarnya, Alby hanya memandang lamat pada gadis cantik yang duduk di sebelah kirinya. Ada seberkas rasa tidak mengenakkan yang mengendap di hatinya. Tetapi, khusus untuk hari ini, hari bahagia gadisnya, lelaki manis itu tidak ingin menunjukkannya secara terang-terangan.

“Mau ke mana lagi, Rin?” tanya Alby seraya membelokkan mobilnya masuk ke dalam gang di samping pertigaan.

“Ke mana aja asal sama lo,” jawa gadis cantik itu sembari mengalihkan pandangannya pada sang pengemudi.

Hal itu tentunya sukses membuat Alby salah tingkah. Lelaki manis itu hanya dapat tersenyum beriringan dengan maniknya yang menyipit dengan indah. Alby memang jago perihal berkata indah, namun jika dibalas oleh pihak lawan, ia ciut juga.

“Aduh, Rin. Jangan gitu dong. Jantung gua jadi gak sehat nih,” guyonnya.

Mendengarnya, Airin hanya terkekeh untuk kemudian kembali memusatkan atensinya pada apa saja yang mobil klasik milik Alby lewati melalui jendela yang kacanya setengah terbuka di sampingnya. Bahkan, untuk menikmati hal kecil seperti ini saja, Airin jarang merasakannya. Namun, bersama Alby, hampir semua rasa bahagia dirasakan oleh gadis cantik itu.

“Rin,” panggil Alby.

“Iya, By?” balas Airin.

“Pulang, yuk. Udah malem,” ujarnya.

Airin hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali menyetujui pernyataan Alby. Mobil klasik kesayangan lelaki manis itu kini kembali berputar di pertigaan untuk menuju jalan pulang kea rah apartemen gadisnya. Sesampainya di sana, Alby memarkirkan mobilnya di tempat semula.

“Lo tunggu sebentar di sini, ada yang mau gua omongin. Gua mau kasihin soto ke Pak Bagus,” ucap Alby.

Airin dapat melihat raut wajah khawatir lelaki paruh baya itu berubah menjadi bahagia dalam sekejap saat Alby memberinya soto daging yang sempat ia pesan untuk dibawa pulang. Airin mengira bahwa itu untuk dirinya di rumah, namun ternyata dugaannya salah. Setelah Airin, kini ada orang baik lain yang gemar berbagi makanan kepada Pak Bagus. Setelah selesai, lelaki manis itu kembali ke dalam mobil.

“Pak Bagus keliatan seneng banget,” kata Airin.

Alby mengangguk setuju. “Iya, katanya sotonya mau dia bawa pulang aja buat istrinya,” balasnya.

“Lo mau ngomong apa, By? Jangan bilang lo mau nembak gua,” sergah gadis cantik itu.

Mendengarnya, sepasang manik selegam malam itu membelalak. Airin semakin menjadi-jadi, batin Alby. “Lo mau gua tembak sekarang?” tanyanya.

“Ya, terserah lo,” enteng Airin.

Alby terkekeh. Gadis cantik satu ini benar-benar menyita perhatiannya sejak awal dan semakin lama semakin menarik hatinya. “Iya, nanti, ya. Kalo kita udah selesai ujian akhir,” ucapnya.

Airin tidak menjawab pernyataan yang dilontarkan Alby. Ia tidak mengira bahwa candaannya akan ditanggapi dengan serius oleh lelaki manis penuh humor itu. Pada akhirnya, Airin yang kembali dibuat tersipu oleh lawan bicaranya.

“Kok jadi lo yang salting, Rin?” ledek Alby seraya tertawa puas.

“Gua gak salting tuh,” sanggah Airin. Maniknya menatap ke segala arah asal jangan memandang langsung manik minim dengan binar indah di sebelahnya.

Tidak ingin membahas perkara menyatakan cinta ini lebih lanjut lagi, tangan Albu bergerah meraih sesuatu dari jok penumpang di belakang mobilnya. Terlihat sebuah kotak besar dengan hiasan pita berawarna merah yang ada dalam pelukannya sekarang.

“Buat lo,” kata Alby. Ia menyerahkan kotak besar itu pada Airin.

Airin cukup dibuat terkejut oleh hadiah besar itu. Sebab terlalu besar, ia sampai tidak bisa melihat dengan jelas sosok manis di hadapannya. “Besar banget, By. Lebih besar kadonya dibanding gua. Makasih, ya,” ucapnya diiringi dengan senyum manis.

Alby menyunggingkan senyum tidak kalah menawan dari gadisnya. Dibanding Airin, dirinya lebih bahagia saat dapat melihat senyum manis yang tersimpul di wajah cantik kesukaannya. Airin tidak bisa berhenti memandangi sebongkah kotak besar yang kini ada di dalam pelukannya. Malam itu, rasa sedihnya sukses berubah menjadi bahagia tak terhingga oleh Alby.

“Rin, gua boleh pegang tangan lo?” tanya lelaki manis itu meminta izin.

Dengan sesuah payah, gadis cantik itu mengulurkan tangannya ke arah lawan bicaranya. Disambutnya tangan mungil itu oleh Alby. Ia mengusap lembut punggung tangan itu dengan ibu jarinya. Berbeda dengan Alby yang terlihat begitu tenang, Airin merasa peredaran darahnya berdesir lebih cepat.

Cup!

Alby mengecup pelan punggung tangan gadisnya. “Mungkin gua bukan orang pertama yang ngucapin selamat ulang tahun ke lo, Rin,” ujarnya. “Gua sengaja neglakuin itu karena kata orang yang terakhir itu yang paling bermakna.”