envisage (2)

Setelah melewati rintangan tersulit, yaitu pengawal sewaan sang ayah, akhirnya Farelio sampai di rumah sakit tempat Airin dirawat. Sesampainya di sana, Farelio menghampiri bagian administrasi dan bertanya di mana ruangan sang gadis dirawat. Ia ingin cepat-cepat menghampiri tambatan hatinya.

“Makasih, Sus,” ucap lelaki tampan itu.

Kemudian, Farelio kembali berlarian di sekitar lorong rumah sakit. Tidak jarang, sebab kepalang panik, ia menabrak beberapa orang yang berjalan melewatinya dan dengan sopan ia meminta maaf atas perbuatannya.

Di dalam hatinya, hanya ada Airin, Airin, dan Airin. Persetan dengan ayahnya yang mengetahui hal ini. Entah seperti apalagi hukuman yang akan Kendrick lampiaskan untuknya karena sekarang yang terpenting adalah Farelio dapat bertemu dengan Airin.

“I’m coming for you, Airin,” gumamnya.

Tak lama setelahnya, di ujung lorong, sepasang manik selegam malam ini menangkap dua orang sedang berbincang serius di depan ruang perawatan. Itu Alvino dan Nalandra, sahabat kesayangannya. Melihatnya, simpul senyum itu mulai merekah.

“FAREL?!” pekik Nalandra saat Farelio berhenti di hadapannya dengan napasnya yang tersendat. Ia menumpukkan kedua tangannya pada lututnya.

Tidak hanya Nalandra, Alvino yang terhitung sudah mengetahui kabar ini juga sama terkejutnya. Ia tidak menyangka bahwa sahabatnya itu akan datang secepat ini. Perasaannya campur aduk saat itu, sedih dan senang di saat yang bersamaan.

“Lo gak apa-apa, Rel?” tanya Alvino khawatir. Ia mengusap pelan punggung Farelio.

“I’m okay,” jawab Farelio seraya kembali menegakkan tubuhnya.

“Lo ke sini sama siapa, Rel?” tanya Nalandra penasaran.

“Sendiri. Gua kabur,” singkatnya. “Airin gimana?” tanya lelaki tampan itu.

“Masih belum siuman,” jawab Alvino.

“Airin di dalem sendiri?” tanya Farelio lagi.

“Enggak. Di dalem ada Alby,” jelas Nalandra.

Mendengar ada satu nama tak asing yang tertangkap indera pendengarannya, Farelio menahan napasnya sejenak. Dugaannya selama ini ternyata benar. Dirinya mungkin bukan lagi satu-satunya lelaki yang ada di hati Airin. Posisinya mungkin sudah tergantikan oleh Alby. Tidak ingin berbohong, Farelio cukup tersakiti dengan fakta itu.

“Gua mau ke dalem,” ucap lelaki tampan itu. Baru saja Farelio melangkahkan kakinya mendekat pada pintu ruangan rawat inap, aksinya didahului oleh seseorang.

Cklek!

“Lo ngapain di sini?” tanya Alby sinis.

“Mau nemuin Airin. Makasih udah jagain Airin selama gua pergi. Sekarang lo boleh minggir,” sarkas Farelio.

Dua pasang itu saling bertemu. Bukan lagi mengindikasikan kebencian, keduanya seolah berperang melalui jendela dunia itu. Jika boleh jujur, Alby sangat amat terganggu dengan kedatangan Farelio yang tiba-tiba ini dan mungkin Airin juga merasakan hal yang sama, menurutnya.

Di sisi lain, Farelio kurang lebih merasakan hal yang serupa dengan Alby. Ia tidak suka bahwa di masa kritis gadis cantik tersebut, entah dari mana Farelio kembali menghampirinya. Jika memang ia peduli dengan Airin, tidak seharusnya ia meninggalkan Airin bersama semua rasa sakit itu.

Alvino dan Nalandra yang menyaksikan perang dingin itu hanya dapat bungkam. Keduanya lebih memilih untuk netral dan tidak memihak kepada siapapun. Dalam urusan ini, biarlah Airin yang menentukan pilihannya.

“Airin belom sadar. Mending lo tunggu di luar. Airin gak boleh diganggu,” ujar Alby.

“Gua mau liat Airin,” balas Farelio tidak mau kalah.

“Lo gak denger apa kata gua? Airin lagi gak boleh diganggu,” ulang lelaki manis itu.

Farelio mulai kehilangan kesabarannya. Ia melangkah lebih maju agar wajahnya dapat menatap secara langsung wajah yang menurutnya sudah merusak hubungannya dengan Airin sejak dulu. Melihatnya, Alby tidak gentar. Ia pun melakukan hal yang sama seperti Farelio. Namun, di saat atmosfer yang menyelimuti keduanya semakin mencekam. Seseorang kembali membuka pintu ruang perawatan intensif tersebut.

Cklek!

“Airin?” ucap Alvino dan Nalandra serempak.

“Airin,” ujar Farelio dan Alby bersamaan.