Re-Encounter
“Hello. What do you want for today?” tanya seorang pegawai perempuan dari tempat makan cepat saji pada pelanggan yang berdiri di hadapannya.
“Hi. Can I get a half of sliced chicken with no cucumber and zaitun, please,” jawab Farelio setelah selesai membaca menu yang tertera jelas di atas kepala sang pegawai.
“Would you like to have the sandwich with cola?” tanya pegawai ramah itu lagi.
Farelio mengangguk. “Yes, please.”
Siang menjelang sore yang terasa cukup dingin hari itu, setelah menolak ajakan dari Clarissa, Farelio memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumahnya. Mengingat sang ayah mungkin sudah berada di sekitaran Bandar Udara Internasional Vancouver sekarang bersama Yolanda membuat Farelio semakin tidak ingin pulang ke rumah.
Setelah mendapat pesanannya, lelaki tampan itu keluar dari restoran makanan cepat saji tersebut lalu melangkah menuju taman yang berjarak tak jauh dari sana. Farelio mendudukkan dirinya di bangku kayu panjang di tengah-tengah taman dekat dengan air mancur. Ia melahap suapan pertamanya pada roti isi yang dibelinya.
Jika tidak salah, ini makanan pertama yang masuk ke dalam mulutnya sejak kemarin sore. Selagi menikmati sandwich yang menurutnya terasa hambar, Farelio mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman terbuka yang hamparan tanahnya dilapisi oleh rumput hijau segar. Sesekali, lelaki tampan itu mengeratkan jaket yang dikenakannya.
Hari ini, taman yang sudah menjadi comfort zone-nya selama satu tahun belakang itu tidak dikunjungi oleh banyak orang. Jika beberapa hari sebelumnya, ia melihat beberapa turis yang sedang duduk santai di dekat air mancur serta sepasang kakek dan nenek yang asyik menyuapi satu sama lain dengan roti coklat yang dibeli di minimarket terdekat, kini tidak tampak lagi.
Di taman yang tidak terlalu luas itu, hanya terlihat seorang anak laki-laki yang sedang sibuk dengan tablet dan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Farelio yakin bahwa anak laki-laki itu tidak datang sendiri dan bisa jadi ibunya sedang mampir ke penjual makanan kaki lima di sekitaran taman ini.
Farelio ikut tersenyum kala anak laki-laki itu tersenyum sembari menatap semangat ke layar tabletnya. Jika ia tidak salah dengar, anak itu tengah mengobrol dengan ibunya, yang benar seperti dugaannya, sedang membeli beberapa makanan ringan untuk disantap di sore yang awannya semakin tebal itu.
“I didn’t expect to see you here, Farelio,” ucap seseorang dari belakangnya.
Sontak, Farelio menolehkan kepalanya. Untungnya, lelaki tampan itu memiliki indera layaknya manusia laba-laba super. Jika tidak, mungkin air soda yang sedang ia teguk dari dalam gelas kartonnya sudah meresap ke dalam tanah berumput. Dan yang ia temukan adalah gadis dengan senyum paling hangat di dunia.
Farelio hendak menyeka bulira soda yang menempel di sudut bibirnya saat oknum yang mengejutkannya tadi melakukannya terlebih dahulu. Clarissa dengan telaten membersihkan, tidak hanya tumpahan air soda melainkan juga remah-remah dari roti isi, yang mengotori wajah tampan teman kuliahnya itu.
“You have to be careful, Farelio,” tambah Clarissa.
Setelah selesai, gadis cantik itu berjalan memutari bangku panjang di depannya untuk kemudian mengambil posisi duduk di samping Farelio. Clarissa menyilangkan kaki bagian bawahnya. Lalu, ia menepuk-nepuk pelan rok tebalnya yang berwarna coklat. Farelio berani bersumpah bahwa teman cantiknya ini adalah gadis paling anggun yang pernah ia temui.
“Thanks a lot, Clar,” balas lelaki tampan itu.
“What are you doing here? Aku pikir kamu punya janji makanya kamu gak bisa pas aku ajak nonton,” tanya Clarissa penasaran.
Padahal, bukan pertama kalinya tawaran dan ajakan atau hal-hal yang berhubungan seperti itu ditolak oleh teman kesayangannya. Dengan berbagai alasan pula, Farelio menolaknya. Tetapi, bukan Clarissa namanya jika ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Lihat saja, bahkan sampai saat ini, Clarissa tidak ingin menyerah.
Farelio tersenyum masam. Clarissa yang sangat peka dengan semua tingkah laku manusia di sampingnya itu mengangguk dalam diamnya. Oleh karenanya, ia tidak mempermasalahkan perkara itu dengan tidak menuntut Farelio untuk memberi penjelasan. Ia tidak berhak tahu seluruh kehidupan lelaki idamannya.
“Suddenly got canceled, ya?” tanya Clarissa menenangkan.
Dengan cepat, Farelio mengangguk. “Kinda,” singkatnya. “Kamu ngapain di sini?”
“Mau ketemu sama temennya Mama,” kata Clarissa. “Mama mau bikin baju untuk pesta di Toronto bulan depan.”
Farelio menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Kembali ke sepenggal kisah antara Farelio dan Clarissa. Keduanya pertama kali bertemu saat berada di kelas pertama di musim semi. Kala itu, Farelio lupa membawa buku yang seharusnya ia pinjam dari perpustakaan. Seperti cerita klasik lainnya, Clarissa datang sebagai penyelamatnya.
Farelio masih ingat betul bagaimana gadis cantik itu tersenyum sembari menawarkan untuk berbagi buku dengannya. “From Indonesia, ya? Barengan aja sama aku.” Dan pada saat itu juga, Farelio dan Clarissa memutuskan untuk berteman. Mempunyai teman dari negara asal yang sama sangat langka di sini. Makanya, keduanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Tetapi, siapa yang bisa menyangka? Dengan fakta bahwa Farelio sangat senang berteman dengan gadis cantik nan pintar di duduk di sebelahnya ini. Namun, Clarissa dengan berani menumbuhkan perasaan yang sedikit romantis pada lelaki tampan yang sering kali lupa membawa buku catatannya ke dalam kelas.
“Udah ketemu?” tanya Farelio lagi.
“Siapa? Temennya Mama? Belom. Aku baru ketemu sama anaknya aja,” jelas Clarissa.
Farelio terkekeh. “Okay. I’ll wait for you,” ucapnya.
Sepertinya, Farelio merasa sedikit bersalah setelah Clarissa menangkap dirinya secara terang-terangan berbohong perihal janji yang sebenarnya tidak pernah ada. Clarissa mengembangkan senyum termanisnya. Ia menganggukkan kepalanya dengan semangat. Tentunya, siapa yang tidak bahagia jika harus menghabiskan hari yang hampir berakhir bersama orang yang disukai.
Selepasnya, Farelio mulai menanyakan jadwal kelas beserta ujian yang akan datang. Clarissa sebagai teman dan mahasiswa yang cepat tanggap pastinya membantu temannya itu. Ternyata, cukup banyak yang sudah Farelio lewatkan, mulai dari analisis jurnal sampai tugas akhir yang harus ia kumpulkan pekan depan.
Jika boleh jujur, bukan tanpa sebab semua keterlambatan ini dapat terjadi. Ya, apalagi jika bukan karena Farelio dan perasaannya. Ah, mungkin lebih tepat adalah rasa rindunya. Pasalnya, beberapa pekan belakangan ini, otak dan hatinya hanya tertuju kepada gadis cantik di kampung halamannya.
Farelio secara berkala memeriksa semua akun media sosial, yang tadinya tidak pernah muncul di permukaan perlahan mulai menampakkan diri, yang Airin miliki. Padahal, banyak dari banyaknya informasi yang ia dapatkan, hampir semuanya berisikan kebersamaan Airin dengan Alby.
Sementara itu, Clarissa yang menyadari perubahan negatif dari teman kesayangannya itu selalu bersedia untuk membantu semua tugas-tugas Farelio yang terlambat. Tetapi, yang aneh adalah semakin sering Clarissa berada di dekatnya maka bayang-bayang Airin akan semakin menghantui sanubarinya.
Selagi Farelio merasakan bayang-bayang gadis kecintaannya yang jauh di sana, suara lembut Clarissa membangunkannya dari lamunannya. “Hi, Mark! Eating cupcakes again, huh?”
“It’s my first cupcake, Clarissa. Don’t make it so exaggerated,” protes anak kecil yang tiba-tiba menghampiri gadis cantik di sebelah Farelio.
Yang diceramahi begitu hanya tertawa. “Alright, Boy,” pasrah Clarissa sembari mengusap pelan pucuk kepala anak laki-laki bernama Mark itu.
“Siapa, Clar?” tanya Farelio.
“Mark Anderson. 6 years old this year,” ucap anak laki-laki itu seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan setelah mendengar teman dari kakak perempuan yang biasa bermain dengannya selama liburan musim dingin itu bertanya.
Farelio sempat tercekat dengan kesigapan anak laki-laki di hadapannya ini. Ia menundukkan pandangannya lalu menyambut uluran tangan dari Mark. “Hi, Mark! I’m Farelio. 20 years old this year,” ujarnya.
“Are you Clarissa’s boyfriend?” tanya Mark lagi setelah melepas genggaman tangannya dengan Farelio.
Farelio dan Clarissa sama-sama terhenyak dengan pertanyaan skak mat yang dilontarkan anak laki-laki tampan yang berdiri di depan mereka. Meskipun harus memandang ke bawah karena tinggi mereka yang terpaut, harga diri Mark seolah di atas keduanya sehingga ia dengan sangat berani bertanya hal demikian.
“I’m his friend, Mark, since day one,” jelas Farelio tenang.
Mendengarnya, Mark mengangguk beberapa kali. “Glad to hear that,” katanya. “Soalnya Clarissa sering cerita sama aku dan Mama tentang teman cowoknya yang selalu gak peka. Padahal, Clarissa suka banget sama dia,” lanjut anak kecil itu.
Clarissa yang mendengar pengakuan tiba-tiba dari Mark langsung membeku di tempat sembari sepasang maniknya membulat sempurna. Sedikit banyak, mungkin Farelio menyadari siapa ‘teman cowok’ yang dimaksud Mark, bukan lain adalah dirinya. Tetapi, demi menjaga perasaan Clarissa, Farelio pura-pura tuli.
“Mark can speak Indonesian?” tanya Farelio.
“Mamaku orang Indonesia,” jawab Mark singkat.
“Makanya Mamaku sama Mamanya Mark bisa temenan karena mereka sama-sama dari Indonesia,” tambah Clarissa.
“Oh, here you are, Mark,” ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang menghampiri sepasang remaja dan anak kecil itu.
Ia menggendong Mark agar masuk ke dalam dekapannya sebab ia tahu pasti anak satu-satunya itu sudah membuat keributan dengan bertanya hal-hal aneh kepada orang asing. Dan benar saja, target pertamanya adalah teman dari kakaknya, Farelio. Clarissa tersenyum dan bangkit dari duduknya untuk menyalami tangan hangat wanita itu.
“Maaf, ya, Clar. Tadi Tante sibuk nyari cupcake buat Mark,” jelas wanita cantik itu.
Ia masih belum sadar bahwa Clarissa tidak sendirian di sana. Keduanya sedang berbincang ringan selagi sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna. Tatapan Farelio lurus tertuju pada wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik yang sedang menggendong anaknya, Mark.
Perlahan, Farelio bangkit. Tubuh dan pikirannya seolah membeku tapi di saat yang bersamaan ditarik secara paksa ke masa yang sudah berlalu. Namun, Farelio tidak merasa keberatan sebab masa-masa itulah di mana ia merasakan bahagia yang amat sangat dengan kasih sayang seorang ibu.
“Mami…,” lirih Farelio.
Alisha mendengar ada yang bergumam pelan. Sebelum ia menoleh, ia mengeratkan gendongannya pada Mark. Lalu, ketika menoleh ke arah remaja yang berdiri di sebelah Clarissa, sepasang manik yang serupa seperti Farelio itu ikut membulat. Pandangannya intens kepada lelaki tampan yang keberadaannya sangat ia rindukan.
“Farel…,” ucap Alisha.
Dua pasang manik itu berbinar indah. Terdapat genangan di pelupuk netra masing-masing. Bukan karena kesedihan melainkan haru khas rasa rindu. Baik Farelio maupun Alisha sama-sama diburu napas seolah pasokan oksigen di sekitar mereka tidak cukup untuk dihirup ke dalam paru-paru. Rindu ini sangat menyesakkan dada.
“Tante, this is my friend, Farelio,” ujar Clarissa yang terdengar sedikit canggung.
Alisha tidak menghiraukan perkataan Clarissa yang memperkenalkan Farelio sebagai teman sekampusnya. Tidak hanya Clarissa, Mark juga sama bingungnya dengan apa yang terjadi dengan sang ibu bersama kakak laki-laki tampan teman kakak perempuannya yang ia temui beberapa menit lalu.
“Ma, are you okay?” tanya Mark khawatir.
Alisha yang sempat terpaku dengan kehadiran putra sulungnya itu akhirnya kembali tersadar. “I’m okay, Mark,” jawabnya seraya tersenyum. “Clarissa, bisa tolong gendong Mark dulu?” tanya Alisha kemudian. Ia menyerahkan anak kecil yang ada di dalam gendongannya itu kepada Clarissa.
Alisha melangkah satu kali agar mendekat kepada sosok yang selama bertahun-tahun menetap di hatinya. Ia hampir tidak percaya bahwa yang berdiri di hadapannya ini adalah Farelio Evan Pratama, anak pertamanya yang ia ‘tinggalkan’ bersama Kendrick karena isu perselingkuhan yang tidak dapat dimaafkan.
Serupa dengan sang ibu, Farelio juga mendekat. Alisha menangkupkan telapak tangannya pada wajah dengan rangka tegas yang ia kenal baik sejak anak itu lahir ke dunia. Ibu jarinya mengusap pipi tirus yang terlihat sangat kelelahan. Entah disadari atau tidak, sepasang anak ibu itu mulai terisak.
“Farel…,” panggil Alisha. “Apa kabar, Nak? Kok Farel bisa di sini? Sama siapa di sini?” tanyanya dengan suara yang terdengar serak.
“Farel baik-baik aja kok, Mi,” jawab Farelio sembari ikut mengusap punggung tangan yang mencerminkan beban terlalu banyak. “Mami apa kabar? Farel kangen banget sama Mami.”
Alisha berani bersumpah. Kalimat terakhir yang anak lelakinya itu ucapkan sangat menyayat hatinya. Mungkin, jika boleh berprasangka, Farelio jauh lebih merindukan Alisha dibanding Alisha merindukan anak laki-laki itu. Alisha semakin berlinang air matanya dan begitu juga dengan Farelio.
Alisha memeluk erat tubuh tinggi yang ada di depannya. Ia mengusap kepala bagian belakang sang anak dengan sangat lembut. Ia sudah lupa bagaimana rasanya memeluk anaknya yang satu ini. Namun, Alisha berani jamin bahwa hangat dan harumnya masih sama seperti yang dulu, anaknya, Farelio-nya.
“Maafin Mami, ya, Sayang,” kata Alisha. “Maaf Mami ninggalin Farel,” lanjutnya.
Farelio, di penghujung hari kala itu, tidak dapat berkata-kata. Selain tidak ingin, ia juga tidak mampu. Untuk hari ini, kali ini saja, Farelio ingin berada di pelukan itu, dekapan Mami Alisha, Mami-nya. Farelio menumpukan kepalanya di atas bahu sempit yang dulu selalu ada kapan pun ia butuhkan.
Dengan gerakan telaten, Farelio menyelipkan tangannya untuk memeluk pinggang ramping itu seolah berusaha kembali kepada ibunya yang hilang beberapa tahun terakhir. Tentunya, secara tidak langsung, Alisha menyambut anak pertamanya itu. Ia biarkan Farelio untuk memeluknya dan menyalurkan rasa sakit selama ia tidak ada di dekatnya.
Setelah puas menyiarkan rasa rindu satu sama lain, Farelio melonggarkan pelukannya. Ia dapat melihat jelas jejak air mata yang membasahi pipi ibunya. Sebelah tangan besarnya bergerak membersihkan air yang mengacak-acak riasan Alisha. Setelah sekian lama, ia dapat merasakan tingkah laku manis anak laki-lakinya ini.
“I’m okay, Farelio. You may stop crying,” ujar Alisha sambil terkekeh kecil.
Farelio tertawa mendengar sang ibu sudah dapat bercanda di atas rasa rindu mereka. “How are you, Mi? Farel di sini sama Papi,” jelas lelaki tampan itu.
“Sekarang Papimu di mana?” tanya Alisha.
Farelio terhenyak dengan pertanyaan satu itu. Ia tidak yakin harus menjawab dengan jujur. Alisha yang sedang menunggu jawaban dari anaknya itu sepertinya mulai menangkap sinyal yang secara tidak langsung Farelio edarkan. Jika ia tidak salah tebak, pasti Kendrick sedang bersama perempuan itu.
“Lagi sama Yolanda, ya?” terka Alisha.
Farelio mengusap tengkuknya. “Iya, Mi. Papi lagi di Edinburgh sama Tante Yolanda. Katanya ada perjalanan dinas ke sana.”
Alisha mengangguk beberapa kali. “Yaudah, kalo gitu,” finalnya.
Selanjutnya, wanita cantik itu berbalik menghadap Clarissa dan Mark yang sedari tadi kebingungan menyaksikan adegan mengharukan yang terjadi antara Farelio dan Alisha. Alisha kembali menarik Mark untuk masuk ke dalam gendongannya sementara satu tangannya yang terbebas mengusap kepala Clarissa.
“Maafin Mama, ya, Mark. Mama belum cerita ke Mark,” jelas Alisha. “Maafin Tante juga, ya, Clar, kamu pasti bingung deh.”
Clarissa melambaikan telapak tangannya. “Gak apa-apa kok, Tante. Pasti Tante senang sekaligus kaget ketemu sama Farelio,” ujarnya ramah.
Alisha kembali melirik putra pertama yang berdiri di sampingnya sembari tersenyum. Farelio pun membalas senyuman itu tak kalah lebar. Siapa yang akan sangka bahwa ternyata semesta mempertemukan mereka di negara ini. Entah suatu kesengajaan atau takdir, Farelio dan Alisha tidak ingin tahu.
“Mark,” panggil Alisha.
“Ya, Ma?” balasnya antusias.
“Meet your brother, Mas Farel,” jelas Alisha.
“My brother?” tanya Mark seraya menaikkan sebelah alisnya. Alisha mengangguk semangat menjawab pertanyaan anak bungsunya itu. “Clarissa,” panggil Alisha lagi.
“Iya, Tante?” balas Clarissa.
“Meet my first son, Farelio,” finalnya.