Di Penghujung Hari (2)
“Alby!” protes Airin saat kekasihnya itu dengan sengaja menendang deburan ombak yang menghampiri mereka sehingga percikan airnya membasahi pakaiannya.
“Makanya kamu sini dulu,” bujuk lelaki manis itu. Ia berlarian mengejar kekasihnya yang melangkah semakin jauh darinya.
“Gak mau! Nanti baju aku basah, By,” tolak Airin yang berlari semakin jauh dari kekasihnya.
“Kamu gak mau aku peluk sih,” keluh Alby.
“Tangan kamu basah semua, By, nanti baju aku ikutan basah,” ujar Airin.
Di petang yang hampir selesai ini, Airin dan Alby tengah menikmati hamparan pasir di pinggir pantai selagi gelombang air kecil menghantam pelan pergelangan kaki mereka. Alby dengan tingkah usilnya dengan sengaja memercikan air yang ia tangkup menggunakan kedua telapak tangannya.
Airin yang sedari tadi mencoba menghindari sang kekasih, tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Ia menemukan ranting kayu yang hampir lapuk di dekat kakinya. Kemudian, gadis cantik itu berjongkok. Airin menggunakan tangan kirinya untuk menahan ujung kain gaunnya agar tidak jatuh mengenai pasir yang dimakan air sana.
Sedangkan, tangan kanannya bergerak menuliskan namanya beserta nama sang kekasih dengan gambar hati yang bersanding di tengah-tengah mereka di atas pasir putih yang lembap. Alby berdiri di belakang Airin sembari menyaksikan aksi menulis di atas pasir yang dipertunjukkan kekasihnya hanya untuknya. Alby tertawa.
“Kamu kenapa ketawa?” tanya Airin kepada sosok setinggi tiang bendera di belakangnya.
Alby menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya yang besar. Ia tidak dapat menahan tawanya. “Coba liat nama aku. Kenapa kecil banget dibanding nama kamu? Gambar hatinya juga kenapa miring sebelah?”
Airin memiringkan kepalanya. Ia mencoba mengidentifikasi apakah yang dibilang kekasihnya itu benar adanya dan… ternyata benar. “Iya juga, ya,” gumam gadis cantik itu.
“Ayo benerin bareng-bareng,” kata Alby.
Setelahnya, Alby ikut berjongkok di sebelah gadisnya. Dipegangnya tangan kecil yang sedang menggenggam sebatang ranting pohon itu. Dengan gerakan yang selaras, Alby menuntun Airin untuk membenarkan serta merapikan mahakarya mereka yang terlukis di atas pasir. Keduanya tersenyum lebar saat hasil kreasi indah itu selesai diciptakan.
Namun, tak lama berselang, saat Airin tengah merogoh saku gaunnya untuk mengeluarkan ponselnya, ombak menghapus jerih payahnya. Airin menganga lebar. “Yaahhh!” pekiknya. “‘Kan belom difoto tulisannya,” gerutunya.
Airin terlihat sangat gusar. Sedangkan, Alby tertawa sangat kencang. Ia terjatuh sebab kepalang gemas melihat wajah cantik Airin yang tampak sangat gusar. Airin melirik ke sampingnya dengan tatapan sinis. Lalu, gadis cantik itu bangkit dan memukul pelan bahu kekasihnya.
“Ih! Kamu kok malah ketawa sih, By,” ucap Airin kesal.
“Aku juga baru mau foto tapi keburu kehapus ombak,” sanggah Alby.
Airin tertambat di tempatnya berdiri. Pandangannya menunduk memerhatikan karyanya yang paling indah tadi dengan tega dihapus oleh ombak, seola-olah semesta berkata padanya bahwa hasil buatannya terlihat tidak bagus, bahkan jelek. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Alby mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
“Sayang,” panggil Alby.
Airin menolehkan pandanganya. Sepasang maniknya yang seindah senja sore ini sempat mengerjap beberapa kali saat cahaya kilat dari kamera ponsel Alby menyilaukan matanya. Airin baru sadar bahwa Alby tengah memotret dirinya saat lelaki kesayangannya itu tidak berhenti tertawa dengan hasil jepretannya di layar ponsel.
“Alby!” pekik Airin. “Siniin hp kamu!”
Airin hampir saja berhasil meraih ponsel itu tetapi Alby bergerak lebih cepat. Diangkatnya tangan yang menggenggam ponsel itu setinggi langit agar Airin tidak dapat menggapainya. Namun, bukan Airin namanya jika berhenti saat usahanya sama sekali belum maksimal. Ia menekan bahu Alby agar mau berdiri lebih rendah selagi sebelah tangannya masih berusaha menjangkau ponsel yang memiliki foto aib dirinya.
“Kamu gak akan bisa, Airin. Kamu gak setinggi itu untuk bisa ngambil hp ini,” ledek lelaki manis itu seraya menjulurkan lidahnya.
Airin berhenti sejenak dari aktivitas merebutnya. Ia menatap intens sepasang manik indah yang lebih tinggi darinya. “Nantangin, ya?” tanyanya.
Alby mengangkat sebelah alisnya. “Kalo, iya? Kenapa?”
Di detik berikutnya, Airin mengecup sebelah pipinya kekasihnya. Hanya dengan perbuatan sederhana seperti itu mampu membuat Alby membeku. Sepasang manik yang sama indahnya dengan semesta itu membulat sempurna. Airin menggunakan peluang tersebut untuk merebut ponsel kekasihnya.
Kali ini, Airin yang menjulurkan lidahnya. Ia menjauhkan dirinya dari Alby yang masih setia dengan posisinya. “Makanya jangan nantangin, Sayang,” ejek gadis cantik itu.
Mendengarnya, Alby menyeringai. Bagaimana bisa sekelebat ide licik itu terpintas di pikiran gadisnya. Sebelum Airin berlari terlalu jauh, Alby kembali mengejarnya. “Oke, kalo kamu mau main licik.”
Alby berlari dengan kecepatan penuh untuk menangkap gadisnya. Airin yang mempunyai kaki jauh lebih kecil dan pendek dari kekasihnya tidak dapat berbuat banyak. Jika Airin melangkah tiga kali, maka Alby sudah melangkah enam kali alias dua kali lebih cepat darinya. Dan, lihat saja, gadis cantik itu sudah kembali berada di dalam dekapan lelaki kesayangannya.
“Mau ke mana kamu? Kamu gak bisa ke mana-mana sekarang,” guyon Alby dengan nada seolah mengancam. “Pacar aku berani nakal, ya, sekarang,” ucapnya.
“Kamu lagian usil banget sih, By, udah tau aku lagi jelek banget malah difoto,” jelas Airin.
Alby bergerak mencium pipi sebelah kanan Airin. “Siapa yang bilang kamu jelek?” Selanjutnya, lelaki manis itu mencium pipi sebelah kiri gadisnya. “Kamu ‘kan pacar aku yang paling cantik.”
“Bisa aja nih pacar aku ngomongnya,” balas Airin sembari mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya.
Airin menyunggingkan senyum dan dibalas serupa oleh Alby. Untuk sementara waktu, dan jika boleh untuk selamanya, sepasang kekasih itu ingin menikmati atmosfer nyaman nan menenangkan dengan orang yang paling dicintainya seperti ini. Ditemani dengan semburat oranye kemerahan di langit serta suara merdu dari karang yang memecah ombak, Airin dan Alby terhanyut dalam tatapan satu sama lain.
“Kalungnya cantik,” puji Alby saat menemukan liontin indah yang menggantung di leher kekasihnya.
“Iya dong. ‘Kan dari pacar aku,” jawab Airin semangat.
Alby terkekeh. “Yang pake kalungnya jauh lebih cantik,” katanya.
Ada kalimat sanjungan yang ditujukan untuknya, Airin menundukkan pandangannya sebab malu. Wajahnya juga memunculkan rona merah. Ia tidak dapat menahan senyum bahagia. Alby, lagi-lagi, membuatnya jatuh dan terus jatuh ke dalam cinta dan kasih sayang yang diberikannya kepadanya.
“Ada yang salting nih,” goda Alby.
Airin hanya tertawa menanggapi lelucon yang dilontarkan kekasihnya itu. Ia kembali memusatkan atensinya pada semestanya. Jika boleh, Airin ingin egois. Airin ingin memiliki Alby seutuhnya dan selamanya. Ia tidak tahu apakah Alby merasakan hal yang sama tetapi ia yakin Alby kurang lebih merasakan hal itu juga.
“Kalo kalungnya aku tambahin sama kalung, boleh gak, Rin?” tanya Alby serius.
Yang ditanya seperti itu tampak sangat amat terkejut. “Maksudnya, By?”
Alby melonggarkan pelukannya untuk kemudian ia memundurkan dirinya beberapa langkah. Di atas pasir putih kering, lelaki manis itu berlutut. Tangan kanannya bergerak merogoh saku di bagian belakang celananya. Alby mengeluarkan kotak berbahan beludru berwarna merah. Dibukanya kotak tersebut dan terlihatlah benda yang berkilauan.
Airin menutupi mulutnya yang terjatuh dari peraduannya. “By,” lirihnya.
Alby tersenyum. Ia mencoba untuk mengatur napasnya. “Airin,” panggilnya. “Aku tau ini terlalu cepat. Aku juga tau jalan kita masih panjang. Tapi, cincin ini aku berikan ke kamu sebagai tanda kalau aku bener-bener sayang dan cinta sama kamu. Aku gak meminta kamu untuk menikah sama aku, seenggaknya bukan sekarang. Aku mau kita sama-sama menjalani hidup dan impian yang harus kita kejar terlebih dahulu. Tapi, Airin, cincin ini aku persembahkan untuk kamu sebagai tanda keseriusan aku,” jelas lelaki manis itu. “Tolong diterima, ya.”
Selepas eksplanasi yang mengandung pengakuan cinta sehidup semati itu, Alby bangkit dari posisi berlututnya. Kemudian, ia berjalan ke arah sang kekasih. Disematkannya cincin berwarna silver itu di jari manis gadisnya. Berbeda dengan Alby yang simpulnya mengembang, Airin menangis terharu.
Alby menangkup bahu sempit di hadapannya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah kening Airin. Lalu, dikecupnya kening itu dalam waktu yang cukup lama. Keduanya mengeratkan netra masing-masing demi merasakan hangat yang tersalurkan satu sama lain. Baik Airin maupun Alby merasakan tenang dan bahagia di titik teratas.
Disaksikan langit yang warna merahnya mulai tergantikan biru gelap, matahari yang semakin turun dan bulan yang semakin naik, serta gelombak ombak dari tengah laut yang hadir untuk menghibur, sepasang kekasih itu, Airin dan Alby, saling berjanji untuk hidup bersama dengan cinta dan kasih sayang yang ada di dalam hati mereka.