“Sialan, Samuel!” keluh gadis cantik itu sembari mengunci pintu perpustakaan dari dalam. “Kalo gak ada Aldo aja tadi langsung gua seret ke sini anaknya,” lanjutnya.
Kini, Ranindya tengah merebahkan setengah tubuhnya pada salah satu meja panjang berbahan kayu yang ada di dalam ruangan tersebut. Ia menghela napasnya panjang. Otaknya masih saja mengganggunya dengan memutar kembali adegan panas yang terjadi beberapa menit sebelum rapat organisasi sekolah dimulai. Samuel, lelaki tampan itu selalu saja menyita atensinya.
Ranindya memanyunkan bibirnya kesal. Sebenernya, sudah menjadi kewajiban bagi Samuel untuk mengadakan serta menghadiri rapat bersama anggota lainnya di waktu-waktu tertentu, seperti sekarang ini. Namun, gadis cantik itu belum juga terbiasa. Waktu berkualitasnya dengan Samuel selalu saja tertunda, terutama waktu berkualitas yang panas di antara keduanya.
“Nanggung banget. Gua udah kepalang pengen,” gumam Ranindya sembari menenggelamkan wajahnya di permukaan meja. Tak lama berselang, gadis cantik itu kembali mengangkat pandangannya. Sekelebat ide gila terlintas di dalam pikiran kotornya. Ia menyunggingkan seringai kecil. “Main sendiri enak kali, ya?” monolognya.
Tanpa berpikir panjang, Ranindya bangkit dari posisi duduknya yang sekarang untuk kemudian berjalan ke sudut ruang perpustakaan. Kali ini, ia mendudukkan dirinya di atas kursi kayu bekas. Lalu, gadis cantik itu menggeser beberapa rak buku agar membentuk benteng pertahanan di sekeliling kursi yang akan ia jadikan sebagai tempat eksekusi.
Ranindya kembali menyimpulkan senyumnya. “Gak apa-apa lah, ya, main sebentar sebelum Sam selesai rapat,” ujarnya.
Setelahnya, Ranindya memposisikan dirinya untuk duduk dengan nyaman di atas kursi kayu yang sudah ia tata sedemikian rupa tadi. Ia mengatur napasnya supaya rileks sebelum memulai permainan solonya. Dengan bermodalkan fantasi liar, pengalaman bermainnya dengan sang kekasih, serta gairah yang membuncah, gadis cantik itu memulai permainannya.
Ranindya membuka dua kancing teratas kemeja seragam sekolahnya lalu meremas kedua buah dadanya. “Nghh, ahh, Sam,” lirihnya.
Berikutnya, Ranindya membuka pengait bra yang melingkar pada payudaranya tanpa melepaskannya. Melalui celah kecil itu, ia mengusap putingnya yang mencuat keras. “Ahhh, Sam, enakhh,” desah gadis cantik itu.
Ranindya, pada siang menjelang sore hari itu, setelah sekian lama akhirnya kembali bermain dan menjamah dirinya sendiri. Pasalnya, dalam beberapa waktu belakangan ini, tepatnya setelah menjalin hubungan asmara dengan Samuel, jika gadis cantik itu butuh untuk dipuaskan maka Samuel sebagai kekasih yang siap siaga akan langsung membantunya menyalurkan hasratnya.
Ranindya melanjutkan permainannya. Ia melebarkan kedua pahanya. Tangan kanannya bergerak meremas, memijat, lalu memilin ujung putingnya. Sedangkan, tangan kirinya menjalar ke bagian perut, paha bagian dalamnya, dan berakhir pada daerah kewanitaannya. Dari luar pakaian dalamnya, Ranindya memutarkan ibu jarinya pada area klitorisnya.
“Ahhh, nghh, Sam,” lenguh Ranindya seraya menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang perpustakaan. Ia menutup kedua kakinya lalu menggeseknya satu sama lain. Hal itu bertujuan agar jari-jari yang bermain di dalam keintimannya terasa semakin menusuk.
Ranindya baru akan melepaskan pakaian dalamnya kala indera pendengarannya dikejutkan dengan suara bantingan hebat yang ia yakini berasal dari pintu perpustakaan. Mendengarnya, sepasang manik selegam senja itu membelalak. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasa.
“Ranindya!” pekik lelaki tampan itu disertai dengan langkahnya yang mendentum keras.
“Bangsat!” umpat gadis cantik itu.
Ranindya buru-buru merapikan baju seragamnya yang berantakan. Di dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa di tengah permainannya yang terasa nikmat ini, tiba-tiba saja Samuel datang menghampirinya. Ranindya bisa mati saat itu juga jika sang kekasih memergokinya melakukan adegan kotor.
Ranindya langsung berdiri dari posisi duduknya saat lelaki tampan setinggi tiang bendera kesayangannya muncul di hadapannya. Ia mengulas senyum selebar mungkin. Berbeda dengan gadisnya, Samuel menatap intens ke arah Ranindya. Sepasang manik selegam malamnya menelisik tubuh sang kekasih dengan teliti.
Kancing baju yang dipasang tak beraturan, dua buah jari di tangan kiri terlihat lembap bahkan basah, napas yang menggebu, keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, serta bercak basah yang tercetak jelas di rok seragam gadis cantik itu. Setidaknya, beberapa hasil identifikasi itulah yang membuat Samuel yakin bahwa Ranindya sedang menyentuh dirinya sendiri, tadi.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Samuel dingin.
“‘Kan tadi kamu yang nyuruh aku nunggu di sini, Sam,” jawab Ranindya yakin.
“Aku nyuruh kamu nunggu di dalem perpustakaan, bukan di sudut perpustakaan. Ngapain kamu di sudut sini? Segala rak bukunya digeser. Ngaku sebelum aku bikin kamu gak bisa jalan seminggu,” ancam lelaki tampan itu.
Mendengarnya, Ranindya menghela napas panjang. Jika sudah begini, mau tidak mau, ingin tidak ingin, ia harus mengakui dosanya kepada Samuel, bukan? Sejenak, gadis cantik itu bergumul dengan pikirannya sendiri. Di satu sisi, ia merasa kesal sebab permainannya yang belum rampung. Di sisi lain, ia merasa bersalah sebab sudah mengganggu sesi rapat kekasih tercintanya itu.
“Maaf, Sam. Aku—” Belum sempat Ranindya menyelesaikan kalimatnya, Samuel kembali bergerak.
Ia berjalan menghampiri Ranindya lalu memeluknya dengan erat. Ia menelusupkan pucuk sang gadis ke dalam dekapannya untuk kemudian Samuel mengusap kepala Ranindya lembut. Ranindya, gadis cantik itu mematung di tempatnya. Dengan alasan dan motif seperti apa yang membuat lelaki tampan kesayangannya ini tiba-tiba memeluknya erat?
“Sam,” panggil Ranindya.
Samuel, yang dipanggil namanya dengan sengaja tidak merespon panggilan itu. Ia masih sibuk memeluk gadis cantik yang ada di hadapannya. “Maafin aku, Ran,” ucapnya.
“Maaf? Kenapa, Sam?” tanya Ranindya seraya mengangkat pandangannya untuk melihat wajah tampan itu lebih jelas.
“Kamu pasti kepancing gara-gara aku tadi, ya,” jelas Samuel. “Aku bukannya ngelanjutin main sama kamu malah rapat. Maaf, ya, Sayang,” ujar Samuel lembut.
Mendengarnya, hati Ranindya menghangat. Perlahan, senyumnya mengembang. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya ini. “Kamu lagian macem-macem sih. Udah tau ini tuh candu buat aku,” ledek gadis cantik itu sembari mengusap belahan ranum favoritnya.
“Ini juga candu buat aku,” balas Samuel.
Sepersekian detik berikutnya, yang terjadi adalah Samuel menarik tengkuk Ranindya agar masuk ke dalam ciumannya. Tentu saja, dengan senang hati, Ranindya menyambut cumbuan itu. Ia mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya. Dalam waktu yang cukup lama, sepasang kekasih itu terhanyut dalam keintiman masing-masing.
Sebelah tangan Samuel bergerak mengusap punggung gadisnya pelan. Ranindya tahu betul, baik dirinya dan Samuel, menginginkan lebih dari ini. Jika sudah bertemu satu sama lain, maka tidak ada aktivitas yang lebih baik selain memuaskan hasrat bersama. Namun, sebelum kegiatan panas ini berlanjut semakin jauh, Ranindya menyudahi acara bertukar saliva bersama Samuel.
“Ah, kok udahan?” protes lelaki tampan itu.
“Jangan di sini, Sam,” ucap Ranindya.
“Oke. Kalo gitu, mau di mana?” tanya Samuel sembari mengeratkan pelukannya.
“Di rumah aja. Kalo di sekolah, takut ketauan,” jelas gadis cantik itu.
Samuel menggelengkan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban. “Kelamaan,” bantahnya.
“Ya, terus—” Ranindya lagi-lagi tidak berhasil merampungkan kata-katanya sebab Samuel melepas pelukannya lalu menarik sebelah tangannya dan membawanya keluar dari ruang perpustakaan.
“Mau ke mana, Sam?” tanya Ranindya sedikit terbata saat keduanya berlarian kecil di sepanjang lorong kelas.
“Ke sini,” jawab Samuel singkat kala langkah mereka berhenti di depan ruang Unit Kesehatan Sekolah.
BUGH!
Ranindya memukul dada bidang kekasihnya dengan cukup keras sampai membuat Samuel meringis. “Sakit, Ran,” keluhnya.
“Kamu jangan gila, Sam. Nanti kalo ketauan anak-anak gimana?” tanya Ranindya gelisah.
“Enggak. Percaya sama aku. Semuanya udah pulang, cuma kita doang yang belum soalnya ‘kan kita mau main,” goda lelaki tampan itu.
BUGH!
Samuel kembali mendapatkan pukulan lain sebelum Ranindya berjalan memasuki ruangan tersebut. Ia terkekeh, “Mau juga ‘kan,” gumamnya.
Benar apa yang dikatakan oleh Samuel, tidak ada satu orang pun di ruangan serba putih dengan bau alkohol menyengat, selain mereka berdua. Ranindya memilih ranjang paling ujung yang ada di dalam ruang UKS. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang tersebut lalu diikuti oleh Samuel.
Berbeda dengan Ranindya yang menelentangkan seluruh tubuhnya di atas ranjang, Samuel menggunakan tangan kanannya untuk menumpu kepalanya. Tubuhnya berbaring ke arah sang kekasih. Samuel sibuk memandangi pahatan wajah cantik yang sepasang maniknya tengah terpejam erat.
“Kamu ngapain ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Ranindya masih dengan posisi yang sama seperti tadi.
“Ya, emangnya aku gak boleh ngeliatin pacar sendiri?” jawab Samuel tidak santai.
“‘Kan aku—” Lagi dan lagi, gadis cantik itu diberhentikan secara sepihak oleh lelaki kesayangannya.
Samuel kembali mencium gadisnya, tetapi yang kali ini lebih serakah, lelaki tampan itu seolah meminta lebih. Tidak ingin kalah dengan dominannya, kedua tangan Ranindya bergerak meraba tubuh atletis yang masih terbalut oleh seragam sekolah itu. Merasa terangsang, Samuel memperdalam ciuman antara dirinya dan gadisnya.
Tidak ingin kalah dari Ranindya, masih di dalam cumbuan panas itu, sebelah tangan Samuel bergerak meremas lalu memijat buah dada sang gadis. Hal itu sukses membuat tubuh Ranindya menggelinjang. Kemudian, sebelah tangan Samuel yang terbebas mulai membuka satu persatu kancing seragam sekolah Ranindya.
“Mphhh,” lenguh Ranindya tertahan.
Ranindya ingin membalas perbuatan Samuel yang membuat gairahnya semakin memuncak. Dengan sengaja, gadis cantik menggesekkan lututnya pelan ke arah kepemilikan Samuel yang terasa mengeras seolah meminta segera untuk dipuaskan. Mendapat serangan tiba-tiba, Samuel mengakhiri ciumannya.
“Kamu curang,” protes Samuel.
“Aku curang di mananya?” goda Ranindya. Sebelah tangannya terangkat mengusap rangka wajah yang tegas nan tampan di sampingnya. “Kamu pegang punya aku, masa aku gak boleh pegang punya kamu,” tambahnya.
Mendengarnya, Samuel menyeringai. Ia terkekeh pelan. “Kita liat kamu masih bisa ngomong kayak gini gak setelah ini?” ancam lelaki tampan itu.
Di detik berikutnya, tangan kiri Samuel kembali bergerak. Ia menyingkap rok seragam sekolah yang Ranindya kenakan. Awalnya, tangan hangat itu hanya mengelus pelan paha bagian dalam gadisnya. Namun, setelahnya, dengan gerakan tiba-tiba, tangan Samuel menghampiri bagian selatan sang gadis.
“Ahh, Sam!” pekik Ranindya saat merasa vaginanya penuh dengan jari-jari Samuel.
“Tadi mainnya belum sampe selesai ‘kan?” tanya Samuel menggoda.
Ranindya, yang dilecehkan seperti itu tidak mampu menjawab. Ia hanya mampu menikmati setiap tusukan yang menghujam area kewanitaannya. Ranindya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit ruang UKS. Tubuhnya menggelinjang hebat hanya dengan permainan jari yang dilakukan oleh Samuel.
“Nghh, ahhh, Sam,” lenguh gadis cantik itu.
Mendengar ada desahan yang mengandung namanya, Samuel tersenyum. “Enak, Sayang? Mau lagi gak?” tanyanya.
Ranindya menganggukkan kepalanya beberapa kali, tertanda jawaban iya. Dengan begitu, Samuel menambah tempo pada bagian bawah gadisnya. Oleh sebab itu, Ranindya menggigit bibir bagian bawahnya demi menetralisir rasa nikmat yang menyerangnya. Samuel benar-benar mempermainkannya kali ini.
“Ahh, mphh, Sam,” panggil Ranindya susah payah.
“Ya, Sayang?” balas Samuel tanpa mengurangi kecepatan permainan pada vagina Ranindya.
“Nghh, kayaknya aku, ahh, mau, ahhh, keluar,” jelas Ranindya setengah mati.
Samuel mendekatkan mulutnya pada telinga kiri Ranindya untuk kemudian berbisik. “Aku masukin, boleh, ya?” tanyanya meminta izin.
Tanpa berpikir panjang sebab Ranindya juga menginginkannya, gadis cantik itu mengangguk semangat. Samuel merubah posisinya menjadi di atas sang gadis, mengungkung Ranindya. Setelahnya, sebelah tangan lelaki tampan itu bergerak meraih bantal paling empuk yang ada di ranjang mereka untuk kemudian benda itu ia letakkan persis di bawah pinggul gadisnya.
Sebelum memulai permainan inti, lelaki tampan itu mengecup kening gadisnya untuk waktu yang cukup lama. “Kalo sakit, bilang, ya, Ran,” ujar Samuel dengan bias suara sedalam palung.
Mendengarnya, aliran darah Ranindya berdesir lebih cepat. Samuel, permainan panas, dan kata-kata manis, jika dikombinasikan menjadi satu merupakan kelemahan baginya. Samuel menurunkan zipper celana seragamnya lalu membuka pakaian dalamnya. Ranindya bersusah payah menelan saliva saat sepasang manik selegam senjanya begitu terpikat dengan sesuatu yang berurat dan mencuat yang sebentar lagi akan menghantamnya.
“Nghhh,” lirihan Ranindya tertahan kala penis Samuel mulai mendatangi vaginanya.
Ranindya memejamkan maniknya erat. Napasnya menggebu hebat. Keringat membanjiri tubuhnya. Bahkan Samuel belum mulai untuk menggepurnya, tetapi hatinya sudah terasa tidak karuan. Perlahan namun pasti, Samuel memastikan kepemilikannya masuk dengan sempurna tanpa menyakiti kekasihnya.
“Ahhh,” desah Samuel kala merasa kepala penisnya sudah menyentuh dinding rahim sang gadis.
“Nghh, gerakin aja, Sam,” pinta Ranindya.
Dengan begitu, Samuel mulai bergerak maju dan mundur dalam tempo pelan. Sepasang kekasih itu saling mengumpat di dalam hati masing-masing. Permainan ini terlalu nikmat sampai membuat mereka merasa pusing. Tak lama setelahnya, Samuel mulai mempercepat gempurannya.
“Ahh, Ran,” lirih Samuel.
“Ahh, nghh, Sam, terushhh,” racau Ranindya.
Mendengar perintah demikian, Samuel kembali meningkatkan tempo permainannya. Suara pertemuan antara kulit yang lembap menggema di seluruh ruang UKS sore itu. Tirai putih yang tertutup rapi serta kain sprei yang berantakan menjadi saksi bisa kenikmatan yang tercipta di antara keduanya.
“Nghh, Sam, ahh, enakhh,” desah Ranindya.
Serupa dengan kekasihnya, Samuel juga merasakan hal yang sama. Permainan kali ini benar-benar membuat keduanya mabuk kepayang. Ditemani dengan suara decitan dari kaki-kaki ranjang yang terbuat dari logam, baik Ranindya maupun Samuel, mungkin akan mencapai titik ternikmatnya sebentar lagi.
“Mphh, Sam, aku mau, nghh, keluar,” ujar Ranindya.
“Bareng, Ran,” perintah Samuel.
Setelahnya, Samuel kembali mempercepat tempo gempurannya. Ia suka bagaimana pangkal penisnya terus menabrak titik termanis gadisnya sehingga ia terus mengelukan namanya. Ranindya juga mungkin setuju bahwa di antara permainan yang sudah berlangsung, permainan kali inilah yang terasa paling nikmat dan bermakna.
“Ahh!” pekik Ranindya.
Tak lama setelahnya, Samuel juga mendapat peepasannya. Dengan segera, ia mencabut penisnya dari dalam sana lalu menyemburkan spermanya ke arah perut rata Ranindya. “Akh!” pekik Samuel.
Sesuai rencana, sepasang kekasih itu menjemput pelepasannya bersama-sama. Keduanya diburu napas masing-masing. Keringat membanjiri tubuh mereka. Namun, meskipun begitu, Ranindya dan Samuel merasa bahagia dan puas di saat yang bersamaan. Lihat saja, bagaimana sepasang kekasih itu saling melempar senyum.
Samuel terlebih dahulu menarik selimut untuk disampirkan di tubuh keduanya yang setengah telanjang lalu mengecup kening, pipi, hidung, dan terakhir bibir Ranindya. Di atas ranjang yang hampir hancur itu, Samuel kembali menarik Ranindya untuk masuk ke dalam pelukannya. Ia mengusap pelan kepala bagian belakang kekasihnya.
“Sam,” panggil Ranindya.
“Hm?” jawab Samuel dengan deheman singkat.
“Maaf, ya,” ujarnya.
“Maaf kenapa, Sayang?” tanya Samuel serius. Ia menatap wajah cantik itu lamat.
“Tadi,” ucap Ranindya. “Aku main sendiri,” lanjutnya.
Mendengarnya, Samuel terkekeh. “Iya, Ranie. Aku juga minta maaf, ya, Sayang,” balasnya lembut. “Tapi kalo kamu gitu lagi, aku beneran bakal bikin kamu gak bisa jalan seminggu,” tambahnya.
“Ih! Kenapa?” protes gadis cantik itu.
“‘Kan ada aku. Aku udah bilang ‘kan kalo kamu pengen tinggal bilang ke aku,” jelas Samuel.
“Ya, tapi ‘kan tadi kamu lagi rapat, Samuel. Masa iya aku manggil kamu di tengah-tengah rapat cuma karena aku lagi pengen,” sambar Ranindya.
“Aku gak peduli, Ran. Mau aku lagi makan atau lagi di luar kota juga, kalo kamu pengen kamu harus bilang ke aku,” tegas lelaki tampan itu.
Ranindya lebih memilih untuk mengalah sebab ia tahu Samuel adalah orang paling keras kepala yang pernah ia temui. “ Ya udah, iya,” pasrahnya.
“Nah, gitu dong. ‘Kan pacarnya Samuel,” puji Samuel.
“Iyalah. Masa pacarnya Aldo,” sarkas Ranindya.
“Tadi Aldo denger suara kamu loh,” ledek Samuel.
“Hah?!” teriak Ranindya. “Suara apaan? Kamu jangan ngaco deh, Sam,” ucapnya.
“Aku serius. Tadi pas rapat aku sama Aldo denger suara kamu, makanya rapatnya langsung aku batalin,” jelasnya.
Mendengar penjelasan seperti itu, Ranindya menundukkan kepalanya sebab malu. “Aduh, Sam. Kenapa kamu gak bilang sih? Asli, aku malu banget,” ujarnya.
Berbeda dengan Ranindya, Samuel malah tertawa puas. “Udah ah, jangan malu gitu, jadi makin cantik,” guyonnya. “Love you, Ran,” final Samuel sembari mencuri satu ciuman singkat dari gadisnya.