Di Penghujung Hari (1)
“Hei,” tegur Abraham yang sedari tadi memusatkan atensinya pada gadis cantik yang duduk di sebelahnya sembari termenung. “Kenapa diem aja?” tanyanya.
Hana tersenyum masam. “Aku gak apa-apa kok,” jawabnya.
Sepasang kekasih itu tengah duduk berdampingan di atas pasir putih yang beralaskan kain. Berbeda dengan pasangan kekasih lainnya yang tengah asyik bermain dengan air asin dari gelombang kecil yang menghantam tepi pantai, Hana dan Abraham memutuskan untuk mengistirahatkan diri mereka selagi menikmati semburat oranye yang mendominasi luasnya hamparan langit.
“Kalo gak apa-apa, kenapa keliatan murung gitu? Aku udah bilang ‘kan ke kamu kalo ada apa-apa cerita aja,” ujar Abraham dengan suara seindah deburan ombak yang menghiasi pemandangan mereka petang ini.
“Aku gak apa-apa, Ham, beneran deh,” balas Hana meyakinkan kekasihnya itu.
Tangan kanan Abraham bergerak mengusap lembut pucuk kepala Hana lalu menariknya agar masuk ke dalam rangkulannya. “Gak apa-apa kalo kamu gak mau cerita sekarang. Tapi aku minta sama kamu kalo ada sesuatu yang berasa ngeganjel di hati kamu cerita sama aku, ya. Jangan membebani diri kamu sendiri,” jelasnya.
Hana tersenyum. Kali ini, simpulnya terlihat lebih tulus. “Makasih, ya, Ham. Aku masih gak ngerti kenapa kamu bisa sebaik ini sama aku,” katanya skeptis.
Mendengarnya, Abraham menghela napas berat. “Aku yang gak ngerti kenapa kamu masih ragu sama diri kamu sendiri sementara aku di sini udah yakin seyakin-yakinnya sama kamu,” ucapnya serius.
Hana melonggarkan tangan berotot yang melingkari bahunya. Gadis cantik itu menatap sepasang manik dengan binar paling indah yang pernah ia temui. Abraham terlihat jauh lebih tampan ketika ditimpa sinar mentari yang kemerahan. Kulit seputih susu dan senyum semanis madu itu selalu dapat meluluhkan hatinya lagi dan lagi.
“Kamu tau kisahku, Ham,” balas Hana singkat. Ia memalingkan wajahnya untuk menatap pemandangan bak lukisan yang ada di depannya.
Abraham menganggukkan kepalanya. “Iya, aku tau kok. Terus kenapa?”
“Setelah kamu tau apa yang aku pernah lakukan, seharusnya kamu gak kayak gini ke aku, Ham, seharusnya kamu gak jadi pacar aku, dan seharusnya kamu gak ada di sini untuk nenangin aku,” jelas Hana dengan manik yang berkaca-kaca.
“Kita udah pernah bahas ini sebelumnya ‘kan, Han? Cukup dengan kata ‘seharusnya’. Kamu layak nerima ini semua,” ucap lelaki tampan itu seraya menundukkan pandangannya.
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Baik Hana maupun Abraham sama-sama terhanyut dengan perasaan masing-masing. Hana dengan perasaan rendah dirinya dan Abraham dengan perasaan gagalnya. Bagaimana sanubari memiliki kontrol kuat terhadap diri mereka.
Di satu sisi, menurut Hana, ia tidak pantas mendapat semua kebahagiaan ini setelah apa yang pernah ia perbuat dulu kepada sahabatnya, Airin, dan sepupunya, Alby. Di sisi lain, menurut Abraham, ia selalu gagal untuk meyakinkan kekasihnya bahwa kebahagiaan yang ada sekarang merupakan hal yang pantas untuk ia dapatkan.
“Aku orang jahat, Ham,” ucap Hana memecah keheningan. Perlahan, genangan yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya mulai bocor dan membanjiri kedua pipinya.
Abraham refleks mengangkat pandangannya saat ada kalimat negatif yang keluar dari mulut gadisnya. Ditatapnya pahatan indah ciptaan Tuhan yang diberikan hanya untuknya. Lelaki tampan itu bahkan dapat merasakan pilu yang Hana pendam di dalam hatinya. Terlepas bagaimana kehidupan gadis itu sebelum bertemu dengannya, Abraham akan tetap mencintainya.
“Enggak, Hana. Kamu bukan orang jahat. Jangan ngomong gitu, ya, Cantik.” Suara yang biasanya melengking dan memekakkan telinga itu, kini terdengar bergetar.
“Aku udah tega nyakitin dua orang yang paling aku sayang sekaligus yang paling sayang sama aku,” sambung gadis cantik itu.
Hana memeluk kedua kakinya lalu menyembunyikan wajah serta rasa bersalahnya di sana. Abraham dapat mendengar dengan jelas gadisnya menangis tersedu-sedu. Tanpa ia sadari, air matanya ikut mengalir deras. Ia tidak tega melihat bagaimana Hana selalu menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi di masa lalu. Hatinya seolah dihunus bilah bambu runcing.
“Kamu gak sengaja, Hana. Kamu ngerasa harus ngelindungin orang yang kamu sayang. Semua orang pasti rela melakukan apapun untuk ngelindungin orang yang dia sayang,” ujar Abraham. “Bagian terpentingnya adalah kamu tau kamu salah dan kamu udah minta maaf,” sambungnya.
Hana mengangkat pandangannya. Wajahnya kembali memerah. Sepasang maniknya berbinar sebab bulir air mata yang terus-menerus turun. “Tapi itu gak mengubah fakta bahwa aku pernah nyakitin mereka, Ham,” bantahnya.
Abraham diam. Bukan karena ia marah, namun lelaki tampan itu tengah menyusun kalimat di dalam otaknya. Ia ingin sudut pandangnya dapat diterima baik oleh Hana tanpa membentak ataupun menghakiminya. Abraham ingin Hana melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat diri gadis cantik itu.
“Hana,” panggilnya. “Kamu boleh ngerasa marah, ngerasa salah, ngerasa nyesel, dan segala rasa negatif yang ada di dalam diri kamu tapi kamu juga jangan lupa bahwa semua emosi itu merupakan bagian dari diri kamu yang harus kamu akui. Kalo kamu bahagia, ya, ketawa. Kalo kamu sedih, ya, nangis. Selain emosi positif, ada emosi negatif yang perlu kamu rasain. Kamu gak bisa terus-terusan mendam rasa yang seharusnya keluar, Han,” ujar Abraham panjang lebar. Selagi mengutarakan penjelasannya, kedua bola mata itu tidak ingin memandang ke arah selain wajah cantik kekasihnya.
Hana bergeming. Ia mencoba mencerna satu per satu kata yang Abraham lontarkan untuknya. Dari kumpulan kalimat itu, Hana dapat mengambil makna yang tersurat. Abraham ingin dirinya merasakan segala emosi yang ada dalam pada dirinya, secara garis besar kurang lebih seperti itu.
“Dan apa yang terjadi sama diri kamu, baik di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, itu semua juga bagian dari diri kamu,” lanjut Abraham. “Kalo Airin sama Alby gak memaafkan atau menyimpan dendam sama kamu, mereka gak mungkin ada di sini sama kamu sekarang, Han, sama aku juga. Airin sama Alby udah maafin kamu bahkan kamu dari dulu. Kamu kapan?”
Lagi, frasa yang disampaikan Abraham untuknya menembus hati terdalamnya. Abraham benar. Jika Hana boleh sombong, ia mempunya sahabat, sepupu, serta kekasih yang menerima dirinya apa adanya dan bukan ada apanya. Sebetulnya, gadis cantik itu memiliki kesempatan istimewa yang mungkin tidak dimiliki orang lain.
“Kamu harus memaafkan diri kamu sendiri untuk bisa bahagia, Hana,” final lelaki tampan itu.
Hana masih membeku di tempatnya. Namun, ia dapat menangkap maksud dari kalimat terakhir yang Abraham katakan padanya. Jika boleh jujur, kata-kata itu benar-benar membuka mata hatinya. Bagaimana bisa ia melewatkan fakta itu selama ini? Bagaimana bisa ia tidak sadar bahwa yang ia perlu lakukan hanyalah memaafkan dirinya sendiri?
Hana mulai mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Kemudian, gadis cantik itu bergerak cepat memeluk kekasihnya. Kedua tangannya melingkar di bahu lebar yang selalu ada kapanpun ia butuhkan. Hana kembali terisak tetapi yang membedakan tangisannya kali ini adalah motif dari mengalirnya air mata yang membanjiri kemeja kekasihnya. Hana menangis bahagia.
“Makasih banyak, Ham,” ucap Hana dengan napas tersendat.
“Yang kuat, ya, Hana. Aku selalu ada di sini kalo kamu butuh tempat untuk cerita. Aku sama sekali gak keberatan buat ngerasain beban yang kamu rasain,” kata Abraham seraya membalas pelukan gadisnya. Ia menjatuhkan kepalanya di atas bahu Hana. “Makasih juga karena kamu udah bertahan sejauh ini. Bahagia selalu, ya, Han.”
Tak lama kemudian, Hana melepas pelukannya. Pandangannya terlihat sedikit buram karena air yang berkumpul di pelupuk matanya. Namun, gadis cantik itu masih dapat melihat dengan jelas senyum setulus malaikat yang Abraham tampilkan untuk menyemangatinya. Hana pun ikut menyunggingkan senyumnya.
“Han,” panggil Abraham lagi.
“Iya, Ham?” balas Hana dengan suara serak.
“Kamu tau kenapa akhirnya Alby sama Airin dan aku sama kamu?” tanya lelaki tampan itu.
Hana menggelengkan kepalanya. Ia tertawa kecil sebab mungkin kekasihnya itu akan melemparkan guyonan renyah padanya. “Enggak. Emangnya kenapa?”
Sebelah tangan Abraham bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. Meskipun sudah seharian penuh Abraham memandangi wajah kekasih itu tetapi tidak ada sedikit pun terbesit rasa bosan. Jika boleh, kalau waktu waktu mengizinkan, ia ingin melihat wajah ini setiap hari, pada saat sebelum dan bangun tidur.
“Alby ada untuk Airin karena Tuhan ngirim Alby untuk nyembuhin lukanyanya. Sedangkan, aku ada untuk kamu karena Tuhan ngirim aku untuk nyembuhin luka kamu,” jelas Abraham diakhiri senyum manis.
Abraham benar. Sejatinya, selain momen membahagiakan, peristiwa yang menyakitkan juga merupakan bagian dari diri yang harus diakui keberadaannya. Dan sudah seharusnya bagi manusia untuk menyalurkan emosi yang tengah dirasakan, baik itu senang maupun sedih. Semuanya saling melengkapi satu sama lain.
Tidak ada manusia yang tumbuh tanpa rasa sakit. Sesuai dengan kata pepatah yang menyatakan bahwa hidup itu bagaikan sebuah roda yang terkadang berada di atas dan tidak jarang juga berada di bawah. Jika sudah begini, apa yang seharusnya dilakukan? Maka, jawabannya hanya ada satu, menerimanya dengan lapang dada.
Terlepas dari apa yang dilakukan atau dirasakan, manusia hendaknya memanusiakan sesamanya. Tuhan pasti mempunyai suatu, atau bahkan banyak, alasan mengapa satu insan dipertemukan dengan insan lainnya. Betapa indahnya hidup ini jika kita tahu cara menikmatinya.