Inference

Jika biasanya Jerry dan Yosephine membahas konspirasi atau isu-isu yang tengah sedang di negara tercinta ini selagi menikmati perjalanan mereka di dalam mobil, maka hal itu tidak berlaku untuk saat ini. Hanya ada keheningan yang melanda. Jerry sengaja tidak menyambungkan ponselnya dengan bluetooth audio atau menyalakan radio pada mobilnya. Dengan adanya kesunyian ini, lelaki tampan itu berharap Yosephine akan segera membuka mulutnya.

“Kamu belum jawab pertanyaan aku, Yosephine,” ucap Jerry serius.

Yang diajak bicara lebih memilih untuk bungkam. Yosephine menatap ke arah luar jendela yang memberikan pemandangan gedung pencakar langit serta bintang yang bertabur acak di luasnya semesta. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk aksi protes dan mogok bicara kepada sang kekasih. Jerry yang sedari tadi atensinya sesekali dicuri oleh makhluk Tuhan paling indah yang ada di sebelah kirinya hanya dapat menghela napas pasrah.

“Yosephine,” panggil Jerry.

“Hm?” Akhirnya, gadis cantik tersebut mau membalas meskipun hanya dengan deheman singkat.

“Kamu belum jawab pertanyaan aku,” ulang Jerry.

“Yang mana?” ketus Yosephine.

“Kamu ngapain sama sama dia?” tanya lelaki tampan itu dengan nada datar nan tegas yang terdengar secara bersamaan.

“Gak ngapa-ngapain,” jawab Yosephine masih dengan pendiriannya.

Tidak ingin mencelakakan dirinya dan juga sang kekasih, Jerry menepikan mobilnya di bahu jalan. Ia menatap lamat wajah Yosephine yang masih belum mau memandangnya. Tangan kirinya bergerak merangkul kursi yang diduduki gadisnya. Menyadari mobil yang ditumpanginya berhenti dan ditambah dengan adanya pergerakan yang dilakukan oleh lelaki kesayangannya, Yosephine menolehkan pandangannya.

“Kok mobilnya berhenti?” tanyanya.

“Aku gak akan lanjut nyetir sebelum kamu jawab pertanyaan aku,” jawab Jerry. “Aku gak mau bahayain kita berdua.”

Yosephine menghela napas panjang. “Pertanyaan yang mana, Jerry?”

“Kamu kenapa tadi bisa sama dia di toko buku? Katanya mau pergi sendiri,” tegas lelaki tampan itu.

“Aku juga gak tau,” kata Yosephine membela dirinya.

“Kok bisa gak tau? Aku liat kamu ngobrol sama dia. Kamu ketemuan sama dia? Jelasin ke aku, Ophine. Aku nunggu penjelasan dari kamu. Jangan sampe spekulasi yang aku takutin ini beneran terjadi,” jelas Jerry.

Mendengarnya, Yosephine menatap sinis pada lawan bicaranya. “Apa, Jerr? Apa spekulasi kamu? Aku balikan sama Arden. Iya, Jerr?!” Nada bicaranya meninggi. “See, Jerr? Kamu aja gak percaya sama aku. Gimana aku mau jelasin? Kalo kamu aja gak percaya.”

“Aku bukannya gak percaya sama kamu, Yosephine.” Jerry mencoba untuk mempertahankan nada bicaranya agar tidak membentak gadisnya.

“Terus apa? Itu namanya kalo gak percaya terus apa, Jerry?!” Yosephine semakin menggebu-gebu.

Jerry dapat melihat dengan jelas wajah cantik kesukaannya menyemburatkan rona merah. Bukan karena tersipu malu tetapi sebab amarah yang memuncak. Jerry juga dapat merasakan napas hangat yang sesekali tersendat kala bibir cantik yang ingin sekali ia kecup itu mengeluarkan kata-kata. Sepasang manik selegam senjanya menampilkan pupil yang bergetar hebat. Yosephine sangat marah, kepada Jerry dan juga dirinya.

“Calm down, Yospehine,” ucap Jerry. “I’m here.”

Tangan kanan lelaki tampan itu mengulur. Jerry berusaha mengusap punggung tangan gadisnya yang menelungkup di atas pangkuan empunya. Namun, saat Jerry hendak meraihnya, Yosephine menepisnya. Ia kembali membuang pandangannya ke sebelah kiri. Yosephine berusaha keras menahan tangisnya. Setelah dirasa lebih tenang, barulah gadis cantik itu mau melanjutkan percakapannya bersama sang kekasih.

“Kamu kenapa marah pas aku tanya, Yosephine?” tanya Jerry lagi. ‘Kan aku cuma minta penjelasan dari kamu dan gak lebih.”

“Maksud kamu?! Aku marah juga karena kamu, Jerry,” balas Yosephine dengan kembali bertanya. Bias suaranya terdengar tidak santai.

“Aku sampe sekarang belum dapet penjelasan kenapa kamu bisa sama dia di toko buku padahal kamu bilangnya pergi sendiri,” sergah Jerry.

“Gimana aku mau ngejelasin ke kamu? Kalo pikiran kamu aja udah skeptis sama aku,” jawab Yosephine.

“Skeptis?!” Sekarang, Jerry-lah yang nada bicaranya naik satu oktaf. “Aku nunggu penjelasan dari kamu, Yosephine, tapi kamu malah nuduh aku yang gak percaya-lah yang skeptis-lah.”

“Oh, jadi aku yang salah, ya, Jerr? Iya, aku salah. Aku gak sengaja ketemu sama Arden gak bilang kamu. Pokoknya aku kalo mau ke mana-mana harus laporan dulu ke kamu. Kamu sadar gak sih kenapa aku gak minta temenin kamu ke toko buku? Karena aku tau kamu lagi ribet. Aku di sini berusaha untuk ngertiin kamu tapi kamu malah nuduh aku jalan sama Arden,” sanggah Yosephine.

Seketika ada satu nama yang disebut, suasana hati Jerry langsung memburuk. Arden, mantan kekasih dari Yosephine sebelum dirinya. “JANGAN SEBUT NAMA DIA LAGI!” bentak lelaki tampan itu.

Yosephine terhenyak di tempatnya. Ia bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali lelaki kesayangannya itu berteriak padanya. Ah, Jerry memang selalu bersikap lembut padanya. Namun, layaknya manusia biasa yang mempunyai emosi kompleks, Jerry juga butuh untuk marah. Apalagi, alasan kegusarannya kali ini bukan lain adalah Arden Ravindra. Di detik berikutnya, Jerry sadar bahwa ia sudah melewati batas.

“Maaf,” ucap Jerry seraya mengusap wajahnya kasar. “Aku kelewatan.”

Yosephine dapat dengan jelas melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata kekasihnya. Jika ia tidak salah tebak, mungkin Jerry sangat amat merasa bersalah setelah membentak dirinya. “Segitu cemburunya kamu sama Arden, Jer?! Padahal aku gak sengaja ketemu loh. Kamu gak perlu semarah ini. Aku juga udah approach kamu tapi emang kayaknya kamu yang gak mau aku approach.”

“Aku gak cemburu sama dia, Yosephine,” bantah lelaki tampan itu. “Untuk apa aku cemburu sama bajingan kayak dia? Aku yang berhasil bikin kamu bahagia, bukan dia.”

“Terus kenapa kamu ngebentak aku? ‘Kan kamu tau aku paling gak bisa dibentak,” jelas gadis cantik itu.

Setelah menyalurkan kemarahan dan emosi negatif lainnya yang bersarang di hati, atmosfer menegangkan yang melingkupi sepasang kekasih itu mulai mereda. Jerry dan Yosephine merupakan dua orang dan banyaknya muda-mudi yang menganut ‘lebih baik bertengkar hebat hingga menghabiskan waktu semalaman alih-alih harus memendam rasa sakit yang ada lalu pergi tiba-tiba’.

Perlahan, tangan kanan Jerry kembali bergerak. Ia ulurkan telapak tangannya yang besar untuk menyeka helaian rambut yang menutupi wajah cantik favoritnya. Kemudian, tangan itu beralih untuk mengusap pelan pipi tirus yang menunjukkan banyak guratan rasa lelah dengan ibu jarinya. Ditatapnya lamat-lamat sepasang manik selegam senja yang menyimpan banyak kasih sayang dan rasa cinta untuknya.

“Listen to me, Yosephine,” kata Jerry. “Aku bukannya marah karena cemburu ngeliat kamu sama dia atau hal-hal semacamnya tapi aku gak rela kalo harus liat dia muncul lagi di hidup kamu. Dia yang udah bikin kamu sakit sedangkan aku berusaha mati-matian untuk membahagiakan kamu. Seharusnya, kamu yang paling tau rasa sakit itu. Dia yang nyakitin kamu, tapi kenapa rasanya aku yang lebih sakit ketika aku tau kamu disakitin. Aku….” Dengan sengaja, Jerry menggantungkan kalimatnya. “Aku gak bisa ngeliat kamu sakit, Yosephine.”

Yosephine sempat membeku di tempatnya. Penjelasan bermakna yang penuh ketulusan itu sangat menyentuh hati terdalamnya. Ia sampai tidak tahu harus menanggapi pemaparan sang kekasih dengan emosi atau aksi yang bagaimana. Yosephine tidak tahu harus apa. Namun, satu hal yang ia tahu ialah Jerry bukanlah Arden yang gemar ingkar dengan kata-kata atau janji yang diucapkannya.

“Jerr.”

“Ophine.”

Kedua insan itu tidak sengaja memanggil nama satu sama lain. Baik Jerry atau Yosephine sama-sama terhanyut dengan suasana yang semakin tenang nan membaik. Jika tadi keheningan yang mengudara diselimuti dengan hawa negatif, kini kesunyian yang ada mengisyaratkan bahwa mereka mengharapkan ketenangan setelah hal-hal buruk yang sempat terjadi.

“Kamu duluan aja,” ujar Yosephine.

“Bisa gak?” tanya Jerry tidak jelas.

“Bisa apa, Jerr?” balas sang gadis dengan kembali bertanya.

“Bisa gak masalahnya kita selesain pake ciuman aja?”

Tanpa aba-aba atau menyetujui permintaan sang kekasih, Yosephine bergerak terlebih dahulu. Dikecupnya bibir yang selalu memberikan kenyamanan pada hasrat yang kerap kali timbul. Ia mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Jerry menyambut ciuman itu dengan senang hati. Ia menangkup sebelah pipi tirus gadisnya.

Entah sudah berapa kali sepasang kekasih itu mengubah arah kepala mereka, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Momen ini intim yang dilakukan keduanya merupakan akhir dari perseteruan yang sempat terjadi sebelumnya. Semakin panas aktivitas yang terjadi maka sepasang kekasih itu akan semakin lupa dengan dunia yang ada di sekitar mereka. Seolah ingin meminta lebih satu sama lain, mereka bergerak semakin agresif.

“Mphhh,” lirih Yosephine tertahan kala kecupan itu perlahan turun ke arah dadanya.

“Nghh, Phine,” lenguh Jerry saat gadisnya dengan sengaja mengusap kejantanannya.

Kemudian, tangan kekar itu bergerak menangkup tangan yang lebih mungil. Untuk sejenak, Jerry berhenti sebentar dari kegiatannya bersama Yosephine. Ia melonggarkan dasi berwarna hitam yang melingkar pada kemeja kerjanya lalu melilitkan benda tersebut di sekitar pergelangan tangan sang kekasih. Yosephine yang paham ke mana arah permainan ini hanya menyeringai puas.

“Kamu tau ‘kan artinya kalo udah iket tangan kamu itu apa?” tanya lelaki tampan itu sensual.

Yosephine mengangguk sekali. “Yes, Sir.”

Mendengarnya, Jerry tersenyum. “You're not allowed to do anything except my command,” jelasnya. “Understand, Ophine?” Tangan kanan Jerry bergerak menangkup dagu mungil sang gadis agar menatap lurus ke arah matanya.

Yosephine menganggukan kepalanya lagi. “Understood, My Lord,” jawabnya.

Berikutnya, Jerry kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Namun, kali ini, tangannya ikut bekerja. Selagi ia sibuk memberikan tanda kepemilikan di sekitar dada sang gadis, jari-jarinya bergerak melepas satu per satu kancing kemeja hitam yang dikenakan Yosephine. Kemudian, tampaklah sepasang payudara sintal yang memohon untuk segera dimainkan. Dengan gerakan pasti, lelaki tampan itu melepas pengait bra yang melindungi aset miliknya.

“Ahhh, Jerr,” desah Yosephine saat kekasihnya meremas, memijat, lalu sesekali memilin ujung puting payudaranya.

Yosephine, yang kedua tangannya diikat erat tidak dapat berbuat apa-apa selain mengelukan nama lawan mainnya. Jerry bagaikan bayi yang merindukan air susu ibunya. Lihat saja, bagaimana mulutnya dengan gencar menghisap sebelah payudara sang gadis. Yosephine menengadahkan kepalanya demi menetralisir rasa nikmat dari buah dada yang mengontak ke seluruh tubuhnya.

“Nghh, ahhh, Jerr,” lenguh gadis cantik itu.

“More?” tanya Jerry sembari mengangkat alis tebalnya.

“Yes,” balas Yosephine. “Please.”

Bukannya melakukan titah dari Yosephine, Jerry malah menegakkan tubuhnya. Ia membuka zipper pada celana kain berwarna hitam yang dipakainya setelah sebelumnya merenggangkan tali pinggang berbahan kulit yang melilit pinggangnya. Yosephine dapat melihat jelas penis besar yang terasa sesak dari balik pakaian dalam lelaki kesayangannya. Jerry benar-benar tergugah dengan permainan yang mereka ciptakan.

“Please me first,” perintahnya. “Then I’ll bring you heaven.”

Yosephine tersenyum lalu mengangguk pelan. Dengan gerakan yang terbatas, sebab pergelangan tangannya masih terikat sempurna, gadis cantik itu bergerak meluruhkan pakaian dalam sang kekasih. Voila! Batang berurat yang berdiri tegak siap untuk dipuaskan. Perlahan, Yosephine melumat ujung penis besar tersebut. Jerry dibuat mengerang kenikmatan oleh gadisnya.

“Mphhh. Good, Yosephine,” puji lelaki tampan itu. “Now, deeper.”

Sesuai perintah, Yosephine memasukkan kejantanan kekasihnya lebih dalam lalu kepalanya bergerak maju dan mundur dengan tempo sedang. Jika tadi Yosephine yang dipermainkan oleh kekasihnya maka kali ini Jerry yang mendapat giliran tersebut. Tangan kanannya bergerak menangkup rambut bagian belakang sang gadis. Kemudian, ditolongnya Yosephine untuk bergerak lebih cepat.

Jerry terus memanggil nama Yosephine selagi gadisnya memuaskan keinginan juniornya. Yosephine beberapa kali sempat tersedak karena benda besar yang memenuhi tenggorokannya tetapi itu bukanlah masalah yang signifikan. Selama Jerry merasa terpuaskan, gadis cantik itu rela diperlakukan dan dijadikan apa saja untuk membantu mencapai tujuan tersebut. Bisa dibilang, Yosephine berperan sebagai submissive di dalam hubungan ini.

Tak lama kemudian, Jerry mengomando gadisnya untuk berhenti. Ia mengusap bibir merah yang berair itu menggunakan ibu jarinya. Lalu, lelaki tampan itu kembali mencium kekasihnya mesra. Baik Jerry maupun Yosephine, melalui kecupan itu, dapat merasakan cinta dan kasih sayang dari pasangan masing-masing.

Meskipun, tidak menutup kemungkinan, Yosephine masih heran alasan Jerry menyuruhnya untuk berhenti. Padahal, ia sangat yakin bahwa Jerry akan menjemput pelepasannya sebentar lagi. “Kok berhenti?” tanya gadis cantik itu sesaat sang kekasih menyudahi ciumannya.

Jerry terkekeh kala sepasang indera pendengarannya mendengar pertanyaan polos yang dilontarkan gadisnya. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga kiri Yosephine. “I said I’ll bring heaven to you or have you forgotten?” bisik lelaki tampan itu.

Tentunya, Yosephine mengerti dengan isyarat itu. Dengan begitu, ia merendahkan bangku penumpang yang didudukinya. Yosephine yang sudah setengah telanjang, meletakkan kedua tangannya yang terikat ke atas kepalanya, memberikan Jerry pemandangan paling menggiurkan yang pernah ia lihat. Demi menyambut tubuh indah itu, Jerry mengubah posisi duduknya.

Jika tadi lelaki tampan itu duduk di kursi supir di belakang kemudi maka sekarang ia duduk di atas Yosephine. Tangan Jerry bergerak menurunkan zipper celana jeans cullote yang dikenakan sang gadis. Jerry tersenyum puas saat sepasang maniknya menangkap pakaian dalam berwarna putih yang memiliki bercak basah. Ia mengusap pelan vagina sang kekasih dari arah luar.

“Ahhh, Jerr,” desah Yosephine.

“You’re already wet, Ophine,” goda Jerry. “It’ll make me easier to bring heaven to you.”

Di detik berikutnya, Jerry meluruhkan kain terakhir yang melekat pada tubuh gadisnya. Dengan gerakan perlahan tetapi pasti, lelaki tampan itu memangkas jarak antara miliknya dan milik gadisnya. Sepasang kekasih itu saling memanggil nama satu sama lain kala kepemilikan mereka bersentuhan. Hanya selangkah lagi dan keduanya akan merasakan apa yang dinamakan surga dunia.

“Nghh, ahhh.”

“Ahhh.”

Jerry dan Yosephine sudah menjadi satu kesatuan. Di dalam hatinya, Yosephine sangat berterima kasih kepada sang kekasih sebab lelaki kesayangannya itu tidak mengenyampingkan aspek kesehatan dan keselamatan walaupun dirinya yang menjadi pemimpin. Jerry mulai bergerak dengan tempo lambat. Namun, hanya dengan kecepatan seperti itu, keduanya sudah seperti dibawa ke angkasa.

“Nghh, Jerr,” lirih Yosephine.

“Do you feel heaven, Yosephine?” tanya Jerry.

“Kinda,” jawabnya singkat.

Jerry terkekeh remeh. “It’s just a beginning, Ophine,” katanya. “Soon, you’ll know what heaven feels like.”

Dengan berakhirnya kalimat tersebut, Jerry mempercepat tempo gempurannya. Setidaknya, Yosephine dapat merasakan Jerry menghantamnya tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia juga dapat merasakan dengan jelas ujung penis itu terus menabrak dinding rahimnya. Mobil yang menjadi saksi bisu atas perilaku nakal mereka pun ikut bergerak seolah menyemangati kegiatan panas keduanya.

“Nghhh, Jerry, ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Yosephine tidak dapat menanggulangi rasa yang tengah menguasai dirinya. Dengan Jerry yang berada di atasnya, semua terasa sangat sempurna. Yosephine menengadahkan kepalanya ke arah atap mobil. Lalu, peluang itu Jerry manfaatkan dengan kembali menambahkan tanda khas kenikmatan di sekitar dada dan payudara sang gadis. Oleh sebab itu, Yosephine semakin dibuat meraungkan nama kekasihnya.

“Ahh, Jerry,” panggil Yosephine.

Jerry mengangkat pandangannya. Ia tidak dapat menahan senyumnya kala sepasang manik selegam malamnya menangkap pemandangan tak terlupakan berupa wajah cantik kekasihnya yang sedang bertarung dengan rasa nikmat. Jerry berani bertaruh bahwa skema bagaimana gadisnya larut dalam surga ala duniawi yang diciptakannya akan selalu menghantui isi pikirannya, terutama saat berkas di kantor menumpuk di meja kerjanya.

“About to cum, Girl?” tanya Jerry.

Yosephine mengangguk cepat. “Yes. Can I?” ucapnya meminta izin.

“With one condition,” jawab lelaki tampan itu. “On my count.”

Selanjutnya, Jerry menghantam gadisnya dengan seluruh kekuatan yang ia bisa kerahkan. Di satu sisi, ia sangat puas melihat gadisnya menanggung pelepasan yang seharusnya dijemput. Namun, di sisi lain, ia juga perlu untuk membebaskan hasrat yang sedari tadi tertahan. Oleh sebab itu, Jerry memutuskan untuk membiarkan Yosephine merasakan titik ternikmat bersama dengannya.

“I can’t, ahhh, hold it, nghhh, anymore, Jerr,” rintih Yosephine.

“On three, Yosephine,” jelas Jerry. “One.”

“Nghh, ahhh,” lirih gadis cantik itu.

“Two.”

“Jerry?!”

“Three.”

Pada hitungan ketiga, Jerry menyemburkan sperma hangatnya ke dalam rahim sang gadis. Berbeda dengan lelaki kesayangannya, Yosephine yang sudah berada di ujung tanduk, menjemput pelepasannya pada hitungan kedua. Sepasang kekasih itu beradu dengan napas satu sama lain. Jerry mengeluarkan kepemilikannya dari dalam kepemilikan sang kekasih untuk kemudian mengecup kening Yosephine dalam waktu yang cukup lama.

“I’m so sorry, Yosephine,” ucap lelaki tampan itu. “Maaf tadi aku ngebentak aku. Aku kelewatan. Maaf juga aku udah punya pikiran jelek sama kamu. Jadi, kayak keliatannya aku gak percaya sama kamu. To be honest, aku gak pengen kamu sakit dan sedih lagi. I truly worry bout that.”

Mendengarnya, Yosephine tersenyum teduh. “It’s okay, Jerry,” balasnya. “Aku yang gak peka sama perasaan kamu. Seandainya, aku yang ada di posisi kamu, mungkin aku sama marah dan sedihnya. Makasih, ya, udah perhatian sama hidup aku di saat aku sendiri gak sadar.”

Jerry tersenyum manis sembari mengusap pelan pucuk kepala Yosephine. Akhirnya, perkara yang berpotensi memunculkan keretakan pada hubungan keduanya kandas hanya dalam waktu satu malam. Jerry dan Yosephine sadar bahwa mereka hanya ingin menjaga satu sama lain. Namun, tak jarang cara yang mereka gunakan salah sehingga menimbulkan perdebatan. Jika sudah begitu maka komunikasi transparan yang menjadi jawabannya.

“Phine,” panggil Jerry di sela-sela momen romantis mereka.

“Hm?” Yang dipanggil namanya hanya berdehem pelan. Jari telunjuk gadis cantik itu sibuk bermain pada rangka wajah tegas yang tampan favoritnya.

“Kamu tau gak?” tanyanya.

“Tau apa?” balas Yosephine dengan kembali bertanya.

“We’re not done yet.”

Seketika, seluruh pergerakan gadis cantik itu berhenti. “What do you mean by that? What thing isn’t done yet?” Kening gadis cantik itu mengernyit keheranan.

Lagi, Jerry memangkas jarak antara dirinya dengan sang gadis. Ia berbisik. “Aku tau kamu tadi gak nurutin perintah aku. You were cum on the second count, weren’t you?”

Yosephine yang tertangkap basah hanya dapat bergeming. Ia mengulum bibirnya sebab gugup. Ia pikir, Jerry tidak akan tahu bahwa dirinya mendapat titik ternikmatnya satu detik lebih cepat dari waktu yang kekasihnya tentukan. Yosephine tahu, ia akan menanggung akibatnya apabila ia melakukan dua pelanggaran selagi bermain bersama. Satu, tidak menuruti perintah sang dominan. Dua, berbohong tentang menjemput pelepasannya.

“Am I right, Ms. Arawinda?” cecar Jerry. Wajah tampan itu kembali berubah drastis.

Yosephine menghela napas panjang sebelum menjawab. “I was, Sir.”

“Then, you know where did you go wrong,” jelas lelaki tampan itu.

“Iya,” balas Yosephine. “Tapi…,” ucapnya menggantung. “Boleh gak jangan di sini? Pinggang aku sakit banget.”

“Sakit banget, Phine?” tanya Jerry khawatir.

“Enggak juga sih,” ujarnya. “But it would be so much easier if we do that on bed.”

“As you wish, Yosephine.”

Mendengar kehendak demikian dari gadisnya, Jerry pun menyetujuinya. Setelah memakai kembali pakaian masing-masing yang sempat terlepas dan kini terlihat sangat kusut dan tidak karuan, Jerry menancap gas mobilnya untuk menuju rumahnya. Bukan rumahnya bersama kedua orang tuanya, melainkan rumah miliknya sendiri. Dengan begitu, Jerry dapat dengan bebas mengeksploitasi kekasihnya.