The Witticism

DUARRR!!!

Terdengar suara pintu yang amat menggelegar sehingga memekakkan telinga siapa saja yang dapat mendengarnya, terutama Habel Abdizar. Lelaki penuh humor yang tengah sibuk bermain dengan playstation-nya itu bahkan hampir terjatuh dari tepi ranjangnya jika saja kaki-kaki jenjangnya yang sedari tadi bersila tidak sigap menumpu tubuh kekarnya.

Habel baru saja akan melayangkan protes kepada manusia yang merusak suasana hatinya kala sepasang indera penglihatannya menangkap sesosok yang membanting pintu lalu menerobos masuk ke dalam kamar tidurnya itu adalah orang ketiga setelah kedua orang tuanya yang mustahil untuk ditentang. Ya, Rasta Mahaprana, sang Ketua OSIS.

“Lo ‘kan bisa ngetok dulu, Ta. Itu pintu kamar gua dari kayu jati kok bukan jadi pudding karamel kalo lo ngetok masih kedengeran sama gua,” jelas Habel pada Rasta yang sudah mengambil posisi duduk di bangku meja belajarnya.

“Jangan berisik, Bel,” sergah Rasta. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Habel menghela napas panjang. “Rumah juga rumah gua tapi yang dimarahin gua juga,” keluhnya. “Lo kenapa?”

Rasta lebih memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan temannya namun tetap bertindak. Lelaki tampan itu mengeluarkan lima buah botol dari dalam tas ranselnya. Seketika botol-botol dengan isi air berwarna keruh itu tampak, Habel menganga. Pada raut wajahnya tergambar rasa senang serta penasaran di waktu yang bersamaan.

Habel menghampiri Rasta lalu menepuk pundaknya. “Waduh! OSIS lagi ribet banget, ya, Ta?”

Rasta masih diam. Ia membuka botol pertama dan langsung menegak isinya. “Enggak,” singkatnya seraya menggeleng. “Hanaya,” katanya.

Habel menarik kursi kayu lain yang ada di kamarnya. Ia memposisikan dirinya di hadapan sang sahabat. “Kenapa istri lo?” tanyanya. Habel membuka botol lain untuk ia teguk.

“Dia jalan sama Marcel,” jelas Rasta.

Habel menyemburkan alkohol yang baru saja akan mengalir dengan segar ke dalam kerongkongannya. Rasta mengeratkan sepasang maniknya sebab buliran air yang membasahi wajah tampannya. Untungnya, Habel tidak menerima bentuk balas dendam dari ketua sekolahnya itu. Rasta terlalu lesu untuk sekadar bertengkar dengan lawan sejatinya itu. Ya, setidaknya sekarang.

“Marcel sepupu gua?!” tanya Habel tidak santai.

Rasta mengangguk. “Gua juga gak tau kenapa. Hanaya juga bilang gua jalan sama cewek lain. Gua bener-bener gak ngerti kenapa,” ujarnya frustasi. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum meneguk setengah botol alkohol yang tersisa.

Habel menahan napasnya. Tentunya, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Juga, pastinya, ia tahu apa yang menyebabkan perang tersebut dapat terjadi, bukan lain karena dirinya sendiri. Lelaki manis itu mengusap tengkuknya canggung bersamaan simpul senyumnya yang terlihat serupa. Ah, benar juga. Seffy Amarani, sang Wakil Ketua OSIS.

“Hanaya bilang lo jalan sama Seffy, ya?” tanya Habel ragu.

Rasta mengangkat pandangannya. “Iya. Kok lo tau? ‘Kan gua belom bilang.”

“Ya, itu…,” ucap Habel sembari menggaruk pangkal hidung bangirnya.

“Itu gimana? Ngomong yang jelas dong, Bel!” Rasta terdengar semakin menuntut.

“Gua mau jelasin tapi lo jangan marah, ya, lo yang tabah, ya,” ujar Habel.

“Apaan sih, Bel? Lo jangan nakutin gua deh,” sergah Rasta. Ia membuka botol selanjutnya dari kumpulan alkohol yang dibawanya.

“Itu… tadi gua yang bilang ke Hanaya,” gumam Habel pelan. Jika Rasta tidak memusatkan atensinya pada suara yang biasanya terdengar sekeras dan senyaring klakson mobil itu, ia tidak akan bisa mendengarnya.

Rasta bangkit dari duduknya. “Apa?! Lo apa ke Hanaya?!” bentak Rasta.

Habel sudah melindungi dirinya dengan bantal empuk yang ia raih dari sofa di dekatnya sebagai gencatan senjata. Lelaki manis itu melihat sahabatnya mengangkat botol alkohol yang masih penuh untuk dilayangkan ke atas kepalanya. Namun, belum sempat Rasta merealisasikannya, ia sudah tumbang.

Sekarang, lelaki tampan itu sudah berbaring di atas lantai keramik yang dingin di kamar sahabatnya seraya mengucapkan mantra-mantra yang Habel tidak mengerti. Habel berlutut di samping Rasta. Ia menepuk pelan kedua pipi lawan bicaranya. “Ta,” panggilnya. “Lo gak apa-apa?”

“Hanayaaa,” ucap Rasta. Ia membalikkan tubuhnya menjadi telungkup. “Hanaya-nya punya Rastaaa.”

“Yah, anaknya mabok,” keluh Habel. “Udah tau gak kuat minum kenapa masih nekat sih, Ta?”

“Hanaya itu cantik banget,” kata Rasta tertahan sebab wajahnya yang menghadap langsung ke lantai. “Lebih cantik dibanding Seffy,” jelasnya.

Rasta yang kuat, gagah, dan tegas seketika hilang jika bertemu atau bersama dua hal, alkohol dan kekasihnya. Habel berusaha membopong tubuh mungil yang ternyata berat itu agar berbaring di ranjang tidurnya, namun usahanya sia-sia. Rasta malah menelusup masuk ke dalam dekapannya seolah ia adalah Hanaya.

“Aduh, Ta! Ini gua, Habel, bukan istri lo,” protes Habel.

“Hanayaaa,” panggil Rasta. “Mau gak jadi pacar aku?”

Sepertinya, kenangan di mana Rasta menyatakan cintanya kepada Hanaya kembali terputar di alam bawah sadarnya. Tidak seperti Marcellio yang memiliki keberanian setinggi langit untuk mengungkapkan perasaannya di hadapan seluruh penghuni sekolah, Rasta mengajak gadisnya ke taman di dekat sekolah lalu membelikannya es krim coklat dan gulali berbentuk kelinci.

“Rasta! Sadar dong,” kata Habel saat Rasta mengeratkan pelukannya.

Sepertinya, Rasta mendengar ratapan sahabatnya yang satu ini. Ia bangkit lalu berjalan ke arah nakas di samping kasur. Langkahnya gontai dan sesekali Rasta tersandung kakinya sendiri tetapi ia kembali bangun. Rasta menatap lekat lampu tidur dan bingkai foto yang terletak di sana. Ia tersenyum.

“Ini gua sama Hanaya, ya?” tanyanya.

Habel mengusap wajahnya tak habis pikir. “Bukan, Ta. Itu Restu.”

“Restu?!” tanya Rasta dengan suara yang melengking.

“Pacar gua, Ta, pacar gua,” jelas.

Rasta mengangguk untuk kemudian ber-oh ria. “Oh, Restu itu pacar lo.”

CTARRR!!!

Rasta membuang pigura foto itu ke arah lantai. “Kalo gua sama Hanaya putus…,” gantungnya. “Lo sama pacar lo juga harus putus!”

“Rasta?!” pekik Habel.

Ia mendekati sang sahabat. Selain perkara gambar dirinya bersama sang kekasih, Rasta bisa saja terluka karena serpihan kaca yang berserakan. Habel bekerja keras untuk membuat Rasta diam di tempatnya, namun lagi-lagi itu tidak ada artinya. Kali ini, Rasta berjalan ke arah lemari kayu. Ia membuka lemari dua pintu itu dengan kedua tangannya. Rasta melihat dengan tidak begitu jelas ada seragam yang tergantung di dalam sana.

“Ini seragam siapa?” tanyanya.

“Seragam gua, Ta,” jawab Habel. “‘Kan kita satu sekolah. Lo Ketua OSIS-nya.”

Rasta kembali mengangguk dan mulutnya membentuk lingkaran. “Kita satu sekolah?! Gua… Ketua OSIS?!”

“Iya, Rasta,” sergah Habel. “Udah, ya, kita tiduran aja,” ajaknya.

Mendengarnya, seketika Rasta memeluk dirinya sendiri. “Jangan!” teriaknya. “Aku cuma punya Hanaya,” jelasnya. “Gak boleh disentuh apalagi main sama yang lain.”

Habel membeku di tempatnya. Kemungkinan besar ia serangan jantung mendadak yang ia alami sekarang ini karena sudah lama tidak melihat efek samping dari sahabatnya yang menenggak minuman beralkohol itu. Rasta memang bukan tipe orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap minuman tersebut. Belum lagi, tingkah aneh akan muncul setelahnya.

“Ta, ini perlu gua panggil siapa sih? Biar lo gak kesurupan lagi,” gumam Habel.

Sontak, Hanaya-lah yang muncul di dalam pikirannya. Dengan cepat, Habel meraih ponsel yang ada di saku celana pendeknya. Ia tidak ingin berurusan lebih lama lagi dengan sahabatnya yang sudah seperti orang pengidap skizofrenia. Habel mengetik beberapa pesan untuk dikirimkan ke Hanaya.

“Hay,” monolog Habel. “Coba lo ada di sini sekarang. Pacar lo berubah jadi belalang sembah,” jelasnya sembari menggelengkan kepala.

Lihat saja, bagaimana Rasta berdiri dengan satu kaki di atas ranjang tidur miliknya. Tangannya mengatup satu sama lain selagi kedua maniknya terpejam. “Haaa… Naaa… Yaaa!!!!”

Tak lama setelahnya, Habel ikut berteriak. “HAAAAA!!!!!”

Sepertinya, jika Rasta tidak mendapatkan penanganan afektif lebih lanjut dari kekasihnya, mungkin lelaki tampan itu akan naik ke stadium berikutnya. Habel yang notabene manusia yang memiliki tingkah paling aneh seantero Sekolah Menengah Atas Pelita Bangsa saja tidak sanggup menghadapi Rasta. Hanya ada satu jalan keluar, Hanaya Marabella.

Tak lama kemudian, Habel mendengar langkah kaki mendentum dari arah tangga di dekat kamar tidurnya. Ia mulai bisa bernapas lega. Hanaya datang dengan sangat cepat demi lelaki kesayangannya. Habel mengelus dadanya seraya terduduk di atas lantai kamarnya. Bahkan, Habel belum sempat merasakan minuman keras itu mengalir di dalam darahnya.

“Rasta?!” pekik Hanaya. Sepasang manik selegam senjanya menelisik ke seluruh sudut ruangan.

“Itu di dalem selimut,” ucap Habel pasrah. Jari telunjuknya mengarah ke ranjang tidurnya, di mana Rasta yang tadinya dirasuki oleh hewan kecil yang dikenal sebagai ahli kung fu itu, kini berubah menjadi orang pengidap bipolar yang sedang menghadapi fase depresi.

“Urusan kita belom selesai, ya, Habel Abdizar,” ancam Hanaya. “Setelah ini, lo abis sama gua.”

Kemudian, Hanaya melangkah menghampiri kekasihnya. Ia duduk di tepian ranjang seraya sebelah tangannya perlahan meraih ujung selimut. Diangkatnya kain tersebut dan yang ia temukan ialah Rasta yang tengah meringkuk sembari memeluk dirinya sendiri. Entah mengapa, hati gadis cantik itu terasa menghangat.

“Ta,” panggil Hanaya sembari tersenyum.

Ada sebias suara yang tak asing memasuki telinganya, Rasta mengangkat pandangannya. Seketika ia menatap ke sumber suara, Rasta dapat melihat wajah cantik yang sudah ia kagumi selama tiga tahun terakhir, dengan rambut panjang terurai, binar mata seterang konstelasi bintang di galaksi, serta bibir yang berwarna merah muda. Rasta sangat menyukai pemandangannya, Hanaya.

“Hanaya?”

“Iya, Rasta. Ini Hanaya. Kamu gak apa-apa?” tanya Hanaya khawatir. Meskipun tidak tergambar pada ekspresinya, gadis cantik itu tentu saja cemas. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kekasihnya itu mendekati air beralkohol.

“Ini bener Hanaya-nya Rasta?”

Hanaya mengangguk. “Iya, bener kok. Ini Hanaya-nya Rasta.” Hanaya merentangkan tangannya. “Katanya Rasta mau peluk? Sini.”

Tidak butuh waktu lebih lama lagi, seolah Rasta sudah sadar dari mabuknya, lelaki tampan itu masuk ke dekapan sang kekasih. Ia memeluk Hanaya erat seperti gadisnya akan pergi meninggalkannya jika ia melepaskannya. Hanya mengusap kepala bagian belakang lelaki kesayangannya.

Ia dapat merasakan dengan jelas bagaimana kegelisahan yang bersarang di hati kekasihnya. Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara itu bagai menyalurkan rasa negatif yang ada di hati masing-masing. Memastikan bahwa yang terjadi hari ini adalah murni kesalahpahaman yang dibuat oleh teman mereka, Habel Abdizar.

“Syukur deh, Ta, lo sadar,” ucap Habel.

Hanaya melepaskan dekapannya terlebih dahulu. Ditatapnya netra yang seolah memancarkan rasa lelah. Hanaya dapat mencium aroma alkohol yang melekat dari lelakinya. Tangan kanan Rasta bergerak mengusap pipi yang ia yakini semakin tirus. Rasta dapat melihat dengan jelas jejak air mata kekasihnya di sana. Lalu, Keduanya melengkungkan senyum secara bersamaan.

“Hay, maafin aku,” kata Rasta.

Hanaya menggeleng. “Enggak, Ta,” balasnya. “Aku yang harusnya minta maaf. Harusnya aku gak percaya sama temen kamu yang aslinya berwujud setan.”

“Jangan pergi sama Marcel lagi,” pinta sang kekasih.

Hanaya menggangguk. “Iya, Rasta. Maafin aku, ya. Aku gak akan ketemu lagi sama Kak Marcel,” jawabnya.

Di sisi lain, Habel menggunjing pasangan kekasih itu. “Udah, ya, kalo mau melakukan hal yang iya-iya mending jangan di sini,” jelas Habel. “Silakan keluar,” lanjutnya.

Habel membukakan pintu kamarnya untuk Rasta dan Hanaya untuk mempersilakan kedua sahabatnya itu agar segera meninggalkannya sebab masalah yang terjadi sudah menemukan titik terang. Namun, bukan Rasta maupun Hanaya jika tidak mereka berhenti di sini. Habel harus diberi pelajaran agar mengerti bahwa ini bukan perkara mudah.

Rasta mendekatkan mulutnya ke telinga sebelah kanan Hanaya. Ada beberapa bisikan yang disampaikannya, bukan lain adalah rencana balas dendam. Hanaya sesekali tertawa mendengar ide gila yang kekasihnya itu ucapkan tetapi ia sangat setuju akan hal itu. Setelah selesai, sepasang kekasih itu saling bertukar tatap.

“Hay,” panggil Rasta. “‘Kan tadi aku punya permintaan lain ke kamu, ya?”

“Iya, ya, Ta? Apa, ya. Ta? Aku gak inget loh,” ucapnya jahil.

Habel yang mendengar bias suara dan raut wajah dari sahabat-sahabatnya itu berubah drastis mengangkat sebelah alisnya. Ia menutup kembali pintu kamarnya untuk kemudian berjalan mendekat ke arah Rasta dan Hanaya, namun tidak terlalu dekat. Habel masih takut dengan dugaan ia akan dikeroyok sampai mati malam ini.

“Ini laki bini gak jelas banget sumpah,” protesnya.

Rasta tidak mengindahkan perkataan lawannya itu. Ia melanjutkan skenario nakalnya. “Ah, masa kamu gak inget sih, Sayang? ‘Kan tadi aku mau peluk sama…,” gantung Rasta.

“Cium,” singkat Hanaya melanjutnya.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Rasta menarik tengkuk kekasihnya agar masuk ke dalam cumbuannya. Hanaya yang diperlakukan seperti itu pastinya tidak menolak karena memang ini bagian dari rencana yang mereka rancang. Dan seperti tebakan mereka, Habel membatu di tempatnya.

“Ya, gak di sini juga dong!” teriak Habel. “Aduh! Temen gua anjing semua.”

Mendengarnya, Rasta dan Hanaya hanya terkekeh di sela-sela ciumannya. Entahlah, sudah berapa kali sepasang kekasih itu mengubah arah kepalanya, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Keduanya begitu menikmati permainan yang sengaja mereka ciptakan. Selain sebagai media balas dendam, permainan ini juga dilakukan sebagai ajang untuk berbaikan.

Habel menjambak rambutnya sendiri. Pasalnya, apa yang menjadi pemandangannya saat ini begitu membangunkan gairahnya. Habel sangat berharap Restu datang ke kamar tidurnya lalu melakukan hal yang sama dengan apa yang Rasta dan Hanaya lakukan. Tidak tahan lagi, akhirnya, Habel berlari ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya.

Selepasnya, Rasta mengakhiri cumbuannya terlebih dahulu. Ia tersenyum lalu mengusap pelan pucuk kepala sang gadis. Hanaya terkekeh ketika menyadari bahwa Rasta sudah sepenuhnya sadar. Rasta-nya telah kembali. Mereka bersyukur bahwa pertengkaran hebat hari ini hanyalah kebohongan yang dibuat-buat belaka.

“Hay,” panggil Rasta lagi. “Kangen.”

Hanaya tertawa bahagia. “Aku juga kangen kamu, Ta.”

“Hay,” panggil Rasta lagi dan lagi. Sepertinya, nama kekasihnya itu selalu terngiang-ngian di pikirannya. “Kalo aku bilang aku kangen kamu gimana?” tanyanya.

“‘Kan tadi udah bilang, Ta. Aku juga udah bilang ‘kan? Kalo aku juga kangen kamu,” jelas Hanaya.

“Hay.” Sepasang manik selegam malam itu terlihat serius. Wajahnya datar namun menyiratkan seribu arti. “Kalo aku bilang aku ‘mau’ kamu… gimana?”

Hanaya terdiam. Pandangannya lurus menatap wajah tampan lelaki kesayangannya. Meskipun terlihat seperti membeku, tetapi aliran darahnya berdesir cepat, jantungnya berdegup seribu kali lebih kencang, serta keringat dingin mengucur di sekitar wajah dan tubuhnya. Hanaya terlalu gugup untuk megiakan permintaan kekasihnya. Oleh karena itu, ia menganggukan kepalanya.

Berikutnya, Rasta mengulurkan tangan kanannya untuk Hanaya, agar gadisnya itu ikut berbaring bersamanya di atas ranjang tidur sahabatnya. Namun, bukannya berbaring, Rasta malah menuntun Hanaya untuk duduk di atas pangkuannya. Hanaya mengalungkan lengannya pada bahu lebar lelakinya.

Kali ini, Hanaya yang mendahului kekasihnya dalam sesi ciuman panas. Rasta mengangkatkan kepalanya sebab Hanaya saat ini lebih tinggi darinya. Sementara sepasang lengan Hanaya yang tetap pada tempatnya, tangan lebar Rasta menjamah ke segala ruang yang dapat dijangkaunya, seperti punggung sempit dan perut rata dari balik hoodie lawan mainnya.

“Nghhh,” lenguh Hanaya saat tangan hangat kekasihnya terasa kontras dengan dinginnya udara dari pendingin ruangan yang ada.

Hanaya mendorong tengkuk Rasta agar memperdalam cumbuannya. Ciuman yang awalnya hanya melibatkan sepasang bibir ranum, kini bertambah bersama lidah dan deretan gigi. Hanaya suka bagaimana miliknya berperang dengan milik Rasta. Lihat saja, bagaimana sepasang kekasih itu semakin ingin lagi dan lagi.

Dirasa kehabisan napas, Hanaya menyudahi ciumannya. Setelah lepas, gadis cantik itu sebisa mungkin memasok oksigen untuk masuk ke dalam paru-parunya. Selagi Hanaya sibuk dengan sistem respirasinya, Rasta tertawa. Menurutnya, Hanaya sangat cantik, menggemaskan, dan menggoda malam ini.

“Kewalahan, Hay?” guyon Rasta.

Mendengarnya, Hanaya memukul pelan bahu Rasta. “Ih, Rasta! Jangan gitu,” katanya. “Kamu kayak makan orang.”

Rasta memangkas jarak antara wajahnya dan wajah gadisnya. “Emang iya,” ucapnya dengan suara sedalam palung. “‘Kan mau makan kamu.” Diakhiri dengan seringai.

Dengan begitu, Rasta memutar balik posisinya. Kini, Hanaya berada di bawah kungkungannya. Perlahan, Rasta menanggalkan hoodie miliknya yang sudah menjadi kesukaan gadisnya sejak tahun pertama mereka resmi berpacaran. Rasta dipuaskan dengan pemandangan Hanaya yang hanya berlapiskan bra dan celana pendek di balik hoodie-nya itu.

“Jangan diliatin gitu ah, Ta,” protes gadis cantik itu.

Rasta tertawa lepas. “Kamu tuh lucu banget tau, Hay.”

“Makasih,” gumam Hanaya.

“Terima kasih kembali, Cantik.”

Selanjutnya, Rasta mulai membumbui tubuh indah yang ada di bawahnya itu dengan tanda kepemilikannya khas dirinya. Dijilatnya rongga leher dan belakang telinga kekasih kemudian jilatan itu berubah menjadi kecupan di area dadanya yang sudah setengah terekspos lalu berakhir pada sepasang gunung sintal yang masih terlindungi kain.

“Aku buka, ya, Hay?” tanya Rasta meminta izin.

“Iya, Ta,” jawab Hanaya lembut.

Setelah mendapat izin, Rasta membuka pengait bra di belakang punggung gadisnya dan terlihatnya payudara kenyal yang sukses membangkitkan libidonya. Tanpa basa-basi, Rasta melahap hidangan pembukanya. Hanaya dibuat terhenyak saat kehangat menjalar dari pusat ke seluruh tubuhnya.

“Nghh, ahhh, Ta,” desahnya. “Enakhhh.”

Rasta yang disanjung begitu semakin gencar menyusu pada buah dada kekasihnya. Hanaya yang diberi kenikmatan seperti itu tidak bisa diam di tempatnya. Lihat saja, bagaimana kaki jenjangnya sedari tadi, entah dengan sengaja atau tidak, menggesek-gesek kejantanan lelaki kesayangannya yang masih terbungkus celana denim.

“Shh, ahhh, Hay,” racau Rasta setelah melepas puting gadisnya.

Sebab tidak tahan dengan keinginan yang memuncak, Rasta mencium kasar Hanaya. Cumbuannya itu terasa dan terlihat jauh lebih menuntut dari sebelumnya. Dengan Rasta yang berada di atasnya, setiap gerakan yang Hanaya hasilkan akan sangat berpengaruh terhadap nafsu keduanya.

“Mphhhh,” lirih Hanaya tertahan kala tangan kiri Rasta menelusup ke dalam pakaian dalamnya.

Rasta melepas ciumannya. “Enak, Hay?” tanyanya selagi ibu jarinya sibuk memutari klitoris sedangkan jari tengah dan telunjuknya menerobos masuk semakin dalam.

Hanaya tidak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk cepat. Tanpa disadari, pinggulnya bergoyang seolah meminta lebih. Apa yang ada di bawah sana sudah cukup membuatnya gila, namun Hanaya ingin lagi. Rasta menyadari hal itu tetapi ia akan menunggu sebentar lagi. Harus ada sesuatu yang hampir memuncak barulah ia akan ikut bergabung.

“Ahhh, Ta, mau keluar,” jelas Hanaya.

Rasta memberhentikan kegiatannya di bawah sana. Ia menarik tangannya keluar dari kewanitaan gadisnya. Rasta mendekat pada Hanaya. “Aku masukin, ya?” tanyanya lagi meminta izin. Setelah Hanaya mengangguk, Rasta menyempatkan diri untuk mengecup hangat kening gadisnya.

Rasta melepaskan semua kain yang menutupi tubuhnya tanpa terkecuali. Kemudian, ia meluruhkan kain terakhir yang menempel pada tubuh gadisnya. Disampirkannya selimut tebal dari ranjang tersebut untuk menutupi tubuh polos mereka. Rasta mempersiapkan kejantannya untuk masuk ke dalam Hanaya.

“Kalo sakit bilang, ya, Sayang,” ucap Rasta.

Hanya mengangguk pasti. Ia dapat merasakan kepala penis kekasihnya mulai mendekat ke arah vaginanya. Hanaya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar saat sesuatu yang besar di bawah sana sudah masuk separuh ke dalam dirinya. Lalu, setelah kejantanannya sang kekasih masuk sempurna, keduanya baru dapat kembali bernapas.

“Aku gerakin, ya, Hay,” kata lelaki tampan itu.

Belum sempat Hanaya menjawab, Rasta sudah bergerak menggempur kewanitaannya. Hanaya tidak dapat melakukan hal lain, selain mengelukan desahan yang mengandung nama kekasihnya. Kedua tangannya meremat kain kusut yang melapisi ranjang tersebut. Rasta bergerak semakin cepat.

“Nghh, ahhh, Ta,” lenguh Hanaya.

“Shhh, Hay, ahh,” balas Rasta.

Malam itu, ranjang serta kamar tidur Habel, atau mungkin Habel sendiri yang samar-samar mendengar keluh desah dari kamar mandinya, menjadi saksi bisu bagaimana Rasta dan Hanaya mengakhiri hari serta kesalahpahaman yang terjadi. Baik Rasta maupun Hanaya tidak keberatan apabila setiap perdebatan mereka diselesaikan dengan cara yang panas seperti ini.

Rasta menaikkan tempo gempurannya. Ia mencekik pelan seraya ibu jarinya masuk ke dalam mulut sang gadis. Hanaya kewalahan tetapi ia tetap dapat merasakan kenikmatan yang membuncah dan sepertinya titik ternikmatnya akan datang sebentar lagi. Mengingat, Rasta bermain dengan sangat andal malam ini.

“Ta, ahhh, aku mau, nghh, keluar,” ujar Hanaya susah payah.

“Shhh, sebentar lagi, ahh, Hay,” jawab Rasta.

Mendengar gadis cantiknya akan menjemput pelepasannya tidak lama lagi, Rasta kembali mempercepat tempo permainannya di bawah sana. Hanaya semakin gila dan hal yang sama berlaku juga bagi Rasta. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar, sama seperti yang Hanaya lakukan sebelumnya.

“Rasta!” pekik gadis cantik itu. Hanaya mendapatkan pelepasannya terlebih dahulu.

Setelah tiga kali gempuran, Rasta mencabut penisnya lalu menyemburkan cairan putih hangat ke atas perut rata kekasihnya. “Akhh!”

Rasta tumbang di sebelah kanan Hanaya. Sepasang kekasih yang baru saja selesai bermain itu sama-sama diburu napas. Juga, keringat membanjiri tubuh polos mereka di balik selimut tebal. Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi, baik Rasta maupun Hanaya lebih memilih untuk mengatur napas mereka masing-masing.

Ya, setidaknya sampai Hanaya tiba-tiba memeluk kekasihnya. “Maafin aku, Ta,” kata Hanaya tertahan sebab wajahnya yang bersembunyi di dada bidang sang kekasih.

“Sayang,” panggil Rasta. “‘Kan aku udah bilang gak apa-apa. Bukan salah kamu sepenuhnya juga kok. Emang temen kamu aja idenya terlalu kreatif,” jelas lelaki tampan itu diiringi dengan lelucon.

“Ya, tapi tetap aja, Ta, gak membenarkan tindakan aku yang langsung percaya dan langsung ngajak Kak Marcel jalan,” sanggah Hanaya.

“Hanaya.” Rasta membawa wajah mungil kekasihnya agar menatap langsung ke netranya. “Iya, emang kamu salah. Aku marah dan aku sedih tau kamu jalan sama Marcel. Tapi kamu ‘kan gak akan bertindak sejauh itu tanpa alasan. Aku percaya sama kamu, Sayang,” katanya.

“Makasih, ya, Ta,” balas gadis cantik itu. “Lain kali kalo Habel yang bilang, aku gak akan langsung percaya.”

“Nah, gitu dong! ‘Kan Hanaya-nya Rasta.” Rasta mencubit pangkal hidung kekasihnya.

Klek!

Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Memperlihatkan Habel dengan wajah yang berantakan serta baju yang dikenakannya setengah basah. Lelaki manis penuh humor itu menatap datar sepasang kekasih yang berbaring mesra di ranjangnya. Dengan sigap, Rasta mendekap Hanaya agar lebih masuk ke dalam selimut. Pastinya, Rasta tidak ingin orang lain, apalagi laki-laki, untuk melihat aset berharganya.

“Udah?” tanya Habel.

“Udah apaan?” balas Rasta tanpa dosa.

“Udah ngomongin gua-nya?”

Rasta mengangguk. “Udah?”

“Memasuki satu sama lainnya juga udah?” tanya Habel memastikan.

Rasta mengangguk lagi. “Udah juga.”

Habel mengacungkan jempolnya. “Bagus,” katanya. “Ini mah gua minta maaf, ya, karena udah bikin lo sama istri lo berantem. Sumpah gua gak ngira Hanaya bakal ngajak jalan Marcel.”

“Iya,” jawab Rasta ketus.

“Iya, Habel,” timpal Hanaya yang suaranya tertahan dari balik selimut.

“Yaudah. Sekarang gantian,” perintah Habel.

“Gantian apa?” tanya Rasta.

“Restu mau ke sini. Gantian. Gua mau pake kasurnya,” jelas lelaki manis itu.

“Gak bisa. Lo pake kamar lain dulu aja. Hanaya masih mau istirahat sama gua,” enteng Rasta. Kemudian, ia meraih ponselnya di atas nakas. “Udah sana lo pergi. Kasian nih Hanaya nyumput terus,” tambahnya.

Habel memijat keningnya sebab merasakan pening. “HAAAAA!!!!!”