Ranindya memukul keras dada sang kekasih kala dirasa ciuman itu semakin menuntut. Lihat saja, bagaimana sebelah tangan lelaki setinggi tiang bendera sekolah itu terus bergerilya di seluruh ruang tubuh gadisnya yang dapat dijangkaunya.
“Sam!” pekik Ranindya. “Suka gak inget tempat deh,” keluhnya.
Samuel yang diprotes seperti itu hanya dapat terkekeh. “Biasanya juga gak nolak,” ledeknya.
Mendengarnya, Ranindya berdecak kesal. “Ih! Bukan gitu. Aku bukannya gak mau—” Belum sempat gadis cantik tersebut merampungkan kalimatnya, sang kekasih sudah berdiri tegak di hadapan dirinya yang tengah duduk manis di atas meja. Wajah tampan itu kian mendekat. Ini bukan pertama kalinya bagi Ranindya, tetapi tetap saja ia belum terbiasa.
“Apa? Kalo bukan nolak apa namanya?” tanya Samuel.
Lelaki tampan itu berusaha mati-matian untuk menahan tawanya. Bagaimana wajah cantik kesukaannya itu perlahan mencuatkan rona merah serupa kepiting rebus. Napasnya juga tercekat. Ya, bagaimana tidak? Dari jarak sedekat ini, Ranindya dapat melihat dengan jelas karya Tuhan paling indah yang pernah ia temui.
Sepasang lengan kekar yang sedari tadi berdiam diri di dalam saku celana seragam Samuel, kini mulai bergerak. Ia meletakkan kedua tangannya di samping sisi kanan dan diri tubuh Ranindya. Berbeda dengan lelaki tampan itu, Ranindya semakin memundurkan posisinya. Jika Samuel lupa, mereka masih berada di kawasan sekolah.
“Sam,” panggil gadis cantik itu gugup.
Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat. Samuel masih sibuk menikmati pemandangan indah favoritnya, setiap inci dari wajah cantik kekasihnya. Lelaki tampan sang penguasa sekolah itu baru saja akan melayangkan ciuman lain kala gadisnya mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat.
Dengan cepat, Ranindya mendorong tubuh kekar itu agar menjauh darinya. Ia turun dari posisinya di atas meja kayu untuk kemudian berdehem. “Jangan di sini. Nanti aja,” bisiknya. Kemudian, sepasang tangannya terulur untuk merapikan dasi yang melingkar di kerah kemeja sekolah Samuel.
Melihatnya, lelaki tampan itu tersenyum sumringah. Sebelah tangannya bergerak mengusap lembut pucuk kepala gadisnya. “Good girl. You can handle yourself, even myself,” ujar Samuel.
“Widih! Ada pengantin baru nih,” guyon Aldo sesaat baru sampai di dalam ruang sekretariat sekolah.
“Iri aja lo,” balas Samuel.
“Aku tunggu di sebelah, ya,” kata Ranindya.
Namun, baru saja gadis cantik itu membalikkan tubuhnya, sebelah tangan sang kekasih kembali bergerak. Tubuh mungil itu Samuel bawa lagi untuk menghadap ke arahnya. Di detik berikutnya, lelaki tampan itu bergerak maju dan…
Cup!
Samuel mengecup kening gadisnya singkat. Ranindya yang diberi perlakuan manis seperti itu langsung mematung di tempatnya. Sepasang manik selegam senjanya mengerjap beberapa kali. Ah, mari jangan lupakan Aldo yang menjadi saksi hidup keharmonisan yang terjadi antara si penguasa sekolah dan musuhnya.
“Gak apa-apa kok, Gengs. Gua gak apa-apa banget jadi nyamuk di sini. Jangan hiraukan gua, ya. Gua hanya butiran debu yang menjadi saksi keromantisan kalian di ruangan ini,” sarkas lelaki manis itu sembari menari-nari sesuka hatinya demi mengejek Ranindya dan Samuel. Belum sempat ia menyelesaikan dansanya, Samuel memukul pelan kepalanya. “Aduh, Samuel Anjing!” pekik Aldo seraya mengusap kepalanya.
“Udah sana kamu ke perpus,” perintah Samuel kepada kekasihnya. “Apa mau aku anter?” tanyanya.
“Gak usah. Aku bisa sendiri kok. Semangat, Sam!” final gadis cantik itu untuk kemudian ia berlari kencang untuk keluar dari ruangan itu. Ranindya, siang menuju sore hari itu, entah merasa malu atau terpanah dengan sikap sang kekasih.
“Ganggu aja lo,” protes Samuel pada Aldo Lalu, lelaki tampan itu mengambil posisi duduk pada kursi paling depan yang ada di ruang tersebut. Aldo atau seantero sekolah mengenalnya sebagai tangan kanan dari Samuel, merupakan seorang Wakil Ketua OSIS di SMA Bina Nusa Bangsa.
“Lo yang gak tau tempat, ya, Anjing! Di sekolah kerjaannya pacaran terus,” sinis Aldo setelah mengambil posisi duduk di sebelah sang ketua.
Tak berselang lama setelahnya, anggota struktur organisasi sekolah yang lain mulai memenuhi ruangan. Setelah semuanya berkumpul, rapat segera dimulai. Pada pertemuan kali ini, beberapa siswa dan siswi tersebut akan berdiskusi tentang proposal anggaran salah satu acara sekolah yang sangat dielu-elukan oleh warga sekolah lainnya, konser tahunan.
“Gua tau alumni dari sekolah kita kebanyakan ngambil kuliah di luar negeri. Makanya, gua minta sama kalian untuk cari data siapa aja alumni sekolah kita yang masih kuliah di sini, yang di luar kota dikasih tau juga. Tujuan kita ngundang alumni buat nambahin anggaran proposal. Alumni gak bakal pelit kok kalo tau kita perwakilan dari BiNusBa,” jelas Samuel.
Lainnya hanya mengangguk mengerti beberapa kali pada perintah yang dilontarkan ketua mereka barusan. Setelahnya, beberapa dari mereka mengajukan pernyataan dan pertanyaan pada Samuel. Tidak lain dan tidak bukan, banyak dari pertanyaan itu berasal dari siswa sekolah yang bukan termasuk ke dalam organisasi tersebut.
“Ya, gak apa-apa. Bilang ke mereka kalo kita gak bisa undang band itu. Kalo banyak dari junior kita yang masih protes, kasih tau gua aja, nanti biar gua yang urus mereka,” ujar Samuel lagi. “Ada yang—” Belum sempat lelaki tampan itu merampungkan pertanyaannya, ada suara yang tak asing menyeruak ke dalam indera pendengarannya.
Jika Samuel tidak salah dengar, itu adalah suara seorang gadis. Selain Samuel, Aldo-lah yang mendengar bunyi serupa. Lelaki manis yang memiliki hobi bermain game itu hanya dapat menahan tawanya. Aldo mengepalkan tangannya di depan mulut. Menyadari tidak hanya dirinya yang mendengar suara itu, Samuel bertukar tatap dengan wakilnya.
“Kayaknya harus lo samperin deh, Sam,” bisik Aldo pada Samuel. Samuel mengusap tengkuknya dengar gusar. Ia juga berdehem. “Gua tinggal sebentar, ya. Kalo 10 menit lagi gua gak balik, kalian pulang aja. Kita lanjutin rapatnya besok,” finalnya.
Sepersekian detik kemudian, Samuel dengan langkah tergesa berjalan menuju perpustakaan yang terletak tak jauh dari ruangan rapatnya tadi. Lelaki tampan itu baru akan melengang masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku lama itu saat suara yang mengganggu telinganya kian menggema.
“Shit, Ranindya!” umpat Samuel.
Lelaki tampan itu kembali dibuat geram kala mengetahui pintu berbahan kayu itu terkunci dari dalam. Sepertinya, sang penghuni tidak menyadari kehadiran sosok lain. Lihat saja, sudah beberapa kali Samuel mengalunkan nama kekasihnya. Namun, tidak ada sedikit pun respon yang muncul. Tidak ingin sabar lebih lama lagi, akhirnya…
BRAK!
Samuel mendobrak paksa pintu perpustakaan tersebut. Pada radar penglihatannya, ia tidak menemukan sumber suara mengerikan tersebut. Lalu, ia berlari ke sudut ruangan dan di situlah dari mana suara ittu berasal. Sepasang manik selegam malamnya membelalak sempurna.