ttoguxnanaxranie

Mentari terbenam di ujung hari, meninggalkan jejak berwarna oranye kemerahan di lengkungan semesta. Di sebuah taman kampus yang sepi pengunjung, seorang lelaki tampan dengan postur tubuh yang tegap tengah duduk dengan gelisah. Kedua tangannya menangkup satu sama lain selagi ibu jarinya mengusap permukaan tangannya. Kaki-kaki jenjangnya pun tidak berhenti membuat ketukan pada tanah yang dipijaknya.

Tak lama setelahnya, seorang lelaki tampan lainnya datang dan mengambil posisi duduk di kursi kayu yang sama. Sunyi, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara mereka. Keduanya sibuk tenggelam dengan pikiran negatif masing-masing. Ditemani mentari yang semakin menghilang, sepasang sahabat yang sudah berteman sangat lama itu, Gavin dan Valdi, untuk pertama kalinya berpotensi mengalami perpecahan.

“Kenapa?” tanya Valdi datar.

“Gue bakal tanggung jawab, Val,” jawab Gavin tetapi bukan menjawab pertanyaan yang sahabatnya maksud.

“Bukan itu pertanyaan gue,” balas lelaki tampan itu. Valdi yang tadinya duduk bertumpu pada kedua kakinya, kini mengangkat tubuhnya dengan tegap. Namun, pandangannya masih mengarah lurus ke depan. “Kenapa harus Vallerie?”

Mendengar ada satu nama yang disebut, Gavin menghela napas panjang. “Lo harus dengerin penjelasan gue dulu,” katanya.

Valdi terdiam sejenak. “Ya, udah. Jelasin.”

Gavin menolehkan pandangannya ke arah Valdi. “Sebelumnya, gue minta maaf karena itu Vallerie, adek lo,” ucapnya. “Tapi yang namanya hati nggak ada yang bisa nebak, Val. Jangankan lo, gue aja bingung kenapa gue malah jatuh ke Vallerie.”

“Ini bukan pertama kalinya lo ketemu sama Vallerie, Gav,” sahut Valdi. “Kalau lo emang suka sama dia, kenapa harus sekarang? Kenapa harus pas adek gue lagi—” Belum sempat lelaki tampan itu merampungkan kalimatnya.

Gavin lebih dulu menyambar. “Kalau lo pikir gue suka sama Vallerie karena gue udah melakukan hal ‘itu’ sama dia, lo salah besar,” jelasnya. “Gue yang terlalu denial sama perasaan gue sendiri.”

Valdi terkekeh remeh mendengar kalimat eksplanasi dari sahabatnya itu. “Klise banget,” sarkasnya.

Setelahnya, selama beberapa detik menuju menit, tidak ada percakapan intens yang terjadi. Valdi terlalu kecewa untuk melanjutkan topik obrolan itu. Sementara itu, Gavin sedang memikirkan cara bagaimana membuktikan kepada sahabatnya itu bahwa cintanya tulus kepada sang adik. Lagi, baik Gavin dan Valdi, larut dalam lamunan masing-masing. Setidaknya, sampai Gavin kembali membuka suara.

“Mau sekeras apapun gue berusaha untuk menunjukkan kalau gue serius sama Vallerie tapi kalau lo sendiri nggak percaya sama gue, semuanya bakal sia-sia,” jelas Gavin.

Valdi terdiam. Ia berusaha mencerna kata demi kata yang sahabatnya itu ucapkan padanya. Di waktu yang bersamaan, ponsel genggamnya berbunyi dan menampilkan notifikasi satu per satu pesan yang adiknya kirimkan melalui WhatsApp Chat. Valdi mencoba menelaah pengakuan dosa dari Vallerie. Kedua maniknya yang serupa bulan purnama membulat dengan sempurna kala menangkap isi dari pesan-pesan tersebut.

Di sisi lain, Gavin mengintip pesan-pesan yang Vallerie kirim kepada sahabatnya itu. Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah gadis cantik itu mengaku telah melakukan sesuatu yang berpotensi membuat kakak lelaki kesayangannya itu kecewa. Dalam diamnya, Gavin menghela napas pasrah sembari mengusap wajahnya kasar. Ia tidak menyangka bahwa Vallerie akan mengambil langkah juga untuk melanjutkan hubungan mereka.

“Lo harus mengapresiasi Vallerie karena udah berani ngaku dosa sama lo,” sergah Gavin.

Valdi mematikan layar ponselnya lalu memasukkannya ke dalam saku celana denimnya. “Nggak usah sok menggurui gue,” jawabnya ketus.

“Gue nggak berusaha menggurui lo,” balas Gavin.

“Vallerie emang salah tapi lo lebih salah,” ucap Valdi.

Satu kalimat itu sukses menohok sanubari Gavin. Ia menelan salivanya. Apa yang Valdi katakan tidak sepenuhnya salah. “Iya, gue salah. Dan untuk itu, gue sangat memohon maaf sama lo.” Gavin terus menerus meminta maaf kepada kakak dari gadis cantik pujaan hatinya. “Tapi lo harus inget kalau Vallerie itu udah memasuki fase remaja, Val. Dia bakal nyari tau banyak hal, termasuk sesuatu yang berhubungan dengan seksual. Lo juga nggak bisa sepenuhnya menyalahkan Vallerie karena hormon di dalam tubuhnya udah mulai bekerja dengan semestinya,” jelas lelaki tampan itu. “Lo harusnya bersyukur karena Vallerie nggak jatuh ke dalam pergaulan bebas.”

“Jadi, maksud lo, kecanduan porno dan ‘main’ sama lo itu lebih baik dibanding pergaulan bebas. Iya, gitu?” tanya Valdi tidak santai.

“Bukan itu maksud gue,” balas Gavin. “Tunggu. Lo tau Vallerie kecanduan porno?” tanyanya.

Valdi mengangguk. “Tau.”

“Terus... Kenapa lo diem aja?” tanya Gavin menuntut.

“Gue bisa apa, Gav?! Dengan tau fakta Vallerie kecanduan porno aja gue udah ngerasa gagal jadi kakak buat dia. Apalagi nggak lama kemudian, gue juga tau kalau adek gue ada main sama sahabat gue sendiri, gue udah nggak bisa apa-apa lagi!” jelas Valdi dengan nada berapi-api.

Gavin meraih sebelah Pundak lebar sahabatnya. “Lo nggak gagal jadi kakak buat Vallerie, Val,” ujarnya.

Valdi menolehkan pandangannya ke sembarang arah, ke mana saja asal tidak menatap langsung netra sahabatnya. “Lo nggak akan paham,” ketusnya.

Mendengarnya, Gavin untuk kesekian kalinya menghela napas panjang. “Iya, lo bener. Gue nggak akan paham karena posisinya gue nggak punya adek perempuan kayak Vallerie,” jelasnya. “Tapi lo sendiri, Val, lo paham nggak kalau Vallerie itu udah mulai dewasa?” tanya Gavin.

“Vallerie itu adek gue, Gav,” jawab Valdi. “Gue yang paling paham sama Vallerie dibanding diri dia sendiri.”

“Lo yakin?” tanya Gavin menuntut.

Valdi tidak berani menjawab. Ia lebih memilih diam dan berpikir keras. Ada seberkas beban di hati terdalamnya. Sedari kecil, Valdi dan Vallerie hidup bagaikan sebatang kara yang digelimangi harta. Kehadiran orang tua keduanya sangat minim sehingga Valdi yang harus maju menggantika peran orang tuanya untuk sang adik tercinta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Valdi juga memiliki kehidupannya sendiri yang harus ia urus.

“Kalau lo yakin, kenapa lo diem aja pas tau Vallerie mulai menjuru ke suatu hal yang salah?” sindir Gavin. “Gue nggak menyalahkan lo atas yang terjadi sama Vallerie karena gue tau pasti berat ngurusin Vallerie sendiri, apalagi di perempuan,” lanjutnya.

“Kenapa lo bisa yakin kalau lo sama Vallerie ngelakuin ‘hal’ itu atas dasar cinta?” tanya Valdi tiba-tiba. “Vallerie aja belum pernah kenal cowok lain selain gue dan kalian,” sambungnya.

“Nggak mudah, Val, untuk tau gue beneran sayang atau nggak ke Vallerie,” kata lelaki tampan itu. “Selama ini, tanpa gue sadari, gue selalu pengen jadi sosok yang dibanggakan sama Vallerie,” ujarnya.

Valdi kembali terdiam tetapi kali ini dalam artian yang lebih baik. Ia ingin mendengarkan dengan saksama penjelasan dari sang sahabat. Valdi ingin tahu apakah ia bisa memberikan sedikit kepercayaannya kepada Gavin. Lagi pula, apabila Gavin tidak sungguh-sungguh dengan Vallerie, ia tidak akan di sini sekarang bersamanya dan membahas masalah ini dengan serius.

“Lo inget nggak? Dulu pas masih ospek, gue sering banget nginep di rumah lo. Waktu itu, Vallerie banyak tanya-tanya ke gue tentang kehidupan kampus padahal gue sama lo aja baru mulai ospek,” jelas Gavin sembari otaknya memutar kenangan yang dimaksud. “Vallerie banyak cerita sama gue. Dia pernah cerita kalau di sekolahnya ada pentas seni dan ngundang band. Dari situ, Vallerie bilang dia pengen punya pacar anak band. Setelah masuk kampus, gue insiatif bikin band bareng lo dan yang lain. Selain itu, Vallerie juga pengen punya pacar yang pinter bergaul, makanya gue daftar HIMA,” lanjutnya.

“Vallerie nggak pernah cerita kayak gitu sama gue,” kata Valdi.

“Vallerie bukannya nggak mau cerita sama lo tapi dia nggak enak,” ucap Gavin. “Nggak enak kalau harus ganggu lo, soalnya lo kalau di rumah sering keliatan capek.”

“Vallerie bilang gitu ke lo?” tanya Valdi.

Gavin mengangguk sekali. “Iya,” jawabnya. “Tanpa sadar, gue selalu pengen wujudin sosok pacar yang Vallerie pengen, Val.”

Kali ini, Valdi yang menghela napasnya panjang. Ia tatap langit di atasnya yang sudah menggelap sempurna. Valdi dapat melihat hanya ada satu bintang yang bersinar terang di sana seolah memberi tanda serta harapan pada dirinya bahwa ia tidak gagal, baik dalam menjaga adiknya maupun mempertahankan pertemanannya. Valdi sangat sayang kepada adik semata wayangnya dan begitu juga dengan sahabatnya.

Valdi menolehkan pandangannya ke arah Gavin. Semenjak dirinya duduk di situ, baru saat ini ia menatap langsung wajah sahabatnya itu. “Andai gue kasih kepercayaan ini ke lo, Gav, apakah lo mau janji jagain Vallerie sama seperti gue jagain dia?”

Tanpa ragu, Gavin mengangguk. “Gue akan sangat berterima kasih kalau lo mau percaya sama gue,” ujarnya.

“Gue sendiri nggak tau Vallerie beneran suka atau cuma penasaran sama lo,” ucap Gavin.

“Lo nggak usah khawatir, Val,” jawab Gavin. “Itu urusan gue.”

“Jaga janji lo, ya, Gav,” final Gavin.

Gavin mengangguk. “Kalau gue nyakitin Vallerie, gue juga nyakitin lo,” katanya. “Gue nggak akan dan nggak mau nyakitin dua orang kesayangan gue.”

Dalam diamnya, Valdi tersenyum hangat. Ia sangat bersyukur bahwa persahabatannya yang sudah susah payah ia jaga tidak harus kandas malam ini. Namun, tidak menutup kemungkinan masih ada seberkas kekhawatiran di dalam hatinya mengenai Vallerie. Mungkin Valdi bisa menjamin janji yang Gavin ucapkan padanya tetapi tidak untuk Vallerie. Ia bisa aja melakukan hal di luar nalar.

“Lo udah ketemu sama Vallerie?” tanya Valdi.

“Belum,” ucap Gavin. “Gue belum berani nemuin dia kalau gue belum selesai urusannya sama lo.”

“Temuin Vallerie sekarang,” kata Valdi. “Gue takut dia ngelakuin hal-hal di luar nalar.”

“Vallerie,” kata Gavin. “Di mana?” tanyanya.

“Di rumah,” jawab Valdi.

“Makasih, ya, Gav,” ucap lelaki tampan itu sembari menepuk sebelah pundak sahabatnya.

Setelahnya, Gavin berlalu dari taman kampus, meninggalkan Valdi sendirian. Ia berlarian di area gedung parkir untuk kemudian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di lantai paling atas. Dengan perasaan bahagia yang tak terbendung, Gavin melajukan mobilnya menuju kediaman sang sahabat sekaligus gadis cantik pujaannya. Tak lama kemudian, ia sampai di rumah besar nan mewah tersebut.

Gavin memarkirkan mobilnya di halaman rumput yang lebar di dalam pekarangan rumah itu. Namun, ada sesuatu hal yang aneh. Gavin dapat melihat dengan jelas bahwa pintu utama rumah dengan cat dominan putih tersebut sedikit terbuka. Ia juga melihat ada sepasang sepatu berwarna putih yang ada di sana, di mana ia yakini itu bukan milik Vallerie, apalagi Valdi.

Gavin masuk ke dalam rumah itu. “Vallerie,” panggilnya.

“Bangun dong, Vall!” pekik seseorang.

Gavin mendengar suara seorang perempuan yang melengking memanggil nama gadisnya. Ia segera melengang ke arah dapur. Gavin menghentikan langkahnya seketika sepasang maniknya menangkap keberadaan dua orang gadis cantik dengan posisi yang tidak aman. Salah seorang dari mereka tengah tergeletak di atas kitchen set. Sedangkan, yang satunya lagi sedang berusaha menyingkirkan beberapa botol minuman beralkohol dari sana.

“Vallerie,” panggil Gavin. Ia mendekat ke arah gadisnya.

“Kak Gavin?” tanya Heidy.

“Iya,” jawab Gavin. “Heidy ‘kan?” tanyanya.

Heidy mengangguk. “Iya, Kak.”

“Ini Vallerie kenapa bisa kayak gini?” tanya Gavin tergesa-gesa.

“Aku nggak tau, Kak,” jawab Heidy. “Tadi Vallerie telpon aku tapi suaranya nggak jelas. Aku takut Vallerie kenapa-napa. Jadi, aku dateng ke sini. Ternyata, bener ‘kan, Vallerie kenapa-napa,” jelasnya.

Gavin berusaha merengkuh tubuh Vallerie untuk ia gendong bak koala yang menempel di punggung lebarnya. “Vallerie minum berapa botol?” tanyanya lagi.

Heidy menggeleng. “Nggak tau juga, Kak,” jawabnya lagi. “Yang aku pegang cuma dua botol tapi tadi aku juga liat ada botol lain di taman belakang sama di ruang tengah.”

Gavin membawa Vallerie untuk berbaring di sofa ruang tengah. Di tengah perjalanan, gadis cantik itu membuat gerakan tiba-tiba. Ia memukul punggung lebar lelaki tampan yang menggendongnya. “Aduh, Vall,” ringis Gavin.

“Kamu siapa?!” pekik Vallerie. “Aku nggak mau, ya, digendong kalau bukan sama Kak Gapin!”

“Ini aku, Vall,” sahut Gavin.

Gavin meletakkan tubuh indah serupa ulat bulu yang meliak-liuk itu di atas sofa. Sementara itu, dirinya mengambil posisi di tepi sofa. Gavin menggenggam tangan Vallerie. “Heidy,” panggilnya.

“Iya, Kak,” jawab gadis cantik itu.

“Gue boleh minta tolong?” tanya Gavin.

“Boleh, Kak. Apa?” tanya Heidy.

“Tolong buatin Vallerie teh manis hangat tapi pake teh kamomil, ya. Tehnya ada di laci kayu yang di deket cucian piring,” pinta lelaki tampan itu.

“Sebentar, ya, Kak,” balas Heidy.

Sementara itu, Heidy membuatkan teh hangat untuk sahabatnya, Gavin masih berusaha untuk mengembalikan kesadaran sang gadis yang hanya tinggal seujung jari. “Vall,” panggilnya lagi sembari mengusap pipi Vallerie. “Bangun dong.”

Tak lama kemudian, Heidy datang dengan sebuah nampan di tangannya. Ia mendekat ke arah Gavin dan sahabatnya. Saat Heidy hendak menyerahkan cangkir yang berisikan teh manis hangat tersebut, Vallerie kembali membuat gerakan tiba-tiba. Ia menendang nampan yang Heidy pegang sehingga sang sahabat kehilangan keseimbangannya. Alhasil, nampan beserta cangkir bermotif bunga yang berisikan teh kamomil itu jatuh ke lantai.

“Aduh!” pekik Heidy kala teh panas itu tumpah tepat di atas kaki jenjangnya.

“Astaga,” seru Gavin. “Lo nggak apa-apa, Dy?” tanyanya.

“Panas, Kak,” keluh Heidy yang terduduk di atas lantai.

“Sana ke toilet, basuh kaki lo pake air dingin,” perintah lelaki tampan itu. “Gue telpon Silas biar jemput lo.”

Mendengar ada satu nama yang tidak asing masuk ke dalam indera pendengarannya, Heidy menoleh ke arah Gavin. “Kakak tau aku deket sama Kak Silas?” tanyanya.

“Lo beneran nanya kayak gitu sekarang?” sarkas Gavin. “Udah sana ke toilet.”

Dengan langkah terseok, Heidy berjalan menuju toilet terdekat yang ada di lantai pertama rumah tersebut. Ia membasuh kakinya menggunakan air dingin yang mengalir dari shower. Sementara itu, Gavin yang tengah berusaha keras menenangkan Vallerie yang bergerak bagaikan angin puting beliung tetap mencoba menelpon salah satu temannya yang terkenal paling susah untuk dihubungi. Setelah beberapa saat, Silas menjawab panggilan dari Gavin.

“Halo, Las,” ucap Gavin.

Eh, Gav,” balas Silas di seberang sana. “Lo nggak apa-apa? Kok tumben telpon gue?” tanyanya bertubi-tubi.

“Lo bisa nggak ke rumah Valdi sekarang? Gue tunggu, ya,” ujar Gavin.

Ke rumah Valdi?” tanya Silas penasaran. “Valdi-nya aja lagi sama kita.”

“Kakinya Heidy kesiram air panas,” jelas Gavin. “Lo anter pulang sana.”

Hah?!” Seketika mendengar kabar buruk tersebut, Silas berteriak dari seberang sana. “Kok bisa?!

Gavin menjauhkan jangkauan layar ponselnya dari telinganya. “Nggak sengaja ketendang sama Vallerie,” jelasnya. “Udah nggak usah banyak tanya, lo cepet ke sini.”

Iya, Gav,” finalnya. “Gue ke sana.

Setelah mengakhiri panggilan dengan Silas, Gavin meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian, Heidy datang menghampiri. Ia mendudukkan dirinya di sofa seberang Gavin dan Vallerie. Heidy mengusap kaki jenjang nan putihnya yang memerah dan sesekali ia meringis kesakitan. Luka bakar yang disebabkan oleh teh kamomil itu pastinya akan membekas di beberapa tempat.

“Sorry, ya, Dy,” ucap Gavin. “Silas lagi di jalan mau ke sini kok.”

Heidy mengangkat pandangannya lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Kak,” jawabnya. “Lo nggak perlu minta maaf. ‘Kan Vallerie juga nggak sengaja.”

Mendengarnya, hati Gavin menghangat. Ia bersyukur banyak orang baik yang mengelilingi gadis cantik kesayangannya. “Nanti kalau lo butuh ganti rugi, bilang ke gue aja, ya.”

“Heidy!” pekik seseorang diiringi dengan bantingan pintu.

Silas berlari ke arah ruang tengah. Ia menghentikkan langkahnya di hadapan Heidy untuk kemudian berlutut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya tergesa-gesa.

“Aku nggak apa-apa kok,” jawab Heidy.

Di sisi lain, Gavin yang melihat kedatangan Silas dengan cepat melepas hoodie yang dikenakannya lalu menyampirkannya pada tubuh bagian bawah Vallerie yang sedikit terekspos. “Las,” sapa Gavin.

“Kok lo bisa ada di sini?” tanya Silas.

“Ya, bisa,” jawabnya singkat. “Valdi gimana?” tanya Gavin.

“Valdi aman kok,” jawab Silas. “Dia udah cerita semuanya ke kita.”

“Gue di sini dulu, ya,” ujar Gavin.

“Vallerie kenapa?” tanya Silas lagi.

“Nggak tau tuh,” sahut Heidy. “Tadi dia nelpon aku tapi suaranya nggak jelas. Karena aku khawatir, aku dateng aja ke sini. Pas masuk ke dalem, Vallerie udah jongkok di atas kitchen set,” jelasnya.

“Mabok parah tuh,” balas Silas.

“Ini udah agak mendingan,” ujar Gavin. “Tadi punggung gue dipukul sama dia.”

Silas terkekeh. “Padahal punggung lo biasanya dicakar sama Vallerie, ya, Gav,” ledeknya.

“Bangsat,” umpat Gavin.

Heidy berusaha keras menyembunyikan tawanya. Kemudian, Silas bangkit dari posisinya. Ia mengalungkan sebelah tangan Heidy agar dapat ia bopong. “Ayo, kita ke klinik dulu,” katanya. “Duluan, ya, Gav,” lanjutnya.

“Duluan, ya, Kak,” sahut Heidy. “Tolong jagain Vallerie,” tambahnya.

“Iya, Dy,” balas Gavin. “Cepet sembuh, ya.”

“Jangan lupa pake pengaman, Gav,” teriak Silas yang sudah berada di ambang pintu.

“Sialan,” gumam Gavin.

Gavin kembali memusatkan atensinya pada gadis cantik kesayangannya. Ia selipkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantik Vallerie. Untuk saat ini, Vallerie sudah tidur dengan tenang. Namun, Gavin tidak menjamin beberapa menit, bahkan detik, ke depan seperti apa perilaku yang akan Vallerie tunjukkan. Menurut Gavin, Vallerie yang tengah tertidur pulas adalah Vallerie yang paling cantik.

Gavin ingat sekali kapan terakhir kali Vallerie tertidur di hadapannya seperti ini. Kala itu, Vallerie baru sampai di rumah setelah menghadiri pelajaran tambahan di sekolahnya. Vallerie mendudukkan dirinya di atas sofa dan beberapa detik kemudian dirinya sudah berangkat ke alam mimpi. Gavin yang sedang menyaksikan acara televisi teralihkan fokusnya pada gadis cantik yang tertidur di sampingnya.

“Cantik,” ujar Gavin. “Kamu kok bisa sampe kayak gini sih, Vall?” sambungnya.

Tepat setelah lelaki tampan itu bermonolog demikian, Vallerie bangkit dari posisinya secara tiba-tiba. Tanpa membuka kedua matanya sedikit pun, sepasang tangannya bergerak mengalung pada bahu lebar Gavin untuk kemudian wajah cantik itu bergerak maju dan mencium bibir lelaki tampan yang ia rindukan selama beberapa pekan terakhir. Gavin sempat tercekat dengan gerakan tiba-tiba itu.

“Nghh, Vall,” lirih Gavin.

Gavin dengan seluruh tenaganya mencoba untuk menghentikan Vallerie yang seperti kerasukan iblis itu. Namun, entah karena pengaruh alkohol atau amarah, Gavin merasa kekuatan Vallerie seratus kali lebih kuat semenjak terakhir kali mereka bertemu. Barulah setelah beberapa saat, Vallerie menyudahi ciuman itu. Kemudian, ia tarik kerah kemeja hitam yang dikenakan Gavin.

“Kamu kemana aja?” tanya Vallerie yang setengah sadar.

“Maaf, Vall, aku baru dateng ke kamu sekarang,” jawab Gavin.

“Aku nggak mau kamu minta maaf,” kata gadis cantik itu. “Aku mau kamu nggak pergi dari aku, Kak Gapin!” Di akhir kalimat, suara yang biasanya terdengar merdu itu, kali ini memekik hebat.

Gavin membulatkan kedua matanya. Ia tahu, Vallerie benar-benar marah. “Aku minta maaf, Vall,” ucapnya.

Selanjutnya, yang terjadi adalah Vallerie mendorong Gavin agar berbaring di dalam kungkungannya. Ia menyibakkan rambut hitam panjangnya ke arah belakang. Sebelum melanjutkan sesi memaki dan memarahi lelaki kesayangannya, Vallerie menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Emangnya minta maaf akan balikin keadaan kayak gitu lagi?!” tanyanya tidak santai.

“Vall, dengerin aku dulu,” sela Gavin. “Aku udah bilang sama Valdi tentang kita,” katanya.

“Diem, Kak!” bentak Vallerie. “Kamu nggak tau betapa menderitanya gue selama beberapa minggu terakhir setelah lo tinggal gitu aja,” jelasnya.

“Iya, aku tau, Vall, makanya—” Belum sempat Gavin menyelesaikan pemaparannya.

Vallerie dengan cepat meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir lelaki tampan itu. “Diem,” singkatnya. Ia mendekatkan wajah cantiknya ke arah wajah tampan yang ada di dalam kuasanya. “Sekarang, giliran aku yang ngomong.”

Dalam diamnya, Gavin mengangguk. Vallerie benar. Ia tidak tahu kesulitan apa saja yang sudah dilewati oleh gadis cantik kesayangannya itu selama beberapa pekan terakhir setelah ia meninggalkannya dengan ketidakjelasan. Gavin mempunyai alasan tersendiri dan begitu juga dengan Vallerie. Gavin sebagai pihak yang lebih menyakiti memiliki hak untuk tetap diam sampai Vallerie selesai berkeluh kesah.

“Aku nyakitin hatinya Bang Paldi karena udah main sama kamu,” ujarnya. “Tapi aku juga pengen tau hal-hal yang selama ini aku sukain, salah satunya seks,” lanjut Vallerie. “Gimana… Caranya… Biar… Aku… Bisa….” Vallerie sengaja menggantungkan kalimatnya dan membuat Gavin menunggu.

Detik berubah menjadi menit tetapi tidak ada kata atau bahkan kalimat lanjutan yang keluar dari mulut Vallerie. Akhirnya, Gavin membuka suaranya. “Vall,” panggilnya.

“Apa?” ketus gadis cantik itu.

“Kamu nggak mau lanjutin omongan kamu?” tanya Gavin serius.

Sepertinya, Vallerie terlalu nyaman dengan posisinya saat ini dan baru menyadarinya, di mana dirinya duduk di atas lelaki kesayangannya sembari menatap rangka tegas dengan paras tampan itu dari jarak dekat. Vallerie memandang intens sepasang manik indah yang berada di dalam kungkungannya. Entah sebab efek rindu atau apa tetapi Gavin beribu kali terlihat lebih tampan dan menawan malam ini, membuat Vallerie ingin menguasainya.

“Kamu ganteng,” ucap Vallerie.

“Hah? Kamu bilang apa?” balas Gavin kebingungan.

“Aku jadi pengen,” final Vallerie.

Di detik berikutnya, gadis cantik itu menangkap rangka tegas yang ada di hadapannya. Diciumnya bibir yang selalu menggoda sanubarinya itu. Dengan ganas, Vallerie menikmati makanan pembukanya alias bibir manis Gavin. Sementara itu, Gavin yang lagi-lagi diberi tembakan maut seperti itu hanya mampu membeku di tempatnya sembari kedua tangannya memegang erat lengan kurus yang bertumpu di atasnya.

“Nghh,” lenguhan pertama Vallerie lolos karena permainannya sendiri.

Gavin paham bahwa gadis cantiknya ini selain membutuhkan kepastian atas hubungan mereka juga merindukan sosok untuk diajak bermain intim. Oleh sebab itu, tanpa basa-basi, Gavin bergabung ke dalam permainan panas tersebut. Ia memeluk tubuh mungil Vallerie sembari membalas cumbuannya dengan penuh gairah. Setelah beberapa pekan, Gavin dan Vallerie kembali bertemu dengan cara mereka.

Kemudian, tangan kanan Vallerie bergerak mengusap dada bidang Gavin yang masih terlapisi kemeja hitam andalannya. Sedangkan, tangan kanan Gavin bergerak menekan tengkuk Vallerie agar cumbuaan mereka terasa lebih dalam dan nikmat. Entah sudah terhitung berapa kali sepasang kepala itu berganti arah, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Permainan yang sedang berlangsung terasa semakin panas dan menuntut.

“Nghh, ahhh,” desah Vallerie saat ciuman hangat itu berpindah ke area lehernya.

Di sana, untuk pertama kalinya, Gavin memberikan gadis cantiknya tanda khas kepemilikan berwarna ungu kemerahan. Vallerie sangat menikmati bagaimana Gavin menandainya setiap inci demi inci pada permukaan kulitnya seolah tubuh indahnya adalah milik lawan mainnya. Tidak sampai di situ saja, tangan besar itu kembali bergerak mengusap perut rata Vallerie yang hangat.

“Mphhh,” lenguh Vallerie tertahan. Ia menggigit bibir bagian bawahnya.

“Enak, Vall?” bisik Gavin dengan suara baritonnya.

Vallerie mengangguk. “Nghh, iya,” jawabnya.

“Lagi?” tanya Gavin menggoda.

Vallerie kembali mengangguk. “Iya,” jawab gadis cantik itu yakin.

Mendengar ada permintaan yang tidak bisa ia tolak, Gavin dengan segera merubah keadaan. Ia memutar balik posisinya dengan Vallerie. Jika tadi Vallerie yang memegang kendali, kali ini giliran Gavin yang menguasai gadisnya. Dua pasang netra itu kembali bertemu seolah saling mengirimkan sinyal permainan panas malam ini harus berjalan sempurna setelah apa yang sudah mereka lewati.

Selanjutnya, tangan kanan lelaki tampan itu bergerak membuka satu per satu kancing baju piyama berbahan satin yang melindungi tubuh indah Vallerie. Sementara itu, Vallerie melakukan hal serupa, dibukanya kancing demi kancing kemeja hitam yang terlihat sangat cocok dipakai oleh Gavin. Selain melempar atasan satu sama lain, kedua insan itu saling melempar senyum sebelum memulai permainan yang lebih panas.

“Ahh, Kak,” desah Vallerie saat Gavin tiba-tiba meremas payudaranya yang masih terlindungi oleh bra.

“Aku kangen banget sama kamu, Vall,” ucap lelaki tampan itu di sela-sela permainan.

Mendengarnya, Vallerie tersenyum sembari menggigit bibir bagian bawahnya sebab rasa geli dan bahagia yang datang bersamaan. “Nghh, apa, Kak?” ledeknya. “Aku, ahh, nggak denger.”

Gavin menyeringai. Ia tahu bahwa gadis cantik yang sedang ia coba kuasai ini berusaha menggodanya. Gavin memangkas jarak yang memang sudah deka tantara dirinya dan Vallerie. Lalu, tangan besarnya bergerak melepas kaitan bra yang menutupi sepasang gunung sintal kesukaannya. Ia meremas sebelah payudara itu. Sedangkan, payudara lainnya yang terbebas ia isap ujungnya.

“Nghh, ahhh,” desah Vallerie sebab rasa nikmat yang perlahan meningkat.

Gavin menjeda sebentar permainannya. “Aku bilang, aku kangen kamu, Vallerie,” ulangnya. Setelahnya, ia melanjutkan kegiatannya semula.

Vallerie terkekeh. Ia mengusap kepala lelaki tampan kesayangannya yang tengah sibuk menyusu padanya. “Ahh, Kak,” lirihnya. “Aku nggak denger, nghhh, apa-apa.”

Vallerie masih berdiri di atas pendiriannya. Namun, bukan Gavin namanya apabila ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia kembali mendekatkan tubuhnya pada tubuh mungil di dalam kungkungannya. Gavin menjilat daun telinga Vallerie sehingga seluruh tubuhnya meremang. “Udah mulai nakal, ya,” ucapnya sembari menyeringai.

Vallerie berani bersumpah bahwa kalimat yang baru saja Gavin ucapkan padanya sukses membuat gairahnya sampai pada level tertinggi. Ia memejamkan matanya untuk kemudian menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit ruang tengah. Di sisi lain, Gavin kembali melanjutkan permainannya. Ia mengomando Vallerie untuk melumuri jari telunjuk dan jari tengahnya menggunakan air liur dari mulutnya.

“Basahin,” perintah lelaki tampan itu.

“Kak,” panggil Vallerie yang mulai merasa khawatir.

“Basahin, Vallerie,” ulang Gavin dengan nada suara yang jauh lebih tegas.

Vallerie menelan salivanya. Meskipun begitu, ia tetap melakukan ultimatum yang sudah disampaikan padanya. Vallerie tahu permainan panas malam ini akan jauh terlihat dan terasa lebih menarik sebab jarak dan waktu yang sudah keduanya rasakan. Ia menggenggam tangan besar itu menggunakan kedua tanggannya untuk kemudian mulai menjilat dan melumat dua jari yang juga besar itu dengan cara yang sesensual mungkin.

Vallerie dapat melihat dengan jelas bagaimana Gavin mulai tidak sabar dengan trik yang ia ciptakan sendiri. Gavin menatap Vallerie seolah dirinya adalah makan malamnya. Sepertinya, Gavin memang tidak tahan dengan godaan dari gadisnya. Berikutnya, yang terjadi adalah lelaki tampan itu dengan tiba-tiba bergerak melepaskan celana pendek beserta celana dalam yang Vallerie kenakan.

“Berani berbuat, berani bertanggung jawab, Vallerie,” ucap Gavin.

Vallerie bertaruh. Malam ini, Gavin seolah dirasuki oleh makhluk pencinta seks. Ia dapat melihat binar dari sepasang manik yang serupa konstelasi bintang di semesta itu terlihat berbeda. Kemudian, Gavin membuka sabuk yang melingkari pinggangnya dan memasangkannya kepada Vallerie. Ia letakkan sepasang lengan kurus itu di atas kepala sang empunya.

Gavin sempat melengang dari atas sofa tersebut dan berjalan ke arah tas ranselnya. Dari dalam tas yang banyak berisikan buku dan kliping makalah itu, ia mengeluarkan sebuah dasi berwarna hitam. Vallerie menganga dibuatnya. Kemungkinan besar sebentar lagi ia akan merealisasikan salah satu adegan dari video porno yang pernah ia saksikan. Dengan langkah pasti, Gavin kembali padanya.

“B-Buat apa, Kak?” tanya Vallerie terbata.

Gavin menyeringai. “Kamu tau betul apa guna dasi ini, Vallerie,” jelasnya.

Lalu, di detik berikutnya, Gavin memakaikan dasi yang diambilnya tadi untuk menghalangi penglihatan gadisnya. Semua hal yang akan terjadi selama beberapa saat ke depan akan menjadi kejutan tersendiri bagi Vallerie atau bahkan bagi Gavin juga. Sebelum memulai permainan yang lebih menantang, Gavin menyempatkan diri untuk mengecup kening lawan mainnya dengan khidmat.

“Kalau aku udah mulai kelepasan, kasih tau aku, ya, Vall,” ujar Gavin sembari membukan celana denim yang melekat di pinggulnya.

Vallerie mengangguk dalam diamnya. Sekarang, permainan inti yang menegangkan akan segera dimulai. Gavin memulainya dengan menangkup dagu gadisnya lalu melumat bibir semerah ceri itu dengan kasar. Vallerie yang memiliki akses terbatas sempat kewalahan menghadapi Gavin yang pergerakannya seolah dipandu oleh iblis. Ia beberapa kali sempat kehabisan napas.

“Nghh, ahh, Kak,” desah Vallerie.

Setelah puas menjamah bibir indah yang saat ini terlihat membengkak itu, Gavin berpindah haluan. Kini, ia sedang sibuk bermain dengan sepasang payudara yang menegang hebat. Gavin tidak memberi ampun dengan mengeksploitasi sebisa mungkin mainan kesukaannya itu. Di satu sisi, tangan kanannya meremas, memijat, dan sesekali memilin ujung payudaranya. Di sisi lain, ia melumat ujung payudara itu menggunakan lidahnya.

“Mphh, Kak, ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Gavin benar-benar tidak memberinya waktu untuk beristirahat atau ampun sedikit pun kepada Vallerie. Dengan indera penglihatannya yang sepenuhnya tertutup, seluruh permainan yang Gavin ciptakan untuknya terasa seratus bahkan seribu kali lebih nikmat. Vallerie terus mengelukan nama lawan mainnya, di mana lirihan, lenguhan, dan desahan itu menjadi bahan bakar untuk Gavin.

“Ahhh,” lirih Vallerie sedikit berteriak kala ada benda hangat yang melesat masuk ke dalam vaginanya.

Ternyata, Gavin sedang menikmati area kewanitaan gadisnya menggunakan lidahnya sembari ibu jarinya sesekali bergerak memutari klitorisnya. Vallerie seperti dibawa terbang ke langit teratas dengan semua servis yang lelaki tampan kesayangannya itu berikan padanya. Ia tidak menyangka pertemuan khas rasa rindunya akan senikmat ini. Vallerie masih ingat saat Gavin bilang dirinya-lah yang paling mumpuni dalam permainan panas seperti ini.

“Nghhh, ahh, Kak,” lirih Vallerie yang terus merasa kenikmatan.

“Enak, Vall?” tanya Gavin sembari tersenyum puas.

“Ahh, iya, Kak,” jawabnya.

Gavin mendekatkan tubuhnya ke arah Vallerie. Sementara itu, tangan kirinya bergerak mengusap untuk kemudian masuk ke dalam vagina gadisnya. “Apa, Vall? Aku nggak denger apa-apa.” Kali ini, giliran Gavin yang menjahili Vallerie.

“Mphh, Kak,” desah gadis cantik itu.

Gavin semakin mempercepat tempo kocokannya. “Aku masih nggak denger apa-apa, Vallerie,” ucapnya.

“Ahhh, Kak,” lenguh Vallerie tiada henti. “Iya, enakhh.”

“Pinter,” puji Gavin.

Selanjutnya, lelaki tampan itu menghentikan semua permainannya. Ia membuka dasi yang menutupi kedua matanya gadisnya. Tentunya, hal itu membuat Vallerie bertanya. “Kok nggak ditutup lagi, Kak?” tanyanya.

“Aku mau liat kamu,” jawab Gavin sembari kembali bersiap-siap untuk memasuki gadis cantik itu. “Aku masukin, ya, Vall,” tanyanya.

“Tunggu, Kak,” ucap Vallerie.

Gavin memerhatikan Vallerie yang mulai merubah posisinya. Sepasang netranya membelalak kala mengetahui posisi yang Vallerie pilih adalah doggy style. Saat ini, gadis cantik itu sedang menungging membelakanginya. “Kamu serius, Vall?” tanya Gavin serius.

“Aku pernah bacanya katany gaya kayak gini bikin penis lebih kerasa di dalem, Kak,” jelas Vallerie.

Gavin menganga mendengar kalimat eksplanasi itu. “Riset kamu boleh juga,” ujarnya.

Dengan begitu, Gavin mengusap ujung penisnya sebelum memasuki vagina gadisnya. Sedangkan, Vallerie sekeras mungkin untuk bertahan di atas kedua tangannya yang terbilang lemah. Keduanya melenguh saat penis itu sudah setengah masuk ke dalam vagina, baik Gavin maupun Vallerie, sama-sama memejamkan mata sembari menengadahkan kepala mereka ke arah langit-langit ruang tengah.

“Nghh, ahh,” lirih Gavin.

“Ahhh,” lenguh Vallerie.

Gavin menggoyangkan pinggulnya secara perlahan. Hanya dengan gerakan sederhana yang belum mencapai inti, keduanya sudah merasakan surga dunia. Vallerie lagi-lagi benar. Gaya yang dipilihnya memang memberikan kenikmatan yang hakiki bagi keduanya. Lalu, Gavin kembali meneroboskan penisnya agar masuk dengan sempurna. Ia dapat merasakan ujung penisnya mulai menyentuh dinding rahim.

“Mphh, Kak,” desah Vallerie tertahan.

“Nghh, enak, Vall,” lenguh Gavin.

“Terusin, Kak,” pinta gadis cantik itu.

Ada kalimat perintah seperti demikian, Gavin menambah tempo kecepatan gempurannya. Tubuh polos keduanya bergerak sesuai irama ketukan, di mana ketukan tersebut menandakan kenikmatan yang terjadi. Suara kecipak permukaan kulit yang saling bertemu serta decitan kaki sofa yang seolah meminta tolong menjadi saksi bisu atas permainan panas yang terjadi di antara Gavin dan Vallerie.

“Ahh, cepetin, Kak, nghhh,” ujar Vallerie.

Tanpa jawaban secara lisan, Gavin menambah kecepatannya tiga kali lebih cepat dibanding semula. Vallerie dapat merasakan dengan jelas bagaimana ujung penis besar nan berurat itu menabrak dinding rahimnya dengan keras. Permainan panas kali ini terasa sangat memuaskan, terlihat bagaimana Gavin dan Vallerie membantu satu sama lain agar mencapai nikmat bersama.

“Kerasin lagi, mphhh, Kak,” ucap Vallerie.

Gavin mulai paham bahwa di setiap permainan intim antara dirinya dan Vallerie selalu ada permintaan yang akan gadis cantik itu selipkan. Ia bangga dengan gadisnya sebab dapat menikmati permainan mereka dengan baik. Belum lagi, kenikmatan itu tidak hanya dirasakan oleh Vallerie saja, melainkan dirinya juga ikut merasakan. Gavin bersyukur hatinya jatuh kepada Vallerie.

“Nghh, Kak, aku mau, ahhh, keluar,” jelas Vallerie susah payah.

“Mphh, aku juga, Vall,” balas Gavin.

Setelahnya, keduanya bergerak secepat dan sekeras yang mereka bisa agar dapat menjemput pelepasannya masing-masing. Bulir demi bulir keringat membanjiri wajah cantik dan tampan mereka. Seluruh usaha serta tenaga sudah dikerahkan pada permainan panas malam ini. Sepertinya, permainan panas kali ini Sebagian adalah bentuk balas dendam atas rindu yang ada.

“Ahh!” pekik Vallerie.

Ternyata, gadis cantik itu mencapai titik ternikmatnya lebih dulu. Tubuhnya tumbang sebab kedua tangannya yang sudah tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Berbeda dengan Vallerie, Gavin masih berusaha untuk mencapai klimaks. Kemudian, ide gila tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Ia meraih tubuh mungil Vallerie untuk kemudian bermain dengan sepasang payudaranya yang menggelantung dengan bebas.

“Nghh, Kak, ahhh,” desah Vallerie.

Gavin mampu membuat gadis cantik itu kembali mengelukan namanya. Tidak hanya sampai di situ, Vallerie kemungkinan besar akan menjemput klimaksnya lagi. Ia mengumpat di dalam hatinya tetapi bukan artinya ia tidak menikmati permainan tambahan ini. Padahal, indera penglihatannya sudah tidak tertutup lagi. Namun, Gavin memberikannya kejutan dalam bentuk lain.

“Akh!” pekik Gavin.

“Ahh!” pekik Vallerie lagi.

Keduanya tumbang bersamaan. Dengan tubuh yang dibanjirin keringat, Gavin dan Vallerie sama-sama diburu napas. Gavin memeluk Vallerie dengar erat. Vallerie dapat melihat dengan jelas dada bidang itu terlihat kembang kempis di hadapannya dan keadaan itu pun tak jauh berbeda dengannya. Ia merentangkan tangannya agar dapat memeluk tubuh besar yang mendekapnya.

“Capek, Vall?” tanya Gavin.

“Lumayan, Kak,” jawabnya.

“Sama,” sahut Gavin. “Aku juga.”

Vallerie mengangkat pandangannya agar dapat melihat wajah tampan itu dengan lebih jelas. “Kamu kayak orang gila,” pujinya dalam bentuk umpatan.

Mendengarnya, Gavin tertawa. “Kamu juga sama gilanya,” balasnya.

Vallerie memukul dada lelaki kesayangannya. “Aku kalau main sama kamu selalu keluar dua kali,” jelasnya.

“Ya, jelas dong,” ucap Gavin. “Kamu tau cara menikmati permainan,” lanjutnya.

Setelahnya, selama beberapa saat, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Gavin dan Vallerie sibuk mengatur kembali oksigen agar masuk dengan sempurna ke sistem pernapasan mereka. Di satu sisi, Gavin sibuk mengusap pucuk kepala gadisnya. Di sisi lain, Vallerie sibuk memainkan jari telunjuknya di dada bidang lelaki tampan kesayangannya.

Paling tidak, sampai Gavin berinisiatif memecah keheningan. “Vall,” panggilnya.

“Apa?” sahut Vallerie.

“Maaf, ya,” ucapnya tanpa menatap wajah cantik gadisnya.

Vallerie hanya berdehem singkat menjawab pernyataan yang satu itu. Gavin tahu ini tidak mungkin mudah baginya, apalagi bagi Vallerie. Jadi, untuk saat ini dan entah sampai kapan, Gavin akan mengikuti bagaimana alur berjalan sesuai kemauan gadis cantik kesayangannya. Ia akan melakukan apapun demi memperbaiki hubungannya dengan Vallerie sebab gadis cantik itu adalah alasan dia menjalani hari-harinya.

“Vall,” panggil Gavin lagi.

“Apa, Kak?” jawab Vallerie tidak semangat. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Gavin menatap wajah cantik yang berposisi lebih rendah darinya. “Aku mau mandi,” ucapnya.

“Ya, udah,” jawab Vallerie sekenanya. “Sana.”

“Kamu nggak mau ikut?” tanya Gavin.

“Duluan aja deh, Kak,” kata gadis cantik itu. “Badan aku masih lemes banget.”

“Oh, oke,” balas Gavin. “Kalau jadi pacar aku, mau?” tanya lelaki tampan itu.

Di tengah musik yang mengalun dengan keras, keempat eksekutif muda, Syahra, Nada, Jasmine, dan juga Kamilla tengah sibuk membahas isu yang sedang panas di semua kalangan pebisnis ulung. Ya, apalagi jika bukan Heuston yang menarik diri dari akuisisi bersama Morelle.

“Audin nolak gitu aja? Lo serius, Ra?” tanya Nada.

Syahra mengusap bibir gelas minumannya menggunakan jari telunjuknya. Ia mengangguk sekali. “Iya,” jawab wanita cantik itu pasrah.

“Gue gak paham deh sama pola pikir Audin,” tambah Kamilla. “Maksud gue, Syahra udah rela bikin perusahaan lain waiting list cuma gara-gara ngasih kesempatan kedua buat Heuston.”

“Lo pada seharusnya gak usah heran,” kata Jasmine. “Lo liat aja gimana dulu Audin ninggalin Syahra,” ucapnya. “No offense, ya, Ra.”

Syahra hanya tersenyum datar menanggapi pernyataan yang dilontarkan temannya itu. Jasmine tidak sepenuhnya salah. Ia bahkan masih ingat betul bagaimana surat cerai itu tiba-tiba ada di meja kantornya di pagi hari yang cerah setelah kepulangannya dari rumah sakit.

“Ya, mau gimana lagi,” ujar Syahra. “Mungkin Audin punya alasan tersendiri.”

“Masih aja dibela,” sindir Kamilla sembari menegak minuman yang bertengger di tangan kanannya.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan dengan topik berat di antara mereka berempat. Syahra dan teman-temannya sepakat untuk bersenang-senang dan meninggalkan sejenak pekerjaan mereka yang menumpuk malam ini. Keempatnya butuh waktu untuk menyalurkan penatnya.

“Suami lo gimana, Mil?” tanya Jasmine.

“Apanya?” balas Kamilla dengan kembali bertanya.

“Winston gak keberatan lo hangout sama kita di sini?” tanya Nada.

Kamilla mengibaskan telapak tangannya beberapa kali. “Tenang aja,” katanya. “Asal sama kalian, Winston pasti ngebolehin.”

“Berarti lo nanti dijemput sama dia?” tanya Jasmine lagi.

Kamilla mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Bisa jadi nanti dia nyusul gue ke sini.”

Mendengarnya, Syahra langsung menegakkan posisi duduknya. “Gak sama Audin kan?” tanyanya dengan nada tidak santai.

“Hai, Sayang,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang.

“Hai, Win,” sapa Kamilla. “Rapatnya udah selesai?” tanyanya.

Winston mendudukkan dirinya di sebelah istrinya. Ia mengecup singkat pipi kanan Kamilla. “Udah,” jawabnya.

“Kalau udah punya suami mah beda, ya,” celetuk Nada.

Winston dan Kamilla terkekeh pelan mendengar pernyataan Nada. “Kenapa, Nad? Iri? Mau gue comblangin gak?” ledek Winston bertubi-tubi.

“Mau dong!” jawab Nada semangat.

“Sini sama gue,” sahut Gerald yang tiba-tiba datang.

Melihat kehadiran Gerald yang muncul bak hantu, Nada melengos. “Gak makasih,” tolaknya. “Mending gue jomblo seumur hidup.”

“Mulutnya, Nad,” tegur Jasmine.

Di antara perbincangan antara para elit itu, ada seseorang yang dengan sengaja diam pada tempatnya sehingga menyerupai patung. Meskipun begitu, sepasang maniknya menelisik serta hatinya berharap bahwa Audin tidak datang ke tempat ini, setidaknya malam ini.

“Kamu mau turun, Win?” tanya Kamilla pada suaminya.

“Kamu mau? Ayo,” ajak Winston.

Winston dan Kamilla menjadi pasangan pertama yang turun dari lantai dua menuju lantai dansa. Di meja bundar tersebut menyisakan Gerald yang sibuk adu mulut dengan Nada beserta Brandon dan juga Jasmine.

“Lo pada mending turun deh,” ucap Jasmine. “Gue pusing liat kalian berantem.”

Akhirnya, Nada turun ke lantai dansa. Namun, bukan bersama Gerald, melainkan Jasmine. Demi mengikuti langkah Nada, Gerald menyeret Brandon untuk ikut turun ke lantai dansa. Sekarang, hanya Syahra yang tersisa.

“Gue pusing banget,” gumam Syahra.

Sepertinya, banyak hal yang sedang mengganggu pikiran wanita cantik itu. Isi dari gelas yang digenggamnya sudah habis dalam waktu kurang dari lima belas menit. Syahra meletakkan gelas kosong itu di hadapannya dan hendak memanggil pelayan wanita.

Gayung bersambut. Seorang pelayan wanita datang menghampirinya. Namun, saat Syahra akan menyebutkan pesanannya, pelayan wanita tersebut meletakkan sebuah gelas martini dengan buah ceri yang bertengger di atasnya.

“Silakan,” kata pelayan wanita itu. “Pesanannya, Nona.”

“Tapi saya belum order,” kata Syahra.

“Minumannya sudah dipesan oleh seseorang, Nona,” balas pelayan wanita tersebut.

Sepersekian detik setelahnya, pemesan yang dimaksud oleh pelayan wanita tersebut datang. “Makasih,” ucap Audin kepada pelayan wanita tersebut sembari memberinya tip sebagai tanda terima kasih. Setelahnya, pelayan wanita tersebut pergi. “Masih jadi kesukaan kamu ‘kan?” tanya lelaki tampan itu.

Syahra tersenyum sembari mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Cherry on top.”

“Aku boleh duduk di sini?” tanya Audin lagi.

Syahra kembali mengangguk. “Boleh kok.”

Audin mendudukkan dirinya di sebelah kanan Syahra dengan jarak yang cukup terpaut. “Kamu ke sini sama siapa?” tanyanya basa-basi. Sebenarnya, Audin tahu bahwa mantan istrinya itu datang bersama Nada, Jasmine, dan Kamilla.

“Biasa,” jawab Syahra lagi. “Nada, Jasmine, Kamilla.”

Audin mengangguk paham. “Kamu kenapa gak turun bareng mereka?” Ia mengidikkan dagunya ke arah teman-temannya beserta teman-teman mantan istrinya yang sedang asyik berdansa di lantai dansa.

Syahra menggeleng sekali. “Enggak,” jawabnya. “Aku lagi capek.”

“Kerjaan lagi hectic banget, ya?” Audin tiada henti-hentinya mewawancarai wanita cantik itu.

“Kamu lucu deh, Na.” Bukannya menjawab pertanyaan yang mantan suaminya lontarkan padanya, Syahra malah menyindir Audin.

“Maksudnya?” balas Audin dengan kembali bertanya.

“Perasaan dulu pas masih sama aku, kamu gak pernah sepeduli ini,” ujar Syahra.

Audin menghela napasnya. Sejenak, ia tatap sepatu pantofelnya yang memijak pada lantai klub yang dingin untuk kemudian kembali menatap sepasang manik yang selalu menjadi kesukaannya itu dengan nanar. “Bukan gitu maksud aku, Ra.”

“Kamu kenapa mundur dari akuisisi kita?” tanya Syahra skak mat. “Kali ini, tolong… kasih alasan yang masuk akal,” tambahnya.

Mendengar pertanyaan yang Syahra ucapkan, Audin membatu. Pikiran dan emosinya terlalu kalang kabut untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Audin tahu betul bahwa Syahra berhak atas penjelasan darinya.

“Kalau kamu enggan karena aku mantan istri kamu…,” ucap Syahra menggantung. “Anggap aku mitra kamu. Kamu tau ‘kan, Na? Kalau aku butuh penjelasan kenapa kamu mundur dari kesepakatan kita.”

Audin mengangguk pelan. “Iya, Ra,” katanya. “Aku tau.”

“Jadi, kenapa Heuston mundur dari kandidat akuisisi sama Morelle?” tanya Syahra lagi. “Padahal, seperti yang kamu tau, Heuston punya peluang paling besar untuk akuisisi sama Morelle.”

Untuk berapa saat, Audin diam. Bukannya tak ingin menjawab pertanyaan dari mitra perusahaannya itu tetapi perihal apa yang akan disampaikannya kepada Syahra. Sementara itu, Syahra masih menunggu jawaban dari Audin.

“Ra,” panggil Audin. Ia memfokuskan pandangannya pada wajah cantik yang selalu sukses menyihir perasaannya. “Boleh aku ngomong jujur?” tanya Audin serius.

Mendengar pertanyaan yang Syahra pikir mustahil keluar dari mulut Audin, wanita cantik itu tersenyum dalam diamnya. Pasalnya, hal inilah yang Syahra inginkan dari Audin selama menjadi suaminya maupun mitra kerjanya. “Boleh, Na,” jawab Syahra. “Kamu boleh ngomong apapun sama aku.”

“Kamu tau ‘kan kalau Heuston bukan aku yang bangun tapi Papi,” ujar Audin.

Syahra mengangguk. “Iya,” katanya.

“Waktu aku nikah sama kamu, bahkan sebelum aku nikah sama kamu, Heuston sering banget ngalamin masalah,” jelas Audin. “Papi pengen aku jadi penerusnya tapi di hati aku yang paling dalam aku gak pengen jadi pebisnis,” lanjutnya. “Jadinya, setelah aku take over Heuston, ada aja masalah yang terjadi.”

“Emangnya kamu sukanya apa, Na?” tanya Syahra lembut.

Audin menolehkan pandangannya ke arah Syahra. Ia tersenyum. “Acting,” jawabnya. “Atau musik,” tambahnya. “Pokoknya yang berhubungan dengan seni.”

Syahra mengangguk paham. “Pantes aja kamu banyak tau trivia tentang seni,” ujarnya.

“Iya, ya,” ucap Audin. “Aku bahkan gak sadar.”

“Kamu udah pernah coba ngomong jujur ke Papi?” tanya Syahra lagi tetapi kali ini lebih serius.

Audin menggeleng. “Aku anak tunggal, Ra,” katanya. “Aku gak tega kalau harus ngehancurin harapan Papi sama anak satu-satunya ini. Cuma aku satu-satunya harapan Papi,” lanjut lelaki tampan itu. Audin kembali menundukkan pandangannya. “Belum lagi, setelah nikah sama kamu… aku banyak nyusahin kamu.”

Mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut mantan suaminya itu, Syahra sempat terdiam. “Kamu tau kamu gak nyusahin aku, Na.”

Audin tersenyum masam. “Aku banyak nyusahin kamu, Ra,” ucapnya. “Setelah kamu nikah sama aku, kamu jadi lebih sering pulang malem dan bulak-balik keluar kota untuk bantu ngurusin Heuston karena aku gak becus.”

“Aku juga pebisnis, Na,” tegas wanita cantik itu. “Itu udah bagian dari kewajiban aku.”

“Kamu ngurusin aku, Heuston, Morelle, dan calon anak kita yang ada di dalem perut kamu,” jelas Audin.

Kalimat terakhir yang diucapkan diam mampu membuat Syahra terdiam seribu bahasa. Padahal, Syahra hampir lupa dengan kejadian itu, di mana dirinya mengalami keguguran karena terlalu lelah bekerja.

“Aku gagal ngurusin Heuston, aku gagal bantu kamu ngurusin Morelle, aku gagal jadi suami kamu, dan aku juga gagal jadi ayah dari calon anak kita,” ujar Audin. “Kenapa aku batalin akuisisi sama Morelle? Karena aku tau aku gak akan bisa ngurusin itu semua, Ra.” Ia mengusap wajahnya kasar.

Syahra baru tahu bahwa Audin sama terpukulnya dengan dirinya saat mereka kehilangan calon bayi yang ada di perutnya. Yang Syahra tahu hanyalah Audin dengan tega meninggalkannya sehari setelah dirinya mengalami keguguran.

Syahra mendekatkan dirinya ke arah Audin. Ia mengusap bahu lebar yang dulu sering menjadi tempatnya bersandar. “Na,” panggilnya.

Yang dipanggil namanya menoleh. Syahra dapat melihat dengan jelas sepasang manik yang biasanya terlihat tegas itu kini memerah. Audin menahan tangisnya. Di saat seperti itu, Syahra tetap tersenyum agar tidak memperkeruh suasana.

“Kamu gak gagal,” kata Syahra. “Semua orang mengalami yang namanya ‘pertama kali’,” ucapnya. “Bukan salah kamu kalau kamu gagal ngurus semua keperluan Heuston, apalagi bakat dan kemauan kamu bukan di situ. Bukan salah kamu juga kalau aku keguguran dan kehilangan anak kita.”

“Andai aku bisa berbuat lebih, Ra, mungkin semua ini gak akan terjadi,” ungkap Audin.

Syahra menggeleng sebab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. “Enggak, Na, kamu udah berbuat cukup, sangat cukup,” ujarnya.

Mendengarnya, Audin bergerak merengkuh tubuh mungil yang duduk di sampingnya. Ia sembunyikan wajah tampannya yang sudah berlinangan air mata pada ceruk leher mantan istrinya.

“Maafin aku, Ra,” ucap Audin.

Syahra mengusap punggung lebar yang menanggung banyak beban itu dengan lembut. “Iya, Na.”

Audin sangat merindukan masa-masa bersama Syahra, masa-masa di mana Syahra selalu ada untuk menyiapkan semua keperluan, membantunya menyelesaikan pekerjaan, sampai menenangkannya apabila lelah sedang melanda harinya.

Bagi Audin, Syahra adalah sebaik-baiknya perempuan yang pernah ditemuinya, bahkan mendekati kata sempurna. Jika memungkinkan, Audin ingin Syahra kembali hadir di dalam hidupnya.

Syahra melepaskan pelukannya dengan Audin. Ia tangkup rangka wajah tegas yang tampan itu. Ibu jarinya bergerak menyeka jejak air mata yang ada. Ditatapnya sepasang manik yang masih menyisakan air mata penyesalan itu.

“Na,” panggil Syahra.

“Iya, Ra,” sahut Audin.

“Udah lega?” tanya wanita cantik itu.

Audin mengangguk sekali. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah cantik di depannya. Dikecupnya kening yang sangat ia rindukan itu. “Udah,” jawabnya. “Makasih, ya, Ra.”

“Yang kuat, ya, Na,” ucap Syahra. “Kamu hebat udah sampai di sini.”

“Ra.” Kali ini, Audin yang memanggil nama mantan istrinya itu.

“Iya, Na,” balas Syahra.

“Seandainya aku minta kesempatan kedua dari kamu… untuk kita, mungkin gak?” tanya Audin.

Bersama pertanyaan yang lelaki tampan itu lontarkan, jantung Syahra meledak. Audin melamarnya untuk yang kedua kali di tempat pertama kali mereka bertemu. Syahra tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Bagaimana pun, Audin memiliki hatinya.

Serupa dengan Audin, wanita cantik itu juga ingin memulai lembaran baru dengan pujaan hatinya itu. Syahra tersenyum lalu mengangguk pelan. Lengkungan seindah jagat raya itu dibalas serupa oleh Audin.

“Ikut aku, Ra,” ajak Audin.

Audin menggenggam tangan wanitanya itu agar mengikuti langkahnya. Ia membawa Syahra menuju lantai teratas dari bangunan yang sekarang mereka singgahi. Sesampainya di sana, Audin dan Syahra dapat melihat dengan jelas pemandangan city light dari atas sana.

“Cantik, ya, Na,” ujar Syahra.

Berbeda dengan Syahra yang sibuk memfokuskan atensinya ke arah lampu yang terlihat seperti kunang-kunang dari ketinggian bangunan tersebut, Audin memusatkan pandangannya pada wajah cantik yang berdiri di sampingnya.

“Iya, Ra,” balas Audin. “Cantik.”

“Aku udah lama gak menghirup udara malam,” kata Syahra.

“Aku juga udah lama,” tambah Audin.

Syahra menolehkan pandangannya ke arah Audin. “Udah lama apa?” tanyanya.

“Udah lama gak menghirup kamu,” celetuk Audin sembari tersenyum.

“Mulai deh,” protes Syahra.

Kemudian, dengan gerakan secepat angin, Audin memeluk Syahra dari belakang. “Tapi serius, Ra,” katanya. “Aku sekangen itu sama kamu sampai mau mati rasanya. Entah apa jadinya aku kalau gak sama kamu.”

Syahra tersenyum. Ia sangat suka bagaimana Audin merangkai kata-kata indah untuknya walaupun cukup jarang dilakukan. Syahra memeluk dirinya sendiri di atas lengan besar yang melingkarinya.

“Aku juga kangen sama kamu, Na,” balas wanita cantik itu.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara Audin dan Syahra. Sepasang suami dan istri yang baru saja rujuk itu sibuk menatap intens pemandangan masing-masing. Audin dengan Syahra dan Syahra dengan city light view.

“Na,” panggil Syahra membuka suara.

“Iya, Ra,” balas lelaki tampan itu lembut.

“Aku boleh minta sesuatu sama kamu?” tanya Syahra serius.

Audin yang sedari tadi menenggerkan dagunya pada bahu Syahra kini menoleh ke arah sumber suara. “Anything, Ra,” jawabnya. “Selama aku mampu, aku akan berusaha turuti apapun kemauan kamu.”

“Janji, ya, sama aku,” ucap Syahra. “Kalau ada apa-apa, kita diskusikan bareng-bareng. Kamu jangan pendam semuanya sendiri,” katanya. “Aku ada buat kamu dan sebaliknya, Na,” jelasnya.

Audin tersenyum. Syahra selalu memiliki cara untuk merepih dirinya beserta kelemahannya tanpa membuatnya merasa rendah diri. Audin tahu bahwa dirinya kembali jatuh cinta pada wanita hebat yang ada di dalam dekapannya. “Iya, Ra. Aku janji,” ucapnya.

Mendengarnya, Syahra tersenyum. Ia mengusap pucuk kepala yang berada tepat di samping kanannya. Audin ikut tersenyum. Ia mendekatkan wajah tampannya pada wajah cantik sang istri. Hidung bangir keduanya saling bertemu.

Audin dan Syahra saling melempar tatap khas rasa rindu dari jarak mereka yang hanya terpaut beberapa senti itu. Audin, dengan gerakan perlahan tetapi pasti, mendekatkan bibirnya ke arah bibir ranum Syahra. Di detik berikutnya, kedua belahan itu berjumpa setelah sekian lama.

Bentangan semesta yang dihiasi oleh bintang menjadi saksi bisu bahwa Audin dan Syahra memutuskan untuk kembali bersama dan memulai kehidupan yang baru. Sepertinya, keduanya sama-sama dimabuk rindu.

Pagutan yang terjadi di antara sepasang suami dan istri itu enggan untuk disudahi. Angin malam yang dingin terasa kontras dengan ciuman mereka yang semakin memanas. Audin mengeratkan pelukannya dan Syahra menekan tengkuk lawan mainnya.

“Mphhh,” lenguh Syahra kala merasa cumbuan itu semakin menuntut padanya.

Audin mendorong pelan tubuh mungil istrinya agar merapat pada tembok yang menjadi pembatas antara mereka dengan langit malam. Kemudian, ia bubuhi tengkuk Syahra dengan ciuman.

“Nghhh, Na,” lirih wanita cantik itu.

Audin sudah lama tidak menyentuh istrinya. Ia tidak menyangka rasanya terasa jauh lebih nikmat karena rindu yang sempat dipendamnya. Audin tidak memberi kesempatan bagi Syahra untuk membalas.

“Ahh, Na,” desah Syahra. “Jangan di sini,” pintanya.

Mendengar permintaan tersebut, Audin berhenti. Ia terkekeh dan berkata. “Maaf, ya,” ucapnya sembari mengusap tengkuknya canggung. “Aku kangen banget sama kamu.”

Syahra ikut terkekeh mendengar respon menggemaskan dari suaminya. Kali ini, wanita cantik itu yang menggenggam tangan besar Audin. Ia menarik lelaki tampan itu agar mengikuti langkahnya.

Audin dan Syahra menuruni satu per satu anak tangga untuk menuju lift. Setelah masuk ke dalam lift, keduanya hanya turun tiga lantai. Syahra membawanya menuju penthouse yang tersedia di dalam bangunan tersebut.

“Penthouse ini punya kamu?” tanya Audin.

Syahra menggeleng. “Bukan sih,” jawabnya.

“Punya siapa?” tanya Audin lagi.

“Kamu,” ucap Syahra sembari tersenyum lebar. Ia mengajak sang suami untuk masuk ke dalam kamar utama. “Tadinya aku mau kasih surprise untuk ulang tahun kamu,” jelasnya. “Tapi kamunya malah minta cerai.”

Mendengar penjelasan dari Syahra, Audin hanya dapat tersenyum masam. “Waduh,” ucapnya. “Aku minta maaf, ya.”

Syahra tertawa lepas. “Kamu udah tiga kali minta maaf sama aku, Na.”

“Kesalahan aku terlalu besar, Ra,” sahut Audin. “Aku akan selalu minta maaf sama kamu.”

Syahra menggeleng beberapa kali. Ia menempatkan jari telunjuknya di depan bibir Audin. “Enggak, Na,” katanya. “Kamu udah minta maaf dengan tulus dan janji sama aku. Itu udah sangat cukup,” jelas Syahra.

“Tapi, Ra—” Belum sempat Audin merampungkan kalimatnya.

Syahra menyambar terlebih dahulu. “Daripada kamu minta maaf terus, mending kamu lanjutin yang tadi,” godanya.

Audin terkekeh. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak permintaan dari istrinya itu, apalagi perihal berbagi kasih seperti ini. Di dalam kamar yang luas dan megah itu, Audin dan Syahra mendudukan diri mereka di tepi ranjang.

Aduin menangkup wajah cantik Syahra dengan telapak tangannya yang besar. “Cantik,” pujinya. Seberkas pujian itu mampu membuat wajah cantik yang ditangkupnya menyemburatkan rona serupa buah ceri. Audin tertawa. “Tuh ‘kan cantik.”

“Kamu kebiasaan deh,” keluh Syahra.

Tingkah lucu Syahra membuat Audin semakin tidak tahan. Akhirnya, ia cium kembali bibir seksi yang terus menggodanya. Audin, dengan semua rasa rindu dan kasih sayangnya, bergerak dengan semangat.

Tentunya, Syahra tidak ingin kalah. Kedua tangannya bergerak melepas jas hitam yang melindungi tubuh atletis sang suami. Ia usap lengan besar nan berotot itu. Entah Syahra terbawa suasana atau memang tubuh Audin yang semakin membesar.

“Mphhh,” lenguh Syahra saat Audin menggigit bibirnya.

Sejenak, Audin menjeda kegiatannya. Ia tatap sepasang manik secerah konstelasi bintang di bentangan semesta itu sembari tangannya bergerak melepas satu per satu kancing dari blus putih yang Syahra kenakan.

Audin dapat melihat sepasang payudara yang masih terlindungi bra berwarna hitam itu terus memanggilnya. Lalu, lelaki tampan itu menggendong Syahra agar menyandarkan tubuhnya pada kepala kasur.

Audin hendak melonggarkan dasi yang melingkari kerah kemejanya tetapi pergerakannya dihentikan oleh Syahra. “Aku aja yang buka,” katanya. Dengan telaten, wanita cantik itu melonggarkan dasi berwarna merah tua yang ternyata adalah pemberiannya. “Ini dasi dari aku, ya?” tanya Syahra.

Audin mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Aku selalu pake ini.”

Dalam diamnya, Syahra salah tingkah. Ia melanjutkan aktivitasnya. Syahra membuka satu per satu kancing kemeja putih yang dikenakan Audin. Seketika tubuh besar itu terpampang di hadapannya, Syahra terdiam. Ia meneguk salivanya.

Audin mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?” tanyanya.

Syahra menggelengkan kepalanya beberapa kali demi mengembalikan kesadarannya. “Gak apa-apa,” jawabnya.

Audin terkekeh mengetahui istrinya salah tingkah. Kemudian, lelaki tampan itu menempatkan tubuh Syahra di dalam kungkungannya sebelum kembali mencium istrinya dengan penuh gairah.

Sepertinya, Audin lebih merindukan Syahra dibanding wanita cantik itu merindukannya. Lihat saja, bagaimana lelaki tampan itu mencium Syahra sampai istrinya itu merasa kewalahan. Perlahan, ciuman itu turun menuju leher dan dadanya.

“Nghh, ahhh,” desah Syahra.

Audin membumbui tubuh istrinya yang sudah terekspos dengan tanda kepemilikan. Kemudian, tangan besar itu bergerak melepas bra yang melindungi sepasang gunung sintal yang selalu menjadi kesukaannya.

“Ahhh, Na,” lirih Syahra.

Audin mengulum sebelah puting payudaranya. Sedangkan, payudaranya yang lain dipijat, diremas, dan sesekali dipilih ujung putingnya oleh sang suami. Sudah lama sekali rasanya wanita cantik itu tidak merasakan nikmat seperti ini dari Audin.

“Nghh, Na, ahhh,” desah Syahra.

Syahra tidak dapat berhenti mengelukan nama sang suami yang sibuk bermain dengan payudara. Ternyata Audin masih hapal dengan titik-titik sensitif yang dapat merangsang tubuhnya.

“Enak, Ra?” tanya Audin menggoda.

Syahra tidak dapat menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Syahra terlalu fokus untuk mengkhidmati semua rasa nikmat yang melingkupinya.

Selanjutnya, dengan tangan kiri yang masih setia bermain pada payudara sang istri, tangan kanan Audin bergerak melepaskan celana kulot serta celana dalam yang dikenakan Syahra. Ia dapat melihat bagian selatan itu memerah dan berkedut samar.

Audin kembali menghentikan kegiatannya untuk sementara waktu. Ia melakukan hal serupa pada dirinya. Audin melepas tali pinggang dan celana hitam yang dipakainya. Terlihat batang besar itu sudah menegang dengan sempurna.

Lalu, Audin mendekatkan tubuhnya pada Syahra. Ia memejamkan matanya untuk kemudian mengecup kening istrinya. “Aku sayang kamu, Syahra Suwardhono,” ujarnya.

Mendengar afirmasi cinta tersebut, Syahra tersenyum. Ia memeluk tubuh besar suaminya. “Aku juga sayang sama kamu, Audin Nareswara,” bisiknya.

Audin semakin bersemangat kala suara merdu itu mengalun pada indera pendengarannya. Sekarang, ia akan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Audin menciumi senti demi senti tubuh Syahra.

Syahra dapat merasakan dengan jelas ujung penis suaminya yang mulai terlumuri pelumas alami terus menyentuh tubuhnya. Sebab rasa geli bercampur nikmat di bagian selatannya, Syahra kerap kali menutup kakinya. Namun, kerap kali juga Audin dengan sigap menahannya.

“Ahhh,” lirih Syahra saat merasakan hangatnya bibir itu saat menyentuh permukaan kulitnya.

Tubuhnya wanita cantik itu mulai menggelinjang. Tanpa sadar, Syahra menggoyangkan pinggulnya. Pastinya, Audin sadar akan hal itu. Kemudian, jari tengah dan telunjuk lelaki tampan itu bergerak. Ia melengangkan kedua jarinya untuk memeriksa vagina wanita cantik itu.

“Udah basah, ya?” goda Audin

“Nghh, Na, ahhh.” Syahra yang diperlakukan seperti itu hanya dapat mendesah kencang.

Baik Audin maupun Syahra sudah siap untuk permainan inti. Perlahan, lelaki tampan itu meneroboskan penisnya untuk masuk ke dalam vagina sang istri. Syahra meremat kain yang melindungi kasurnya saat ujung penis sang suami mulai memasukinya.

“Nghhh.” Kali ini, Audin yang mendesah. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Penis itu sudah masuk separuh jalan. Audin mulai bergerak dengan tempo lambat.

“Mphhh,” lenguh Syahra.

Di menit berikutnya, Audin menambah tempo gempurannya. Ranjang yang mereka tiduri mulai berguncang hebat sesuai dengan irama hentakan penis Audin di dalam vagina wanita cantik itu. Keduanya dibawa terbang ke langit teratas oleh permainan panas itu.

“Ahhh, cepetin, Na,” pinta Syahra.

Sesuai dengan permintaan tersebut, Audin bergerak dua kali lebih cepat. Sementara itu, Syahra membantu suaminya dengan menggoyangkan pinggulnya. Ia dapat merasakan ujung penis Audin menabrak dinding rahimnya.

Audin dan Syahra bermain selagi bermandikan keringat. Permainan malam ini adalah yang terpanas yang pernah mereka lakukan sebab keduanya baru saja bangkit dari keterpurukan masing-masing.

“Aku, nghh, mau keluar, ahhh,” ujar Syahra susah payah.

Dengan inisiatif, Audin menghentakkan penisnya di bawah sana. Ia dapat merasakan vagina sang istri seolah menyedot kepemilikannya. Syahra benar-benar akan menjemput pelepasannya sebentar lagi.

“Ahh!” pekik wanita cantik itu.

Syahra mendapatkan titik ternikmatnya tetapi pergerakannya tidak berhenti. Ia tetap harus membantu Audin untuk menjemput pelepasannya. Syahra memandang rangka wajah tegas yang terlihat semakin tampan itu dari posisinya.

“Nghh, aku keluar, ahh, Ra,” ucap Audin.

Audin hendak mencabut penisnya dari dalam sana. Namun, Syahra lebih dulu dengan sekuat tenaganya menarik tubuh besar itu agar memeluknya. Akhirnya, Audin menyemprotkan spermanya di dalam rahim sang istri.

“Ra,” panggil Audin khawatir.

“Kenapa, Na?” balas Syahra dengan kembali bertanya.

“Maaf,” ucap Audin sedikit ketakutan. Suaranya bergetar. “Aku keluar di dalam.”

Syahra tersenyum. “Gak apa-apa, Na,” ucap Syahra. “Kalau di awal main aku bilang aku mau kamu keluar di dalam, kamu pasti bakal nolak.”

“Kenapa kamu pengen aku keluar di dalam, Ra?” tanya Audin serius.

“Kamu tau betul apa alasannya, Na,” jawab Syahra.

Mendengarnya, hati Audin menghangat. Ia tersenyum mengetahui kebesaran hati istrinya itu. “Makasih, ya, Sayang,” katanya.

Audin merebahkan tubuhnya di samping Syahra. Ia dekap tubuh mungil yang polos itu seolah akan pergi jauh. Audin tidak berhenti mengecup pucuk kepala istrinya. Tangan besarnya juga bergerak mengusap punggung sempit Syahra.

Tak lama kemudian, Audin mendengar suara helaan napas yang teratur. Ia menundukkan sedikit pandangannya. Audin tersenyum saat melihat istrinya tidur dengan nyenyak di dalam pelukannya.

Sebelum hari berakhir, Audin kembali mengecup kening Syahra tetapi kali ini sedikit lama. “Wanita cantik yang hebat,” katanya. “Makasih udah hadir lagi di hidupku.”

“Hai, Vall,” sapa Gavin dengan senyum serupa kelinci sesaat Vallerie membukakan pintu untuknya.

“E-Eh, Kak Gapin,” balas Vallerie ragu. “Kenapa, Kak?” tanyanya.

Gavin yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol menyandarkan dirinya di kerangka pintu kamar Vallerie. Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya. Gavin menggelengkan kepalanya beberapa kali demi menjaga kesadarannya.

“Gue…,” ucapnya menggantung.

“Gue…,” ulang Vallerie. “Gue kenapa, Kak?”

Gavin mengusap dadanya yang terasa panas sebab minuman kerasa yang ditenggaknya. “Gue boleh…,” katanya kembali terpotong.

“Boleh apa, Kak?” tanya Vallerie lagi.

“Gue boleh pinjem….” Gavin terus memenggal kata per kata yang ingin ia ucapkan.

“Pinjem?” tanya Valleri sembari menggigit bibir bagian bawahnya. “Pinjem apa, Kak?”

Mendengar pernyataan yang diucapkan Gavin, Vallerie dengan otak kotornya sudah berkelana ke sana kemari. Ia memiliki prasangka bahwa Gavin akan meminjam sesuatu yang ada di tubuhnya.

Vallerie memang memiliki hobi menyaksikan film porno. Namun, jika sudah dihadapkan dengan kenyataan, nyalinya langsung berubah menjadi ciut. Ia mundur beberapa langkah. Sementara itu, Gavin semakin mendekatkan langkah kepadanya.

“Kak,” panggil Vallerie yang kakinya terus berjalan mundur.

Yang dipanggil tidak menghiraukannya. Vallerie yang langkahnya terus mundur disambut baik dengan Gavin yang terus melangkah dengan maju tak gentar. Langkah mereka yang kian bersambut akhirnya terhenti sebab Vallerie berada di sudut kamarnya.

Vallerie menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Sedangkan, Gavin menyandarkan tangannya kanannya tepat di sebelah kepala gadis cantik itu. Vallerie menolehkan pandangannya sembari memejamkan kedua matanya dengan erat.

Gavin mendekatkan wajahnya ke arah telinga kiri Valerie. Lalu, ia berbisik. “Gue mau pinjem kamar mandi lo,” katanya.

Vallerie yang mendengar pernyataan itu mulai membuka matanya. Pandangannya perlahan kembali pada wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti darinya. “Di situ, Kak,” ujarnya. Jari telunjuknya mengarah ke pintu yang ada di sebelah lemari baju.

Pandangan Gavin mengikuti ke mana jari telunjuk Vallerie tertuju. Ia mengangguk pelan. “Oke,” ucapnya sembari tersenyum manis.

Setelah kepergian Gavin yang masuk ke dalam kamar mandinya, Vallerie berjongkok pada posisinya di sudut ruangan. “Anjir,” umpat gadis cantik itu sembari mengusap dadanya. “Gue pikir gue bakal diapa-apain sama Kak Gapin.”

Kemudian, Vallerie bangkit dan memposisikan dirinya duduk di tepi ranjang. Ia menunggu Gavin untuk keluar dari kamar mandinya. Vallerie ingin memastikan bahwa dirinya dapat melanjutkan menonton film porno dengan tenang.

Detik demi detik yang akhirnya berubah menjadi menit, Gavin tidak kunjung keluar dari dalam sana. Terhitung sudah hampir setengah jam lelaki tampan itu ada di dalam kamar mandinya. Vallerie menunggu dengan tidak sabar.

Vallerie ingin sekali menyerukan nama dari teman kakaknya itu. Namun, ia tidak ingin mengambil resiko. Orang yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol dapat melakukan apa saja di luar nalarnya, apalagi laki-laki.

Akhirnya, Vallerie memilih untuk meninggalkan Gavin yang ada di dalam kamar mandinya dan meneruskan film biru yang sedang disaksikannya. Vallerie menyembunyikan dirinya bersama laptop dan harddisk kesayangannya di bawah naungan selimut.

Vallerie sangat amat menikmati waktu berkualitasnya dengan film favoritnya itu. Tanpa sadar, Gavin keluar dari kamar mandinya. Tadinya, Gavin hendak langsung keluar dari kamar tersebut tetapi indera pendengarannya menangkap sesuatu. Gavin yang berada di ambang pintu menghentikan langkahnya. Ia memutar balik tubuhnya menuju gundukan selimut yang ada di atas ranjang. Gavin dapat mendengar dengan jelas suara desahan seorang wanita.

Dengan kesadaran yang ala kadarnya, Gavin menggenggam ujung selimut berwarna biru muda itu. Suara desahannya yang didengarnya semakin intensif. Gavin berpikir bahwa ia akan memergoki salah satu temannya sedang bercinta dengan Vallerie.

Srak!

Gavin menyingkirkan kain tebal yang menyelimuti Vallerie dan alat perangnya. Gavin dan Vallerie sama-sama terkejut. Vallerie langsung terduduk di tempatnya. Keduanya saling beradu tatap.

“Kak Gapin!” pekik Vallerie.

“Vall,” panggil Gavin. “Kamu ngapain?” tanyanya.

“Itu, Kak… Anu….” Vallerie bingung harus merangkai kebohongan yang seperti apa jika tertangkap basah seperti ini.

“Ngapain?” tanya Gavin lagi.

Vallerie mengusap tengkuknya canggung. “Nonton film, Kak,” jawabnya. “Ada tugas untuk analisis film,” dusta gadis cantik itu.

Vallerie harap semoga Gavin dapat mempercayai kebohongannya yang seadanya sebab masih dalam pengaruh minuman keras. Apabila begitu, berarti Vallerie salah besar. Selama di dalam kamar mandi tadi, Gavin berusaha keras mengembalikan kesadarannya.

Gavin merebut laptop yang ada di pangkuan Vallerie. Ia menggulirkan jari telunjuknya dan membuka satu demi satu folder yang tersimpan di dalam harddisk yang tersambung. Vallerie berusaha menahan tetapi kekuatan Gavin jauh dari jangkauannya.

“Kamu suka nontonin yang kayak gini, Vall?” tanya Gavin tanpa memalingkan pandangannya dari layar laptop.

Vallerie yang ditanya seperti itu hanya dapat diam. Ia menundukkan pandangannya pada sepasang kakinya yang menapak di atas lantai dingin. Vallerie pikir saat Valdi memergokinya sedang menonton film porno adalah yang terburuk tetapi ternyata dugaannya salah.

“Jawab, Vall,” tegas Gavin.

Vallerie menatap wajah dengan rangka tegas yang berdiri di hadapannya dengan sinis. “Lo gak ada hak nanya-nanya kayak gitu ke gue, Kak,” ujarnya tak santai. “Itu privasi gue.”

Gavin menolehkan pandangannya ke arah Vallerie. Ia dapat melihat tatapan khas amarah yang terpancar dari bola mata yang cantik itu. “Gue cuma nanya, Vall, bukan mengusik privasi lo,” jelas Gavin. “Gue masih temen kakak lo.”

Mendengarnya, Vallerie memutar bola matanya sembari menghela napas panjang. “Iya,” jawabnya singkat.

“Valdi tau?” tanya Gavin lagi. Ia kembali memeriksa film-film yang ada di sana.

“Tau,” jawab Vallerie. “Kayaknya,” lanjutnya.

Kemudian, Gavin menutup laptop tersebut dan meletakkanya di atas ranjang. “Lo dapet dari mana film kayak gini?” tanyanya bak anggota kepolisian.

“Temen,” jawab Vallerie.

“Siapa?” tanya Gavin. “Yang tadi gue jemput lo di rumahnya?” terkanya.

Mendengar kalimat yang dilontarkan Gavin, kedua mata Vallerie membulat sempurna. “Bukan!” jawabnya setengah berteriak.

Gavin menyeringai. “Bener tebakan gue.”

Vallerie menatap Gavin dengan tidak santai. “‘Kan gue bilang bukan, Kak,” tegasnya.

“Justru dengan gelagat lo yang kayak gitu jadi ketauan, Vall,” jelas Gavin.

Vallerie menyerah. Gavin terlalu cerdas untuk dirinya yang sangat sembrono. Ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Kini, Vallerie hanya bisa pasrah. Mungkin besok pagi namanya sudah menjadi headline utama di portal berita digital.

Gavin ikut duduk di samping Vallerie. “Gue gak akan kasih tau siapa-siapa asal lo mau jawab pertanyaan gue,” ujarnya.

“Apa?” tanya Vallerie.

“Lo kenapa suka nonton kayak gini?” tanya Gavin serius.

Vallerie terdiam sejenak. Ia bimbang. Haruskah dirinya membongkar sebagian besar rahasia terbesarnya, di mana rahasia tersebut Valdi sendiri tidak mengetahuinya. Vallerie kembali menghembuskan napasnya dengan kasar.

“Gue penasaran, Kak,” katanya. “Kenapa orang pengen melakukan kegiatan kayak gitu? Kenapa orang merasa puas dengan melakukan kegiatan kayak gitu? Kenapa orang punya banyak cara untuk memuaskan satu sama lain pas melakukan kegiatan kayak gitu?” jelas Vallerie. “Intinya, gue cuma penasaran.”

Kali ini, giliran Gavin yang menghela napasnya dengan kasar. “Lo pernah melakukan kegiatan kayak yang tadi lo liat?”

Vallerie menggeleng. “Enggak,” jawabnya singkat. “Gue takut tapi gue penasaran.”

“Kenapa gitu?” tanya Gavin.

“Di satu sisi, gue penasaran dan pengen melakukan hal kayak gitu tapi… di sisi lain, gue takut akan resikonya karena gue gak tau dari kegiatan kayak gitu bisa menyebabkan efek samping yang seperti apa,” ujar Vallerie.

Eksplanasi yang dilontarkan Vallerie barusan sukses membuat Gavin terdiam. Tadinya, ia sangat menghakimi perilaku tidak wajar yang Vallerie lakukan. Namun, Gavin tidak melihat lebih dalam lagi.

Bagaimana pun, Vallerie adalah seorang gadis yang sedang memasuki fase pencarian jati diri dan tidak jarang pada fase ini banyak rasa penasaran yang melingkupi dirinya. Untungnya, Vallerie tidak jatuh pada pergaulan yang salah.

Gavin salut dengan fakta bahwa Vallerie mampu mengontrol dirinya agar tidak terbuai dengan rasa penasarannya. Dalam diamnya, Gavin tersenyum. Ia mengulurkan tangan kirinya untuk kemudian mengusap pelan pucuk kepala gadis cantik tersebut.

“Pinter,” puji Gavin.

Diperlakukan manis seperti itu, Vallerie terkejut bukan main. Ia menatap wajah tampan yang ada di sampingnya itu dengan heran. Vallerie dapat melihat senyum serupa kelinci yang Gavin tampilkan untuknya.

“Gue bangga sama lo,” kata Gavin.

“Bangga?” tanya Vallerie penasaran. “Bangga kenapa, Kak?”

“Lo tau kegiatan yang suka lo liat itu punya konsekuensi tersendiri. Lo sebagai remaja yang lagi punya banyak gairah bisa ngontrol itu,” jelas lelaki tampan itu. “Banyak remaja seumuran lo di luar sana yang terjebak di pergaulan bebas, Vall.”

Mendengarnya, Vallerie tersenyum manis. Prasangkanya akan skenario terburuk yang sempat terlintas di kepalanya tiba-tiba menghilang. Perkataan dan senyum yang Gavin berikan padanya mampu membuatnya tenang.

“Tapi gue tetep gak menyetujui lo sering nonton kayak gini, ya,” ujar Gavin.

“Iya, Kak,” balas Vallerie datar. “Gue juga tau kalau gue salah.”

“Gue sita harddisk lo,” kata Gavin.

Vallerie membulatkan kedua matanya dengan sempurna. Kalimat yang baru saja Gavin lontarkan untuknya sukses membuat jantungnya jatuh dan menyatu dengan lambungnya. “Yah, Kak?!” protesnya. “Kok gitu?”

“Gak baik, Vall, sering-sering nonton kayak gitu,” ucap Gavin.

“Jangan dong, Kak,” cegah Vallerie. “Gue janji gak bakal sering nonton lagi,” pintanya.

Gavin menggeleng. “Enggak.”

Vallerie menundukkan pandangannya. Gavin jauh lebih tegas dibandingkan Valdi dan ditambahkan lelaki tampan itu tau sisi gelapnya. Vallerie tidak dapat berbuat banyak. Semoga saja hari-harinya dapat berjalan dengan lancar meskipun tanpa alat perang andalannya.

“Kalau penasaran, langsung aja,” sergah Gavin.

Vallerie langsung mengangkat pandangannya. Ia menatap wajah tampan yang tetap berekspresi datar setelah mengatakan kalimat berbahaya seperti tadi. Gavin juga membalas tatapan dari Vallerie.

“Barusan lo ngomong apa, Kak?” tanya Vallerie memastikan.

“Kalau penasaran, langsung aja,” ulang Gavin. “Jangan nonton.”

“Sama lo gitu, Kak?” tanya Vallerie hati-hati.

“Lo maunya sama siapa? Silas? Jasper? Arion?” balas Gavin tak santai. “Mereka semua gak punya pengetahuan yang mumpuni kayak gue.”

Vallerie terdiam. Ini bisa saja kesempatan sekali di dalam seumur hidupnya. Vallerie kembali menggigit bibir bagian bawahnya, pertanda ia gugup. Gavin dapat melihat dengan jelas bahwa gadis cantik di sampingnya ini sedang bertengkar dengan dirinya sendiri.

“Ya, kalau lo gak mau, gue gak akan maksa,” tambahnya.

“Gue bukannya gak mau, Kak,” kata Vallerie.

“Terus?” balas Gavin dengan kembali bertanya.

“Kalau ketauan Bang Paldi gimana?” tanya Vallerie.

Mendengarnya, Gavin menyeringai sukses. Ternyata, yang ditakutkan Vallerie adalah fakta bahwa Valdi kemungkinan besar akan mengetahui hubungan mereka berdua yang seperti ini dan bukannya ajakan untuk berhubungan itu sendiri.

“Valdi gak akan tau,” ucap Gavin. “Gue jamin.”

“Bener, ya, Kak?” tanya Vallerie memastikan. “Gue bisa mati kalau Bang Paldi tau.”

“Sama gue juga, Vall,” balas Gavin.

Setelahnya, sempat tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara Gavin dan Vallerie. Mungkin mereka baru sadar bahwa topik perbincangan yang sedang mereka bahas merupakan topik sensitif. Namun, tak lama setelahnya, Gavin membuka suara.

“Lo siap, Vall?” tanyanya.

Vallerie mengangguk. “Siap, Kak.”

Gavin menepuk kedua pahanya. “Sini,” katanya. “Duduk di atas gue.”

Kalimat tersebut sukses membuat jantung Vallerie berhenti seketika. Adegan ini persis seperti film yang pernah disaksikannya. Ia menempatkan dirinya di atas pangkuan Gavin lalu menyamankan posisinya.

Gavin memeluk Vallerie dari belakang. Sementara itu, Vallerie menyandarkan kepalanya pada sebelah bahu lebar Gavin. Kemudian, Gavin menyelipkan tangan besarnya ke dalam kaus yang dikenakan Vallerie. Ia mengusap perut rata yang terasa hangat itu.

“Mphhh,” lirih Vallerie sembari menggigit bibirnya.

Vallerie dapat merasakan suhu yang kontras antara pendingin ruangan di kamarnya dan tangan Gavin yang terasa hangat. Lalu, Gavin mulai membubuhi tengkuk gadis cantik itu dengan banyak kecupan. Vallerie merasakan geli dan nikmat di saat yang bersamaan.

“Nghh, Kak,” lenguh Vallerie.

Vallerie tidak menyangka bahwa rasanya akan senikmat ini. Ini baru permulaan. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana permainan inti yang akan mendatang. Vallerie hanya akan fokus menikmati semuanya yang Gavin berikan padanya sembari mempelajarinya.

Selanjutnya, Gavin melepaskan kemeja yang melindungi tubuh atletisnya untuk kemudian melakukan hal serupa pada gadis cantik yang ada di atas pangkuannya. Gavin memeluk Vallerie dengan erat sembari memberinya banyak ciuman pada punggung sempit itu.

“Kak, ahhh,” desah Vallerie.

Kulit mereka bersentuhan satu sama lain seolah sedang membagi nikmat. Gavin tidak berhenti bekerja. Tangannya menjamah segala benda yang dapat diraihnya. Ia bermain dengan kedua gunung sintal yang masih terlapisi oleh bra berwarna hitam.

“Nghhh, Kak, ahh,” lenguh gadis cantik itu kenikmatan.

Tangan kanan Gavin memijat dan meremas sebelah payudara Vallerie. Sedangkan, tangan kirinya menelusup masuk melalui sisi atas bra dan bermain dan memilin puting payudara tersebut.

“Ahhh,” lirih Vallerie.

Vallerie mengakui dengan setulus hatinya dengan pertanyaan yang Gavin katakan padanya bahwa anggota The Coast yang lain tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni akan hal ini. Vallerie diberi bukti konkret atas pernyataan itu.

“Balik badan, Vall,” perintah Gavin.

Vallerie membalikkan tubuhnya menghadap Gavin. Ia mengalungkan tangannya pada bahu lebar Gavin dan kakinya melingkar pada pinggang lelaki tampan itu. Tangan Gavin bergerak melepas kaitan bra yang melingkar pada payudaranya.

“Mphhh, Kak, ahh,” desah Vallerie.

Gavin melumat putih payudaranya secara bergantian. Secara otomatis, tangan Vallerie menekan kepala bagian kepala Gavin agar mendekap ke arahnya lebih dekat. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar sebab semua rasa nikmat ini.

Tanpa sadar, Vallerie menggoyangkan pinggulnya. Ia merasa geli di bagian selatannya. Gavin yang sedang fokus bermain dengan sepasang gunung sintal di hadapannya merasa teralihkan. Vallerie menggesek kewanitaannya pada kejantanannya.

“Nghh, Val,” ringis Gavin. “Nanti yang di bawah juga dapet giliran.”

“Enakhh, Kak,” kata Gavin.

Mengetahui Vallerie yang sudah tidak sabar, Gavin membawa tubuh Vallerie berbaring di tengah ranjang. Ia meluruhkan celana pendek beserta celana dalam miliki Vallerie. Gavin dapat melihat Vallerie dengan segera menyilangkan kakinya.

Gavin menyeringai. “Katanya mau,” ledeknya.

“Gue malu, Kak,” jawab Vallerie.

“Gue juga buka. Biar lo gak malu sendirian,” ujar lelaki tampan itu. Setelahnya, Gavin melepas sabuk hitam yang melingkari pinggangnya. “Mau pake ini gak?” tanyanya.

“Anjir, Kak,” umpat Vallerie.

Meskipun begitu, Vallerie mengulurkan kedua tangannya agar Gavin dapat mengikatnya. Gavin rekatkan sepasang lengan tangan mungil itu di kepala kasur. Gavin dapat melihat dengan jelas tubuh indah Vallerie tanpa sehelai benang pun.

“Shit, Vall.” Kali ini, Gavin yang mengumpat. “Kalau gini, gue yang kena.”

Mendengarnya, Vallerie tertawa pelan. “Silakan aja, Kak.”

“Jangan gitu,” ucap Gavin. “Nanti lo kewalahan sendiri.”

Gavin mencium bibir ranum yang menggodanya sejak dirinya memasuki kamar tidur ini. Ia kulum bibir bagian bawah milik gadis cantik itu. Gavin dibuat terkesan. Untuk ukuran permainan pertama, Vallerie melampaui ekspektasinya.

Gavin menyudahi ciumannya. “Lo beneran baru pertama kali, Vall?” tanya Gavin.

Vallerie mengangguk. “Iya, Kak. Kenapa?” balasnya dengan kembali bertanya.

“Gak apa-apa,” kata Gavin.

Selain sedikit malu bahwa Vallerie mungkin andal dalam permainan panas seperti ini, Gavin juga takut bahwa mungkin dirinya akan terjerat pesona Vallerie dan menjadikan gadis cantik itu sebagai candunya.

“Gue jago, ya, Kak,” sela Vallerie sembari tersenyum.

Mellihat senyum manis yang terpatri di wajah cantik Vallerie, Gavin menjadi salah tingkah. “Ngaco,” ucapnya sembari tertawa pelan.

Gavin kembali melanjutkan permainan. Ia memberi leher jenjang itu tanda kepemilikan khas berwarna merah keunguan membuat Vallerie tidak berhenti mengelukan namanya. Gavin sukses memberikan surga dunia padanya.

Kemudian, Gavin perlahan turun ke arah kedua payudaranya, perut ratanya, dan berakhir di area paha bagian dalamnya. Vallerie berulang kali berusaha menutup kakinya sebab rasa geli yang bercampur nikmat tetapi berulang kali juga Gavin dengan sigap mencegahnya.

“Nghhh, Kak, ahh,” desah gadis cantik itu.

Gavin menyiapkan dua jarinya untuk masuk ke dalam vagina Vallerie. Ia mengomando Vallerie untuk menjilat jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesuai dugaannya, Vallerie melakukannya dengan sangat menggoda. Gavin dibuat memuncak hasratnya.

“Kalau sakit bilang, ya, Vall,” ujar Gavin.

“Iya, Kak,” jawab Vallerie.

Gavin memasukkan dua jarinya ke dalam kewatiaan gadis cantik itu. Vallerie menggigit bibirnya saat jari-jari besar itu masuk ke dalam dirinya. Ia memejamkan matanya dengan erat. Sementara itu, Gavin memperhatikan raut wajah Vallerie dengan saksama.

“Sakit, Vall?” tanyanya.

Vallerie menggeleng. “Enggak, Kak, ahhh, lanjut aja.”

Gavin mulai mengocok jarinya di bawah sana dengan tempo pelan. Dengan gerakan sederhana seperti itu saja, Vallerie terbang menuju langit teratas. Tubuhnya menegang. Ia merasakan sensasi yang aneh pada dirinya. Pinggulnya kembali bergoyang. Vallerie jelas ingin lebih.

Gavin tersenyum menang saat mengetahui hal tersebut. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Vallerie lalu bertanya. “Mau apa, Vall?” tanyanya sensual.

“Nghh, Kak,” lirih Vallerie.

“Bilang yang jelas,” kata Gavin. “Gue gak denger.”

“Ahhh, mau pake, mphh, lidah, Kak,” pinta Vallerie.

“Mau pake lidah gue?” tanya Gavin memastikan.

Vallerie mengangguk. “Iya, Kak.”

“Mohon dulu,” kata Gavin dengan wajah yang penuh dengan keangkuhan.

Vallerie yang sedang disibukkan dengan kenikmatannya di bawah sana tiba-tiba saja dibuat memohon sebab ada permintaan yang ia ajukan kepada Gavin. Ia menduga lelaki tampan itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatannya malam ini.

Vallerie dengan susah payah mendekatkan mulutnya ke telinga kiri Gavin. Kemudian, ia berbisik, “Nghhh, Kak, please, ahh, gue mau, nghh, pake lidah lo,” ujarnya terbata-bata.

Mendengarnya, Gavin menyeringai lebar. “Bagus.”

Gavin menundukkan tubuhnya. Ia melesatkan lidahnya tanpa aba-aba ke dalam vagina Vallerie dan membuat gadis cantik itu memekik kenikmatan. Tubuh Vallerie menggeliat hebat. Kedua kakinya yang memang sudah lemas ditahan oleh Gavin di sebelah kanan dan kiri kepalanya.

“Ahhh, Kak,” lenguh Vallerie.

Benda kenyal itu terus menghujam klitorisnya. Sedangkan, kedua jari Gavin tidak ditarikanya melainkan ia masukkan lebih dalam dan menyentuh titik manisnya. Vallerie dibuat menggila oleh permainan itu sebab pemainnya, Gavin, adalah orang gila.

“Nghhh, Kak, ahh,” lirih gadis cantik itu.

Gavin merasa lubang surgawi itu sudah cukup basah untuk dimasukinya. Lalu, Gavin menegakkan tubuhnya. Ia kembali mendekatkan wajahnya pada wajah cantik Vallerie. Ia mengecup kening gadis cantik itu dalam waktu yang cukup lama.

“Gue masukin, ya?” tanya Gavin memastikan.

Vallerie tidak menjawab dengan lisannya. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Tentu saja, senyuman itu dibalas dengan senyum yang tak kalah indah. Gavin menekan perut bagian bawah Vallerie sembari perlahan memasukkan kejantanannya.

“Kalau gak tahan bilang, ya, Vall,” ujar Gavin.

“Iya, mphh, Kak,” jawab Vallerie.

Gavin sudah memasukkan penisnya setengah. Ia dapat melihat dengan jelas raut wajah Vallerie yang mengekspresikan kenikmatan. Kemudian, ia menggoyangkan pinggulnya dengan tempo pelan sembari meneroboskan lagi penisnya agar masuk dengan sempurna.

“Nghhh, Val,” lirih Gavin.

Akhirnya, hasratnya yang memuncak terbayarkan juga sejak Gavin memangku Vallerie dan gadis cantik itu dengan tidak sengaja, atau sengaja, menggoda kejantannya tadi. Menurut Gavin, Vallerie sangat pantas untuk dinikmati.

Di dalam hatinya, masih ada rasa ketidakpercayaan pada Vallerie bahwa ini kali pertamanya melakukan hubungan seksual. Vallerie yang hanya bermodalkan video porno mampu menyambut permainannya dengan baik.

“Ahhh, Kak, cepetin lagihh,” pinta Vallerie.

Sesuai dengan ultimatum yang ada, Gavin menambah tempo gempurannya. Ranjang yang mereka tumpangi berdua mendecit dengan kencang seolah menjadi saksi bisu permainan panas di malam hari ini.

Vallerie sangat puas dengan pelayanan Gavin. Ia banyak meminta di dalam permainan ini tetapi Gavin mampu memberikan persis apa yang diinginkannya. Pada permainan kali ini, keduanya sama-sama diuntungkan.

“Nghh, hentakkin lagi, ahhh, Kak,” pinta Vallerie lagi.

Tanpa mengurangi kecepatannya, Gavin mengeraskan gempurannya hingga penisnya menabrak dinding rahim gadis cantik itu. Baik Gavin dan Vallerie menengadahkan kepala mereka ke arah langit-langit sebab rasa nikmat yang menjalar.

Permainan panas itu dibumbui dengan gerakannya yang cukup kasar. Namun, keduanya menikmati kebrutalan itu dengan senang hati. Bahkan, sebentar lagi, salah satu dari mereka akan menjemput pelepasannya.

“Ahhh, Kak, gue mau, mphh keluar,” ujar Vallerie susah payah.

Benar saja, beberapa detik setelahnya, Vallerie merasakan titik ternikmatnya yang pertama bersama laki-laki. Apabila biasanya Vallerie berusaha memuaskan dirinya sendiri tetapi kali ini Gavin ada untuk menemaninya.

“Ahh!” pekik Vallerie saat mencapai titik ternikmatnya.

“Nghh, gue bentar lagi, mphhh, Vall,” jelas Gavin.

Gavin yang sebentar lagi akan mencapai pelepasannya bergerak semakin kasar. Ia memeluk tubuh Vallerie untuk kemudian mengulum puting payudaranya secara bergantian. Vallerie yang merasa dinikmati seperti itu menjadi terangsang lagi.

“Ahhh, gue jadi mau, nghh, keluar lagi, Kak,” ucap Vallerie.

“Keluarin aja, Vall,” balas lelaki tampan itu.

Vallerie memeluk erat tubuh atletis yang berada di atasnya. Gavin benar. Vallerie sebaiknya tidak bermain-main dengan lelaki tampan ini. Ia dapat merasakan pinggulnya yang hampir lepas sebab permainan brutal ini.

“Ahh, Kak!” Vallerie mendapatkan pencapaiannya yang kedua.

Sementara itu, Gavin mencabut penisnya dari bawah sana. Ia arahkan kejantannya yang menegang sempurna itu ke wajah cantik Vallerie. Sepersekian detik kemudian, cairan putih yang kenal membanjiri wajah gadis cantik itu.

“Akh!” pekik Gavin yang diburu napas.

Gavin merebahkan tubuhnya di sebelah Vallerie. Di atas ranjang berukuran sedang itu, baik Gavin maupun Vallerie sama-sama mengatur napas mereka. Keduanya memandang ke arah langit-langit kamar yang dihiasi lampu berwarna putih hangat.

“Thanks, Vall,” ucap Gavin membuka suara.

“Harusnya gue yang bilang makasih ke lo, Kak,” sahut Vallerie.

“Lo mainnya hebat,” puji lelaki tampan itu.

Vallerie tersenyum sumringah. “Iya, ya?” katanya. “Kalau gitu peluk dong,” sambung gadis cantik itu.

Mendengar permintaan tersebut, Gavin menarik Vallerie untuk masuk ke dalam pelukannya. Ia juga menyampirkan selimut untuk menutupi tubuh mereka yang polos bak bayi. Gavin mengusap punggung dan kepala bagian belakang Vallerie secara bergantian.

“Lo banyak request, ya, Vall,” ledek Gavin.

“Ya, lo-nya juga mau aja, Kak,” balas Vallerie.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan di antara keduanya. Gavin dan Vallerie menikmati atmosfer yang melingkupi mereka. Gavin dapat mendengar napas Vallerie yang mulai teratur dan sebaliknya.

“Gue takut, Kak,” kata gadis cantik itu tiba-tiba.

“Takut kenapa, Vall?” tanya Gavin.

“Takut ketauan Bang Paldi,” ucap Vallerie.

“‘Kan udah gue bilang itu urusan gue,” ujar Gavin. “Lo gak usah khawatir,” lanjutnya.

Di tengah-tengah percakapan dengan topik yang lagi-lagi cukup serius dan menyita tenaga itu, tiba-tiba saja jam kuno yang berada di ruang tamu rumah Vallerie berdenting kencang. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Gavin bankit dari posisinya.

“Mau ke mana, Kak?” tanya Vallerie yang ikut duduk di atas ranjangnya. “Gue mau mandi,” jawab Gavin. “Mau ikut?” tanyanya.

Vallerie menyibakkan rambut panjangnya ke arah belakang. Lalu, ia menggeleng. “Lo duluan deh, Kak,” katanya. “Kaki gue masih sakit.”

Gavin tertawa. “Katanya ‘silakan aja’ tapi baru gitu aja udah sakit,” ledeknya.

Vallerie mengambil bantal yang ada di sebelahnya dan melemparkannya ke arah Gavin. “Dih!”

Gavin berjalan kembali mendekati Vallerie. Ia kecup kening gadis cantik itu dan berkata, “Aku mandi dulu, ya, Sayang.”

Gauri memeluk dirinya sendiri di atas sofa sembari menyaksikan film komedi romantis yang terputar di televisinya. Ia menghela napas seiring kehadiran sahabatnya, Raiya, yang tidak kunjung datang.

“Raiya lama amat sih. Gue udah laper banget,” keluhnya.

Gauri meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja di depannya. Ia hendak mengetik beberapa pesan yang mengandung kalimat protes kepada sahabatnya itu kala bel pintu unitnya berdering. Gauri pun melompat dari posisi duduknya.

“Asik!” pekiknya.

Gauri kira yang memencet bel pintu unitnya adalah Raiya. Namun, saat gadis cantik itu membuka pintu apartemennya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah sang mantan pacar, Gasendra, yang berdiri tegap sembari menenteng plastik makanan dan sekantung obat.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Gauri heran.

Gasendra mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan plastik jinjingan yang dibawanya. “Katanya kamu laper,” jawabnya.

“Kata siapa?” balas Gauri dengan kembali bertanya.

“Kata Raiya,” singkat Gasendra.

Gauri menolehkan pandangannya. Ia mengumpat dalam diam. Akan lebih baik apabila dirinya harus keluar dari unit apartemennya dan membeli makanannya sendiri dibanding Gasendra yang menghampirinya dengan berbagai macam makanan dan obat.

“Sialan, Raiya,” umpat Gauri. “Kalau gini gimana gue mau move on.”

“Aku… boleh masuk?” tanya Gasendra hati-hati.

Gauri sempat mematung sebelum kepalanya mengangguk beberapa kali. Ia menepikan tubuhnya agar Gasendra dapat melengang masuk ke dalam kediamannya. Di dalam sana, Gasendra meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan.

“Kamu sakit apa, Gar?” tanya Gasendra yang sibuk meraih cangkir minuman pada rak di atas bak pencuci piringnya.

“Cuma gak enak badan aja,” jawab Gauri.

Gasendra mengangguk paham. Di satu sisi, Gauri dengan susah payah ingin meraih dua buah cangkir. Kaki pendeknya berusaha menjangkau ketinggi. Di sisi lain, Gasendra yang menyaksikan adegan itu hanya dapat menahan tawanya.

“Susah, ya, Gar? Sini aku bantuin,” kata lelaki tampan itu.

Dengan sigap, Gasendra berjalan mendekati Gauri. Dari arah belakang, Gasendra membantu mantan kekasihnya itu untuk mengambil cangkir. Mari salahkan Raiya yang meletakkan gelas dan cangkir di atas sana.

“Nih,” ucap Gasendra sembari memberikan dua buah cangkir berwarna putih.

“Makasih,” balas Gauri. “Raiya tuh yang tarok gelasnya tinggi banget.”

Gasendra terkekeh. Tanpa sadar, tangannya mengusak pucuk kepada Gauri. “Iya, sama-sama, Gauri.”

Setelahnya, Gasendra kembali ke meja makan untuk menyiapkan makanan. Sedangkan, Gauri menyeduh es kopi hitam untuk Gasendra dan es teh manis untuk dirinya sendiri dan kemudian menyusul Gasendra di meja makan.

“Kamu minum es, Gar?” tanya Gasendra yang melihat Gauri menyesap es teh manis buatannya.

Gauri mengangguk. “Iya.”

Dengan cepat, Gasendra mengambil cangkir yang berisikan es teh manis itu. Lalu, ia bangkit untuk mengambil gelas lain. “Kamu kalau lagi demam, jangan minum es dulu. Nanti sakitnya tambah parah. Tenggorokan kamu juga lebih sensitif kalau lagi sakit. Nanti yang ada kamu malah radang,” jelas lelaki tampan itu.

Gauri tertegun mendengar celotehan Gasendra yang melarang dirinya untuk minum es di kala sakit. Dalam diamnya, gadis cantik itu tersenyum. Gasendra benar-benar masih mengingat semua hal, dari besar sampai yang kecil, tentang dirinya.

“Minum air hangat aja, ya, Gar,” ujar Gasendra sembari memberikan gelas baru berisikan air hangat untuk mantan kekasihnya.

“Iya. Makasih lagi, ya, Sen,” ucap Gauri.

“Iya, sama-sama lagi. Sekarang makan dulu,” kata Gasendra.

Entah apa yang merasuki Gauri, ia langsung melahap makanan yang Gasendra siapkan untuknya. Saat bertemu dengan Gasendra, Gauri tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit. Justru, semangatnya kembali dengan cepat.

Selama Gauri sedang makan, Gasendra memperhatikannya dengan saksama. Sesekali, lelaki tampan itu tertawa. Ia sangat suka bagaimana Gauri melahap semua makanan yang dibawakannya tanpa tersisa.

“Pelan-pelan aja makannya, Gar. Makanannya gak akan ke mana-maka kok,” guyon Gasendra sembari mengusap sebelah bahu sempit Gauri.

Gauri yang diperlakukan seperti itu hanya mengangguk. “Iya, Gasendra.”

Tanpa terasa, sang fajar sudah tergantikan dengan sang senja. Cahaya yang didominasi dengan warna oranye kekuningan menembus masuk lewat celah jendela di ruang televisi di apartemen itu. Gauri sedang mencuci piring dan Gasendra sedang mengelap meja makan.

“Kamu udah makan, Sen?” tanya Gauri tanpa menolehkan pandangannya.

“Udah,” jawab Gasendra. “Kenapa?”

“Ya, gak apa-apa sih, cuma nanya aja. Takutnya kamu bawain aku makanan tapi kamu sendiri belum makan,” jelas Gauri.

Gasendra tersenyum dan pergerakannya berhenti sesaat. “Udah kok, Gar,” ucapnya. “Kamu gak usah khawatir.”

Setelahnya, Gauri bersantai pada sofa yang terletak di ruang televisi, tempatnya menunggu Raiya tadi. Gauri menyetel film komedi romantis yang sempat tertunda tadi. Ia menyampirkan dirinya dengan selimut yang ia bawa dari kamarnya.

“Kamu udah mendingan, Gar?” tanya Gasendra yang baru keluar dari kamar mandi.

“Kayaknya—” Belum sempat Gauri menyelesaikan kalimat. Gasendra sudah lebih dulu muncul di hadapannya.

Dengan jarak yang hanya terpaut beberapa senti, Gasendra mendekatkan wajahnya pada wajah cantik Gauri. Ia menempelkan punggung tangannya pada kening sang gadis. Ia tersenyum saat mengetahui tubuh Gauri sudah dalam keadaan suhu normal.

“Udah turun panasnya,” ujarnya sembari tersenyum. “Kamu udah sehat.”

Gauri yang awalnya membeku pada posisinya kini mulai sadar. Ia menyingkirkan tangan besar yang ada pada keningnya. “I-Iya.”

Lalu, Gasendra mendudukkan dirinya di sebelah Gauri. “Ternyata kamu cuma butuh makan,” katanya bercanda.

Selepasnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara mereka. Gasendra dan Gauri sama-sama sibuk menikmati film yang ada di televisi. Mereka tertawa dan mencela adegan cringe yang muncul dari film.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Matahari sudah lama mengistirahatkan dirinya. Sekarang, hanya purnama yang bertengger di khatulistiwa. Gasendra hendak mengambil kunci mobilnya yang tergantung di samping pintu keluar.

“Sen,” panggil Gauri.

“Iya, Gar?” balas Gasendra.

“Mau pulang, ya?” tanyanya.

Gasendra mengangguk. “Iya,” katanya. “Kamu ada butuh sesuatu lagi?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Gauri hanya bergumam sendiri sembari mengusap tengkuknya secara canggung. Gasendra yang memperhatikan tingkah aneh itu hanya terkekeh. Ia mungkin tahu bahwa Gauri ingin dirinya tinggal lebih lama.

“Gar.” Kali ini, Gasendra yang memanggil nama mantan kekasihnya.

“Iya?” sahut Gauri seraya mengangkat pandangannya agar dapat menatap langsung ke arah Gasendra.

“Di tempat tinggal baru aku, penghuni gak boleh keluar-masuk di atas jam 12 malem. Aku lupa kalau ini udah jam 11. Sedangkan, perjalanan aku dari sini ke sana hampir satu jam dan kemungkinan aku gak dikasih akses masuk. Jadi—” Gasendra belum sempat merampungkan penjelasannya tetapi Gauri sudah menyela terlebih dahulu.

“Kamu boleh kok kalau mau tidur di sini,” tawar gadis cantik itu.

Gasendra mengembalikan kunci mobilnya pada gantungan di samping pintu keluar. “Beneran?”

Gauri mengangguk. “Ya, aku gak enak juga sama kamu. ‘Kan kamu udah bawain makan sama obat untuk aku. Seenggaknya… aku bisa bales dengan ngasih kamu tempat untuk nginap,” katanya.

Gasendra tersenyum. “Makasih, ya, Gar.”

“Iya. Aku ambil selimut sama bantal dulu, ya.” Gauri berjalan ke arah kamar tidurnya. “Kamu gak apa-apa ‘kan tidur di sofa?” tanyanya dari dalam kamar.

“Iya, gak apa-apa kok,” jawab Gasendra.

Kemudian, Gauri keluar dari kamarnya dengan menenteng satu buah bantal dan selimut bergambar rubah merah lalu memberikannya kepada Gasendra. Setelahnya, ia pamit untuk tidur.

Di dalam kamarnya, Gauri merebahkan dirinya di atas ranjang. Sebelah tangannya ia gunakan sebagai bantal dan sebelahnya lagi digunakan untuk menutupi matanya dari sinar lampu yang berusaha menerobos masuk ke dalam matanya.

“Sen,” gumam Gauri. Ia bangkit dari posisi berbaringnya. “Sumpah gue gak bisa tidur,” ucapnya. “Ya, gimana gue bisa tidur kalau ada Gasendra di sini.”

Di sisi lain, Gasendra yang sedang menyandarkan tubuhnya sembari menatap kosong pada hitamnya layar televisi tiba-tiba saja mengusap wajahnya secara kasar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Gue ngapain sih pake bohong segala ke Gauri,” monolognya.

Tak lama kemudian, suara decit pintu yang terbuka mengalihkan lamunan Gasendra. Itu Gauri. Keduanya sempat bertukar pandang sebelum Gauri berjalan mendekat ke arahnya. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Gasendra.

“Kenapa, Sen? Ada yang sakit?” tanya Gasendra.

Gauri menggeleng. “Enggak,” jawabnya. “Aku gak bisa tidur.”

Sejenak, Gasendra berpikir. “Kamu mau nonton dulu? Biasanya kamu kalau gak bisa tidur harus nonton sesuatu dulu.”

Dan lagi, Gasendra masih mengingat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh mantan pacarnya. Tidak ingin munafik, Gauri senang akan hal itu. Ia pun menyetujui ajakan dari Gasendra.

Gauri mengangguk sekali. “Tapi nonton horor, ya,” pinta gadis cantik itu.

“Boleh. Apa aja yang penting kamu bisa tidur,” katanya.

Akhirnya, Gasendra menyetel film horor untuk disaksikan bersama. Pada beberapa menit pertama, semuanya berjalan seperti biasa. Belum ada adegan menegangkan ataupun mengagetkan yang berpotensi membuat jantung keduanya meledak.

“Gar,” panggil Gasendra tiba-tiba.

Merasa Gasendra memanggil namanya, Gauri menoleh. “Iya, Sen?”

“Mau gabung di selimut… bareng aku?” tanyanya hati-hati.

Gauri yang sedikit merasa kedinginan dan mengingat dirinya belum sembuh total dari demamnya menerima tawaran tersebut. “Boleh.”

Gasendra mendekatkan dirinya pada Gauri. Ia membiarkan gadis cantik itu untuk masuk ke dalam sampiran selimut bersamanya. Gasendra dan Gauri mengatur posisi duduk masing-masing agar nyaman di dalam sana.

Film horor terus berlanjut. Gauri fokus dengan alur cerita seru yang ditampilkan di film itu. Sedangkan, Gasendra hanya dapat fokus pada gadis cantik yang duduk di dalam naungan selimut di sampingnya.

Dengan niat yang disengaja atau tidak, Gasendra meregangkan sebelah lengannya lalu meletakkan di kepala sofa tepat di belakang tubuh Gauri. Dan dengan pergerakan yang disengaja atau tidak, Gauri merebahkan sedikit tubuhnya pada rangkulan itu.

Gasendra beredehem pelan. “Kamu suka film-nya, Gar?” tanyanya.

“Ya, lumyan sih,” jawab Gauri.

Gasendra hanya mengangguk paham. “Gak takut?” tanya lelaki tampan itu lagi.

“Enggak,” katanya.

Tepat setelah Gauri menutup mulutnya. Adegan inti dari film horor tersebut muncul. Manusia jerami yang diyakini mempunyai kekuatan magis berlari mengejar anak laki-laki yang suka membuat rusuh di ladangnya.

Gauri berteriak dengan kencang sehingga dapat memekakkan telinga siapa saja, termasuk Gasendra. Ia menyembunyikan dirinya di dalam dekapan lelaki tampan yang duduk di sampingnya. Dengan refleks yang bagus, Gasendra memeluknya.

“Katanya gak takut, Gar,” ledek Gasendra.

“Ya, emang. Cuma ngangetin aja,” elak Gauri.

Film tetap berlanjut setelahnya. Adegan seram lainnya mulai mengikuti. Semua cerita seram tentang manusia jerami yang ada di dalam buku tersebut satu per satu mulai terjadi secara natural. Namun, ada satu adegan yang menganggu keduanya.

“Mereka make out di ladang?” pekik Gauri.

Gasendra membuang pandangannya. Entah apa yang dipikirkan oleh penulis dari film horor ini. Bagaimana bisa dia menyelipkan adegan seperti ini di dalam film horor yang banyak memakan korban jiwa.

Ternyata, adegan itu digunakan untuk memancing adegan lain. Manusia jerami yang menyaksikan kejadian menjijikan itu secara langsung murka besar. Ia mengutuk sepasang kekasih itu menjadi manusia jerami juga. Lalu, tulisan ‘The End’ muncul di layar televisi.

“Udah?!” pekik Gauri lagi. “Gini doang?!”

“Emangnya kamu maunya gimana?” tanya Gasendra

“Ya, minimal ada yang happily ever after-lah. Ini mah enggak, pemerannya meninggal semua,” jelas gadis cantik itu.

“Enggak,” sahut Gasendra. “Itu ada yang dikutuk jadi manusia jerami.”

“Ya, itu berarti mereka gak bisa lagi menjalani hidup sebagai manusia lagi alias meninggal,” ujar Gauri.

“Gar, kamu tau gak ada pesan moral di dalam film itu?” tanya Gasendra serius.

“Emang ada?” Apa?” balas Gauri dengan kembali bertanya.

“Ada.” Gasendra mendekatkan wajahnya ke arah wajah cantik Gauri. “Pesan moralnya itu kita gak boleh make out di tempat terbuka, apalagi di tempat orang lain,” jelasnya sembari menjawir hidung mantan kekasihnya.

“Astaga. Aku kira apaan,” ketus Gauri. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

Mendengarnya, Gasendra tertawa. “Kenapa protes? Gak sesuai ekspektasi kamu, ya?”

“Enggak. Aku aja yang berharapnya ketinggian,” jawab Gauri.

Masih di tempat yang sama, Gasendra memandangi Gauri tiada henti. Ia suka bagaimana Gauri dengan gemasnya merasa kesal karena akhir film yang terlalu menggantung. Tanpa disadari, tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Gauri.

Merasa ada tangan besar yang menginterupsi sesi protesnya, Gauri menolehkan pandangannya. Ia cukup terkejut sebab pemandangan yang ia temukan adalah rangka wajah yang tegas dan tampan serta sepasang manik yang serupa legamnya malam sedang menatap ke arahnya.

“Cantik,” ucap Gasendra.

Mendengar ada kata sanjungan yang ditujukan untuknya, jantung Gauri berdegup seribu kali lebih kencang. Tubuhnya kembali menghangat tetapi bukan karena sakit. Entah ini imajinasinya atau bukan, ia melihat Gasendra terus memandang ke arah bibirnya.

“Sen,” panggil Gauri.

“Sorry, Gar, tapi aku gak tahan,” ujar Gasendra.

Selanjutnya, yang terjadi adalah Gasendra mencium bibir Gauri tanpa aba-aba. Tangan besarnya yang merangkul tubuh mungil gadis cantik itu bergerak naik lalu menekan tengkuk Gauri agar menciumnya lebih dalam.

Gauri yang dicium tiba-tiba seperti itu tidak dapat berbuat banyak. Sepasang maniknya membulat sempurna. Ia membeku di tempat sembari merasakan bibir Gasendra dengan ganas menjamah bibirnya.

Kemudian, Gauri mendorong tubuh besar yang memeluknya itu. “Aku… gak bisa… napas,” katanya terbata.

Gasendra menyeringai. Ia mengusap bibirnya yang dipenuhi dengan saliva mantan pacarnya. “Aku terlalu agresif, ya?” godanya.

“Emangnya kamu gak napas, ya, tadi? Lama banget,” keluh Gauri.

Gasendra tertawa pelan sebab Gauri tidak mempermasalahkan kenapa ia menciumnya. “Oke. Aku mainnya pelan aja.”

Gasendra memandangi anugerah paling indah yang pernah ia temui. Perlahan, wajah tampan itu mendekat lagi kepada wajah yang lebih cantik. Gauri lebih dahulu memejamkan matanya lalu diikuti oleh Gasendra.

Ciuman kembali terjadi tetapi yang kali ini lebih khidmat dan tidak hanya satu arah saja. Gasendra menangkup sebelah pipi Gauri. Sedangkan, Gauri mengalungkan lengannya pada bahu lebar Gasendra.

Entah sudah berapa kali kepala mereka berubah arah dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Bersamaan dengan televisi yang menampilkan daftar nama terakhir dari film horor tadi, ciuman itu tetap berjalan sebagaimana mestinya.

“Mphhh,” lenguh Gauri saat Gasendra menggigit bibirnya.

Ciuman itu terus membawa atmosfer yang semakin panas. Gerakan yang mereka lakukan pun menunjukkan keinginan untuk melakukan hal yang lebih dari ini. Setelah beberapa menit, ciuman itu berakhir.

Gasendra tertawa pelan. “Aku gak tau kamu sehebat ini,” pujinya.

Gauri menyeringai. “Makanya aku kasih tau sekarang,” jawabnya tidak mau kalah.

Kemudian, Gasendra memandu Gauri agar berbaring bersama di atas sofa. Di dalam balutan selimut itu, Gasendra memeluk mantan kekasihnya dari belakang. Pada beberapa area di sekitar leher yang sudah terekspos, ia memberikan kecupan hangat.

“Nghh, ahhh,” lirih Gauri.

Gauri suka bagaimana suhu hangat dari bibir Gasendra menjadi satu dengan angin dingin yang dihembuskan pendingin ruangannya. Tubuhnya tidak dapat berhenti bergerak sebab rasa geli yang menjalar.

Dengan inisiatif, tangan besar Gasendra bergerak mengusap perut rata Gauri. Lagi, sensasi hangat itu membangkitkan hasratnya. Tubuhnya bergerak lebih brutal sehingga menggesek kejantanan Gasendra.

“Ahhh, Sen,” desahnya.

“Lagi?” tanya Gasendra.

“Nghh, iya,” jawab Gauri tanpa ragu.

“Aku lepas, ya, bajunya?” tanyanya meminta izin.

“Iya,” jawab Gauri lagi.

Gasendra membantu Gauri untuk melepaskan pakaiannya. Dibuangnya kaos hitam itu ke sembarang arah. Kemudian, tangan besar itu bergerak menelusup ke arah payudara yang masih terlindungi oleh bra berwarna biru dongker.

“Ahh, Sen,” lirih Gauri saat Gasendra memilin ujung putingnya.

“Enak, Gar?” tanya Gasendra sensual.

“Mphh, iya,” jawab Gauri tertahan sebab ia menggigit bibirnya.

Tidak dapat dipungkiri, Gauri sangat suka bagaimana Gasendra melecehkannya. Gerakan tangan besar itu sangat andal sehingga membuat Gauri terbang ke angkasa. Ada rasa geli yang muncul di bagian selatannya.

Seolah menjawab suara hati gadis cantik itu, Gasendra menjalarkan tangan kirinya ke arah kewanitaan sang gadis. Diusapnya lubang surgawi itu dari luar pakaian dalam yang sudah lembap dibuatnya.

Gasendra menyeringai. “Udah basah, ya.”

Gauri yang merasa kegelian terus meghentak-hentakkan bokongnya ke arah penis mantan kekasihnya. Tentunya, hal itu membuat Gasendra merasa kewalahan. Ia menggeram rendah sebab kejantanannya yang hampir menegang sempurna.

“Nghhh, Sen, mau,” ujar Gauri.

“Mau apa, Cantik? Ngomong yang jelas,” perintah Gasendra.

“Mau, ahhh, kamu,” jawab Gauri terbata.

“Mau aku? Mau dimasukkin?” tanya Gasendra meyakinkan gadisnya.

Gauri mengangguk beberapa kali. “Nghh, iya.”

Dengan begitu, Gasendra melepaskan semua pakaian yang masih menempel pada tubuh mungil Gauri untuk kemudian melakukan hal yang sama pada dirinya. Gasendra kembali menyampirkan selimut tebal itu pada tubuh mereka yang polos.

Masih dengan posisi yang sama, Gasendra memeluk Gauri dari belakang. Tangan besarnya tidak lelah untuk memainkan puting payudara yang mencuat sempurna itu. Lalu, penisnya ia gesekkan pada vagina Gauri yang mulai terlumasi.

“Kalau sakit bilang aja, ya, Gar,” ujar Gasendra.

Perlahan, Gasendra memasukkan kejantanannya pada lubang kecil di bawah sana. Keduanya sama-sama mendesah saat kulit mereka bertemu satu sama lain. Gauri memeluk erat bantal yang di dalam dekapannya.

“Ahhh, Sen, ahh,” lenguh Gauri.

“Mphh, Gar, sempit,” kata Gasendra.

Tidak putus asa, Gasendra terus meneroboskan masuk penisnya ke dalam vagina Gauri. Ia juga mulai bergerak maju dan mundur dengan tempo pelan. Hanya dengan gerakan seperti itu saja, keduanya seolah merasakan surga dunia.

“Nghhh, Sen, cepetin,” pinta Gauri.

Gasendra pun mempercepat tempo gempurannya. Tidak ingin kalah, Gauri juga ikut menggoyangkan pinggulnya. Keduanya dapat merasakan bagaimana kepala penis itu menabrak ujung dinding rahim tersebut.

“Nghhh, Gar.” Gasendra mendesahkan nama mantan kekasihnya.

“Ahhh, Sen, enak,” puji Gauri.

Di malam yang hampir berganti hari itu, Gasendra dan Gauri menciptakan permainan panas untuk merasakan nikmat satu sama lain. Siapa yang akan menyangka? Bahwa sepasang mantan kekasih itu mungkin akan kembali berhubungan setelah ini.

Permainan terus berjalan. Suasana panas yang memenuhi ruang televisi, decitan kaki sofa yang berusaha keras untuk bertahan, serta suara desahan yang mengelukan satu sama lain menjadi saksi keintiman keduanya.

“Ahh, kerasin, Sen,” pinta Gauri lagi.

Tanpa menurunkan temponya, Gasendra menggempur Gauri tiga kali lebih keras dari sebelumnya. Tidak sampai di situ saja, ibu jari dari tangan besar itu menjamah klitoris sang gadis lalu menari di sana.

“Nghhh, ahh, Sen,” desah Gauri kenikmatan. “Aku, nghh, mau keluar,” katanya.

“Aku, mphh, juga,” sahut Gasendra.

Benar saja. Tak lama setelahnya, Gauri mencapai menjemput pelepasannya. Tubuhnya menggelinjang hebat. Sepasang maniknya memejam. Tangannya meremat bantal yang ada di depannya.

“Ahhh!” pekik Gauri.

Setelah mengetahui Gauri sudah mencapai klimaksnya, Gasendra dengan cepat mencabut penisnya dari dalam vagina gadisnya. Ia menyuruh Gauri untuk berbalik dan menghadap dirinya. Tepat setelahnya, Gasendra menyemburkan sperma hangatnya.

“Akhh!” pekik Gasendra.

Gasendra dan Gauri sudah mencapai titik ternikmat dari permainan panas tersebut. Keduanya diam untuk mengatur napas dan memasuk oksigen agar masuk ke paru-paru keduanya. Dengan tubuh yang dibanjiri keringat, mereka masih berpelukan di bawah naungan selimut.

“Kamu hebat mainnya,” puji Gasendra.

Mendengarnya, Gauri terkekeh. “Makasih. Kamu juga. Gak banyak loh laki-laki yang tau gimana cara memuaskan pasangannya.”

“Iya, ya,” balas Gasendra. “Kalau aku gak hebat, kamu gak mungkin sampe keenakan gitu.”

“Dih! Malah jadi narcissistic,” protes gadis cantik itu.

Selepas permainan panas itu, keduanya saling bertukar pandang dan cerita. Setelah beberapa hari menjalani hari tanpa satu sama lain, banyak hal yang terjadi. Semalam hanyalah waktu yang sebentar untuk menceritakan semuanya.

Gasendra dan Gauri baru selesai bercerita dan membersihkan diri saat mentari menyambut fajar. Gauri mengajak Gasendra untuk beristirahat di dalam kamar tidurnya. Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang.

Gauri mengerjapkan matanya beberapa kali. Kala membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Gasendra yang masih tertidur dengan lelap. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Wajahnya tidak terlihat baik.

Dengan inisiatif, Gauri menempelkan punggung tangannya pada kening Gasendra. Dan benar saja. Demamnya kemarin ternyata berpindah kepada lelaki tampan itu. Gauri tersenyum pilu mengetahui hal tersebut.

“Demamnya malah pindah ke kamu, Sen,” gumamnya.

Gauri bangkit dari tempat tidurnya untuk menyiapkan makan dan obat untuk Gasendra. Selagi Gauri sibuk memasak bubur di dapur, Gasendra baru sadar dari tidurnya. Tangannya bergerak ke arah kiri untuk memeriksa keadaan Gauri.

“Gar,” panggil Gasendra.

“Eh, Sen. Kamu udah bangun?” tanya Gauri yang baru masuk ke dalam kamar sembari membawa nampan berisikan semangkuk bubur, segelas air putih hangat, serta obat penurun panas.

“Kamu bangun jam berapa?” tanya Gasendra menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang.

“Jam 1 tadi,” jawabnya. “Kamu demam, Sen.”

“Emang iya?” balas Gasendra dengan kembali bertanya. “Pantes kepala aku agak pusing.”

Gauri menyerahkan nampan kayu yang di bawanya kepada Gasendra. “Nih, dimakan dulu. Abis itu minum obatnya.”

Melihat tingkah perhatian yang Gauri lakukan padanya, Gasendra menarik sebelah lengan kurus gadis cantik itu. “Makasih, ya, Cantik.” Lalu, ia mengecup pelan kening Gauri.

Gauri tersenyum. “Demamnya malah pindah ke kamu sekarang,” ujarnya.

Gasendra ikut tersenyum. “Gak apa-apa, Gar,” jawabnya. “Oh, iya. Aku lupa sesuatu.”

“Apa?” tanya gadis cantik itu penasaran.

Gasendra menangkup sebelah pipi Gauri lalu menariknya untuk menerima sebuah ciuman. “Ini,” katanya setelah menyudahi ciuman itu.

“Cium?” tanya Gauri lagi.

Gasendra menggeleng. “Enggak. Jadi pacar aku lagi, ya.”

Matahari terbit dari ufuk timur. Cahayanya yang terang diam-diam menyelinap melalui celah gorden yang tertutup. Karamelia mengerjap beberapa kali kala benderang itu memaksa masuk ke dalam maniknya. Akhirnya, sang raja hari menang dan wanita cantik itu terpaksa membuka matanya.

Karamelia terrsenyum saat pemandangan yang pertama kali tampak pada penglihatannya adalah sang suami dan buah hatinya yang masih tertidur pulas. Ia terkekeh kecil. Perlahan tapi pasti, Karamelia mengusap pipi suaminya dan anaknya secara bergantian. Simpul manis yang ada di wajahnya kian mengembang.

“Lucu banget sih anak Mama,” monolognya.

“Akunya gak lucu?” tanya Agraziel dengan suara beratnya.

“Kamu udah bangun, Ga?” balas Karamelia dengan kembali bertanya.

Agraziel mengangguk sekali. “Kamu kok udah bangun?” tanya sang suami lagi.

“Ini udah pagi. Aku harus bangun,” jawab wanita cantik itu.

Agraziel menangkup sebelah tangan sang istri untuk kemudian ia usap punggung tangan lembut itu. “Tidur lagi aja. Kamu ‘kan baru tidur jam 3 pagi,” ujarnya.

Bukannya menurut apa kata sang suami, Karamelia malah bangkit lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. “Aku gak apa-apa, Ga. Aku udah gak ngantuk.”

Mendengarnya, Agraziel berdecak. “Kamu kalo dibilangin bandel, gak pernah mau denger,” protesnya.

Karamelia hanya tertawa kecil menanggapi ucapan sang suami. Kemudian, sepasang maniknya tertuju pada bayi perempuan yang berbaring di antara dirinya dan juga Agraziel. Lagi, wanita cantik itu tersenyum. Sementara itu, Agraziel memerhatikan sang istri dan anaknya secara bergantian.

“Cantik, ya, anakku,” ujar Karamelia.

“Anak kita,” sahut Agraziel. “Buatnya ‘kan bareng.”

Selepasnya, Agraziel memiringkan tubuhnya agar menghadap langsung pada sang buah hati. Diusapnya perut buncit bayi berumur tujuh bulan itu. Karamelia benar. Sepanjang hidupnya, bayi perempuan kedua inilah yang paling cantik yang pernah Agraziel temui karena yang pertama adalah Karamelia kecil.

“Kamu ngerasa gak sih, Ga? Kalo sebenernya Aine itu lebih mirip sama aku,” ucap Karamelia tiba-tiba.

“Enggak,” jawab Agraziel singkat. “Lebih mirip sama aku.”

“Lebih mirip sama aku tau.” Karamelia tidak mau kalah.

“Dari awal Aine lahir juga semua orang yang jenguk kita di rumah sakit bilangnya Aine mirip sama aku,” balas Agraziel.

Karamelia mengerucutkan bibirnya. Ia sebenarnya ingin menyangkal fakta yang satu ini tetapi secara kesuluruhan Aine memang sangat mirip dengan sang suami, mulai dari hidung, mata, warna kulit, sampai senyum manis yang terpatri di wajah cantiknya. Aine adalah Agraziel dalam persona perempuan.

“Aine cuma ngontrak di perut kamu,” ledek Agraziel.

“Dih!” Karamelia memukul pelan lengan suaminya.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara sepasang suami itu. Keduanya sibuk memusatkan atensi mereka pada anugerah indah yang Tuhan berikan tepat setelah perayaan satu tahun pernikahan. Aine adalah hadiah terindah yang Agraziel dan Karamelia terima pada hari jadi mereka.

“Aine lucu banget,” kata wanita cantik itu.

“Iya dong. Anakku,” ujar Agraziel.

“Anak kita,” ketus Karamelia.

“Iya, anak kita,” pasrah lelaki manis itu.

Karamelia sempat diam sejenak sebelum kalimat yang keluar dari mulutnya mengejutkan sanubari sang suami. “Jadi pengen punya lagi deh.”

“Hah?!” pekik sang suami sembari bangkit dari posisi berbaringnya. “Apanya yang pengen punya lagi?” tanyanya tak santai.

Sebab suara bising yang dihasilkan Agraziel, Aine ikut terkejut. Bayi perempuan itu bangun dan langsung mengeluarkan kata-kata mutiaranya dalam bentuk tangisan. Dengan sigap, Karamelia menggendong Aine agar masuk ke dalam dekapannya. Ia menepuk pelan bokong bayi kecil itu.

“Agra, pelan-pelan dong ngomongnya. Anaknya jadi bangun ‘kan,” oceh sang istri.

Agraziel mengusap tengkuknya canggung. “Lagian kamu ngomongnya ada-ada aja. Bikin aku jantungan tau gak.”

Aine mulai tenang setelah diberikan susu yang langsung dari sumbernya. “Aku ‘kan cuma bilang Aine lucu.”

“Bukan itu. Kalimat setelahnya,” ucap sang suami.

“Oh,” singkat Karamelia. “Yang aku bilang mau punya lagi. Emangnya kenapa sih? Anak bayi ‘kan lucu,” lanjutnya.

Agraziel menghela napas panjang sebelum dirinya merangkak mendekat ke arah sang istri. Ia tatap satu per satu dua perempuan cantik yang paling ia sayangi setelah Mama dan Mami. “Iya, aku tau. Anak bayi tuh pasti lucu, apalagi Aine.”

“Iya ‘kan. Aku gak salah dong,” ujar Karamelia.

“Iya, kamu gak salah,” jawab Agraziel. “Tapi aku cuma takut, Kar.”

Mendengar respon ganjil dari sang suami, Karamelia mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan pandangannya ke arah Agraziel. “Takut? Takut apa?”

“Aku masih inget momen pas kamu mau melahirkan Aine,” katanya. “Aku masih inget dengan jelas gimana kamu teriak, gimana kamu merintih kesakitan, gimana kencengnya genggaman tangan kamu, banyaknya darah yang keluar. Aku hampir berpikir bakal terjadi apa-apa sama kamu,” jelas Agraziel dengan suara setenang mungkin. “Aku bukannya gak siap kalo harus punya anak lagi. Aku cuma gak siap kalo harus liat kamu kesakitan kayak gitu lagi, Kar.”

Suasana menjadi hening. Akhirnya, Agraziel mengakui kelemahannya dan Karamelia mencoba mengerti. Ya, memiliki buah hati memang bukan perkara mudah, baik bagi sang ayah maupun bagi sang ibu. Semua itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Agraziel dan Karamelia sangat paham akan hal itu.

“Maaf, ya, Kar,” ujar Agraziel.

Karamelia tidak sakit hati dengan pengakuan suaminya tetapi ia bangga. Lelaki manis yang ada di hadapannya ini adalah lelaki dengan hati terlembut yang pernah ditemuinya. Dengan semua perhatian dan kasih sayangnya, wajar saja Agraziel tidak sanggup hati apabila harus melihat istrinya kesakitan lagi.

“Jangan minta maaf, Ga. Kamu ‘kan gak salah. Aku paham kok perasaan kamu. Maaf, ya, udah bikin kamu khawatir,” jelas Karamelia.

“Kamu juga gak salah, Kar. Jangan minta maaf. Sampai kapan pun, aku gak bakal bisa paham gimana perjuangan seorang ibu, pasti banyak banget pengorbanannya. Dari awal hamil aja aku udah bisa liat gimana menderitanya kamu,” balas lelaki manis itu.

Karamelia tidak sanggup menahan tingkat gemas suaminya itu. Ia sangat suka bagaimana Agraziel selalu berusaha menjadi seorang suami dan ayah yang siap siaga. Karamelia seperti menikahi seorang tentara yang siap menjaga keharmonisan keluarganya. Agraziel adalah segalanya bagi Karamelia dan Aine.

“Aku gak menderita kok,” ucap Karamelia sembari terkekeh. “‘Kan ada kamu yang selalu jadi suami siap siaga. Makasih, ya, Agra.”

Agraziel meluluh hatinya kala kalimat sanjungan itu masuk ke dalam hati terdalamnya. Ia tersenyum lalu mengecup kening istrinya. “Makasih juga, ya, Sayang, udah mau jadi istri untuk aku dan ibu untuk Aine.”

#Aine

Matahari terbit dari ufuk timur. Cahayanya yang terang diam-diam menyelinap melalui celah gorden yang tertutup. Karamelia mengerjap beberapa kali kala benderang itu memaksa masuk ke dalam maniknya. Akhirnya, sang raja hari menang dan wanita cantik itu terpaksa membuka matanya.

Karamelia terrsenyum saat pemandangan yang pertama kali tampak pada penglihatannya adalah sang suami dan buah hatinya yang masih tertidur pulas. Ia terkekeh kecil. Perlahan tapi pasti, Karamelia mengusap pipi suaminya dan anaknya secara bergantian. Simpul manis yang ada di wajahnya kian mengembang.

“Lucu banget sih anak Mama,” monolognya.

“Akunya gak lucu?” tanya Agraziel dengan suara beratnya.

“Kamu udah bangun, Ga?” balas Karamelia dengan kembali bertanya.

Agraziel mengangguk sekali. “Kamu kok udah bangun?” tanya sang suami lagi.

“Ini udah pagi. Aku harus bangun,” jawab wanita cantik itu.

Agraziel menangkup sebelah tangan sang istri untuk kemudian ia usap punggung tangan lembut itu. “Tidur lagi aja. Kamu ‘kan baru tidur jam 3 pagi,” ujarnya.

Bukannya menurut apa kata sang suami, Karamelia malah bangkit lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. “Aku gak apa-apa, Ga. Aku udah gak ngantuk.”

Mendengarnya, Agraziel berdecak. “Kamu kalo dibilangin bandel, gak pernah mau denger,” protesnya.

Karamelia hanya tertawa kecil menanggapi ucapan sang suami. Kemudian, sepasang maniknya tertuju pada bayi perempuan yang berbaring di antara dirinya dan juga Agraziel. Lagi, wanita cantik itu tersenyum. Sementara itu, Agraziel memerhatikan sang istri dan anaknya secara bergantian.

“Cantik, ya, anakku,” ujar Karamelia.

“Anak kita,” sahut Agraziel. “Buatnya ‘kan bareng.”

Selepasnya, Agraziel memiringkan tubuhnya agar menghadap langsung pada sang buah hati. Diusapnya perut buncit bayi berumur tujuh bulan itu. Karamelia benar. Sepanjang hidupnya, bayi perempuan kedua inilah yang paling cantik yang pernah Agraziel temui karena yang pertama adalah Karamelia kecil.

“Kamu ngerasa gak sih, Ga? Kalo sebenernya Aine itu lebih mirip sama aku,” ucap Karamelia tiba-tiba.

“Enggak,” jawab Agraziel singkat. “Lebih mirip sama aku.”

“Lebih mirip sama aku tau.” Karamelia tidak mau kalah.

“Dari awal Aine lahir juga semua orang yang jenguk kita di rumah sakit bilangnya Aine mirip sama aku,” balas Agraziel.

Karamelia mengerucutkan bibirnya. Ia sebenarnya ingin menyangkal fakta yang satu ini tetapi secara kesuluruhan Aine memang sangat mirip dengan sang suami, mulai dari hidung, mata, warna kulit, sampai senyum manis yang terpatri di wajah cantiknya. Aine adalah Agraziel dalam persona perempuan.

“Aine cuma ngontrak di perut kamu,” ledek Agraziel.

“Dih!” Karamelia memukul pelan lengan suaminya.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara sepasang suami itu. Keduanya sibuk memusatkan atensi mereka pada anugerah indah yang Tuhan berikan tepat setelah perayaan satu tahun pernikahan. Aine adalah hadiah terindah yang Agraziel dan Karamelia terima pada hari jadi mereka.

“Aine lucu banget,” kata wanita cantik itu.

“Iya dong. Anakku,” ujar Agraziel.

“Anak kita,” ketus Karamelia.

“Iya, anak kita,” pasrah lelaki manis itu.

Karamelia sempat diam sejenak sebelum kalimat yang keluar dari mulutnya mengejutkan sanubari sang suami. “Jadi pengen punya lagi deh.”

“Hah?!” pekik sang suami sembari bangkit dari posisi berbaringnya. “Apanya yang pengen punya lagi?” tanyanya tak santai.

Sebab suara bising yang dihasilkan Agraziel, Aine ikut terkejut. Bayi perempuan itu bangun dan langsung mengeluarkan kata-kata mutiaranya dalam bentuk tangisan. Dengan sigap, Karamelia menggendong Aine agar masuk ke dalam dekapannya. Ia menepuk pelan bokong bayi kecil itu.

“Agra, pelan-pelan dong ngomongnya. Anaknya jadi bangun ‘kan,” oceh sang istri.

Agraziel mengusap tengkuknya canggung. “Lagian kamu ngomongnya ada-ada aja. Bikin aku jantungan tau gak.”

Aine mulai tenang setelah diberikan susu yang langsung dari sumbernya. “Aku ‘kan cuma bilang Aine lucu.”

“Bukan itu. Kalimat setelahnya,” ucap sang suami.

“Oh,” singkat Karamelia. “Yang aku bilang mau punya lagi. Emangnya kenapa sih? Anak bayi ‘kan lucu,” lanjutnya.

Agraziel menghela napas panjang sebelum dirinya merangkak mendekat ke arah sang istri. Ia tatap satu per satu dua perempuan cantik yang paling ia sayangi setelah Mama dan Mami. “Iya, aku tau. Anak bayi tuh pasti lucu, apalagi Aine.”

“Iya ‘kan. Aku gak salah dong,” ujar Karamelia.

“Iya, kamu gak salah,” jawab Agraziel. “Tapi aku cuma takut, Kar.”

Mendengar respon ganjil dari sang suami, Karamelia mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan pandangannya ke arah Agraziel. “Takut? Takut apa?”

“Aku masih inget momen pas kamu mau melahirkan Aine,” katanya. “Aku masih inget dengan jelas gimana kamu teriak, gimana kamu merintih kesakitan, gimana kencengnya genggaman tangan kamu, banyaknya darah yang keluar. Aku hampir berpikir bakal terjadi apa-apa sama kamu,” jelas Agraziel dengan suara setenang mungkin. “Aku bukannya gak siap kalo harus punya anak lagi. Aku cuma gak siap kalo harus liat kamu kesakitan kayak gitu lagi, Kar.”

Suasana menjadi hening. Akhirnya, Agraziel mengakui kelemahannya dan Karamelia mencoba mengerti. Ya, memiliki buah hati memang bukan perkara mudah, baik bagi sang ayah maupun bagi sang ibu. Semua itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Agraziel dan Karamelia sangat paham akan hal itu.

“Maaf, ya, Kar,” ujar Agraziel.

Karamelia tidak sakit hati dengan pengakuan suaminya tetapi ia bangga. Lelaki manis yang ada di hadapannya ini adalah lelaki dengan hati terlembut yang pernah ditemuinya. Dengan semua perhatian dan kasih sayangnya, wajar saja Agraziel tidak sanggup hati apabila harus melihat istrinya kesakitan lagi.

“Jangan minta maaf, Ga. Kamu ‘kan gak salah. Aku paham kok perasaan kamu. Maaf, ya, udah bikin kamu khawatir,” jelas Karamelia.

“Kamu juga gak salah, Kar. Jangan minta maaf. Sampai kapan pun, aku gak bakal bisa paham gimana perjuangan seorang ibu, pasti banyak banget pengorbanannya. Dari awal hamil aja aku udah bisa liat gimana menderitanya kamu,” balas lelaki manis itu.

Karamelia tidak sanggup menahan tingkat gemas suaminya itu. Ia sangat suka bagaimana Agraziel selalu berusaha menjadi seorang suami dan ayah yang siap siaga. Karamelia seperti menikahi seorang tentara yang siap menjaga keharmonisan keluarganya. Agraziel adalah segalanya bagi Karamelia dan Aine.

“Aku gak menderita kok,” ucap Karamelia sembari terkekeh. “‘Kan ada kamu yang selalu jadi suami siap siaga. Makasih, ya, Agra.”

Agraziel meluluh hatinya kala kalimat sanjungan itu masuk ke dalam hati terdalamnya. Ia tersenyum lalu mengecup kening istrinya. “Makasih juga, ya, Sayang, udah mau jadi istri untuk aku dan ibu untuk Aine.”

Tyson tengah duduk di salah satu sofa yang ada di selasar lantai asrama tempatnya dan anggota Mars lainnya menginap. Tangan kirinya menopang kepalanya yang terasa berat. Sedangkan, tangan kanannya sibuk mengetik pada papan ketik atau sesekali menggulir pada layar ponselnya. Tyson menatap kosong pada layar ponselnya yang menampilkan room chat-nya bersama Kevin. Menurutnya, semakin hari semakin berat saja rasanya.

Tak lama setelahnya, Tyson bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah pergi. Ia menuruni lift untuk keluar dari gedung bertingkat itu demi menetralisir rasa cemas dan takut yang bersarang di benaknya. Di depan gedung yang dihuni oleh banyak atlet itu, Tyson menengadahkan kepalanya ke arah langit malam. Ia dapat melihat khatulistiwa yang membentang luas dengan taburan cahaya bintang.

Tyson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia tidak ingin dinginnya semilir angin malam mengganggu indera peraba pada tangannya. Tyson masih membutuhkan kedua tangannya untuk bertanding di babak final besok pagi. “Tyson harus apa, Ma? Tyson kangen sama Mama. Tyson juga kangen sama Cassie,” gumamnya.

“Tyson?” Seseorang tiba-tiba menginterupsi ketenangan yang sedang Tyson berusaha cari.

Mendengar ada yang memanggil namanya, Tyson menyejajarkan pandangannya ke arah sumber suara. Sepasang manik selegam malam di semesta itu membulat sempurna. “Cassie?”

“Mars stay di gedung ini, ya?” tanya Cassie sembari menghampiri Tyson.

“Iya. Kalo Venus stay di mana, Cass?” tanyanya.

“Venus nginep di Gedung D,” jawab gadis cantik itu.

Tyson mengangguk paham. “Kamu abis dari mini market, ya?”

Kali ini, Cassie yang mengangguk. “Iya.”

“Pasti beli gelatin,” terkanya.

Cassie terkekeh. “Iya, kamu bener.”

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Keduanya, baik Tyson maupun Cassie, terlalu canggung untuk membahas hal-hal lain atau keseharian mereka sebab waktu dan jarak yang dua tahun belakangan tercipta di antara mereka. Tyson mengusap tengkuknya. Sementara itu, Cassie sibuk menendang angin menggunakan kaki-kaki jenjangnya. Tyson menyadari kebiasaan menggemaskan yang satu itu belum hilang dari Cassie.

“Di luar dingin, Cass. Kamu pakai pakaian yang agak terbuka,” ucap Tyson dengan inisiatif. “Mau masuk ke dalam dulu?”

Awalnya, Cassie ragu. Ia tidak tahu harus menolak atau menerima ajakan dari lelaki tampan kesayangannya yang kehadirannya sudah lama ia damba-dambakan. Namun, ada satu hal yang Cassie tahu. Ia sama rindunya dengan Tyson. Kepalanya mengangguk pelan. “Boleh.”

Akhirnya, Tyson dan Cassie berjalan masuk ke dalam gedung lalu menaiki lift untuk sampai ke lantai 7, lantai di mana Tyson dan anggota Mars lainnya menginap. Tyson mempersilakan Cassie untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia di selasar lantai tersebut, sofa yang beberapa menit lalu ia duduki sembari memikirkan keberadaan Cassie yang sangat ingin ia temui.

“How are you, Cass?” tanya Tyson setelah mengambil posisi duduk di sebelah kiri Cassie.

“I’m fine, Tyson,” jawabnya ramah. “Kamu sendiri gimana?”

“Aku….” Tyson sengaja menggantung kata-katanya. Ingin sekali rasanya kalimat rindu diucapkannya tetapi ia masih tidak sanggup apabila mengingat betapa sakitnya Cassie saat mengetahui dirinya pergi begitu saja. “Aku juga baik, Cass.” Tyson menampilkan senyuman palsu untuk menutupi hatinya yang terluka.

Cassie tahu ada yang salah dengan Tyson. Tepatnya, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tyson salah jika mengira ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cassie beruntung memiliki sahabat, Jovita, yang salah satu hobinya adalah mengulik peristiwa yang tengah terjadi di sekitarnya. Melihat keadaan lelaki tampan yang sampai sekarang masih ia sayangi itu, Cassie tersenyum pilu.

“Your lying is still as bad as the last time, Ty,” kata Cassie.

Tyson memusatkan pandangannya pada sepasang manik selegam mentari pagi kesukaannya. Ia tertawa demi menyempurnakan kebohongannya. “Aku gak bohong, Cass. I’m fine. I really do,” elaknya.

Cassie kembali tersenyum. Namun, yang satu ini terlihat lebih tulus. Cassie sangat paham apabila Tyson belum siap untuk mengungkapkan kebenaran yang menimbulkan luka di hatinya. Ia mengangguk. “I see,” katanya.

Tyson menegak salivanya. Tenggorokannya terasa kering sebab semua rangkaian dusta yang dibuatnya. Tyson tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya kalau Cassie tahu peristiwa yang sebenarnya tetapi ada satu hal yang harus ia sampaikan dengan setulus hatinya, yaitu permintaan maaf. Tyson belum sempat memohon maaf dari gadisnya itu semenjak ia pergi meninggalkannya sendiri dua tahun lalu.

“Cassie,” panggil Tyson.

“Iya, Tyson?” Cassie menatap sepasang netra yang sangat ia rindukan binar ketulusannya. Cassie berani bertaruh netra itu masih sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya.

“I have something to tell you,” ujar Tyson serius.

Cassie menyamankan posisi duduknya. Sejujurnya, inilah yang ia tunggu sejak tadi. Ia merindukan momen di mana Tyson dan dirinya selalu bertukar kisah keseharian mereka atau membicarakan hal-hal serius terkait diri mereka dan masa depan. “Go ahead, Tyson. I’m listening.”

“Aku… minta maaf,” gumam lelaki tampan itu.

“Maaf? Maaf untuk apa?” balas Cassie dengan kembali bertanya.

“Aku tahu kamu sakit karena aku,” ucap Tyson sembari menghela napas panjang. “Dua tahun lalu aku pergi ninggalin kamu, ninggalin Mars, tanpa kabar atau berita apapun. Aku gak minta kamu untuk paham sama keadaanku. Aku cuma berharap kamu bisa maafin aku,” lanjutnya. “Maafin aku, Cassie.”

Sedih. Marah. Kecewa. Terharu. Bingung. Cassie tidak tahu emosi apa yang harus ia rasakan di saat seperti ini. Di satu sisi, ia sangat bahagia dapat bertemu kembali dengan Tyson meskipun di hati mereka masing-masing masih tersimpan luka yang amat mendalam. Di sisi lain, Cassie merasa kasihan karena Tyson kehilangan semangat hidupnya, Mama, untuk selama-lamanya. Namun, fakta-fakta di atas juga tidak memungkiri bahwa Tyson sempat pergi meninggalkannya.

Cassie menghela napas panjang. Ia meraih sebelah bahu lebar di hadapannya lalu mengangguk. “Iya, Tyson,” jawabnya. “Aku maafin kamu. Maaf juga, ya, aku sempat marah sama kamu tanpa tau alasan kepergian kamu,” ujar Cassie. “Maaf juga… aku gak datang ke pemakaman Mama.”

Kalimat terakhir yang diucapkan Cassie membuat Tyson mengangkat pandangannya. Dua pasang manik itu saling bertemu. Tyson tidak menyangka bahwa Cassie sudah mengetahui alasan di balik kepergiannya yang sangat tiba-tiba dua tahun lalu. Kala itu, Tyson sangat amat membutuh keberadaan Cassie untuk tetap ada di sisinya tetapi ia tidak sampai hati ketika mengingat ia meninggalkan gadis cantik itu tanpa alasan yang jelas.

“Cass…,” ucap Tyson.

“If only I knew what happened to you, aku gak akan gegabah dan malah pasif sama keberadaan kamu, Ty,” jelas Cassie.

“I’m… I’m sorry, Cassie,” kata Tyson mengulang kata maafnya. Seketika, air mata mulai berjatuhan dari sepasang manik selegam malam itu. Bayangan Mama yang tengah tersenyum manis dan fakta bahwa Cassie sama sekali tidak marah padanya akan apa yang terjadi di masa lalu membuat hatinya menjadi lapang, seolah Tyson dapat bernapas lega sekarang. Ia membawa Cassie masuk ke dalam dekapannya. Tyson tersenyum haru.

Cassie membalas pelukan itu. Ia mengusap punggung lebar yang sudah lama menanggung beban yang sangat berat itu. “Kamu gak perlu minta maaf sama aku, Tyson. How about you? Are you okay? Kenapa kamu gak bilang tentang Mama ke aku?” tanya gadis cantik itu bertubi-tubi.

Tyson melonggarkan dekapannya. “Aku gak bisa,” jawabnya. “Aku bakal jadi manusia yang paling gak tau diri, Cass, kalau aku butuh kamu setelah aku buang kamu.”

Mendengarnya, Cassie menggeleng. “Enggak, Tyson. You weren’t. Kamu gak buang aku.”

Kali ini, Tyson yang menggeleng. Ia tersenyum canggung. “No, Cassie. I was,” balasnya. “Aku bersyukur kamu mau terima permintaan maaf aku. Makasih, ya.”

Cassie mengangguk. Ia tersenyum ramah. Namun, tak dapat dipungkiri masih ada satu hal lagi yang mengganjal di hatinya. Ya, hubungannya dengan Tyson. Apakah mereka sudah putus? Atau ini saatnya mereka kembali? Ia tidak tahu tetapi ingin tahu. Apabila Cassie boleh jujur, masih ada percikan asmara yang timbul saat dirinya menemukan keberadaan Tyson tetapi ia tidak tahu apakah Tyson merasakan hal yang sama.

“Tyson…,” panggil Cassie.

“Iya, Cassie?” balasnya.

“What are we?” tanya gadis cantik itu dengan suara sepelan mungkin.

Walaupun begitu, Tyson tetap dapat mendengarnya. Apapun yang berhubungan dengan Mama dan Cassie, ia pasti lebih peka. Tyson tersenyum dengan sepasang manik selegam malam yang terlihat sayu. “Ikut aku sebentar, ya? I want to show you something.”

Setelah itu, Tyson mengajak Cassie untuk berkunjung ke kamar tidurnya di gedung tersebut. Kamar tidurnya terletak di ujung selasar dekat dengan jendela besar yang menampilkan langsung stadion pertandingan. Di dalam sana, Tyson mempersilakan Cassie untuk duduk di tepi ranjangnya. Sementara itu, dirinya merogoh tas ranselnya yang tergantung di dalam lemari bajunya. Tyson mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah berukuran sedang.

Tyson mendudukkan dirinya tepat di sebelah kanan Cassie tanpa ada jarak sedikit pun. Lengan keduanya pun saling bersentuhan. “Ini.” Ia menyerahkan kotak tersebut kepada Cassie.

Cassie yang menerima kotak dengan aksen mewah itu mengernyitkan keningnya. Ia membuka perlahan kotak yang diberikan Tyson padanya. Cassie menganga serta kedua matanya melotot sempurna saat mengetahui benda apa yang dilindungi oleh kotak dengan bahan velvet itu. “Cantik banget,” pujinya.

“Ini kalung punya Mama,” jelas lelaki tampan itu. “Kesukaannya.”

Mendengarnya, Cassie tiba-tiba menjadi gugup. Ia menyerahkan kembali barang berharga kepada Tyson. “Ih, aku ngeri pegangnya, Ty,” ucap Cassie. “Nih aku balikin ke kamu aja.”

Melihat tingkah menggemaskan Cassie, Tyson tertawa lepas. “Gak apa-apa, Cass,” balasnya. “Ini punya kamu sekarang.”

Cassie dibuat semakin bingung oleh lelaki tampan kesayangannya itu. Ia pandangi lagi kalung emas putih yang dihiasi oleh liontin berlian berwarna merah itu. “Maksudnya?” tanyanya.

Tyson semakin memangkas jarak antara dirinya dan Cassie, seolah-olah jarak yang pernah tercipta dua tahun lalu hilang dalam sekejap. Ia merangkul tubuh mungil yang, apabila memungkinkan, ingin ia miliki sepenuhnya. “Pas Mama masuk rumah sakit dia pernah bilang sama aku. Mama bilang, ‘Gimana keadaannya Cassie, Nak? Dia baik-baik aja ‘kan? Mama kangen sama dia. Kangen masak dan baking bareng dia.’,” jelas Tyson.

Cassie mendengar ada pesan rindu dari mendiang Mama, semakin tertarik dengan kisah yang diceritakan oleh Tyson padanya. “Oh ya? Terus Mama bilang apalagi?” tanyanya penasaran.

Tyson tersenyum melihat antusiasme dari gadis cantik yang ada di dalam dekapannya. “Mama juga bilang, ‘Tyson, kamu coba ke kamar Mama terus buka lemari baju Mama yang dari kayu jati. Di dalam sana, ada brankas yang kombinasi nomornya ulang tahun Cassie.’,” lanjut Tyson.

“Ulang tahun aku?” Cassie memiringkan kepalanya karena heran.

Tyson mengangguk. “Yaudah. Besoknya aku cek brankasnya. Di sana ada kalung itu.” Ia mengidikkan dagunya ke arah kalung yang tersimpan rapi di dalam kotak yang Cassie pegang. “Kalungnya aku bawa ke Mama. Terus… tau gak Mama bilang apa?”

Cassie menggeleng. “Enggak. Emangnya Mama bilang apa?”

“Mama bilang sama aku, ‘Itu kalung kesukaan Mama, Nak. Dulu Papa ngasih itu pas ulang tahun pertama pernikahan Papa sama Mama yang bertepatan juga dengan kabar Mama lagi mengandung kamu. Mama pengen kamu kasih kalung ini ke Cassie. Mama gak tau sampai kapan umur Mama. Jadi, Mama minta tolong sama kamu, ya, Nak. Cassie itu anaknya baik. Mama juga gak pernah ngeliat kamu sebahagia ini sebelum sama Cassie. Kasih kalung ini, ya, ke Cassie kalau kamu serius sama dia.’.”

Cassie mematung di tempatnya. Bukan karena otak mungilnya tidak dapat memproses semua paparan yang Tyson jelaskan padanya tetapi sebaliknya. Cassie sangat bersyukur bahwa Mama menyayanginya layaknya anak kandungnya sendiri. Namun, mendengar kabar seperti itu, Cassie tidak tahu apakah ada hari yang lebih membahagiakan lagi selain hari ini, seolah hari-hari kelamnya tergantikan dengan cerahnya sinar rembulan di malam hari ini.

Hari ini, di mana Cassie mengetahui semua kebenaran yang tersembunyi. Hari ini, di mana Cassie bertemu dengan Tyson setelah dua tahun terpisah darinya. Hari ini, di mana Cassie secara resmi merasakan lagi bunga-bunga cinta di dalam hatinya yang ditanam kembali oleh Tyson. Cassie tidak dapat menahan senyumnya, begitu juga dengan Tyson. Dua pasang netra itu saling melempar pandang.

“Aku kasih kalung kesukaan Mama ke kamu, Cass. Mama bilang kalau aku mau serius sama kamu, aku harus kasih kalung ini sebagai tanda keseriusanku. Aku tau aku terkesan gak tau diri. Setelah dua tahun menghilang dan gak ada kabar terus tiba-tiba aku datang ke kamu dengan dalih aku mau serius. Aku—” Tyson belum sempat merampungkan kalimat pengakuan cintanya, kali ini, yang lebih serius.

Cassie melakukan hal yang di luar dugaan. Dengan cepat, gadis cantik itu memangkas jarak yang memang sudah dekat antara dirinya dan Tyson. Ia mencium bibir sang kekasih yang sudah lama dirindukannya. Tyson bergeming. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Cassie akan bergerak secepat dan seagresif ini. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Tyson kepalang bahagia.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Tyson membalas ciuman itu. Awalnya, ciuman itu terasa nikmat, seolah keduanya sedang mengekspresikan kerinduan yang telah lama dipendam, tetapi lama-kelamaan ciuman itu semakin menuntut. Baik Tyson maupun Cassie menginginkan lebih. Mereka ingin menembus apa yang selama dua tahun belakangan ini tidak mereka dapatkan. Iya, cinta satu sama lain, dalam banyak artian.

Tak lama setelahnya, saat Cassie sudah mulai kehabisan napas. Ia menyudahi ciumannya terlebih dahulu. Napasnya tersengal sebab ulahnya sendiri. Tyson yang melihat wajah gadisnya memerah hanya dapat tersenyum. Ia mengusap pucuk kepala Cassie. Masih di dalam dekapan hangat itu, keduanya melempar senyum dan pandang. Tyson dan Cassie kembali merasakan bahagia yang sempat hilang.

“Semangat banget, Cass,” guyon Tyson.

Cassie hanya tertawa. “Kamu juga gak nolak,” balasnya.

Tyson yang mengetahui Cassie bukannya salah tingkah tetapi malah membalas dengan berani ejekannya merasa semakin terpancing. “Jadi, gimana?” tanyanya lagi.

Cassie mengerucutkan bibirnya. “Apanya yang gimana?”

“The proposal?” Tyson mengangkat sebelah alisnya.

Cassie menyeringai. “Are you joking me, Tyson?” katanya. “Emang ‘jawaban’ yang tadi belum cukup, ya?”

Mendengarnya, Tyson menyeringai. Kesempatan emas kembali datang ke padanya. “No?” balasnya. “I want to know more, please.”

Cassie mengangguk paham. Ternyata, Tyson memang menginginkan lebih. Ia juga tidak ingin membohongi dirinya bahwa ia menginginkan hal yang sama. Dengan begitu, Cassie kembali mendekatkan wajahnya pada wajah tampan sang kekasih. Ia mengecup sudut bibir yang sudah menggodanya begitu pertama kali kembali melihatnya. Cassie mengalungkan lengannya pada bahu lebar pemanah di hadapannya.

“You want more, Tyson? Here you go.”

Cassie melanjutkan kegiatan mereka yang tadi dengan sengaja ia tunda. Ciuman kali ini terasa dan terlihat lebih intens dibanding sebelumnya. Tangan Cassie terus menggoda dada bidang milik kekasihnya. Sementara itu, tangan Tyson bergerak mengusap perut rata gadisnya dari balik kaos tipis yang dikenakannya. Keduanya merasakan kenikmatan yang hakiki. Meskipun begitu, baik Tyson maupun Cassie, masih ingin yang lebih dari ini.

Oleh karena gairah yang memuncak, dengan telaten, Tyson mengangkat tubuh indah gadisnya untuk duduk di atas pangkuannya. Kemudian, ciuman itu perlahan turun ke arah dada Cassie yang sudah sedikit terekspos. Cassie menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Dekapan kedua lengannya pada bahu lebar di hadapannya semakin erat. Cassie sama bergairahnya dengan Tyson.

“Nghh, ahhh, Tyson,” lenguh gadis cantik itu saat sang kekasih berulang kali menjilat beberapa titik sensitif di lehernya.

Mulut Tyson masih bekerja keras di area dada mendekati payudara sang gadis. Tyson meninggalkan beberapa tanda kepemilikannya di sana. Cassie semakin dibuat terbang ke angkasa. Sedangkan, Tyson semakin gencar melancarkan aksinya. Cassie mendekap kekasih itu semakin dalam agar Tyson semakin bertemu dengan buah dada kebanggaannya. Tyson yang mengerti dengan isyarat itu kembali bergerak.

“I’ll remove your shirt, ya, Cassie,” ucap Tyson.

Pada kalimat itu, Tyson mendeklarasikan sebuah pernyataan dan bukannya meminta izin dari gadisnya. Cassie yang sangat rindu didominasi oleh lelaki kesayangannya itu tentunya dengan senang hati bersedia. Tyson menanggalkan kaos berwarna putih menutupi tubuh indah Cassie. Setelah ia dapat melihat permukaan kulit yang putih bersih itu, Tyson segera menghirup aroma Cassie dengan khidmat.

“I love this smell,” kata Tyson saat indera penciumannya dipenuhi dengan semerbak wangi vanilla yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh Cassie.

“Ahhh, Tyson,” lirih Cassie kala hidung bangir itu terasa menggelitik di antara sepasang payudaranya.

Di detik selanjutnya, lagi-lagi tanpa adanya aba-abanya, Tyson melepas bra berwarna hitam yang melindungi payudara kenyal milik Cassie. Ia hisap sebelah puting kecoklatan yang sudah mencuat sempurna itu. Sementara itu, tangannya yang terbebas memainkan ujung puting payudara yang menganggur. Tyson dengan aksinya yang melecehkan sepasang buah dadanya membuat Cassie semakin ingin mencapai kepuasaan tertinggi.

“Mphhh, Tyson, stophh,” komando Cassie.

Mendengar Cassie merintih seperti itu, Tyson menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia masih punya hati nurani untuk tidak menyakiti gadisnya walaupun Cassie juga sebenarnya mau. “Kenapa? I think you’ll like it,” tanyanya menggoda.

“Bukannya aku gak suka,” jawab Cassie. Ia menggigit bibir bagian bawahnya yang terlihat sedikit membengkak karena ciuman panasnya tadi bersama Tyson. “Tapi….”

“Is there something bothering you?” tanya Tyson.

Cassie melirik bagian selatan dirinya dan kekasihnya. “Down there,” ujar gadis cantik itu. “It hurts, Tyson. I want you inside me immediately.”

Tyson terkekeh. Ternyata, Cassie masih saja tidak sabaran apabila berhubungan dengan kegiatan pemuas nafsu seperti ini. Tyson menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Okay. But, lemme check it first.” Selepas dengan pernyataannya itu, Tyson bergerak mengusap kewanitaan Cassie dari arah luar pakaia dalamnya.

“Ahhh,” desah gadis cantik itu.

“You’re right,” jelas Tyson. “Kamu udah basah.”

“Quickly, Tyson. I can’t hold it anymore,” jelas Cassie memohon.

“Hold on, Cassie. I don’t wanna hurt you,” balas lelaki tampan itu.

Tangan kekar Tyson masih bermain dengan vagina gadisnya. Ia ingin memastikan bahwa lubang surgawi itu sudah terlumasi seluruhnya. Namun, bukan Cassie namanya jika ia tidak memberontak. Tyson ingin bermain lembut dengannya tetapi sang kekasih sepertinya tidak satu suara dengannya. Cassie terus menggoyangkan pinggulnya agar jari-jari besar itu menyentuh vaginanya lebih dalam.

“Play rough on me, Tyson,” goda Cassie.

“This is our first time after a long time, Cassie,” ujar Tyson. “Kamu yakin?”

Cassie menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan sangat yakin. “Please…,” ucapnya.

Tyson tidak mempunyai pilihan lain, selain menyetujui permintaan gadisnya. “Okay. But, at least let yours wet first.”

Cassie mengiyakan perintah dari sang dominannya. Setidaknya, itu yang dapat ia lakukan alih-alih Tyson harus menolak keinginannya mentah-mentah. “With yours?”

Tyson menggeleng. “With my fingers, Cassie, my fingers.”

“Kamu gak seru,” keluhnya.

Tyson yang mendengar gadis cantiknya melayangkan protes memutar bola matanya. “You have to be patient to get what you want, Cassie.”

Cassie mendekatkan wajahnya kepada Tyson. “Like us?” Bibirnya mengukir senyum indah.

Tyson membalas simpul itu dengan tak kalah indah. “Like us.”

Selanjutnya, Tyson menangkup dagu mungil dari wajah cantik yang saat ini berposisi lebih tinggi darinya. Ia kecup bibir menawan itu dari satu sudut ke sudut lain. Sedangkan, tangannya bergerak melucuti celana pendek olahraga serta pakaian dalam dengan warna senada dengan bra miliknya tadi. Tyson dapat merasakan cairan hangat perlahan mengalir membasahi celana piyamanya.

“Ahh!” teriak Cassie tiba-tiba saat jari telunjuk dan jari tengah milik kekasihnya itu menerobos ke dalam kewanitaannya.

“Katanya kamu mau aku main kasar? Tapi baru kayak gini aja kamu udah kesakitan,” ledek lelaki tampan itu.

“I am, ahhh,” balas Cassie. Ia masih dapat menikmati rasa itu meski tempo yang bergerak di bawahnya cenderung lamban.

Tyson mendekatkan mulutnya ke telinga kanan sang gadis. “Untuk apa aku main kasar? If only with this slowly movement like this could brings heaven to you, Cassie.”

Cassie menggigit pipi bagian bawahnya. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar tidur kekasihnya. “But, still, Tyson… the rough one’s more challenging,’ ucap Cassie sembari mengatur napasnya karena rasa nikmat yang menjalari tubuhnya. “Am I, right?”

Tyson menambah pergerakan pada bagian selatan Cassie. Kini, ibu jarinya bergerak memutari klitorisnya. “So, you still want the rough one?” tanya Tyson meyakinkan.

“Nghhh, yes, ahh, please,” ujar Cassie susah payah.

Tyson tersenyum seram. “Alright,” katanya. “You got what you wish.”

Selanjutnya, Tyson mulai bergerak. Ia mengangkat tubuh indah Cassie lalu membantingnya ke ranjang tidurnya. Kemudian, Tyson berjalan mendekati laci di bawah meja belajarnya. Dari dalam sana, ia mengambil seutas tali dan sebuah dasi. Cassie dengan susah payah menelan salivanya saat Tyson benar-benar berubah menjadi persona yang ia inginkan. Ia tiba-tiba saja merasa sedikit menyesal dengan pilihannya. Tyson tampak sangat mengerikan dan menggoda.

“Play hard or go home is your concept ‘kan, Cass?” tanya Tyson sensual. “So, this is what you got.”

Tyson memutar balik tubuh kekasihnya itu agar menelungkup. Kemudian, kedua tangan Cassie diikat membelakangi tubuhnya. Setelahnya, ia menutup manik dengan binar seterang konstelasi bintang di angkasa itu menggunakan dasi. Tyson menyibakkan rambutnya ke arah belakang sembari tersenyum puas kala sepasang manik selegam malamnya melihat mahakarya indah yang terbaring di atas ranjangnya.

Tyson mulai naik ke atas ranjang untuk kemudian menciumi punggung mulus itu. Cassie dibuat merinding sebab ciuman panas itu beradu dengan rendahnya suhu kamar tidur sang kekasih. Tubuhnya menggelinjang hebat meskipun Tyson belum menghantamnya dengan batang berurat yang sangat Cassie inginkan untuk berada di dalamnya sekarang. Cassie takut tetapi merasa terpuaskan di saat yang bersamaan.

“Akh!” pekik Cassie kala tangan kekar Tyson menampar bokongnya.

“Ah, I forgot something,” ucap Tyson.

Cassie kembali menelan saliva kala tenggorokannya terasa kering hanya karena sepenggal kalimat tersebut. “Lupa apa, Tyson?” tanyanya.

Tyson berjalan ke arah nakas di sebelah kiri tempat tidurnya. Ia membuka laci di bawah lampu tidur dengan warna lampu warm white itu. Cassie tidak tahu pasti apa yang kekasihnya ambil dari dalam situ. Namun, seketika ada suara getaran yang samar memasuki indera pendengarannya, Cassie langsung tahu apa yang Tyson maksud. Ternyata, Tyson masih menyimpan benda itu bersamanya.

“Mainan kesukaan kamu,” jawab lelaki tampan itu seraya melepaskan semua baju yang melekat pada tubuh kekarnya.

Akhirnya, setelah menyiapkan keperluan seadanya yang akan membuat Cassie terbang menuju angkasa, Tyson kembali naik ke atas ranjang. Ia memposisikan dirinya setengah berdiri di belakang tubuh indah gadisnya. “Spread your legs, Cantik,” perintah Tyson. Cassie menuruti perintah kekasihnya. Tangan Tyson bergerak memasangkan vibrator kecil pada bagian klitoris Cassie.

“Ahhh, Tyson, nghh,” lirih gadis cantik itu.

Lutut yang tadinya berdiri tegap menumpu beban tubuhnya sudah terjatuh lemas. Tyson mengangkat pinggul gadisnya agar posisinya kembali seperti semula. Ia kembali menampar bokong sintal itu. Cassie menenggelamkan wajahnya ke arah bantal. Ia merintih saat rasa sakit itu muncul bersamaan dengan rasa nikmat. Tyson sungguh-sungguh memenuhi tugasnya untuk bermain kasar dengannya.

“You like that, Cass?” tanya Tyson.

Cassie menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya,” balasnya lemas.

“Lagi?” tanya Tyson menantang.

Dengan lantang Cassie menjawab, “Lagi!”

Tyson menyiapkan penisnya untuk menghantam vagina Cassie. Ia mengusap batang yang sudah mencuat hebat itu. Tyson juga bergerak mengusap vagina gadisnya dari depan ke belakang agar pelumas alami itu menyebar dengan rata. Tyson dibuat semakin bergairah saat daerah kewanitaan kekasihnya berkedut dengan samar. Sepertinya, ia akan langsung menancapkan penisnya saja.

“Ahh, Tyson!” lenguh gadis cantik itu kala batang besar itu langsung setengah masuk ke dalam miliknya.

“Nghh, Cass, you’re so tight,” puji Tyson.

Cassie kembali menenggelamkan wajahnya ke arah bantal. “Mphhh, ahhh.” Lirihannya tertahan.

Tyson mulai bergerak maju mundur agar penisnya masuk dengan sempurna ke dalam lubang sempit itu. “Ahhh, Cass.”

Di balik bantal yang menutupi wajah cantiknya itu, Cassie menggigit pipi bagian dalamnya. “Ahh, Tyson, move faster,” pintanya.

Tyson yang baru saja selesai menanamkan batangnya dengan sempurna ke dalam vagina Cassie langsung bergerak dengan kecepatan sedang. Dengan aktivitas panas, basah, dan menyentuh kulit masing-masing itu, keduanya mulai terbang ke luar angkasa. Tyson memejamkan maniknya seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Cassie berusaha bertahan dengan posisinya agar ujung penis Tyson terus menggempur rahimnya.

Seiring waktu yang berjalan cepat, tempo yang Tyson mainkan juga kian cepat. Dari kecepatan sedang, cepat, menjadi sangat cepat. Cassie merasa kewalahan dengan segala rasa nikmat yang tercipta dari permainan ala nafsunya bersama Tyson. Serupa dengan Cassie, Tyson pun merasakan hal yang sama. Ia tanpa ampun menghantamkan penisnya ke dalam rahim sang kekasih.

“Tyson, ahhh, harder,” ujar gadis cantik itu putus asa.

“Wanna cum, Cass?” tanya Tyson.

Cassie mengangkat pandangannya. Ia menyempatkan diri untuk melirik kekasihnya yang masih menikmati momen ini di belakangnya. “Iya,” jawabnya.

Mendengarnya, Tyson bergerak menggempur gadisnya jauh lebih keras dari sebelumnya. Cassie dapat merasakan dengan jelas bagaimana kepala penis itu menyentuh titik manisnya yang semakin membuatnya ingin meraih puncak kenikmatan. Berkat Cassie, Tyson juga sebentar lagi akan menjemput pelepasannya. Namun, Cassie melakukannya terlebih dahulu. Tubuh indahnya menggelinjang sempurna.

“I’m cum, Tyson,” kata Cassie.

“One more time, Cassie,” pinta lelaki tampan itu.

“Hah? Maksudnya?” balas Cassie dengan kembali bertanya.

“Cum one more time for me,” perintah Tyson.

Cassie yang tidak mengenal kata lelah pada aspek apapun itu di dalam hidupnya tentunya menyetujui permintaan lelaki kesayangannya itu. Pinggulnya ikut bergoyang lebih keras. Tyson membungkukkan tubuhnya agar kedua tangannya yang terbebas dapat meraih payudara milik Cassie yang menggantung dengan indah. Dengan begitu, Cassie akan kembali mencapai titik ternikmatnya.

“I’m cum, Cassie,” kata Tyson. “Akh!”

“Ahh, Tyson!” pekik Cassie.

Tyson dan Cassie menjemput pelepasannya bersama-sama. Tyson pada pelepasan pertamanya dan Cassie pada pelepasannya keduanya. Setelah permainan panas yang menegangkan, keduanya tumbang di atas ranjang. Dengan sisa tenaganya, Tyson melepaskan ikatan tangan serta membuka dasi yang menghalangi penglihatan gadisnya. Cassie mengerjapkan beberapa kali kala sinar lampu kamar menyerang maniknya.

Cassie tersenyum saat pemandangan pertama kali yang ia lihat setelah warna kembali menghiasi netranya adalah senyuman manis yang terpatri di wajah tampan Tyson. Tyson menarik selimut untuk kemudian mendekap Cassie di dalam pelukannya. Ia mengusap kepala bagian belakang sang gadis. Sedangkan, Cassie sibuk memainkan jari-jarinya pada dada bidang lelaki kesayangannya.

“Capek gak, Cass?” tanya Tyson sembari mengangkat wajah cantik itu agar menatap langsung maniknya.

Cassie mengangguk. “Capek,” jawabnya. “Tapi enak.”

Tyson tertawa mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Cassie. Ia mengusap pelan kepala kekasihnya. “You’re still good at this game,” ujarnya.

“Aku gak akan kayak gini kalo gak sama kamu, Tyson.” Cassie menjawil pangkal hidung bangir Tyson.

“I love the bad cop roles’ you played at this game,” jelas lelaki tampan itu.

“And I love the way you turned into a bad guy when I ask,” balas Cassie.

Mereka tertawa pada lelucon nyata yang memang terjadi di antara keduanya. Setelah kembali mengucap janji untuk sehidup semati bersama, Tyson dan Cassie menghabiskan malam dengan pemainan panas khas keduanya. Baik Tyson maupun Cassie tidak akan menyangka turnamen tahunan yang terselenggara di tahun ini akan membawa keajaiban bagi mereka berdua. Tyson dan Cassie ingin berada di sisi masing-masing selamanya.

Tyson tengah duduk di salah satu sofa yang ada di selasar lantai asrama tempatnya dan anggota Mars lainnya menginap. Tangan kirinya menopang kepalanya yang terasa berat. Sedangkan, tangan kanannya sibuk mengetik pada papan ketik atau sesekali menggulir pada layar ponselnya. Tyson menatap kosong pada layar ponselnya yang menampilkan room chat-nya bersama Kevin. Menurutnya, semakin hari semakin berat saja rasanya.

Tak lama setelahnya, Tyson bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah pergi. Ia menuruni lift untuk keluar dari gedung bertingkat itu demi menetralisir rasa cemas dan takut yang bersarang di benaknya. Di depan gedung yang dihuni oleh banyak atlet itu, Tyson menengadahkan kepalanya ke arah langit malam. Ia dapat melihat khatulistiwa yang membentang luas dengan taburan cahaya bintang.

Tyson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia tidak ingin dinginnya semilir angin malam mengganggu indera peraba pada tangannya. Tyson masih membutuhkan kedua tangannya untuk bertanding di babak final besok pagi. “Tyson harus apa, Ma? Tyson kangen sama Mama. Tyson juga kangen sama Cassie,” gumamnya.

“Tyson?” Seseorang tiba-tiba menginterupsi ketenangan yang sedang Tyson berusaha cari.

Mendengar ada yang memanggil namanya, Tyson menyejajarkan pandangannya ke arah sumber suara. Sepasang manik selegam malam di semesta itu membulat sempurna. “Cassie?”

“Mars stay di gedung ini, ya?” tanya Cassie sembari menghampiri Tyson.

“Iya. Kalo Venus stay di mana, Cass?” tanyanya.

“Venus nginep di Gedung D,” jawab gadis cantik itu.

Tyson mengangguk paham. “Kamu abis dari mini market, ya?”

Kali ini, Cassie yang mengangguk. “Iya.”

“Pasti beli gelatin,” terkanya.

Cassie terkekeh. “Iya, kamu bener.”

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Keduanya, baik Tyson maupun Cassie, terlalu canggung untuk membahas hal-hal lain atau keseharian mereka sebab waktu dan jarak yang dua tahun belakangan tercipta di antara mereka. Tyson mengusap tengkuknya. Sementara itu, Cassie sibuk menendang angin menggunakan kaki-kaki jenjangnya. Tyson menyadari kebiasaan menggemaskan yang satu itu belum hilang dari Cassie.

“Di luar dingin, Cass. Kamu pakai pakaian yang agak terbuka,” ucap Tyson dengan inisiatif. “Mau masuk ke dalam dulu?”

Awalnya, Cassie ragu. Ia tidak tahu harus menolak atau menerima ajakan dari lelaki tampan kesayangannya yang kehadirannya sudah lama ia damba-dambakan. Namun, ada satu hal yang Cassie tahu. Ia sama rindunya dengan Tyson. Kepalanya mengangguk pelan. “Boleh.”

Akhirnya, Tyson dan Cassie berjalan masuk ke dalam gedung lalu menaiki lift untuk sampai ke lantai 7, lantai di mana Tyson dan anggota Mars lainnya menginap. Tyson mempersilakan Cassie untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia di selasar lantai tersebut, sofa yang beberapa menit lalu ia duduki sembari memikirkan keberadaan Cassie yang sangat ingin ia temui.

“How are you, Cass?” tanya Tyson setelah mengambil posisi duduk di sebelah kiri Cassie.

“I’m fine, Tyson,” jawabnya ramah. “Kamu sendiri gimana?”

“Aku….” Tyson sengaja menggantung kata-katanya. Ingin sekali rasanya kalimat rindu diucapkannya tetapi ia masih tidak sanggup apabila mengingat betapa sakitnya Cassie saat mengetahui dirinya pergi begitu saja. “Aku juga baik, Cass.” Tyson menampilkan senyuman palsu untuk menutupi hatinya yang terluka.

Cassie tahu ada yang salah dengan Tyson. Tepatnya, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tyson salah jika mengira ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cassie beruntung memiliki sahabat, Jovita, yang salah satu hobinya adalah mengulik peristiwa yang tengah terjadi di sekitarnya. Melihat keadaan lelaki tampan yang sampai sekarang masih ia sayangi itu, Cassie tersenyum pilu.

“Your lying is still as bad as the last time, Ty,” kata Cassie.

Tyson memusatkan pandangannya pada sepasang manik selegam mentari pagi kesukaannya. Ia tertawa demi menyempurnakan kebohongannya. “Aku gak bohong, Cass. I’m fine. I really do,” elaknya.

Cassie kembali tersenyum. Namun, yang satu ini terlihat lebih tulus. Cassie sangat paham apabila Tyson belum siap untuk mengungkapkan kebenaran yang menimbulkan luka di hatinya. Ia mengangguk. “I see,” katanya.

Tyson menegak salivanya. Tenggorokannya terasa kering sebab semua rangkaian dusta yang dibuatnya. Tyson tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya kalau Cassie tahu peristiwa yang sebenarnya tetapi ada satu hal yang harus ia sampaikan dengan setulus hatinya, yaitu permintaan maaf. Tyson belum sempat memohon maaf dari gadisnya itu semenjak ia pergi meninggalkannya sendiri dua tahun lalu.

“Cassie,” panggil Tyson.

“Iya, Tyson?” Cassie menatap sepasang netra yang sangat ia rindukan binar ketulusannya. Cassie berani bertaruh netra itu masih sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya.

“I have something to tell you,” ujar Tyson serius.

Cassie menyamankan posisi duduknya. Sejujurnya, inilah yang ia tunggu sejak tadi. Ia merindukan momen di mana Tyson dan dirinya selalu bertukar kisah keseharian mereka atau membicarakan hal-hal serius terkait diri mereka dan masa depan. “Go ahead, Tyson. I’m listening.”

“Aku… minta maaf,” gumam lelaki tampan itu.

“Maaf? Maaf untuk apa?” balas Cassie dengan kembali bertanya.

“Aku tahu kamu sakit karena aku,” ucap Tyson sembari menghela napas panjang. “Dua tahun lalu aku pergi ninggalin kamu, ninggalin Mars, tanpa kabar atau berita apapun. Aku gak minta kamu untuk paham sama keadaanku. Aku cuma berharap kamu bisa maafin aku,” lanjutnya. “Maafin aku, Cassie.”

Sedih. Marah. Kecewa. Terharu. Bingung. Cassie tidak tahu emosi apa yang harus ia rasakan di saat seperti ini. Di satu sisi, ia sangat bahagia dapat bertemu kembali dengan Tyson meskipun di hati mereka masing-masing masih tersimpan luka yang amat mendalam. Di sisi lain, Cassie merasa kasihan karena Tyson kehilangan semangat hidupnya, Mama, untuk selama-lamanya. Namun, fakta-fakta di atas juga tidak memungkiri bahwa Tyson sempat pergi meninggalkannya.

Cassie menghela napas panjang. Ia meraih sebelah bahu lebar di hadapannya lalu mengangguk. “Iya, Tyson,” jawabnya. “Aku maafin kamu. Maaf juga, ya, aku sempat marah sama kamu tanpa tau alasan kepergian kamu,” ujar Cassie. “Maaf juga… aku gak datang ke pemakaman Mama.”

Kalimat terakhir yang diucapkan Cassie membuat Tyson mengangkat pandangannya. Dua pasang manik itu saling bertemu. Tyson tidak menyangka bahwa Cassie sudah mengetahui alasan di balik kepergiannya yang sangat tiba-tiba dua tahun lalu. Kala itu, Tyson sangat amat membutuh keberadaan Cassie untuk tetap ada di sisinya tetapi ia tidak sampai hati ketika mengingat ia meninggalkan gadis cantik itu tanpa alasan yang jelas.

“Cass…,” ucap Tyson.

“If only I knew what happened to you, aku gak akan gegabah dan malah pasif sama keberadaan kamu, Ty,” jelas Cassie.

“I’m… I’m sorry, Cassie,” kata Tyson mengulang kata maafnya. Seketika, air mata mulai berjatuhan dari sepasang manik selegam malam itu. Bayangan Mama yang tengah tersenyum manis dan fakta bahwa Cassie sama sekali tidak marah padanya akan apa yang terjadi di masa lalu membuat hatinya menjadi lapang, seolah Tyson dapat bernapas lega sekarang. Ia membawa Cassie masuk ke dalam dekapannya. Tyson tersenyum haru.

Cassie membalas pelukan itu. Ia mengusap punggung lebar yang sudah lama menanggung beban yang sangat berat itu. “Kamu gak perlu minta maaf sama aku, Tyson. How about you? Are you okay? Kenapa kamu gak bilang tentang Mama ke aku?” tanya gadis cantik itu bertubi-tubi.

Tyson melonggarkan dekapannya. “Aku gak bisa,” jawabnya. “Aku bakal jadi manusia yang paling gak tau diri, Cass, kalau aku butuh kamu setelah aku buang kamu.”

Mendengarnya, Cassie menggeleng. “Enggak, Tyson. You weren’t. Kamu gak buang aku.”

Kali ini, Tyson yang menggeleng. Ia tersenyum canggung. “No, Cassie. I was,” balasnya. “Aku bersyukur kamu mau terima permintaan maaf aku. Makasih, ya.”

Cassie mengangguk. Ia tersenyum ramah. Namun, tak dapat dipungkiri masih ada satu hal lagi yang mengganjal di hatinya. Ya, hubungannya dengan Tyson. Apakah mereka sudah putus? Atau ini saatnya mereka kembali? Ia tidak tahu tetapi ingin tahu. Apabila Cassie boleh jujur, masih ada percikan asmara yang timbul saat dirinya menemukan keberadaan Tyson tetapi ia tidak tahu apakah Tyson merasakan hal yang sama.

“Tyson…,” panggil Cassie.

“Iya, Cassie?” balasnya.

“What are we?” tanya gadis cantik itu dengan suara sepelan mungkin.

Walaupun begitu, Tyson tetap dapat mendengarnya. Apapun yang berhubungan dengan Mama dan Cassie, ia pasti lebih peka. Tyson tersenyum dengan sepasang manik selegam malam yang terlihat sayu. “Ikut aku sebentar, ya? I want to show you something.”

Setelah itu, Tyson mengajak Cassie untuk berkunjung ke kamar tidurnya di gedung tersebut. Kamar tidurnya terletak di ujung selasar dekat dengan jendela besar yang menampilkan langsung stadion pertandingan. Di dalam sana, Tyson mempersilakan Cassie untuk duduk di tepi ranjangnya. Sementara itu, dirinya merogoh tas ranselnya yang tergantung di dalam lemari bajunya. Tyson mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah berukuran sedang.

Tyson mendudukkan dirinya tepat di sebelah kanan Cassie tanpa ada jarak sedikit pun. Lengan keduanya pun saling bersentuhan. “Ini.” Ia menyerahkan kotak tersebut kepada Cassie.

Cassie yang menerima kotak dengan aksen mewah itu mengernyitkan keningnya. Ia membuka perlahan kotak yang diberikan Tyson padanya. Cassie menganga serta kedua matanya melotot sempurna saat mengetahui benda apa yang dilindungi oleh kotak dengan bahan velvet itu. “Cantik banget,” pujinya.

“Ini kalung punya Mama,” jelas lelaki tampan itu. “Kesukaannya.”

Mendengarnya, Cassie tiba-tiba menjadi gugup. Ia menyerahkan kembali barang berharga kepada Tyson. “Ih, aku ngeri pegangnya, Ty,” ucap Cassie. “Nih aku balikin ke kamu aja.”

Melihat tingkah menggemaskan Cassie, Tyson tertawa lepas. “Gak apa-apa, Cass,” balasnya. “Ini punya kamu sekarang.”

Cassie dibuat semakin bingung oleh lelaki tampan kesayangannya itu. Ia pandangi lagi kalung emas putih yang dihiasi oleh liontin berlian berwarna merah itu. “Maksudnya?” tanyanya.

Tyson semakin memangkas jarak antara dirinya dan Cassie, seolah-olah jarak yang pernah tercipta dua tahun lalu hilang dalam sekejap. Ia merangkul tubuh mungil yang, apabila memungkinkan, ingin ia miliki sepenuhnya. “Pas Mama masuk rumah sakit dia pernah bilang sama aku. Mama bilang, ‘Gimana keadaannya Cassie, Nak? Dia baik-baik aja ‘kan? Mama kangen sama dia. Kangen masak dan baking bareng dia.’,” jelas Tyson.

Cassie mendengar ada pesan rindu dari mendiang Mama, semakin tertarik dengan kisah yang diceritakan oleh Tyson padanya. “Oh ya? Terus Mama bilang apalagi?” tanyanya penasaran.

Tyson tersenyum melihat antusiasme dari gadis cantik yang ada di dalam dekapannya. “Mama juga bilang, ‘Tyson, kamu coba ke kamar Mama terus buka lemari baju Mama yang dari kayu jati. Di dalam sana, ada brankas yang kombinasi nomornya ulang tahun Cassie.’,” lanjut Tyson.

“Ulang tahun aku?” Cassie memiringkan kepalanya karena heran.

Tyson mengangguk. “Yaudah. Besoknya aku cek brankasnya. Di sana ada kalung itu.” Ia mengidikkan dagunya ke arah kalung yang tersimpan rapi di dalam kotak yang Cassie pegang. “Kalungnya aku bawa ke Mama. Terus… tau gak Mama bilang apa?”

Cassie menggeleng. “Enggak. Emangnya Mama bilang apa?”

“Mama bilang sama aku, ‘Itu kalung kesukaan Mama, Nak. Dulu Papa ngasih itu pas ulang tahun pertama pernikahan Papa sama Mama yang bertepatan juga dengan kabar Mama lagi mengandung kamu. Mama pengen kamu kasih kalung ini ke Cassie. Mama gak tau sampai kapan umur Mama. Jadi, Mama minta tolong sama kamu, ya, Nak. Cassie itu anaknya baik. Mama juga gak pernah ngeliat kamu sebahagia ini sebelum sama Cassie. Kasih kalung ini, ya, ke Cassie kalau kamu serius sama dia.’.”

Cassie mematung di tempatnya. Bukan karena otak mungilnya tidak dapat memproses semua paparan yang Tyson jelaskan padanya tetapi sebaliknya. Cassie sangat bersyukur bahwa Mama menyayanginya layaknya anak kandungnya sendiri. Namun, mendengar kabar seperti itu, Cassie tidak tahu apakah ada hari yang lebih membahagiakan lagi selain hari ini, seolah hari-hari kelamnya tergantikan dengan cerahnya sinar rembulan di malam hari ini.

Hari ini, di mana Cassie mengetahui semua kebenaran yang tersembunyi. Hari ini, di mana Cassie bertemu dengan Tyson setelah dua tahun terpisah darinya. Hari ini, di mana Cassie secara resmi merasakan lagi bunga-bunga cinta di dalam hatinya yang ditanam kembali oleh Tyson. Cassie tidak dapat menahan senyumnya, begitu juga dengan Tyson. Dua pasang netra itu saling melempar pandang.

“Aku kasih kalung kesukaan Mama ke kamu, Cass. Mama bilang kalau aku mau serius sama kamu, aku harus kasih kalung ini sebagai tanda keseriusanku. Aku tau aku terkesan gak tau diri. Setelah dua tahun menghilang dan gak ada kabar terus tiba-tiba aku datang ke kamu dengan dalih aku mau serius. Aku—” Tyson belum sempat merampungkan kalimat pengakuan cintanya, kali ini, yang lebih serius.

Cassie melakukan hal yang di luar dugaan. Dengan cepat, gadis cantik itu memangkas jarak yang memang sudah dekat antara dirinya dan Tyson. Ia mencium bibir sang kekasih yang sudah lama dirindukannya. Tyson bergeming. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Cassie akan bergerak secepat dan seagresif ini. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Tyson kepalang bahagia.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Tyson membalas ciuman itu. Awalnya, ciuman itu terasa nikmat, seolah keduanya sedang mengekspresikan kerinduan yang telah lama dipendam, tetapi lama-kelamaan ciuman itu semakin menuntut. Baik Tyson maupun Cassie menginginkan lebih. Mereka ingin menembus apa yang selama dua tahun belakangan ini tidak mereka dapatkan. Iya, cinta satu sama lain, dalam banyak artian.

Tak lama setelahnya, saat Cassie sudah mulai kehabisan napas. Ia menyudahi ciumannya terlebih dahulu. Napasnya tersengal sebab ulahnya sendiri. Tyson yang melihat wajah gadisnya memerah hanya dapat tersenyum. Ia mengusap pucuk kepala Cassie. Masih di dalam dekapan hangat itu, keduanya melempar senyum dan pandang. Tyson dan Cassie kembali merasakan bahagia yang sempat hilang.

“Semangat banget, Cass,” guyon Tyson.

Cassie hanya tertawa. “Kamu juga gak nolak,” balasnya.

Tyson yang mengetahui Cassie bukannya salah tingkah tetapi malah membalas dengan berani ejekannya merasa semakin terpancing. “Jadi, gimana?” tanyanya lagi.

Cassie mengerucutkan bibirnya. “Apanya yang gimana?”

“The proposal?” Tyson mengangkat sebelah alisnya.

Cassie menyeringai. “Are you joking me, Tyson?” katanya. “Emang ‘jawaban’ yang tadi belum cukup, ya?”

Mendengarnya, Tyson menyeringai. Kesempatan emas kembali datang ke padanya. “No?” balasnya. “I want to know more, please.”

Cassie mengangguk paham. Ternyata, Tyson memang menginginkan lebih. Ia juga tidak ingin membohongi dirinya bahwa ia menginginkan hal yang sama. Dengan begitu, Cassie kembali mendekatkan wajahnya pada wajah tampan sang kekasih. Ia mengecup sudut bibir yang sudah menggodanya begitu pertama kali kembali melihatnya. Cassie mengalungkan lengannya pada bahu lebar pemanah di hadapannya.

“You want more, Tyson? Here you go.”

Cassie melanjutkan kegiatan mereka yang tadi dengan sengaja ia tunda. Ciuman kali ini terasa dan terlihat lebih intens dibanding sebelumnya. Tangan Cassie terus menggoda dada bidang milik kekasihnya. Sementara itu, tangan Tyson bergerak mengusap perut rata gadisnya dari balik kaos tipis yang dikenakannya. Keduanya merasakan kenikmatan yang hakiki. Meskipun begitu, baik Tyson maupun Cassie, masih ingin yang lebih dari ini.

Oleh karena gairah yang memuncak, dengan telaten, Tyson mengangkat tubuh indah gadisnya untuk duduk di atas pangkuannya. Kemudian, ciuman itu perlahan turun ke arah dada Cassie yang sudah sedikit terekspos. Cassie menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Dekapan kedua lengannya pada bahu lebar di hadapannya semakin erat. Cassie sama bergairahnya dengan Tyson.

“Nghh, ahhh, Tyson,” lenguh gadis cantik itu saat sang kekasih berulang kali menjilat beberapa titik sensitif di lehernya.

Mulut Tyson masih bekerja keras di area dada mendekati payudara sang gadis. Tyson meninggalkan beberapa tanda kepemilikannya di sana. Cassie semakin dibuat terbang ke angkasa. Sedangkan, Tyson semakin gencar melancarkan aksinya. Cassie mendekap kekasih itu semakin dalam agar Tyson semakin bertemu dengan buah dada kebanggaannya. Tyson yang mengerti dengan isyarat itu kembali bergerak.

“I’ll remove your shirt, ya, Cassie,” ucap Tyson.

Pada kalimat itu, Tyson mendeklarasikan sebuah pernyataan dan bukannya meminta izin dari gadisnya. Cassie yang sangat rindu didominasi oleh lelaki kesayangannya itu tentunya dengan senang hati bersedia. Tyson menanggalkan kaos berwarna putih menutupi tubuh indah Cassie. Setelah ia dapat melihat permukaan kulit yang putih bersih itu, Tyson segera menghirup aroma Cassie dengan khidmat.

“I love this smell,” kata Tyson saat indera penciumannya dipenuhi dengan semerbak wangi vanilla yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh Cassie.

“Ahhh, Tyson,” lirih Cassie kala hidung bangir itu terasa menggelitik di antara sepasang payudaranya.

Di detik selanjutnya, lagi-lagi tanpa adanya aba-abanya, Tyson melepas bra berwarna hitam yang melindungi payudara kenyal milik Cassie. Ia hisap sebelah puting kecoklatan yang sudah mencuat sempurna itu. Sementara itu, tangannya yang terbebas memainkan ujung puting payudara yang menganggur. Tyson dengan aksinya yang melecehkan sepasang buah dadanya membuat Cassie semakin ingin mencapai kepuasaan tertinggi.

“Mphhh, Tyson, stophh,” komando Cassie.

Mendengar Cassie merintih seperti itu, Tyson menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia masih punya hati nurani untuk tidak menyakiti gadisnya walaupun Cassie juga sebenarnya mau. “Kenapa? I think you’ll like it,” tanyanya menggoda.

“Bukannya aku gak suka,” jawab Cassie. Ia menggigit bibir bagian bawahnya yang terlihat sedikit membengkak karena ciuman panasnya tadi bersama Tyson. “Tapi….”

“Is there something bothering you?” tanya Tyson.

Cassie melirik bagian selatan dirinya dan kekasihnya. “Down there,” ujar gadis cantik itu. “It hurts, Tyson. I want you inside me immediately.”

Tyson terkekeh. Ternyata, Cassie masih saja tidak sabaran apabila berhubungan dengan kegiatan pemuas nafsu seperti ini. Tyson menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Okay. But, lemme check it first.” Selepas dengan pernyataannya itu, Tyson bergerak mengusap kewanitaan Cassie dari arah luar pakaia dalamnya.

“Ahhh,” desah gadis cantik itu.

“You’re right,” jelas Tyson. “Kamu udah basah.”

“Quickly, Tyson. I can’t hold it anymore,” jelas Cassie memohon.

“Hold on, Cassie. I don’t wanna hurt you,” balas lelaki tampan itu.

Tangan kekar Tyson masih bermain dengan vagina gadisnya. Ia ingin memastikan bahwa lubang surgawi itu sudah terlumasi seluruhnya. Namun, bukan Cassie namanya jika ia tidak memberontak. Tyson ingin bermain lembut dengannya tetapi sang kekasih sepertinya tidak satu suara dengannya. Cassie terus menggoyangkan pinggulnya agar jari-jari besar itu menyentuh vaginanya lebih dalam.

“Play rough on me, Tyson,” goda Cassie.

“This is our first time after a long time, Cassie,” ujar Tyson. “Kamu yakin?”

Cassie menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan sangat yakin. “Please…,” ucapnya.

Tyson tidak mempunyai pilihan lain, selain menyetujui permintaan gadisnya. “Okay. But, at least let yours wet first.”

Cassie mengiyakan perintah dari sang dominannya. Setidaknya, itu yang dapat ia lakukan alih-alih Tyson harus menolak keinginannya mentah-mentah. “With yours?”

Tyson menggeleng. “With my fingers, Cassie, my fingers.”

“Kamu gak seru,” keluhnya.

Tyson yang mendengar gadis cantiknya melayangkan protes memutar bola matanya. “You have to be patient to get what you want, Cassie.”

Cassie mendekatkan wajahnya kepada Tyson. “Like us?” Bibirnya mengukir senyum indah.

Tyson membalas simpul itu dengan tak kalah indah. “Like us.”

Selanjutnya, Tyson menangkup dagu mungil dari wajah cantik yang saat ini berposisi lebih tinggi darinya. Ia kecup bibir menawan itu dari satu sudut ke sudut lain. Sedangkan, tangannya bergerak melucuti celana pendek olahraga serta pakaian dalam dengan warna senada dengan bra miliknya tadi. Tyson dapat merasakan cairan hangat perlahan mengalir membasahi celana piyamanya.

“Ahh!” teriak Cassie tiba-tiba saat jari telunjuk dan jari tengah milik kekasihnya itu menerobos ke dalam kewanitaannya.

“Katanya kamu mau aku main kasar? Tapi baru kayak gini aja kamu udah kesakitan,” ledek lelaki tampan itu.

“I am, ahhh,” balas Cassie. Ia masih dapat menikmati rasa itu meski tempo yang bergerak di bawahnya cenderung lamban.

Tyson mendekatkan mulutnya ke telinga kanan sang gadis. “Untuk apa aku main kasar? If only with this slowly movement like this could brings heaven to you, Cassie.”

Cassie menggigit pipi bagian bawahnya. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar tidur kekasihnya. “But, still, Tyson… the rough one’s more challenging,’ ucap Cassie sembari mengatur napasnya karena rasa nikmat yang menjalari tubuhnya. “Am I, right?”

Tyson menambah pergerakan pada bagian selatan Cassie. Kini, ibu jarinya bergerak memutari klitorisnya. “So, you still want the rough one?” tanya Tyson meyakinkan.

“Nghhh, yes, ahh, please,” ujar Cassie susah payah.

Tyson tersenyum seram. “Alright,” katanya. “You got what you wish.”

Selanjutnya, Tyson mulai bergerak. Ia mengangkat tubuh indah Cassie lalu membantingnya ke ranjang tidurnya. Kemudian, Tyson berjalan mendekati laci di bawah meja belajarnya. Dari dalam sana, ia mengambil seutas tali dan sebuah dasi. Cassie dengan susah payah menelan salivanya saat Tyson benar-benar berubah menjadi persona yang ia inginkan. Ia tiba-tiba saja merasa sedikit menyesal dengan pilihannya. Tyson tampak sangat mengerikan dan menggoda.

“Play hard or go home is your concept ‘kan, Cass?” tanya Tyson sensual. “So, this is what you got.”

Tyson memutar balik tubuh kekasihnya itu agar menelungkup. Kemudian, kedua tangan Cassie diikat membelakangi tubuhnya. Setelahnya, ia menutup manik dengan binar seterang konstelasi bintang di angkasa itu menggunakan dasi. Tyson menyibakkan rambutnya ke arah belakang sembari tersenyum puas kala sepasang manik selegam malamnya melihat mahakarya indah yang terbaring di atas ranjangnya.

Tyson mulai naik ke atas ranjang untuk kemudian menciumi punggung mulus itu. Cassie dibuat merinding sebab ciuman panas itu beradu dengan rendahnya suhu kamar tidur sang kekasih. Tubuhnya menggelinjang hebat meskipun Tyson belum menghantamnya dengan batang berurat yang sangat Cassie inginkan untuk berada di dalamnya sekarang. Cassie takut tetapi merasa terpuaskan di saat yang bersamaan.

“Akh!” pekik Cassie kala tangan kekar Tyson menampar bokongnya.

“Ah, I forgot something,” ucap Tyson.

Cassie kembali menelan saliva kala tenggorokannya terasa kering hanya karena sepenggal kalimat tersebut. “Lupa apa, Tyson?” tanyanya.

Tyson berjalan ke arah nakas di sebelah kiri tempat tidurnya. Ia membuka laci di bawah lampu tidur dengan warna lampu warm white itu. Cassie tidak tahu pasti apa yang kekasihnya ambil dari dalam situ. Namun, seketika ada suara getaran yang samar memasuki indera pendengarannya, Cassie langsung tahu apa yang Tyson maksud. Ternyata, Tyson masih menyimpan benda itu bersamanya.

“Mainan kesukaan kamu,” jawab lelaki tampan itu seraya melepaskan semua baju yang melekat pada tubuh kekarnya.

Akhirnya, setelah menyiapkan keperluan seadanya yang akan membuat Cassie terbang menuju angkasa, Tyson kembali naik ke atas ranjang. Ia memposisikan dirinya setengah berdiri di belakang tubuh indah gadisnya. “Spread your legs, Cantik,” perintah Tyson. Cassie menuruti perintah kekasihnya. Tangan Tyson bergerak memasangkan vibrator kecil pada bagian klitoris Cassie.

“Ahhh, Tyson, nghh,” lirih gadis cantik itu.

Lutut yang tadinya berdiri tegap menumpu beban tubuhnya sudah terjatuh lemas. Tyson mengangkat pinggul gadisnya agar posisinya kembali seperti semula. Ia kembali menampar bokong sintal itu. Cassie menenggelamkan wajahnya ke arah bantal. Ia merintih saat rasa sakit itu muncul bersamaan dengan rasa nikmat. Tyson sungguh-sungguh memenuhi tugasnya untuk bermain kasar dengannya.

“You like that, Cass?” tanya Tyson.

Cassie menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya,” balasnya lemas.

“Lagi?” tanya Tyson menantang.

Dengan lantang Cassie menjawab, “Lagi!”

Tyson menyiapkan penisnya untuk menghantam vagina Cassie. Ia mengusap batang yang sudah mencuat hebat itu. Tyson juga bergerak mengusap vagina gadisnya dari depan ke belakang agar pelumas alami itu menyebar dengan rata. Tyson dibuat semakin bergairah saat daerah kewanitaan kekasihnya berkedut dengan samar. Sepertinya, ia akan langsung menancapkan penisnya saja.

“Ahh, Tyson!” lenguh gadis cantik itu kala batang besar itu langsung setengah masuk ke dalam miliknya.

“Nghh, Cass, you’re so tight,” puji Tyson.

Cassie kembali menenggelamkan wajahnya ke arah bantal. “Mphhh, ahhh.” Lirihannya tertahan.

Tyson mulai bergerak maju mundur agar penisnya masuk dengan sempurna ke dalam lubang sempit itu. “Ahhh, Cass.”

Di balik bantal yang menutupi wajah cantiknya itu, Cassie menggigit pipi bagian dalamnya. “Ahh, Tyson, move faster,” pintanya.

Tyson yang baru saja selesai menanamkan batangnya dengan sempurna ke dalam vagina Cassie langsung bergerak dengan kecepatan sedang. Dengan aktivitas panas, basah, dan menyentuh kulit masing-masing itu, keduanya mulai terbang ke luar angkasa. Tyson memejamkan maniknya seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Cassie berusaha bertahan dengan posisinya agar ujung penis Tyson terus menggempur rahimnya.

Seiring waktu yang berjalan cepat, tempo yang Tyson mainkan juga kian cepat. Dari kecepatan sedang, cepat, menjadi sangat cepat. Cassie merasa kewalahan dengan segala rasa nikmat yang tercipta dari permainan ala nafsunya bersama Tyson. Serupa dengan Cassie, Tyson pun merasakan hal yang sama. Ia tanpa ampun menghantamkan penisnya ke dalam rahim sang kekasih.

“Tyson, ahhh, harder,” ujar gadis cantik itu putus asa.

“Wanna cum, Cass?” tanya Tyson.

Cassie mengangkat pandangannya. Ia menyempatkan diri untuk melirik kekasihnya yang masih menikmati momen ini di belakangnya. “Iya,” jawabnya.

Mendengarnya, Tyson bergerak menggempur gadisnya jauh lebih keras dari sebelumnya. Cassie dapat merasakan dengan jelas bagaimana kepala penis itu menyentuh titik manisnya yang semakin membuatnya ingin meraih puncak kenikmatan. Berkat Cassie, Tyson juga sebentar lagi akan menjemput pelepasannya. Namun, Cassie melakukannya terlebih dahulu. Tubuh indahnya menggelinjang sempurna.

“I’m cum, Tyson,” kata Cassie.

“One more time, Cassie,” pinta lelaki tampan itu.

“Hah? Maksudnya?” balas Cassie dengan kembali bertanya.

“Cum one more time for me,” perintah Tyson.

Cassie yang tidak mengenal kata lelah pada aspek apapun itu di dalam hidupnya tentunya menyetujui permintaan lelaki kesayangannya itu. Pinggulnya ikut bergoyang lebih keras. Tyson membungkukkan tubuhnya agar kedua tangannya yang terbebas dapat meraih payudara milik Cassie yang menggantung dengan indah. Dengan begitu, Cassie akan kembali mencapai titik ternikmatnya.

“I’m cum, Cassie,” kata Tyson. “Akh!”

“Ahh, Tyson!” pekik Cassie.

Tyson dan Cassie menjemput pelepasannya bersama-sama. Tyson pada pelepasan pertamanya dan Cassie pada pelepasannya keduanya. Setelah permainan panas yang menegangkan, keduanya tumbang di atas ranjang. Dengan sisa tenaganya, Tyson melepaskan ikatan tangan serta membuka dasi yang menghalangi penglihatan gadisnya. Cassie mengerjapkan beberapa kali kala sinar lampu kamar menyerang maniknya.

Cassie tersenyum saat pemandangan pertama kali yang ia lihat setelah warna kembali menghiasi netranya adalah senyuman manis yang terpatri di wajah tampan Tyson. Tyson menarik selimut untuk kemudian mendekap Cassie di dalam pelukannya. Ia mengusap kepala bagian belakang sang gadis. Sedangkan, Cassie sibuk memainkan jari-jarinya pada dada bidang lelaki kesayangannya.

“Capek gak, Cass?” tanya Tyson sembari mengangkat wajah cantik itu agar menatap langsung maniknya.

Cassie mengangguk. “Capek,” jawabnya. “Tapi enak.”

Tyson tertawa mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Cassie. Ia mengusap pelan kepala kekasihnya. “You’re still good at this game,” ujarnya.

“Aku gak akan kayak gini kalo gak sama kamu, Tyson.” Cassie menjawil pangkal hidung bangir Tyson.

“I love the bad cop roles’ you played at this game,” jelas lelaki tampan itu.

“And I love the way you turned into a bad guy when I ask,” balas Cassie.

Mereka tertawa pada lelucon nyata yang memang terjadi di antara keduanya. Setelah kembali mengucap janji untuk sehidup semati bersama, Tyson dan Cassie menghabiskan malam dengan pemainan panas khas keduanya. Baik Tyson maupun Cassie tidak akan menyangka turnamen tahunan yang terselenggara di tahun ini akan membawa keajaiban bagi mereka berdua. Tyson dan Cassie ingin berada di sisi masing-masing selamanya.

Jihan melangkahkan kakinya terburu-buru saat sepasang manik selegam senjanya benar-benar melihat sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tidak jauh dari tempat duduknya di bawah naungan halte bus. Bersamaan dengan Jihan yang menghampiri mobil tersebut, Jerrico keluar dari dalam sana. Ia menyimpulkan senyum seraya melambaikan tangannya kepada adik kelas kesayangannya.

“Kak Jerrico dari kapan di sini?” tanya Jihan sesampainya ia di hadapan sang pujaan hati.

Jerrico mengetuk-ngetukkan jarinya sembari merengut lucu. “Dari…,” ucapnya menggantung. “Dari kamu keluar gerbang sekolah.”

Mendengarnya, Jihan menganga. “Berarti Kakak ngikutin aku dari pulang sekolah dong?!”

Jerrico menganggukkan kepalanya. “Iya. Bisa dibilang gitu. Dari keluar kelas malah.”

“Kakak kenapa ngikutin aku sih?” tanya Jihan penasaran.

“Ya, abisnya kamu ngehindar terus. Aku bingung harus gimana biar bisa ketemu sama kamu. Yaudah, aku ikutin aja,” jelas lelaki tampan itu.

Jihan mengusap dadanya pasrah. Kedua netranya memandang datar pada kakak kelas favoritnya. Sebetulnya, Jihan tengah mengutuk lelaki tampan setinggi tiang bendera yang berdiri di hadapannya itu. Bagaimana bisa? Jerrico tidak mengindahkan rasa cemburunya. Sedangkan, Jihan setengah mati menahan dirinya agar tidak memukul ataupun meninju setiap gadis genit yang gencar sekali mengincar dambaan hatinya.

“Kita masuk dulu, yuk, ke dalem mobil. Kita makan dulu baru abis itu aku anter kamu pulang.”

Jerrico menuntun Jihan agar masuk ke dalam mobilnya. Ia membukakan pintu dan menjaga pucuk kepala adik kelasnya agar tidak terbentur atap mobil. Kemudian, ia menutup pintu lalu berlari kecil memutari mobilnya untuk masuk ke dalam sana menyusul sang gadis. Setelahnya, Jerrico menancap gas untuk menuju ke restoran cepat saji yang biasa keduanya kunjungi sepulang sekolah atau sebelum berangkat ke tempat kursus.

Selama di dalam perjalanan, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara Jerrico dan Jihan. Jerrico sibuk menyetir seraya mengikuti alunan musik dari audio mobilnya. Sementara itu, Jihan membungkam dirinya sembari maniknya memperhatikan bangunan yang tertata rapi yang ada di sebelah kirinya. Sesekali, Jerrico mencuri pandang ke arah Jihan yang sedang termenung. Ia tersenyum karena tahu apa yang menjadi penyebab kegelisahan sang gadis.

“Jihan,” panggil Jerrico. Mobilnya berhenti di perempatan lampu lalu lintas yang berwarna merah.

“Hm?” Yang dipanggil hanya berdehem singkat tanpa memalingkan pandangannya.

“Kok kamu diem aja sih?” tanya lelaki tampan itu.

“Enggak. Aku emang biasanya diem,” jawab Jihan. Ia masih setiap pada pendiriannya.

“Kamu gak biasanya diem kayak gini, Jihan. Kamu biasanya suka cerita di sekolah ngapain aja,” sanggah lelaki tampan itu. “Tadi di sekolah kamu gak mau ketemu sama aku terus sekarang kamu diemin aku. Kamu kenapa, hm?”.

Mendengar ada deheman yang disandingkan dengan suara sedalam cintanya pada Jerrico, Jihan hampir luluh. Kedua indera pendengarannya sangat dimanjakan oleh bias suara yang sangat menggoda itu. Jihan menolehkan pandangannya. Ia memandang kakak kelasnya itu dengan tatapan yang bahkan Jerrico tidak bisa deskripsikan. Jihan seolah-olah sedang mengidentifikasi dirinya, dari atas kepala sampai bawah kaki.

“Kamu kenapa ngeliatin aku gitu?” tanya Jerrico lagi.

Jihan terkesiap dengan pertanyaan yang dilontarkan Jerrico padanya. “Enggak tuh. Kak Jerrico jangan kepedean. Aku gak liatin Kakak, ya,” jelasnya penuh kebohongan.

“Suka sama aku, ya?” sergah lelaki tampan itu.

Sebelum menjawab, Jihan pura-pura menggaruk pangkal hidungnya. Lalu, ia bergumam sepelan mungkin. Berharap Jerrico tidak mendengar pengakuannya. “Iya,” katanya.

Jerrico terkekeh. Ia tidak dapat menahan semua tingkah laku gemas yang dilakukan gadis kesayangannya. Jika memungkinkan, Jerrico ingin sekali menggigit sepasang pipi chubby yang sedari tadi tidak berhenti menggembung sebab kesal tersebut. Menurut lelaki tampan itu, Jihan yang marah adalah Jihan yang paling menggemaskan. Tak lama setelahnya, lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau, Jerrico kembali melajukan mobilnya.

“Kamu lucu, Jihan,” ujar Jerrico.

Jihan menahan senyumnya. Ia berusaha meminimalisir degup jantungnya yang tak karuan kala pujian dari Jerrico itu terus mengganggu di hatinya. Kalau saja, ia tidak ingat bahwa dirinya sedang merajuk, mungkin Jihan sudah melompat dari tempat duduknya dan memeluk kakak kelas kesayangannya itu. Ia tidak bisa apabila harus berdiam diri lebih lama lagi jika Jerrico memperlakukannya sepertinya ini.

Setelah hampir lima belas menit menempuh perjalanan, akhirnya Jerrico dan Jihan sampai di tempat makan yang dimaksud. Di sana, Jerrico memesan satu paket nasi ayam untuk dirinya serta satu paket nasi ayam porsi anak kecil dan ice cream cone untuk adik kelasnya. Seketika sadar bahwa Jerrico membelikannya makanan dengan hadiah mainan yang ada di dalamnya, Jihan berjingkrak senang.

“Kok Kakak tau aku belum punya mainan ini?!” tanya Jihan semangat. Sepasang manik selegam senjanya tidak dapat lepas dari salah satu karakter pokemon berwarna kuning favoritnya yang ada di tangannya.

“Tau dong. ‘Kan terakhir kali kita video call, kamu nunjukkin aku koleksi mainan kamu. Terus aku sadar kamu belum punya yang ini,” jawab Jerrico yakin.

“Ih, Kak Jerrico inget!” ucap gadis cantik itu. “Makasih, ya, Kak.” Jihan tersenyum manis.

Jerrico membalas simpul itu tak kalah manis. Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan pucuk kepala Jihan. “Iya, sama-sama, ya, Cantik. Sekarang makan dulu.”

Jika tadi Jerrico seolah berbicara dengan seseorang yang tengah mengidap penyakit sariawan, setelah diberi beberapa sesajen, seperti makanan cepat saji dan es krim, kini Jihan justru tidak dapat berhenti mengoceh, mulai dari tugas fisika yang sangat sulit untuk diselesaikan bahkan oleh peringkat pertama di kelasnya sampai kedua orang tuanya yang tiba-tiba pergi ke Italia tadi pagi.

“Makan dulu, Jihan,” ucap Jerrico. Ia dapat melihat semangat juang gadis cantik itu yang membara-bara.

“Iya, Kak. Ini aku makan kok,” balas Jihan.

“Maksudnya makan yang bener. Nasinya nempel di mulut kamu tuh,” ujar lelaki tampan itu.

Dengan sigap, Jerrico menyeka butiran nasi yang melekat di sudut bibir seranum buah persik itu. Jihan sempat terhenyak ketika tangan besar itu menyentuh ujung mulutnya. Ia mengerjapkan netranya beberapa kali. Jihan dapat merasakan hangatnya tangan itu. Lagi, entah untuk ke berapa kalinya di hari ini, jantungnya tidak berdetak sesuai ritme yang normal. Setelah dirasa bersih, Jerrico menarik kembali tangannya.

“Jangan berantakan dong makannya, Cantik,” kata Jerrico.

“I-Iya, Kak,” ujar Jihan tebata. “Maaf.”

Mendengarnya, Jerrico terkekeh. “Iya, Jihan,” ucap lelaki tampan itu. “Dimaafin kalo makannya abis,” lanjutnya.

Kemudian, sepasang kakak dan adik kelas yang saling memendam rasa itu melanjutkan santapan siang menuju sore masing-masing. Di sela-sela waktu makan, Jerrico berinisiatif untuk memulai percakapan dengan gadisnya terlebih dulu. Jihan-pun memiliki beragam jawaban untuk terus mempertahankan obrolannya dengan sang pujaan hati. Setelah hampir setengah jam, Jerrico mengajak Jihan untuk pulang.

“Jihan,” panggil Jericco saat keduanya baru mendudukkan diri masing-masing di dalam mobil.

“Iya, Kak?” balas Jihan. Tangannya bergerak memasangkan sabuk pengaman untuk dirinya.

“Mau boba gak?” tanya sang kakak kelas.

Jihan mengerutkan dahinya. Ia memandang kakak kelasnya itu heran. ”Tumben banget Kak Jerrico nawarin aku begituan,” kata Jihan.

“Biasanya ‘kan kalo cewek ngambek terus dikasih yang manis-manis langsung jadi gak ngambek lagi,” jelas Jerrico.

Mendengarnya, Jihan tertawa. “Kakak kata siapa kayak gitu? Terus yang ngambek siapa?”

Jerrico mendekatkan wajahnya ke arah Jihan. Dengan gerakan tiba-tiba itu, Jihan lagi-lagi dibuat membeku di tempatnya. Saat ini, sepasang manik selegam senjanya tengah menatap sepasang senja selegam malam di hadapannya. Baik Jerrico maupun Jihan, sama-sama dapat merasakan napas hangat yang menerpa wajah masing-masing.

Jerrico menyeringai. “Kamu, Jihan. Kamu yang ngambek. Iya ‘kan?” tanya lelaki tampan itu memastikan.

Jihan segera memalingkan wajahnya. Ia mencoba memasukkan pasokan oksigen sebanyak-banyaknya setelah tadi ia menahan napas cukup lama sebab wajah tampan yang menatapnya intens. “Enggak kok. Aku gak ngambek,” jawab gadis cantik itu.

Setelah mendengar jawaban demikian dari sang gadis, barulah Jerrico mau kembali ke tempat semula. Ia mengulas senyum manis sehingga matanya ikut tersenyum. “Oke, kalo gitu. Kita pulang, ya.”

Jerrico melajukan mobilnya keluar dari parkiran restoran cepat saji tersebut. Sesuai dengan rencananya, dan juga berhubung gadisnya menolak ketika ditawari makanan atau minuman manis, ia akan mengantar Jihan pulang. Seharusnya, atmosfer tidak terasa semenegangkan dan semenyeramkan tadi, tetapi entah mengapa gadis cantik yang duduk di sebelahnya tetap bungkam.

Jihan tidak dapat berhenti bergerak di tempatnya duduk. Semenjak tadi, ketika ia pertama kali melihat serta merasakan wajah tampan favoritnya sedekat nadi, Jihan jadi kesulitan untuk menyamankan posisinya. Seolah tanpa dosa, Jerrico terlihat sangat nyaman mengendarai mobilnya. Di sisi lain, gadisnya hanya sekadar untuk bernapas dengan normal saja membutuhkan tenaga ekstra.

Jihan merasa ada sesuatu yang membuncah di dalam dirinya. Namun, ia sendiri tidak tahu apa itu. Adegan Jerrico, yang seperti hampir menciumnya, tadi terus menghantuinya. Lihat saja, Jihan tidak dapat bernapas dengan normal sejak tadi. Jantungnya terus saja berdegup kencang bagai kuda pacu yang berlari. Juga, perutnya terasa aneh, seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam sana.

Selagi gadis cantik itu sibuk bergumul dengan lamunannya, mobil yang ditumpanginya masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Jerrico memberhentikan mobilnya di depan garasi besar yang ada di sana. Ia melepaskan sabuk pengaman yang melindunginya. Jerrico sempat terkejut kala ia menolehkan pandangannya dan yang ditemukannya adalah sang adik kelas yang serupa dengan patung, hanya diam di tempat tanpa ada pergerakan apapun.

“Jihan,” panggil Jerrico seraya menepuk pundak lawan bicaranya.

Yang dipanggil namanya hanya bergeming dan masih asyik dengan skenario yang ada di kepalanya. Barulah setelah sang kakak kelas mengguncang tubuhnya beberapa kali, Jihan kembali ke alam sadarnya.”Iya, Kak? Kenapa?” ucapnya tidak santai.

“Kita udah sampai,” jawab lelaki tampan itu.

Jihan mengedarkan pandangannya dari dalam mobil tersebut. Benar saja, keduanya sudah sampai di rumahnya. “Oh, iya, Kak.”

Jihan bergerak untuk melepaskan sabuk pengamannya. Namun, entah mengapa, mungkin karena hilangnya konsentrasi, Jihan kesulitan untuk membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Pengaitnya tidak mau keluar dari tempatnya. Dengan inisiatif, Jerrico membantu gadisnya. Tubuhnya mendekat ke arah Jihan. Lalu, sepasang lengan kekarnya bergerak menolong tangan mungil Jihan untuk melepaskan benda pengaman tersebut.

“Kamu kenapa, Jihan? Semenjak masuk mobil tadi, kamu jadi diem. Mukamu juga pucet. Ada yang ngeganggu pikiran kamu, ya?” tanya Jerrico. Tangannya masih berjuang melepaskan pengait sabuk pengaman.

“E-Enggak kok, Kak. Aku gak apa-apa,” elaknya.

“Jangan bohong, Jihan,” ucap Jerrico.

Jerrico masih nyaman di posisinya yang setengah bangkit dari tempat duduknya. Meskipun, otot kakinya sudah merasa sedikit kaku, ia tetap mempertahankan postur tersebut. Dan juga, sebetulnya, sudah sedari tadi Jerrico melepaskan kaitan sabuk pengaman gadisnya. Namun, sepertinya, Jihan sama sekali tidak menyadari hal itu. Ia masih sibuk merangkai dusta demi dusta untuk dilontarkan pada sang pujaan hati.

“Aku gak bohong, Kak Jerrico,” bantah gadis cantik itu.

Jerrico dan wajah tampannya yang saat ini berada lebih rendah dari sang gadis menatap lamat pada sepasang manik selegam senja yang membulat sempurna. Ia dengan sengaja beradu tatap dengan Jihan agar gadis itu mau berkata jujur padanya. Namun, bukannya mengatakan fakta, Jihan malah membeku di tempatnya. Untuk kedua kalinya, Jerrico berada sedekat itu dengannya seraya menatapnya intens.

“Kamu tau ‘kan kalo bohong itu gak baik, Jihan?” kata Jerrico dengan bias suara sedalam palung.

Jihan diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu dengan kebohongan yang sudah direncanakannya. “Tapi aku—”. Belum sempat gadis cantik itu menyelesaikan kalimatnya.

Cup!

Jerrico menciumnya singkat. Walaupun sekelibat, Jihan dapat merasakan dengan jelas bagaimana belahan ranum itu menyentuh bibirnya dengan lembut. Setelah kecupan singkat itu juga, Jihan merasakan bahwa rasa yang membuncah di dalam dirinya perlahan tersalurkan. Jantungnya berdegup semakin kencang. Serta, kupu-kupu yang ada di dalam perutnya seolah meledak sempurna.

“Masih mau bohong lagi?” tanya Jerrico serius.

Jihan menggeleng. “E-Enggak, Kak,” jawabnya terbata.

Jerrico mengangguk. Ia mengapresiasi kesadaran sang gadis meskipun harus diprovokasi terlebih dahulu. “Bagus,” katanya. “Sekarang aku tanya lagi. Kamu cemburu liat aku deket sama perempuan lain, Jihan?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Jihan dengan susah payah menelan salivanya. Walaupun, intensitas bertemu mereka termasuk ke dalam kategori sering, tetapi percakapan yang terjadi di antara mereka sama sekali dan tidak pernah menjurus ke hal tersebut. Singkatnya, pada lubuk hati terdalam masing-masing, Jerrico tahu bahwa Jihan menyukainya dan sebaliknya. Jihan tidak tahu, untuk pertanyaan yang satu apakah ia harus berbohong atau berkata jujur.

Jihan hendak menggelengkan kepalanya lagi. Bahkan, mulutnya baru membuka setengah dan kata yang terlontar hanya, “Eng—”. Jerrico kembali menciumnya.

Cup!

Sedikit berbeda dengan yang sebelumnya, kecupan ini terasa dan terlihat lebih kuat. Jerrico tidak mencium gadisnya dalam waktu singkat dan Jihan juga tidak memberontak diperlakukan demikian. Perlahan, tangan besar itu bergerak mengusap sebelah pipi sang gadis dan tangan mungil itu bergerak menangkup bahu lebar lelaki kesayangan. Terhitung sudah beberapa menit berjalan tetapi keduanya belum mau melepaskan. Setidaknya, sampai…

“Tunggu, Kak!” Jihan melepaskan ciuman itu dengan tidak santai. “Aku gak bisa napas,” katanya.

Jerrico terkekeh. “Iya, Jihan,” balasnya. “Kita pelan-pelan aja, ya.”

Di detik berikutnya, Jerrico hendak membawa gadisnya untuk kembali masuk ke dalam ciuman yang sangat candu nan memabukkan itu. Jerrico mengulurkan tangannya untuk menangkup dagu mungil gadisnya. Jihan dapat merasakan ibu jari sang kakak kelas mengusap bibirnya dengan lembut. Kemudian, Jerrico kembali memangkas jarak yang sudah sangat dekat dengan gadisnya. Namun, Jihan menghentikan pergerakan itu.

“Kak,” panggil Jihan.

“Iya, Jihan?” balas Jerrico lembut.

“Di dalam rumah aku aja, ya. Lagi gak ada Papa sama Mama kok.”

Selepasnya, sepasang siswa sekolahan itu ke luar dari dalam mobil. Jihan melangkah terlebih dahulu untuk kemudian diekori oleh Jerrico. Selagi gadis cantik itu sibuk mencari kunci pintu utama rumahnya, Jericho mengusap kedua bahunya. Jihan dapat merasakan dengan jelas seluruh tubuhnya bereaksi. Ia merinding tetapi bukan dalam artian yang buruk. Tangan besar kakak kelas kesayangannya itu menghantarkan hangat pada tubuhnya.

“Ada gak kuncinya? Sini aku bantu cari,” ujar lelaki tampan itu.

Tepat setelah Jerrico menawarkan bantuannya, Jihan menemukan kumpulan kunci yang menggantung menjadi satu dengan hiasan boneka kecil berbentuk hamster. “Ketemu, Kak!” jawab Jihan yang terdengar sangat ceria seolah ia telah menemukan harta karun.

Jihan memutar salah satu kunci berukuran paling besar pada lubang di bawah kenop pintu berwarna putih itu. Dan setelah pintu besar itu terbuka, tampaklah rumah mewah yang diisi oleh interior yang juga mewah. Namun, Jerrico merasakan ada sesuatu yang janggal. Suasana di dalam sana terasa sunyi dan senyap. Jerrico kembali mengikuti langkah gadisnya masuk ke dalam sana.

“Selamat datang di rumah aku, Kak!” ucap Jihan semangat. Ia mengangkat tinggi kedua tangannya.

Jerrico tertawa gemas. “Makasih, Jihan.” Ia mengusap pucuk gadisnya lembut. “Kamar kamu yang mana?” tanyanya.

“Kamar aku ada di lantai 3, Kak,” kata gadis cantik itu. “Kita naik lift aja, ya.”

Jihan menggandeng tangan besar Jerrico untuk mengikutinya masuk ke dalam elevator yang ada di dalam rumahnya. Di dalam sana, Jihan menekan tombol dengan angka tiga untuk menuju lantai di mana kamarnya berada. Satu detik setelah pintu logam itu tertutup rapat, Jerrico meraih tangan Jihan agar mendekat kepadanya. Ia menangkup sebelah sisi wajah cantik itu lalu menciumnya mesra.

Jihan yang kewalahan dengan gerakan tiba-tiba itu mencoba mengikutinya secara perlahan. Ia peluk leher lelaki tampan yang lebih tinggi darinya itu. Paham dengan sinyal itu, Jerrico merendahkan sedikit tubuhnya. Dipeluk erat pinggang adik kelasnya itu. Tak lama kemudian, lift yang mereka naiki sampai di lantai tiga dan pintu pun terbuka. Tidak ingin melewatkan momen barang sedetik, Jerrico menggendong Jihan ke dalam pelukannya.

Tanpa melepaskan pautan mereka, Jerrico melangkah ke luar dari dalam lift. Kaki jenjangnya berjalan pasti menuju kamar paling ujung di lantai itu. Terdapat hiasan makrame berwarna merah muda tergantung di daun pintu itu. Jerrico menyudahi ciumannya terlebih dahulu. Ia tertawa dalam diam saat bibir ranum Jihan kembali mencari bibirnya. Jihan baru sadar setelah beberapa detik. Wajahnya memerah karena malu.

“Masih mau, ya?” ledek Jerrico.

“Ih, Kakak! Jangan gitu. Aku malu,” balas gadis cantik itu sebal.

Jerrico tersenyum. Ia mengeratkan gendongan Jihan pada tubuhnya. “Kamar kamu yang ini ‘kan?” tanyanya.

Jihan memutar balik kepalanya. Kemudian, ia kembali mengarahkan pandangannya pada Jerrico. “Iya, Kak. Ini kamar aku,” katanya sembari mengangguk.

Jerrico mengangguk sebentar. Lalu, tangannya bergerak memutar kenop pintu berwarna emas itu. Ia dorong sedikit pintu besar itu agar terbuka lebar. Setelahnya, keduanya masuk ke dalam kamar tidur itu. Jihan yang masih berada di dalam gendongan ala koala yang memeluk pohon itu mengarahkan Jerrico agar menurunkannya di tepi ranjang. Seolah tidak ingin menghabiskan waktu tanpa lelaki kesayangannya, Jihan masih memeluk Jerrico yang berdiri di hadapannya.

Jerrico lagi-lagi terkekeh. Ia mengusap pucuk kepala gadis cantik yang mendekapnya erat. Sekarang, posisi kepala sang gadis menghadap langsung ke perut atletis sang kakak kelas. “Jihan,” panggilnya.

Mendengar, suara sedalam palung itu memanggil namanya, Jihan menengadahkan kepalanya. Ia tatap lamat sepasang manik dengan binar menawan itu. “Iya, Kak?”

Jerrico merendahkan kepalanya. Ia berusaha sedekat mungkin dengan sang gadis. Ia tersenyum sebelum berkata lembut. “Masih mau lanjut yang tadi?”

Tentunya, Jihan tidak ingin menolak penawaran yang satu ini karena memang itu yang ia inginkan. Setelah merasakan ada sesuatu yang menggelitik di dalam perutnya, Jihan ingin rasa itu kembali. Ia mau perasaan yang memohon untuk dipuaskan itu segera dituntaskan. Perlahan, Jerrico kembali mendekatkan wajahnya dengan wajah cantik sang adik kelas. Bibirnya bertemu lagi dengan bibir kesukaannya sejak hari ini.

Sedikit berbeda dari yang sebelumnya, ciuman kali ini terlihat dan terasa lebih menuntut. Jerrico terus menekan tengkuk gadisnya agar memperdalam ciumannya. Sedangkan, kedua lengan Jihan berpegangan lebih erat dengan bahu lebar kakak kelasnya. Kemudian, posisi duduk Jihan yang duduk di ujung tempat tidur semakin merendah sampai akhirnya ia berbaring. Jerrico meletakkan tangan kekarnya di sebelah kanan dan kiri Jihan.

Sepasang kakak dan adik kelas itu sangat amat menikmati momen intim yang terjadi. Mereka seolah sudah ahli dengan permainan seperti ini. Merasa pautan yang terjalin membangkitkan sesuatu yang panas di dalam diri, Jerrico melonggarkan dasi yang melingkari di lehernya. Selagi ia menjalankan aksinya itu, siku lelaki tampan itu tidak sengaja menyenggol payudara Jihan.

“Ahh!” lenguh Jihan sesaat melepaskan ciumannya.

Jerrico menatap khawatir pada adik kelasnya itu. “Kamu gak apa-apa, Han? Sakit, ya?” tanyanya.

“Enggak, Kak,” jawabnya. Jihan menggigit bibir bawahnya. Tampaknya, ia enggan untuk mengatakan fakta menggelikan yang akan keluar dari mulutnya. “Mau lagi,” ucapnya sangat pelan.

“Apa, Jihan? Aku gak dengar,” kata Jerrico.

Jihan memanyunkan bibirnya. “Mau lagi.”

Jerrico tersenyum. “Kamu mau lagi? Kayak tadi?” tanyanya meyakinkan.

Jihan mengangguk pelan. Jerrico juga mengangguk pelan menyetujui permintaan gadisnya itu. Kemudian, Jerrico mengangkat tubuh mungil Jihan untuk bersandar di kepala ranjang agar memudahkan dirinya untuk menjalani semua aktivitas panas yang akan datang. Jerrico tersenyum dan tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantik Jihan. Ia dapat merasakan pipi chubby itu menghangat.

“Cantik,” puji Jerrico.

Jihan yang disanjung seperti itu tidak dapat menahan senyumnya. Ia tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang putih bersih. “Kak Jerrico juga ganteng kok,” balasnya.

Di detik selanjutnya, tangan besar itu bergerak. Jerrico membuka satu per satu kancing kemeja seragam sekolah milik adik kelasnya. Di balik pakaian tersebut, Jerrico dapat melihat dengan samar sepasang payudara mengencang yang masih ditutupi oleh pelindungnya. Sepertinya, Jihan sudah mulai terangsang. Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama, Jerrico meraup gunung sintal itu.

“Nghhh, ahh,” lirih Jihan saat Jerrico memainkan payudaranya.

Dalam diamnya, masih dengan tangannya yang bergerak aktif, Jerrico tersenyum puas. Ia sangat suka bagaimana Jihan terlena dengan permainannya. Lihat saja, wajah yang mengekspresikan kenikmatan itu terpampang nyata di hadapannya. Jihan sesekali menggigit bibir bagian bawahnya lalu menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Tangannya meremat seprai yang melindungi ranjangnya.

“Enak gak, Jihan?” tanya Jerrico menggoda.

“Mphh, enakhh, Kak,” jawab Jihan susah payah.

“Lagi?” tanya lelaki tampan itu serius.

“Lagihhh,” sergah Jihan.

Dengan begitu, Jerrico menangkup sebelah payudara adik kelasnya. Ia keluarkan gunung sintal itu dari penutupnya. Kemudian, Jerrico memilin ujung payudaranya. Jihan yang dilecehkan seperti itu semakin dibuat terbang angkasa. Tangannya kini mencengkram kemeja seragam sekolah kakak kelasnya. Kedua kakinya meringkuk. Jihan merasakan sesuatu yang aneh, seperti geli dan nikmat, di bagian bawahnya.

“Nghhh, Kak,” panggil gadis cantik itu.

“Iya, Cantik?” balas Jerrico lembut.

“Gelihh,” racaunya.

“Kenapa, Han?” tanya Jerrico.

“Geli, Kak,” ulang Jihan. “Di bawahhh.”

Jerrico menyeringai. Tangannya yang sedari tadi asyik meremas payudara sang gadis beralih ke arah selatan. JerrIco mengusap kewanitaan Jihan dari luar pakaian dalamnya. “Di sini?” godanya.

Jihan menganggukkan kepalanya berapa kali. “Iyahh, Kak.” Tanpa sadar, kakinya membuka lebar.

“Aku mainin. Mau?” tawar lelaki tampan itu.

Jihan lagi-lagi mengangguk pasrah. Ia tidak tahan dengan semua rasa nikmat yang menyelimutinya. Kepalanya terasa pusing. “Mau.”

Selanjutnya, Jerrico berpindah posisi. Di atas ranjang besar nan empuk itu, Jerrico duduk di belakang sang gadis. Jihan berada di dalam rengkuhan Jerrico. Kemudian, tangan besar itu kembali bergerak. Jerrico mengusap leher, sepasang payudara, dan berakhir pada paha bagian dalam adik kelasnya. Lalu, Jerrico menepuk pelan vagina yang masih terbungkus celana dalam itu. Ia dapat merasakan ada bercak basah di sana.

Jerrico meletakkan dagunya di atas bahu kanan Jihan. “Aku masukin, ya, Jihan.” Ia meminta izin.

Setelahnya, Jerrico melesatkan dua jarinya ke dalam sana. Tubuh Jihan menegang kala vaginanya tersentuh oleh Jerrico. Beberapa kali Jihan berusaha menutup kakinya demi menetralisir rasa nikmat yang menjalar dan beberapa kali juga Jerrico kembali melebarkannya. Jari-jarinya di dalam sana bermain dengan sangat andal. Bergerak memutar, ke atas dan ke bawah, serta tak lupa untuk memanjakan klitorisnya.

“Nghhh, ahh, Kak,” desah Jihan kenikmatan.

Jerrico mengecup pipi sang gadis. “Enak?”

“Lagihhh, Kak,” kata Jihan menagih.

Sesuai dengan titah, tangan Jerrico bergerak semakin brutal dan menusuk. Ia menambahkan satu jari lagi untuk masuk ke dalam sana. Ibu jarinya tidak berhenti bergerak memutar pada klitoris sang gadis. Jihan yang diperlakukan seperti itu hanya dapat menikmati permainan dan mengelukan nama kakak kelasnya. Kedua tangannya menarik celana seragam sekolah Jerrico. Jihan merasakan ada sesuatu yang ingin keluar.

“Kak,” panggil Jihan.

“Iya, Cantik?” balas Jerrico.

“Nghh, gak tahan, ahh,” ujar gadis cantik itu terbata. “Mau dimasukin.”

Mendengarnya, sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna. Ia tidak menyangka Jihan akan meminta hal itu kepadanya. Jerrico tahu, ia tidak boleh bergerak lebih jauh lagi. Jerrico tidak ingin melakukan hal itu kepada Jihan. Setidaknya, dalam waktu dekat. Jihan masih terlalu muda untuk hal demikian. Namun, permainan tangannya pada bagian selatan adik kelasnya itu masih berlangsung.

“Jihan,” panggil lelaki tampan itu. “Gak sekarang, ya, Cantik.”

“Ahh, Kak. Tapi, nghhh, aku mau….” Jihan tidak mampu merampungkan kalimatnya. Sepertinya, puncak kenikmatannya akan datang sebentar lagi.

“Iya, Cantik. Aku bantu keluarin aja, ya,” final Jerrico.

Tepat setelah ucapannya berakhir, Jerrico mempercepat gerakannya. Tanpa sadar, Jihan ikut menggoyangkan pinggulnya. Ia ingin sesuatu yang akan menggelitik seluruh tubuhnya ini menemukan titik terang. Pastinya, Jerrico sadar akan hal itu. Oleh karena itu, tangannya kanannya bergerak menangkup payudara yang menganggur. Jerrico remas, pijat, dan sesekali memilin ujung payudara itu.

“Nghhh, Kak. Mau keluarhh,” jelas gadis cantik itu.

Jerrico mengangguk. “Iya, gak apa-apa, Cantik. Keluarin aja,” ucapnya lembut.

“Ahh, Kak!” pekik Jihan.

Jihan menjemput titik ternikmatnya. Tubuhnya yang sedari tadi menegang kini mulai meluruh. Seluruh permukaan tubuhnya dibanjiri keringat. Jihan tumbang di dalam pelukan lelaki kesayangannya. Di dalam dekapan itu, Jerrico memeluk erat Jihan. Ia mengusap pelan bahu dan pucuk kepala gadisnya secara bergantian. Jerrico tersenyum saat mendengar Jihan yang terengah-engah.

“Jihan,” panggil Jerrico.

“Iya, Kak? Jihan mengangkat sedikit pandangannya.

“Enak gak?” tanyanya lagi.

Jihan mengangguk pelan. ”Enak, Kak.”

“Mau lagi?” guyon Jerrico.

Jihan menggeleng cepat. “Nanti dulu, Kak. Aku capek banget.”

Jerrico tertawa dengan jawaban antisipatif dari adik kelasnya itu. Lalu, dengan inisiatif, Jerrico mengecup pucuk kepala gadisnya dalam waktu yang cukup lama. Jerrico seolah ingin menyalurkan rasa sayangnya lewat ciuman itu. Ia dapat menghirup harum shampoo yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh Jihan. Selagi menikmati waktu romantis itu, Jerrico teringat sesuatu.

“Jihan,” panggil lelaki tampan itu.

“Iya, Kak?” balas Jihan pelan.

“Mau cheese cake gak?” tanya Jerrico asal.

Jihan mengetahui ada yang tidak beres dari pernyataan itu. Ia menegakkan tubuhnya. Ditatapnya lelaki tampan yang duduk di belakangnya itu. Jihan menyampirkan selimut pada tubuhnya yang setengah polos itu. Jerrico terkekeh saat menyadari aksinya. Kemudian, ia bergerak memeluk Jihan agar gadis cantik itu tidak perlu merasa malu. Sementara itu, Jihan semakin bingung dengan tingkah Jerrico.

“Kak Jerrico kenapa tiba-tiba nawarin aku cheese cake?” balas Jihan dengan kembali bertanya.

Jerrico terkekeh sebelum menjawab. “Itu loh. Biasanya ‘kan cewek kalo lagi ngambek suka kalo dikasih yang manis-manis.”

Jihan menatap heran kakak kelasnya itu. “Aku gak marah,” katanya.

“Beneran?” tanya Jerrico memastikan.

Jihan mengangguk. “Iya, Kak. Aku gak marah kok.”

“Aku pikir kamu marah,” ucapnya lagi.

“Karena?” tanya Jihan penasaran.

Jerrico menekatkan mulutnya ke telinga kiri Jihan. Ia berbisik. “Karena gak aku masukin.”

Sontak, Jihan bergerak menjauh. Ia memukul lengan kekar yang memeluknya. “Ih, Kayak! Jangan gitu dong. Aku jadi malu sendiri nih,” keluhnya.

Jerrico tertawa lepas saat mengetahui Jihan malu setengah mati saat dirinya membahas permintaannya itu di tengah-tengah permainan panas tadi. Jerrico kembali mendekap Jihan yang memberi jarak padanya dari belakang. Dipeluknya erat tubuh mungil itu seolah Jihan akan pergi meninggalkannya apabila ia lemah. Ia kecup lagi pucuk kepala itu untuk kemudian sepasang pipi chubby kesukaannya.

“Jangan marah, ya, Cantik. Aku bukannya gak mau. Aku takut kalo aku kayak gitu aku jadi kehilangan kontrol. Aku gak mau kalo kita kelepasan,” jelas Jerrico memberikan pengertian kepada adik kelasnya. “Kamu masih punya masa depan yang panjang. Kamu masih punya banyak keinginan dan impian. Kita pelan-pelan aja, ya.”

Mendengarnya, hati Jihan menghangat. Namun, ada satu hal yang mengganggunya. Jerrico bilang ingin menjalani hubungannya dengan perlahan tetapi ia hanyalah sekadar adik kelas yang mempunyai rasa cinta dan kasih sayang. “Kak Jerrico bilang kita pelan-pelan aja…,” ucap Jihan menggantung. “Tapi aku gak punya hak, Kak. Aku gak punya hak buat menjalani hubungan yang pelan-pelan itu.”

Jerrico mengernyitkan dahinya.”Maksud kamu apa, Jihan?”

Jihan menghela napas panjang. “Aku ‘kan bukan pacarnya Kak Jerrico. Jadi, aku gak bisa dong menjalani hubungan pelan-pelan itu sama Kakak,” jelasnya.

Jerrico tersenyum. Jadi, ini yang ia maksud. Jerrico lupa bahwa ia belum meresmikan hubungannya dengan Jihan. Ia sibuk memuaskan Jihan dengan permainan intimnya. “Kamu bisa gak, Jihan? Gak usah lucu banget kayak gitu. Aku pengen gigit kamu rasanya.”

“Aku lagi serius loh, Kak.” Nada bicara Jihan meninggi.

“Maaf, ya. Aku lupa,” entengnya. “Aku keasyikan ‘main’ sama kamu sampai aku lupa kalo kita belum pacaran.”

Jihan kembali memanyunkan bibirnya. “Tuh ‘kan, Kak Jerrico.”

“Yaudah, kalo gitu. Jihan Chalondra, adik kelas paling cantik, paling lucu, dan paling bahagia kalo lagi makan enak… mau, ya, jadi pacarnya aku?”

Jihan tersenyum. Lalu, dengan tiba-tiba ia merangkul Jerrico erat. “Nah, gitu dong, Kak!” ujarnya senang. “Sayang Kak Jerrico banyak-banyak!”

Sean menyandarkan tubuh kekarnya pada kursi panjang berbahan logam yang ia duduki. Di malam yang semakin larut ini, Sean memutuskan untuk mendatangi taman kecil di kompleks perumahannya untuk menghirup udara segar. Sebetulnya, suhu di luar semakin rendah dan terasa menusuk tetapi lelaki setinggi tiang bendera itu tetap memaksakan diri untuk meninggalkan rumahnya.

Setelah bertukar pesan singkat, yang sebenarnya tidak singkat, dengan kekasihnya, Sean semakin dibuat bingung. Pasalnya, selama beberapa hari terakhir, Sena tidak mengirim pesan sebaris pun untuk sekadar berkabar padanya. Sekalinya mengirim pesan, gadis cantik itu malah ingin mengakhiri hubungannya dengan Sean. Entah apa yang merasuki Sena? Mungkinkah informasi bodong yang ia baca dari salah satu akun sosial media kampus mereka?

“Aku harus apa, Sena?” monolog Sean.

Sean bertarung dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia tidak akan rela apabila harus menyudahi hubungan asmaranya bersama Sena. Sean sudah menjatuhkan hatinya semenjak hari pertama mereka di universitas. Tepatnya, rasa itu mulai tumbuh sejak hari-hari di pekan ospek. Di hari pertama ospek, Sena membantu teman sekelompoknya yang pingsan karena dehidrasi. Sean membantu kakak panitia membopong teman barunya itu.

Tidak hanya sampai di situ saja, sepulang ospek, Sean kembali menangkap Sena tengah membawakan barang belanjaan seorang nenek tua yang hendak menyebrang di jalan raya besar. Di saat calon mahasiswa lain yang ada di sekitar sana sibuk mencatat materi perkuliahan, memeriksa isi tas ranselnya, dan membeli keperluan yang harus dibawa ke kampus keesokan harinya, Sena lebih memilih untuk menolongkan nenek tua itu.

“Aku gak akan bisa kalo harus kehilangan kamu,” tambahnya.

Sean masih nyaman dengan posisinya yang setengah berbaring sembari indera penglihatannya secara samar-samar memandang gelapnya langit semesta yang serupa seperti perasaannya saat ini. Juga, otak dan sanubarinya masih dipenuhi dengan bayang-bayang sang kekasih. Selagi lelaki tampan itu masih bergumul dengan emosi negatif yang bersarang dalam hatinya, sebuah sosok menghampirinya perlahan.

“Sean?”

Mendengarnya, sontak, Sean menegakkan posisi duduknya. Sepasang manik selegam malamnya membelalak sempurna saat mengetahui sesosok yang mendekatinya adalah malaikat tercantik yang pernah ia temui. Ya, itu kekasihnya, Sena Ainsley. Di malam yang semakin gelap ini, Sean dapat melihat dengan jelas senyum tipis yang terpatri di wajah bak putri kerajaan itu.

“Sena?” sapa Sean kebingungan. “Kok kamu bisa ada di sini?”

Sena terkekeh pelan. “Aku lagi ada di rumah nenek aku di deket sini. Kamu gak tau, ya, Sean?”

Sean menggeleng. “Sini duduk, Na,” ajak lelaki tampan itu.

Sena mengangguk menyetujui. Ia menempatkan dirinya duduk di sebelah Sean. “Kamu gak tau, ya, Sean?” tanyanya.

“Gak tau apa?” balas Sean kembali bertanya.

“Kalo rumah nenek aku ada di sekitar sini. Di deket rumah kamu,” jelas Sena.

Sean menggeleng. Ia menundukkan pandangannya. Sementara itu, Sena tertawa miris. Inilah yang dimaksud oleh gadis cantik itu. Sean tidak mengetahui apapun tentang dirinya. Jangankan untuk hal besar, hal kecil seperti siapa nama kucing peliharaannya saja, Sean tidak tahu. Entah memang Sean yang memiliki kepribadian seperti itu atau Sean tidak memedulikan aspek-aspek di dalam hidupnya.

“Maaf, Na,” ujar Sean pelan.

Sena menolehkan pandangannya. “Kamu gak perlu minta maaf, Sean. ‘Kan aku yang salah,” katanya.

“Enggak, Sena. Kamu gak salah,” bantah Sean.

“Aku salah karena aku terlalu berharap banyak dari kamu, Sean.”

Pandangan Sena beralih menjadi menatap halaman playground yang berjarak tak jauh darinya. Sena sering kali mendudukkan dirinya di dalam perosotan berwarna merah terang itu kala rasa rindu akan Sean menghantam dadanya. Sena lebih memilih membungkam dirinya alih-alih harus menyampaikan perasaannya sebab ia tahu lelaki seperti apa Sean itu. Sean Ghanendra, lelaki tampan dan cuek yang sebenarnya sangat amat mencintainya.

“Mau pindah duduk di ayunan aja gak?” tawar Sean tiba-tiba.

“Boleh.”

Dengan begitu, sepasang kekasih yang statusnya masih di ambang ketidakjelasan itu berpindah haluan. Sean duduk di ayunan di sebelah kanan dan Sena di sebelah kiri. Saat Sena hendak mendudukkan dirinya di atas kursi permainan yang khas dengan anak-anak itu, secara diam-diam Sean memperhatikannya. Sepertinya, Sena merasa kesusahan untuk duduk di sana. Sean baru saja akan membantu gadisnya, dan di saat yang bersamaan…

“Awas, Sena!”

Dengan sigap, Sean menangkap tubuh mungil yang hampir menyentuh tumpukan pasir yang ada di atas tanah di sana. Sena dapat merasakan lengan berotot dan telapak tangan besar yang menopang tubuhnya. Kemudian, dua pasang jendela dunia itu saling bertukar tatap. Di bawah sinar rembulan malam yang cenderung redup, baik Sean dan Sena, merasa wajah pasangannya terlihat lebih menawan nan menarik.

“Kamu gak apa-apa, Na?” tanya Sean.

Refleks, Sena membangkitkan tubuhnya. Ia buru-buru mendudukkan dirinya di atas kursi ayunan. “Aku gak apa-apa, Sean,” jawabnya. “Makasih, ya.”

Dalam diamnya dan masih pada posisi berlututnya, Sean tersenyum. Untuk pertama kalinya, dalam setahun belakangan, ia dapat memeluk gadisnya secara tidak langsung. Jika biasanya Sena yang berinisiatif untuk menggandeng lengan atau telapak tangan serta menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Sean, kali ini dekapan itu terjadi dengan izin semesta. Sean memang lelaki tampan yang memiliki kepribadian unik.

Sean bangkit dan kembali ke tempat duduknya. Setidaknya, hampir lima belas menit mereka menghabiskan waktu dengan menikmati atmosfer yang menyelimuti mereka. Sean sesekali menggoyangkan ayunannya agar bergerak maju dan mundur. Sedangkan, Sena kerap kali menggoyangkan kakinya sehingga telapak sepatunya menyapu butiran pasir di bawahnya. Meskipun begitu, tersimpan banyak kalimat yang ingin disampaikan satu sama lain.

“Sena.”

“Sean.”

Keduanya memanggil satu sama lain bersamaan. Dan lagi, netra mereka saling memandang. Sean mengulas senyum terlebih dahulu sebelum diikuti oleh sang gadis. Lalu, Sean dan Sena tertawa terbahak-bahak. Setidaknya, tertawaan itu dapat meredakan sejenak perang dingin yang, secara sadar atau tidak sadar, terjadi di antara mereka. Setelah puas melepas sedikit perasaan buruk di sanubari masing-masing, Sean dan Sena kembali pada realita.

“Kamu mau ngomong duluan, Na?” tawar Sean.

“Seharusnya…,” kata Sena menggantung. “Tanpa aku ngomong lagi pun kamu tau aku mau ngomong apa.”

Sean bergeming di tempatnya. Kecemasan yang sedari tadi ia sembunyikan akhirnya menghampirinya. Ya, Sena dan permintaan putusnya. “Sena,” panggil lelaki tampan itu.

“Iya, Sean?” balasnya lembut.

“Boleh aku ngomong sesuatu sama kamu?” tanya Sean.

“Boleh, Sean,” jawab gadis cantik itu.

“Aku mau minta maaf sama kamu, Na,” ucap Sean.

“‘Kan aku udah bilang kamu gak perlu minta maaf, Sean. Aku—” Belum sempat Sena menyelesaikan kalimatnya.

Sean sudah menyambarnya. “Aku gak bisa kehilangan kamu, Na.” Ia menolehkan pandangannya ke sebelah kiri, ke arah Sena. Ditatapnya manik yang kilauannya mengalahkan bintang di langit. “Maaf butuh waktu lama untuk aku sadar. Aku sayang sama kamu, Sena, sayang banget. Aku gak siap dan gak rela kalo harus ngelepas kamu.”

“Sean…,” gumam Sena.

“Aku bukan tipe cowok yang bisa dengan mudah mengekspresikan rasa sayang dan cinta lewat kata-kata ataupun tindakan, Na. Bukannya aku gak mau tapi aku gak tau caranya. Aku juga gak tau kalo ternyata kamu tersiksa dengan perilaku aku yang seperti ini ke kamu. Aku minta maaf. Aku gak tau harus gimana ke kamu tapi aku tau aku sayang dan cinta sama kamu itu tulus dan bukannya perasaan yang dipaksa,” jelas lelaki tampan itu.

“Kamu gak perlu merasa sebersalah itu, Sean,” ujar Sena menenangkan. “Setiap orang punya caranya sendiri-sendiri dan begitu juga dengan kamu. Juga… berubah itu bukan perihal mudah. Iya ‘kan, Sean?”

“Tapi aku gak tahan kalo harus ngeliat kamu sakit dan merasa gak dihargai,” tambah Sean. “Kalo dengan pribadi aku yang kayak gini aku bisa kehilangan kamu maka lebih baik aku berubah.”

Sena menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Sena cukup terkagum dengan pengakuan yang dilontarkan sang kekasih padanya. Di satu sisi, ia merasa tidak sepenuhnya yakin. Dengan pengalaman yang dimilikinya bersama orang-orang di sekitarnya, Sena ragu bahwa Sean benar-benar ingin berubah demi dirinya. Di sisi lainnya, Sena juga belum ingin melepaskan Sean seutuhnya, apalagi setelah penjelasannya tadi.

“Aku gak pernah mau rela berkorban demi seseorang sebelumnya, Na,” tukas Sean. “Aku gak pernah merasa kayak gini sebelumnya. Banyak kebahagiaan yang aku rasakan dan itu bersumber dari kamu. Aku gak akan ngomong banyak lagi ke kamu. Aku akan berusaha untuk jadi apa yang kamu harapkan.”

“Kenapa, Sean?” tanya Sena. “Kenapa kamu mau berubah hanya demi aku?”

Sean bangkit dari posisi duduknya. Ia memposisikan dirinya berdiri tegak di hadapan sang gadis. Kemudian, ia menyejajarkan wajahnya agar dapat menatap wajah cantik kesukaannya lebih dekat. Kedua tangannya bertumpu pada lututnya. “Kamu bukan sekadar ‘hanya’ buat aku, Sena. Kamu segalanya,” finalnya seraya tersenyum.

Kalimat terakhir yang mengandung sanjungan pada pernyataan yang kekasihnya itu lontarkan untuknya sukses membuat Sena tersenyum manis. Sean berani bertaruh bahwa simpul ini adalah simpul paling indah yang pernah Sena tampilkan dan itu untuknya. Sean mengusap pelan pucuk kepala gadisnya. Akhirnya, lelaki tampan itu dapat mengutarakan perasaannya yang sebenarnya kepada gadisnya.

“Cantik,” puji Sean.

Sena tersipu malu mendengar lelaki kesayangannya, berkata demikian. “Sean,” ucapnya. “Jangan gitu.”

“Kenapa? ‘Kan kamu emang cantik, Na,” balas Sean.

“Ya, tapi tetep aja. Jangan gitu,” sanggahnya.

Sean terkekeh. Sena terlihat sangat menggemaskan dengan senyum yang disembunyikan serta wajah yang memerah seperti itu. Oleh sebabnya, Sean berjanji akan terus membuat Sena terlihat demikian dengan membahagiakannya. Sepertinya, Sean terlalu larut dengan wajah cantik yang menunjukkan kebahagiaannya itu. Tanpa ia sadari, dirinya semakin mendekat ke arah Sena.

“Sena,” panggil Sean.

“Iya, Sean?” balas Sena.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki tampan itu. Namun, Sena dapat melihat dengan jelas sepasang manik selegam malam kekasih itu tidak berhenti memandang belahan ranumnya. Sean juga dapat mendengar dengan jelas degup jantung gadisnya yang berdetak tidak karuan. Keduanya dapat merasakan napas hangat masing-masing yang berhembus semakin cepat.

Kemudian, sebelah tangan kekar itu bergerak. Sean menangkup dagu mungil Sena agar sepasang manik selegam senja yang berbinar serupa konstelasi bintang itu mau menatap langsung ke arahnya. Sena sama sekali tidak tahu motif macam apa yang melatarbelakangi perbuatan kekasihnya malam ini. Namun, satu hal yang ia tahu adalah apa yang akan Sean lakukan selanjutnya.

Sean memangkas jarak antara dirinya dan Sena. Ia memejamkan matanya erat. Berbeda dengan Sean, Sena tidak melakukan hal serupa. Ia membeku di tempatnya. Kedua telapak tangan yang menggenggam rantai ayunan di sebelah kanan dan kirinya semakin mengerat. Napasnya tertahan beriringan dengan bibir cantik nan menggoda yang kian mendekat pada miliknya. Sebelum milik lelakinya bertemu dengannya, Sena menolehkan wajahnya.

Sean terkejut dengan tingkah laku gadisnya. “Kenapa, Sena?” tanyanya. “Kamu gak mau? Aku gak akan lanjutin kalo kamu gak mau.”

“Bukan gitu.” Sena mengulum bibirnya. “Jangan di sini,” bisiknya.

Sean menangkat sebelah alisnya. Pasalnya, Sena menggumam dengan suara yang amat kecil sehingga lelaki tampan itu tidak dapat mendengarnya. Sean mendekatkan telinganya ke arah Sena. “Apa, Na? Aku gak denger kamu ngomong apa.”

“Jangan di sini,” ulangnya.

Sean memandang heran kekasihnya itu “Maksud—” Belum sempat Sean menyelesaikan kalimatnya, Sena mendahuluinya.

“Di rumah aku aja,” ucap gadis cantik itu.

Lalu, Sena bangkit dari posisi duduknya. Ia genggam tangan besar itu untuk ikut berlari dengannya. Dari taman kompleks yang memiliki lahan berumput luas itu, Sena menggandeng Sean dengan erat untuk menuju rumah sang nenek yang berjarak tidak begitu jauh. Pada wajah cantik dan tampan sepasang kekasih itu, terpatri jelas senyum secerah mentari pagi. Sean tidak dapat menyembunyikan simpul bahagianya dan begitu juga dengan Sena.

Sesampainya di depan rumah, Sena mengomando kekasihnya untuk meredam suara langkah yang ada sepelan mungkin. Hari memang sudah malam. Namun, besar kemungkinannya bahwa Rosita, nenek dari kekasih Sean itu, masih terjaga. Perlahan, Sena menggeser gerbang tua berkarat yang membatasi rumah besar itu dari jalan beraspal. Ia dapat melihat bayangan Rosita tengah mengaduk teh di dalam cangkir di pelataran dapur dari halaman depan.

Sepasang kekasih itu menyelinap masuk melalui pintu utama rumah mewah dengan interior Eropa kuno tersebut. Tidak ada lagi akses masuk yang memungkinkan bagi Sean dan Sena untuk melengang masuk ke dalam sana, selain pintu utama. Jika Sean dan Sena lebih memilih untuk masuk melewati pintu kecil dari arah garasi maka mereka akan dibawa langsung bertemu dengan Rosita.

Sena membuka pelan pintu berbahan kayu jati di rumahnya. Keduanya mengendap masuk melalui ruang tamu dan ruang keluarga. Sean dan Sena dapat mendengar langkah kaki beserta deruan sendok yang beradu dengan cangkir porselen dari jarak dekat. Sena memusatkan fungsi indera penglihatannya ke arah dapur seraya tangan kirinya masih menggenggam erat sang kekasih.

“Kamar aku ada di atas,” ucap Sena.

Sean mengangguk sebagai jawaban. Entah karena terlalu fokus atau malah atensinya teralihkan, Sena tidak menyadari bahwa tepat di depannya, Matcha, kucing abu-abu kesayangannya, tengah menunggu kedatangannya. Sontak, Sena berhenti mendadak dan membuat Sean menabrak tubuhnya. Sena hampir saja terjatuh ke atas lantai keramik yang dingin jika saja kekasihnya itu tanggap menarik tubuh mungil itu.

“Matcha?!” pekik Sena dengan intonasi suara serendah mungkin.

“Kamu gak apa-apa, Na?” tanya Sean.

“Sena?” panggil Rosita.

Dua pasang manik itu membelalak. Mereka dapat mendengar dengan jelas suara Rosita yang menggema dari arah dapur. “Iya, Oma.”

“Kamu udah pulang, Sayang?” tanya Rosita yang masih sibuk dengan teh dan kue keringnya di dapur.

“Udah, Oma,” jawab Sena.

Sean membantu sang gadis untuk berdiri dengan tegap. “Itu Oma kamu?” tanyanya.

“Iya,” balas Sena singkat.

“Aku kenalan, ya?” tawar lelaki tampan itu.

“Jangan!” pekik Sena sembari menutup mulut Sean menggunakan telapak tangannya.

“Sena panggil Oma, Sayang?” ujar Rosita.

Mendengar cucu kesayangannya sudah datang dari jalan-jalan malam, Rosita berniat untuk menghampirinya. Ia membawa nampan yang berisikan teh kamomil dan kue kering buatannya. Baik Sean maupun Sena dapat mendengar jelas bahwa Rosita berjalan mendekat ke arah mereka. Ini gawat. Rosita bisa saja pingsan jika mengetahui Sena membawa pulang seorang laki-laki yang tak dikenalnya ke dalam rumah ini.

“Enggak, Oma,” kata gadis cantik itu. “Sena capek, Oma. Sena mau langsung tidur, ya. Good night, Oma!”

Selepasnya, Sena kembali menggandeng tangan Sean dari berlari kencang untuk menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar tidur Sena. Di dalam kamarnya, Sena langsung mengunci pintu. Ia mengusap dadanya yang terasa sesak. Rosita hampir saja memergokinya pulang bersama Sean. Belum beranjak dari balik pintu, Sena memastikan sang nenek tidak mengikutinya. Ia menempelkan sebelah telinganya ke daun pintu kamarnya.

Melihatnya, Sean terkekeh. “Kamu lucu deh,” katanya.

Setelah yakin bahwa nenek tercintanya tidak mengekorinya, Sena menghela napas panjang. “Lucu gimana? Aku bisa mati kalo Oma tau aku bawa kamu ke rumah,” jelasnya.

“Ya, lagian kamu ngelarang aku kenalan. Padahal, aku mau kenalan sama Oma kamu,” ledek Sean.

Sena memukul pelan dada kekasihnya. “Ih, Sean! Kamu ada-ada aja deh. Kalo gitu nanti kita berdua bisa mati.”

Sean tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah cantik kesukaannya. “Ya, kalo matinya sama kamu sih aku mau aja,” katanya menggombal.

Mendengar ada suara serak nan berat yang menyeruak ke dalam indera pendengarannya disertai dengan wajah tampan yang menatapnya intens, Sena bergeming. Sepasang manik selegam senjanya menatap lurus ke arah manik yang selama ini ia ketahui tidak pernah memancarkan kepastian. Tetapi, Sena berani bertaruh, Sean berubah hanya dengan hitungan jam. Sena seolah bertemu dengan sosok baru malam ini.

“Jangan gombal,” sergah Sena. Ia memalingkan wajahnya tersipu malu.

Lagi, Sean terkekeh. “Iya, Sena. Aku gak gombal lagi,” ucapnya seraya mengusap pucuk kepala sang gadis.

Seolah melanjutkan adegan yang sempat terhenti sebelumnya, dua pasang manik yang berbinar indah itu kembali bertukar tatap. Sean tidak dapat melewatkan kecantikan yang gadisnya pancarnya dari jarak sedekat ini. Sementara itu, Sena tidak ingin membuang waktunya barang sedetik demi untuk menikmati karya Tuhan yang diciptakan, mungkin, hanya untuknya.

“Kita udah di rumah aku,” ujar Sena.

“Jadi, aku boleh…,” Sean sengaja menggantung kalimatnya. Membiarkan sang gadis untuk bermain dengan imajinasinya.

Sean mengangguk sekali. Ia menyetujui permintaan dari sang kekasih. Mendengarnya, Sean tersenyum puas. Kemudian, lelaki tampan itu menempelkan tangan kirinya di samping kepala sang gadis di atas daun pintu. Sedangkan, tangannya yang satu lagi mengelus wajah dengan kulit halus dan seputih susu. Berikutnya, Sean kembali memangkas jarak yang sudah sangat dekat antara dirinya dan Sena.

Akhirnya, setelah lama menunggu, kedua bibir yang menginginkan satu sama lain itu bertemu. Untuk pertama kalinya, Sean mengecup mesra belahan selembut awan milik gadisnya. Dilumatnya benda kenyal itu menggunakan bibirnya. Dengan inisiatif sendiri, Sena mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya. Sean, yang seolah mendapat lampu hijau, bergerak lebih.

Ia bawa tubuh mungil Sena ke dalam gendongannya. Masih dengan belahan yang terpaut, Sean berjalan dengan sang gadis di dalam dekapannya. Langkahnya pasti menuju ranjang tidur Sena. Di atas sana, Sean membanting pelan tubuh yang menggodanya sejak ia memasuki kamar tidur ini. Kemudian, lelaki tampan itu membuka jaket denimnya dan melemparnya ke sembarang arah.

Ciuman panas yang terlihat dan terasa semakin menuntut itu berlangsung kurang lebih selama lima belas menit. Lihat saja, bagaimana tangan besar itu bergerilya ke segala area yang bisa dijangkaunya. Sena, yang diperlakukan seperti itu, sudah pasti menyambut dengan baik. Ia mengusap otot perut kekasihnya yang tercetak jelas dari balik kaos hitam yang dikenakannya. Keduanya saling memancing hasrat pasangannya.

Tak lama kemudian, Sean menyudahi kecupannya terlebih dahulu. Ia dibuat terkesima dengan permainan balasan dari sang gadis. “Sena,” gumamnya. “You’re good at this thing.”

Mendengarnya, Sena tertawa pelan. “Beneran?” balasnya. “This is my first time.”

Sean yang mengetahui fakta itu semakin merasa kagum dengan Sena. “Am I your first kiss?” tanyanya.

Sena mengangguk. “Iya,” katanya. “And also my first boyfriend.”

Kali ini, Sean yang tertawa. Ia cukup lega mengetahui kebenaran tersebut. “Then, I’m the lucky one here,” ucapnya. “Aku gak salah dengan keputusan aku mempertahankan kamu. Makasih, ya, Sena, udah mau ngasih aku kesempatan kedua.”

Sena tersenyum. Ia mencubit pangkal hidung bangir kekasihnya. “We’re both lucky, Sean,” jelasnya. “Aku belum pernah menemukan seseorang yang sungguh-sungguh dengan kehadiran aku. Kamu jadi yang pertama yang bisa buat aku percaya kalo aku emang pantas untuk dihargai. Makasih, ya, Sean.”

Sean dan Sena saling melempar senyum. Sepertinya, bagi mereka, tidak ada malam yang lebih membahagiakan dibanding malam ini. Pastinya, sebab mereka sudah menemukan titik terang dan kejelasan dari hubungan yang terjalin. Walaupun, di luar sana dingin terasa hampir membekukan aliran darah tetapi tidak di dalam kamar dan di atas ranjang ini. Kegiatan yang sangat panas sebentar lagi akan terjadi.

“May I continue?” tanya Sean meminta izin.

“Yes, please,” balas gadis cantik itu.

Dengan begitu, setelah mendapat persetujuan, barulah Sean melanjutkan niatnya untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi aset indah milik sang gadis. Ia kembali mencium belahan ranum yang mulai sekarang akan menjadi kesukaannya. Sementara itu, tangan bergerak menjamah semua bagian tubuh gadisnya yang bisa disentuhnya. Sena menggigit bibir lawan mainnya saat merasakan tangan besar itu meremat payudara.

Sean yang mengetahui ada darah segar yang mengalir karena perbuatan gadisnya, bukannya berhenti malah menjadi semakin bersemangat. Sena memang benar-benar andal dalam permainan intim seperti ini. Lalu, tangan lelaki tampan itu kembali bergerak. Sean membuka kancing piyama tidur gadisnya satu per satu untuk kemudian membuka bra yang melindungi sepasang gunung sintal Sena.

“Nghhh, ahh, Sean.” Lenguhan pertama Sena lolos.

Cumbuan itu turun perlahan membubuhi setiap area di sekitar dada dan perut sang gadis. Sean meninggalkan tanda khas kenikmatan di sekujur tubuh indah Sena. Sean sesekali mencuri pandangan pada ujung puting yang mencuat sebab gadisnya yang mulai terangsang hebat. Ia tidak tahan lagi apabila harus membiarkan sepasang payudara itu bergoyang tanpa ada yang memainkan.

“Sean, ahhh, mphh,” desah Sena.

Sean berpindah haluan. Sekarang, seolah anak bayi yang merindukan air susu ibunya, Sean melumat puting dari gunung sintal sang gadis. Sedangkan, tangannya yang terbebas, ia gunakan untuk meremas, memijat, lalu memilin ujung puting payudara yang satunya lagi. Sean baru mulai dengan bagian atas tubuhnya, tetapi nikmat yang diberikan setara dengan surga dunia.

“Ahhh, Sean,” lirih gadis cantik itu.

Sean sungguh-sungguh menikmati tubuh Sena dan Sena benar-benar menikmati segala bentuk tidakan yang Sean lakukan padanya. Keduanya hanyut dalam nikmatnya permainan yang mereka ciptakan berdua. Sena dapat merasakan ada sesuatu yang memohon untuk segera masuk ke dalam dirinya di bawah sana dan Sean dapat merasakan bahwa sesuatu terasa semakin basah di bawah sana.

Selanjutnya, setelah puas dengan sepasang payudara sang gadis, Sean ingin menikmati bagian tubuh Sena yang lain. Sena, yang gairahnya serupa dengan kekasih, juga menginginkan miliknya untuk segera disentuh. Sean, yang peka dengan hal tersebut, kembali berbuat. Ia melepaskan celana pendek beserta pakaian dalam yang melindungi aset indah di dalamnya. Sean tersenyum sesaat indera penglihatannya dimanjakan oleh vagina gadisnya.

“Sean!” protes Sena. “Kamu kebiasaan deh. Jangan diliatin gitu,” tegurnya.

Sean tertawa. “Ya, gimana aku gak tergoda untuk ngeliatin. Punya kamu secantik itu.”

Sena lagi-lagi dibuat berdegup jantungnya dengan pujian yang dilontarkan lelaki kesayangannya. Sepasang manik selegam senjanya memandang ke segala arah, ke mana saja asal tidak menatap langsung sepasang manik selegam malam itu. Ia tidak mau Sean tahu bahwa dirinya cepat luluh jika kekasihnya itu terus mengumbar sanjungan padanya. Setidaknya, sampai sesuatu memasuki kewanitaannya. Sena dibuat menggelinjang.

“Mphh, ahhh,” lenguh Sena saat Sean menelusupkan dua jarinya ke dalam vaginanya sembari telapak tangannya menekan pelan perut bagian bawahnya.

Sena menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar tidurnya. Kedua telapak tangannya mencengkram erat kain, yang sudah dibuat kusut, yang melapisi tempat tidurnya. Berulang kali sepasang kaki jenjang itu hendak menutup demi menetralisir rasa nikmat yang ada dan berulang kali Sean menghalangi pergerakannya itu. Tanpa aba-aba, ia mempercepat adukan jarinya.

“Sean, ahhh,” desah Sena tak tertahan.

“Enak, Na?” tanya lelaki tampan itu.

Sena menggeleng cepat. “Enggakhh.”

“Lagi?” tawar Sean.

“Iya lagihhh,” jawab Sena semangat.

Sesuai dengan permohonan dari sang gadis, Sean meningkatkan kecepatan permainan tangannya di bawah sana. Sean dapat merasakan cairan yang melumuri kewanitaan Sena dan juga tangannya semakin deras. Apabila Sean boleh menerka, Sena sebentar lagi akan menjemput pelepasannya. Namun, jika memang hal itu benar akan terjadi, Sean akan segera menghentikannya. Sebab…

“Nghhh, ahh, Sean,” panggil Sena.

“Iya, Sayang?” balas Sean.

“Mau, ahh, keluar,” ucap Sena.

Sean menghentikan aktivitasnya pada vagina sang gadis. Ia bergerak mendekatkan tubuhnya kepada Sena. Sean mengungkung tubuh mungil itu di bawah kuasanya. Lalu, ia berbisik. “Aku masukin, ya.”

Barusan yang keluar dari mulut Sean bukanlah sebuah bentuk pertanyaan melainkan pernyataan. Jadi, dengan ada atau tidaknya izin yang Sena ucapkan, kekasih tampan itu akan tetap melakukan aksinya. Kedua tangan Sena yang tadinya meremas erat kain tempat tidurnya kini beralih pada sepasang bahu lebar di atasnya. Pegangannya semakin kencang kala sesuatu di bawah sana mulai memasuki dirinya.

“Shh, ahhh, Na,” lirih Sean.

Padahal, milik Sean belum sepenuhnya masuk. Namun, nikmat yang ada sudah mulai memuncak. Sena menahan napasnya seiring dengan penis besar yang melesat masuk ke dalam vaginanya. Bagian selatannya terasa penuh. Kemudian, setelah dirasa sudah masuk dengan sempurna, Sean membiarkan kejantanannya beradaptasi dengan lubang sempit yang dimasukinya.

“Nghh, Sean,” panggil Sena.

Sean mengangkat pandangannya menghadap wajah cantik di bawahnya. “Iya, Na?”

“Gerakin aja,” pintanya.

Sean mengangguk. “Kalo sakit bilang, ya, Sayang,” katanya.

Perlahan, mengikuti titah sang gadis, lelaki tampan itu mulai bergerak. Awalnya, Sean menggempur bagian bawah gadisnya dengan tempo pelan. Namun, seiring dengan desahan yang mengelukan namanya dan juga nikmat yang ada semakin bertambah, ia menambah kecepatannya. Decitan kaki ranjang beserta suara khas kenikmatan yang menggema di seluruh sudut kamar tidur menjadi saksi bisu atas permainan keduanya.

“Shh, Na, ahhh,” lirih lelaki tampan itu sembari terus meningkatkan tempo hantamannya.

Serupa dengan sang kekasih, Sena ikut menggoyangkan pinggulnya seolah ingin kepala penis itu terus menabrak dinding rahimnya. “Nghh, ahh, Sean.”

Keduanya bergerak semakin brutal. Mereka ingin memasuki satu sama lain lebih dalam demi memuaskan gairah yang ada. Sepasang kekasih itu ingin merasakan titik nikmat tertinggi. Lihat saja, tubuh-tubuh polos itu dibanjiri oleh keringat. Selimut yang tadinya menyampir pada tubuh mereka, kini jatuh tak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Sepertinya, baik Sean maupun Sena, akan menjemput pelepasannya.

“Ahh, Sean, aku mau, nghhh, keluar,” ujar Sena susah payah.

“Hold on, Na,” balas Sean. “With me.”

Sean bergerak tiga kali lebih cepat dan lebih keras dibanding yang sebelumnya. Membuat tempat tidur yang mereka tempati bergoyang dengan sangat kencang. Sena mencakar punggung lebar Sean selagi dirinya menahan gairah yang membuncah. Sean dapat merasakan penisnya terjepit oleh otot-otot yang menengah di dalam vagina gadisnya. Sena akan mencapai titik ternikmatnya sebentar lagi.

“Ahh, Sean, aku gak, mphh, tahan,” ucap Sena.

“Go ahead, Sena,” ujar lelaki tampan itu.

Dengan disetujui permintaanya, Sena segera melepaskan apa yang seharusnya dilepas. Sepasang kaki jenjangnya bergetar hebat. Setelah tiga hentakan, Sean mengeluarkan penisnya dari dalam Sena. Ia semburkan sperma hangat itu ke sembarang arah. Kemudian, Sean memposisikan tubuhnya berbaring di sebelah sang gadis. Keduanya diburu napas masing-masing.

Sean tertawa pelan. “Pacar aku pinter mainnya.” Ia seka helaian rambut yang menghalangi wajah cantik gadisnya.

Sena ikut tertawa. “Kamu enak mainnya,” balasnya.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Sean dan Sena ingin menikmati atmosfer menenangkan yang melingkupi mereka. Sean yang sibuk menatap wajah secantik dewi Yunani di hadapannya. Sedangkan, Sena sibuk bermain dengan rangka wajah tegas yang mulai sekarang ia yakini akan selalu menyayanginya. Setidaknya, sampai Sean kembali membuka suara.

“Makasih, ya, Sena,” katanya. “Makasih udah kasih kesempatan kedua buat aku. Makasih udah percaya sama aku. Aku gak tau lagi harus bilang apalagi. Aku beruntung banget ketemu sama kamu. Maaf aku pernah nyakitin kamu. Maaf aku pernah mengabaikan rasa kamu. Aku sebisa mungkin akan pegang janji aku ke kamu. Jadi…,” potong Sean. “Jangan pergi, ya, Sena.”

Mendengarnya, Sena tersenyum teduh. “Iya, Sean. Aku terima permintaan maaf kamu. Aku juga berterima kasih sama kamu udah mau berusaha untuk aku.” Sena mendekatkan wajahnya ke arah Sean. “Untuk kita.”

Selagi sepasang kekasih itu tengah memadu cinta di dalam kamar. Tanpa sepengetahuan mereka, sedari tadi, Rosita memantau kegiatan mereka melalui connecting door yang menghubungkan kamar tidurnya dengan kamar tidur Sena. Anehnya, bukannya merasa marah sebab cucu kesayangannya sudah melakukan hubungan layaknya suami istri dengan laki-laki yang tidak pernah ia kenal, Rosita malah tersenyum tenang.

“Sena sudah besar, ya, Sayang,” monolognya. “Siapa tadi namanya? Sean? Nama yang bagus,” lanjut sang nenek. “Makasih, ya, Sean, sudah mengembalikan kepercayaan cucu kesayanganku terhadap laki-laki. Kamu adalah laki-laki pertama yang mendapat kepercayaannya. Sedangkan, ayahnya sendiri saja tidak. Semoga Sean dapat menjaga kepercayaan yang Sena berikan, ya,” final Rosita seolah Sean dapat mendengar wejangannya.