Axiomatic
Gauri memeluk dirinya sendiri di atas sofa sembari menyaksikan film komedi romantis yang terputar di televisinya. Ia menghela napas seiring kehadiran sahabatnya, Raiya, yang tidak kunjung datang.
“Raiya lama amat sih. Gue udah laper banget,” keluhnya.
Gauri meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja di depannya. Ia hendak mengetik beberapa pesan yang mengandung kalimat protes kepada sahabatnya itu kala bel pintu unitnya berdering. Gauri pun melompat dari posisi duduknya.
“Asik!” pekiknya.
Gauri kira yang memencet bel pintu unitnya adalah Raiya. Namun, saat gadis cantik itu membuka pintu apartemennya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah sang mantan pacar, Gasendra, yang berdiri tegap sembari menenteng plastik makanan dan sekantung obat.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Gauri heran.
Gasendra mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan plastik jinjingan yang dibawanya. “Katanya kamu laper,” jawabnya.
“Kata siapa?” balas Gauri dengan kembali bertanya.
“Kata Raiya,” singkat Gasendra.
Gauri menolehkan pandangannya. Ia mengumpat dalam diam. Akan lebih baik apabila dirinya harus keluar dari unit apartemennya dan membeli makanannya sendiri dibanding Gasendra yang menghampirinya dengan berbagai macam makanan dan obat.
“Sialan, Raiya,” umpat Gauri. “Kalau gini gimana gue mau move on.”
“Aku… boleh masuk?” tanya Gasendra hati-hati.
Gauri sempat mematung sebelum kepalanya mengangguk beberapa kali. Ia menepikan tubuhnya agar Gasendra dapat melengang masuk ke dalam kediamannya. Di dalam sana, Gasendra meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan.
“Kamu sakit apa, Gar?” tanya Gasendra yang sibuk meraih cangkir minuman pada rak di atas bak pencuci piringnya.
“Cuma gak enak badan aja,” jawab Gauri.
Gasendra mengangguk paham. Di satu sisi, Gauri dengan susah payah ingin meraih dua buah cangkir. Kaki pendeknya berusaha menjangkau ketinggi. Di sisi lain, Gasendra yang menyaksikan adegan itu hanya dapat menahan tawanya.
“Susah, ya, Gar? Sini aku bantuin,” kata lelaki tampan itu.
Dengan sigap, Gasendra berjalan mendekati Gauri. Dari arah belakang, Gasendra membantu mantan kekasihnya itu untuk mengambil cangkir. Mari salahkan Raiya yang meletakkan gelas dan cangkir di atas sana.
“Nih,” ucap Gasendra sembari memberikan dua buah cangkir berwarna putih.
“Makasih,” balas Gauri. “Raiya tuh yang tarok gelasnya tinggi banget.”
Gasendra terkekeh. Tanpa sadar, tangannya mengusak pucuk kepada Gauri. “Iya, sama-sama, Gauri.”
Setelahnya, Gasendra kembali ke meja makan untuk menyiapkan makanan. Sedangkan, Gauri menyeduh es kopi hitam untuk Gasendra dan es teh manis untuk dirinya sendiri dan kemudian menyusul Gasendra di meja makan.
“Kamu minum es, Gar?” tanya Gasendra yang melihat Gauri menyesap es teh manis buatannya.
Gauri mengangguk. “Iya.”
Dengan cepat, Gasendra mengambil cangkir yang berisikan es teh manis itu. Lalu, ia bangkit untuk mengambil gelas lain. “Kamu kalau lagi demam, jangan minum es dulu. Nanti sakitnya tambah parah. Tenggorokan kamu juga lebih sensitif kalau lagi sakit. Nanti yang ada kamu malah radang,” jelas lelaki tampan itu.
Gauri tertegun mendengar celotehan Gasendra yang melarang dirinya untuk minum es di kala sakit. Dalam diamnya, gadis cantik itu tersenyum. Gasendra benar-benar masih mengingat semua hal, dari besar sampai yang kecil, tentang dirinya.
“Minum air hangat aja, ya, Gar,” ujar Gasendra sembari memberikan gelas baru berisikan air hangat untuk mantan kekasihnya.
“Iya. Makasih lagi, ya, Sen,” ucap Gauri.
“Iya, sama-sama lagi. Sekarang makan dulu,” kata Gasendra.
Entah apa yang merasuki Gauri, ia langsung melahap makanan yang Gasendra siapkan untuknya. Saat bertemu dengan Gasendra, Gauri tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit. Justru, semangatnya kembali dengan cepat.
Selama Gauri sedang makan, Gasendra memperhatikannya dengan saksama. Sesekali, lelaki tampan itu tertawa. Ia sangat suka bagaimana Gauri melahap semua makanan yang dibawakannya tanpa tersisa.
“Pelan-pelan aja makannya, Gar. Makanannya gak akan ke mana-maka kok,” guyon Gasendra sembari mengusap sebelah bahu sempit Gauri.
Gauri yang diperlakukan seperti itu hanya mengangguk. “Iya, Gasendra.”
Tanpa terasa, sang fajar sudah tergantikan dengan sang senja. Cahaya yang didominasi dengan warna oranye kekuningan menembus masuk lewat celah jendela di ruang televisi di apartemen itu. Gauri sedang mencuci piring dan Gasendra sedang mengelap meja makan.
“Kamu udah makan, Sen?” tanya Gauri tanpa menolehkan pandangannya.
“Udah,” jawab Gasendra. “Kenapa?”
“Ya, gak apa-apa sih, cuma nanya aja. Takutnya kamu bawain aku makanan tapi kamu sendiri belum makan,” jelas Gauri.
Gasendra tersenyum dan pergerakannya berhenti sesaat. “Udah kok, Gar,” ucapnya. “Kamu gak usah khawatir.”
Setelahnya, Gauri bersantai pada sofa yang terletak di ruang televisi, tempatnya menunggu Raiya tadi. Gauri menyetel film komedi romantis yang sempat tertunda tadi. Ia menyampirkan dirinya dengan selimut yang ia bawa dari kamarnya.
“Kamu udah mendingan, Gar?” tanya Gasendra yang baru keluar dari kamar mandi.
“Kayaknya—” Belum sempat Gauri menyelesaikan kalimat. Gasendra sudah lebih dulu muncul di hadapannya.
Dengan jarak yang hanya terpaut beberapa senti, Gasendra mendekatkan wajahnya pada wajah cantik Gauri. Ia menempelkan punggung tangannya pada kening sang gadis. Ia tersenyum saat mengetahui tubuh Gauri sudah dalam keadaan suhu normal.
“Udah turun panasnya,” ujarnya sembari tersenyum. “Kamu udah sehat.”
Gauri yang awalnya membeku pada posisinya kini mulai sadar. Ia menyingkirkan tangan besar yang ada pada keningnya. “I-Iya.”
Lalu, Gasendra mendudukkan dirinya di sebelah Gauri. “Ternyata kamu cuma butuh makan,” katanya bercanda.
Selepasnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara mereka. Gasendra dan Gauri sama-sama sibuk menikmati film yang ada di televisi. Mereka tertawa dan mencela adegan cringe yang muncul dari film.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Matahari sudah lama mengistirahatkan dirinya. Sekarang, hanya purnama yang bertengger di khatulistiwa. Gasendra hendak mengambil kunci mobilnya yang tergantung di samping pintu keluar.
“Sen,” panggil Gauri.
“Iya, Gar?” balas Gasendra.
“Mau pulang, ya?” tanyanya.
Gasendra mengangguk. “Iya,” katanya. “Kamu ada butuh sesuatu lagi?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Gauri hanya bergumam sendiri sembari mengusap tengkuknya secara canggung. Gasendra yang memperhatikan tingkah aneh itu hanya terkekeh. Ia mungkin tahu bahwa Gauri ingin dirinya tinggal lebih lama.
“Gar.” Kali ini, Gasendra yang memanggil nama mantan kekasihnya.
“Iya?” sahut Gauri seraya mengangkat pandangannya agar dapat menatap langsung ke arah Gasendra.
“Di tempat tinggal baru aku, penghuni gak boleh keluar-masuk di atas jam 12 malem. Aku lupa kalau ini udah jam 11. Sedangkan, perjalanan aku dari sini ke sana hampir satu jam dan kemungkinan aku gak dikasih akses masuk. Jadi—” Gasendra belum sempat merampungkan penjelasannya tetapi Gauri sudah menyela terlebih dahulu.
“Kamu boleh kok kalau mau tidur di sini,” tawar gadis cantik itu.
Gasendra mengembalikan kunci mobilnya pada gantungan di samping pintu keluar. “Beneran?”
Gauri mengangguk. “Ya, aku gak enak juga sama kamu. ‘Kan kamu udah bawain makan sama obat untuk aku. Seenggaknya… aku bisa bales dengan ngasih kamu tempat untuk nginap,” katanya.
Gasendra tersenyum. “Makasih, ya, Gar.”
“Iya. Aku ambil selimut sama bantal dulu, ya.” Gauri berjalan ke arah kamar tidurnya. “Kamu gak apa-apa ‘kan tidur di sofa?” tanyanya dari dalam kamar.
“Iya, gak apa-apa kok,” jawab Gasendra.
Kemudian, Gauri keluar dari kamarnya dengan menenteng satu buah bantal dan selimut bergambar rubah merah lalu memberikannya kepada Gasendra. Setelahnya, ia pamit untuk tidur.
Di dalam kamarnya, Gauri merebahkan dirinya di atas ranjang. Sebelah tangannya ia gunakan sebagai bantal dan sebelahnya lagi digunakan untuk menutupi matanya dari sinar lampu yang berusaha menerobos masuk ke dalam matanya.
“Sen,” gumam Gauri. Ia bangkit dari posisi berbaringnya. “Sumpah gue gak bisa tidur,” ucapnya. “Ya, gimana gue bisa tidur kalau ada Gasendra di sini.”
Di sisi lain, Gasendra yang sedang menyandarkan tubuhnya sembari menatap kosong pada hitamnya layar televisi tiba-tiba saja mengusap wajahnya secara kasar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.
“Gue ngapain sih pake bohong segala ke Gauri,” monolognya.
Tak lama kemudian, suara decit pintu yang terbuka mengalihkan lamunan Gasendra. Itu Gauri. Keduanya sempat bertukar pandang sebelum Gauri berjalan mendekat ke arahnya. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Gasendra.
“Kenapa, Sen? Ada yang sakit?” tanya Gasendra.
Gauri menggeleng. “Enggak,” jawabnya. “Aku gak bisa tidur.”
Sejenak, Gasendra berpikir. “Kamu mau nonton dulu? Biasanya kamu kalau gak bisa tidur harus nonton sesuatu dulu.”
Dan lagi, Gasendra masih mengingat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh mantan pacarnya. Tidak ingin munafik, Gauri senang akan hal itu. Ia pun menyetujui ajakan dari Gasendra.
Gauri mengangguk sekali. “Tapi nonton horor, ya,” pinta gadis cantik itu.
“Boleh. Apa aja yang penting kamu bisa tidur,” katanya.
Akhirnya, Gasendra menyetel film horor untuk disaksikan bersama. Pada beberapa menit pertama, semuanya berjalan seperti biasa. Belum ada adegan menegangkan ataupun mengagetkan yang berpotensi membuat jantung keduanya meledak.
“Gar,” panggil Gasendra tiba-tiba.
Merasa Gasendra memanggil namanya, Gauri menoleh. “Iya, Sen?”
“Mau gabung di selimut… bareng aku?” tanyanya hati-hati.
Gauri yang sedikit merasa kedinginan dan mengingat dirinya belum sembuh total dari demamnya menerima tawaran tersebut. “Boleh.”
Gasendra mendekatkan dirinya pada Gauri. Ia membiarkan gadis cantik itu untuk masuk ke dalam sampiran selimut bersamanya. Gasendra dan Gauri mengatur posisi duduk masing-masing agar nyaman di dalam sana.
Film horor terus berlanjut. Gauri fokus dengan alur cerita seru yang ditampilkan di film itu. Sedangkan, Gasendra hanya dapat fokus pada gadis cantik yang duduk di dalam naungan selimut di sampingnya.
Dengan niat yang disengaja atau tidak, Gasendra meregangkan sebelah lengannya lalu meletakkan di kepala sofa tepat di belakang tubuh Gauri. Dan dengan pergerakan yang disengaja atau tidak, Gauri merebahkan sedikit tubuhnya pada rangkulan itu.
Gasendra beredehem pelan. “Kamu suka film-nya, Gar?” tanyanya.
“Ya, lumyan sih,” jawab Gauri.
Gasendra hanya mengangguk paham. “Gak takut?” tanya lelaki tampan itu lagi.
“Enggak,” katanya.
Tepat setelah Gauri menutup mulutnya. Adegan inti dari film horor tersebut muncul. Manusia jerami yang diyakini mempunyai kekuatan magis berlari mengejar anak laki-laki yang suka membuat rusuh di ladangnya.
Gauri berteriak dengan kencang sehingga dapat memekakkan telinga siapa saja, termasuk Gasendra. Ia menyembunyikan dirinya di dalam dekapan lelaki tampan yang duduk di sampingnya. Dengan refleks yang bagus, Gasendra memeluknya.
“Katanya gak takut, Gar,” ledek Gasendra.
“Ya, emang. Cuma ngangetin aja,” elak Gauri.
Film tetap berlanjut setelahnya. Adegan seram lainnya mulai mengikuti. Semua cerita seram tentang manusia jerami yang ada di dalam buku tersebut satu per satu mulai terjadi secara natural. Namun, ada satu adegan yang menganggu keduanya.
“Mereka make out di ladang?” pekik Gauri.
Gasendra membuang pandangannya. Entah apa yang dipikirkan oleh penulis dari film horor ini. Bagaimana bisa dia menyelipkan adegan seperti ini di dalam film horor yang banyak memakan korban jiwa.
Ternyata, adegan itu digunakan untuk memancing adegan lain. Manusia jerami yang menyaksikan kejadian menjijikan itu secara langsung murka besar. Ia mengutuk sepasang kekasih itu menjadi manusia jerami juga. Lalu, tulisan ‘The End’ muncul di layar televisi.
“Udah?!” pekik Gauri lagi. “Gini doang?!”
“Emangnya kamu maunya gimana?” tanya Gasendra
“Ya, minimal ada yang happily ever after-lah. Ini mah enggak, pemerannya meninggal semua,” jelas gadis cantik itu.
“Enggak,” sahut Gasendra. “Itu ada yang dikutuk jadi manusia jerami.”
“Ya, itu berarti mereka gak bisa lagi menjalani hidup sebagai manusia lagi alias meninggal,” ujar Gauri.
“Gar, kamu tau gak ada pesan moral di dalam film itu?” tanya Gasendra serius.
“Emang ada?” Apa?” balas Gauri dengan kembali bertanya.
“Ada.” Gasendra mendekatkan wajahnya ke arah wajah cantik Gauri. “Pesan moralnya itu kita gak boleh make out di tempat terbuka, apalagi di tempat orang lain,” jelasnya sembari menjawir hidung mantan kekasihnya.
“Astaga. Aku kira apaan,” ketus Gauri. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.
Mendengarnya, Gasendra tertawa. “Kenapa protes? Gak sesuai ekspektasi kamu, ya?”
“Enggak. Aku aja yang berharapnya ketinggian,” jawab Gauri.
Masih di tempat yang sama, Gasendra memandangi Gauri tiada henti. Ia suka bagaimana Gauri dengan gemasnya merasa kesal karena akhir film yang terlalu menggantung. Tanpa disadari, tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Gauri.
Merasa ada tangan besar yang menginterupsi sesi protesnya, Gauri menolehkan pandangannya. Ia cukup terkejut sebab pemandangan yang ia temukan adalah rangka wajah yang tegas dan tampan serta sepasang manik yang serupa legamnya malam sedang menatap ke arahnya.
“Cantik,” ucap Gasendra.
Mendengar ada kata sanjungan yang ditujukan untuknya, jantung Gauri berdegup seribu kali lebih kencang. Tubuhnya kembali menghangat tetapi bukan karena sakit. Entah ini imajinasinya atau bukan, ia melihat Gasendra terus memandang ke arah bibirnya.
“Sen,” panggil Gauri.
“Sorry, Gar, tapi aku gak tahan,” ujar Gasendra.
Selanjutnya, yang terjadi adalah Gasendra mencium bibir Gauri tanpa aba-aba. Tangan besarnya yang merangkul tubuh mungil gadis cantik itu bergerak naik lalu menekan tengkuk Gauri agar menciumnya lebih dalam.
Gauri yang dicium tiba-tiba seperti itu tidak dapat berbuat banyak. Sepasang maniknya membulat sempurna. Ia membeku di tempat sembari merasakan bibir Gasendra dengan ganas menjamah bibirnya.
Kemudian, Gauri mendorong tubuh besar yang memeluknya itu. “Aku… gak bisa… napas,” katanya terbata.
Gasendra menyeringai. Ia mengusap bibirnya yang dipenuhi dengan saliva mantan pacarnya. “Aku terlalu agresif, ya?” godanya.
“Emangnya kamu gak napas, ya, tadi? Lama banget,” keluh Gauri.
Gasendra tertawa pelan sebab Gauri tidak mempermasalahkan kenapa ia menciumnya. “Oke. Aku mainnya pelan aja.”
Gasendra memandangi anugerah paling indah yang pernah ia temui. Perlahan, wajah tampan itu mendekat lagi kepada wajah yang lebih cantik. Gauri lebih dahulu memejamkan matanya lalu diikuti oleh Gasendra.
Ciuman kembali terjadi tetapi yang kali ini lebih khidmat dan tidak hanya satu arah saja. Gasendra menangkup sebelah pipi Gauri. Sedangkan, Gauri mengalungkan lengannya pada bahu lebar Gasendra.
Entah sudah berapa kali kepala mereka berubah arah dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Bersamaan dengan televisi yang menampilkan daftar nama terakhir dari film horor tadi, ciuman itu tetap berjalan sebagaimana mestinya.
“Mphhh,” lenguh Gauri saat Gasendra menggigit bibirnya.
Ciuman itu terus membawa atmosfer yang semakin panas. Gerakan yang mereka lakukan pun menunjukkan keinginan untuk melakukan hal yang lebih dari ini. Setelah beberapa menit, ciuman itu berakhir.
Gasendra tertawa pelan. “Aku gak tau kamu sehebat ini,” pujinya.
Gauri menyeringai. “Makanya aku kasih tau sekarang,” jawabnya tidak mau kalah.
Kemudian, Gasendra memandu Gauri agar berbaring bersama di atas sofa. Di dalam balutan selimut itu, Gasendra memeluk mantan kekasihnya dari belakang. Pada beberapa area di sekitar leher yang sudah terekspos, ia memberikan kecupan hangat.
“Nghh, ahhh,” lirih Gauri.
Gauri suka bagaimana suhu hangat dari bibir Gasendra menjadi satu dengan angin dingin yang dihembuskan pendingin ruangannya. Tubuhnya tidak dapat berhenti bergerak sebab rasa geli yang menjalar.
Dengan inisiatif, tangan besar Gasendra bergerak mengusap perut rata Gauri. Lagi, sensasi hangat itu membangkitkan hasratnya. Tubuhnya bergerak lebih brutal sehingga menggesek kejantanan Gasendra.
“Ahhh, Sen,” desahnya.
“Lagi?” tanya Gasendra.
“Nghh, iya,” jawab Gauri tanpa ragu.
“Aku lepas, ya, bajunya?” tanyanya meminta izin.
“Iya,” jawab Gauri lagi.
Gasendra membantu Gauri untuk melepaskan pakaiannya. Dibuangnya kaos hitam itu ke sembarang arah. Kemudian, tangan besar itu bergerak menelusup ke arah payudara yang masih terlindungi oleh bra berwarna biru dongker.
“Ahh, Sen,” lirih Gauri saat Gasendra memilin ujung putingnya.
“Enak, Gar?” tanya Gasendra sensual.
“Mphh, iya,” jawab Gauri tertahan sebab ia menggigit bibirnya.
Tidak dapat dipungkiri, Gauri sangat suka bagaimana Gasendra melecehkannya. Gerakan tangan besar itu sangat andal sehingga membuat Gauri terbang ke angkasa. Ada rasa geli yang muncul di bagian selatannya.
Seolah menjawab suara hati gadis cantik itu, Gasendra menjalarkan tangan kirinya ke arah kewanitaan sang gadis. Diusapnya lubang surgawi itu dari luar pakaian dalam yang sudah lembap dibuatnya.
Gasendra menyeringai. “Udah basah, ya.”
Gauri yang merasa kegelian terus meghentak-hentakkan bokongnya ke arah penis mantan kekasihnya. Tentunya, hal itu membuat Gasendra merasa kewalahan. Ia menggeram rendah sebab kejantanannya yang hampir menegang sempurna.
“Nghhh, Sen, mau,” ujar Gauri.
“Mau apa, Cantik? Ngomong yang jelas,” perintah Gasendra.
“Mau, ahhh, kamu,” jawab Gauri terbata.
“Mau aku? Mau dimasukkin?” tanya Gasendra meyakinkan gadisnya.
Gauri mengangguk beberapa kali. “Nghh, iya.”
Dengan begitu, Gasendra melepaskan semua pakaian yang masih menempel pada tubuh mungil Gauri untuk kemudian melakukan hal yang sama pada dirinya. Gasendra kembali menyampirkan selimut tebal itu pada tubuh mereka yang polos.
Masih dengan posisi yang sama, Gasendra memeluk Gauri dari belakang. Tangan besarnya tidak lelah untuk memainkan puting payudara yang mencuat sempurna itu. Lalu, penisnya ia gesekkan pada vagina Gauri yang mulai terlumasi.
“Kalau sakit bilang aja, ya, Gar,” ujar Gasendra.
Perlahan, Gasendra memasukkan kejantanannya pada lubang kecil di bawah sana. Keduanya sama-sama mendesah saat kulit mereka bertemu satu sama lain. Gauri memeluk erat bantal yang di dalam dekapannya.
“Ahhh, Sen, ahh,” lenguh Gauri.
“Mphh, Gar, sempit,” kata Gasendra.
Tidak putus asa, Gasendra terus meneroboskan masuk penisnya ke dalam vagina Gauri. Ia juga mulai bergerak maju dan mundur dengan tempo pelan. Hanya dengan gerakan seperti itu saja, keduanya seolah merasakan surga dunia.
“Nghhh, Sen, cepetin,” pinta Gauri.
Gasendra pun mempercepat tempo gempurannya. Tidak ingin kalah, Gauri juga ikut menggoyangkan pinggulnya. Keduanya dapat merasakan bagaimana kepala penis itu menabrak ujung dinding rahim tersebut.
“Nghhh, Gar.” Gasendra mendesahkan nama mantan kekasihnya.
“Ahhh, Sen, enak,” puji Gauri.
Di malam yang hampir berganti hari itu, Gasendra dan Gauri menciptakan permainan panas untuk merasakan nikmat satu sama lain. Siapa yang akan menyangka? Bahwa sepasang mantan kekasih itu mungkin akan kembali berhubungan setelah ini.
Permainan terus berjalan. Suasana panas yang memenuhi ruang televisi, decitan kaki sofa yang berusaha keras untuk bertahan, serta suara desahan yang mengelukan satu sama lain menjadi saksi keintiman keduanya.
“Ahh, kerasin, Sen,” pinta Gauri lagi.
Tanpa menurunkan temponya, Gasendra menggempur Gauri tiga kali lebih keras dari sebelumnya. Tidak sampai di situ saja, ibu jari dari tangan besar itu menjamah klitoris sang gadis lalu menari di sana.
“Nghhh, ahh, Sen,” desah Gauri kenikmatan. “Aku, nghh, mau keluar,” katanya.
“Aku, mphh, juga,” sahut Gasendra.
Benar saja. Tak lama setelahnya, Gauri mencapai menjemput pelepasannya. Tubuhnya menggelinjang hebat. Sepasang maniknya memejam. Tangannya meremat bantal yang ada di depannya.
“Ahhh!” pekik Gauri.
Setelah mengetahui Gauri sudah mencapai klimaksnya, Gasendra dengan cepat mencabut penisnya dari dalam vagina gadisnya. Ia menyuruh Gauri untuk berbalik dan menghadap dirinya. Tepat setelahnya, Gasendra menyemburkan sperma hangatnya.
“Akhh!” pekik Gasendra.
Gasendra dan Gauri sudah mencapai titik ternikmat dari permainan panas tersebut. Keduanya diam untuk mengatur napas dan memasuk oksigen agar masuk ke paru-paru keduanya. Dengan tubuh yang dibanjiri keringat, mereka masih berpelukan di bawah naungan selimut.
“Kamu hebat mainnya,” puji Gasendra.
Mendengarnya, Gauri terkekeh. “Makasih. Kamu juga. Gak banyak loh laki-laki yang tau gimana cara memuaskan pasangannya.”
“Iya, ya,” balas Gasendra. “Kalau aku gak hebat, kamu gak mungkin sampe keenakan gitu.”
“Dih! Malah jadi narcissistic,” protes gadis cantik itu.
Selepas permainan panas itu, keduanya saling bertukar pandang dan cerita. Setelah beberapa hari menjalani hari tanpa satu sama lain, banyak hal yang terjadi. Semalam hanyalah waktu yang sebentar untuk menceritakan semuanya.
Gasendra dan Gauri baru selesai bercerita dan membersihkan diri saat mentari menyambut fajar. Gauri mengajak Gasendra untuk beristirahat di dalam kamar tidurnya. Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang.
Gauri mengerjapkan matanya beberapa kali. Kala membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Gasendra yang masih tertidur dengan lelap. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Wajahnya tidak terlihat baik.
Dengan inisiatif, Gauri menempelkan punggung tangannya pada kening Gasendra. Dan benar saja. Demamnya kemarin ternyata berpindah kepada lelaki tampan itu. Gauri tersenyum pilu mengetahui hal tersebut.
“Demamnya malah pindah ke kamu, Sen,” gumamnya.
Gauri bangkit dari tempat tidurnya untuk menyiapkan makan dan obat untuk Gasendra. Selagi Gauri sibuk memasak bubur di dapur, Gasendra baru sadar dari tidurnya. Tangannya bergerak ke arah kiri untuk memeriksa keadaan Gauri.
“Gar,” panggil Gasendra.
“Eh, Sen. Kamu udah bangun?” tanya Gauri yang baru masuk ke dalam kamar sembari membawa nampan berisikan semangkuk bubur, segelas air putih hangat, serta obat penurun panas.
“Kamu bangun jam berapa?” tanya Gasendra menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang.
“Jam 1 tadi,” jawabnya. “Kamu demam, Sen.”
“Emang iya?” balas Gasendra dengan kembali bertanya. “Pantes kepala aku agak pusing.”
Gauri menyerahkan nampan kayu yang di bawanya kepada Gasendra. “Nih, dimakan dulu. Abis itu minum obatnya.”
Melihat tingkah perhatian yang Gauri lakukan padanya, Gasendra menarik sebelah lengan kurus gadis cantik itu. “Makasih, ya, Cantik.” Lalu, ia mengecup pelan kening Gauri.
Gauri tersenyum. “Demamnya malah pindah ke kamu sekarang,” ujarnya.
Gasendra ikut tersenyum. “Gak apa-apa, Gar,” jawabnya. “Oh, iya. Aku lupa sesuatu.”
“Apa?” tanya gadis cantik itu penasaran.
Gasendra menangkup sebelah pipi Gauri lalu menariknya untuk menerima sebuah ciuman. “Ini,” katanya setelah menyudahi ciuman itu.
“Cium?” tanya Gauri lagi.
Gasendra menggeleng. “Enggak. Jadi pacar aku lagi, ya.”