Rightness
Jihan melangkahkan kakinya terburu-buru saat sepasang manik selegam senjanya benar-benar melihat sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tidak jauh dari tempat duduknya di bawah naungan halte bus. Bersamaan dengan Jihan yang menghampiri mobil tersebut, Jerrico keluar dari dalam sana. Ia menyimpulkan senyum seraya melambaikan tangannya kepada adik kelas kesayangannya.
“Kak Jerrico dari kapan di sini?” tanya Jihan sesampainya ia di hadapan sang pujaan hati.
Jerrico mengetuk-ngetukkan jarinya sembari merengut lucu. “Dari…,” ucapnya menggantung. “Dari kamu keluar gerbang sekolah.”
Mendengarnya, Jihan menganga. “Berarti Kakak ngikutin aku dari pulang sekolah dong?!”
Jerrico menganggukkan kepalanya. “Iya. Bisa dibilang gitu. Dari keluar kelas malah.”
“Kakak kenapa ngikutin aku sih?” tanya Jihan penasaran.
“Ya, abisnya kamu ngehindar terus. Aku bingung harus gimana biar bisa ketemu sama kamu. Yaudah, aku ikutin aja,” jelas lelaki tampan itu.
Jihan mengusap dadanya pasrah. Kedua netranya memandang datar pada kakak kelas favoritnya. Sebetulnya, Jihan tengah mengutuk lelaki tampan setinggi tiang bendera yang berdiri di hadapannya itu. Bagaimana bisa? Jerrico tidak mengindahkan rasa cemburunya. Sedangkan, Jihan setengah mati menahan dirinya agar tidak memukul ataupun meninju setiap gadis genit yang gencar sekali mengincar dambaan hatinya.
“Kita masuk dulu, yuk, ke dalem mobil. Kita makan dulu baru abis itu aku anter kamu pulang.”
Jerrico menuntun Jihan agar masuk ke dalam mobilnya. Ia membukakan pintu dan menjaga pucuk kepala adik kelasnya agar tidak terbentur atap mobil. Kemudian, ia menutup pintu lalu berlari kecil memutari mobilnya untuk masuk ke dalam sana menyusul sang gadis. Setelahnya, Jerrico menancap gas untuk menuju ke restoran cepat saji yang biasa keduanya kunjungi sepulang sekolah atau sebelum berangkat ke tempat kursus.
Selama di dalam perjalanan, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara Jerrico dan Jihan. Jerrico sibuk menyetir seraya mengikuti alunan musik dari audio mobilnya. Sementara itu, Jihan membungkam dirinya sembari maniknya memperhatikan bangunan yang tertata rapi yang ada di sebelah kirinya. Sesekali, Jerrico mencuri pandang ke arah Jihan yang sedang termenung. Ia tersenyum karena tahu apa yang menjadi penyebab kegelisahan sang gadis.
“Jihan,” panggil Jerrico. Mobilnya berhenti di perempatan lampu lalu lintas yang berwarna merah.
“Hm?” Yang dipanggil hanya berdehem singkat tanpa memalingkan pandangannya.
“Kok kamu diem aja sih?” tanya lelaki tampan itu.
“Enggak. Aku emang biasanya diem,” jawab Jihan. Ia masih setiap pada pendiriannya.
“Kamu gak biasanya diem kayak gini, Jihan. Kamu biasanya suka cerita di sekolah ngapain aja,” sanggah lelaki tampan itu. “Tadi di sekolah kamu gak mau ketemu sama aku terus sekarang kamu diemin aku. Kamu kenapa, hm?”.
Mendengar ada deheman yang disandingkan dengan suara sedalam cintanya pada Jerrico, Jihan hampir luluh. Kedua indera pendengarannya sangat dimanjakan oleh bias suara yang sangat menggoda itu. Jihan menolehkan pandangannya. Ia memandang kakak kelasnya itu dengan tatapan yang bahkan Jerrico tidak bisa deskripsikan. Jihan seolah-olah sedang mengidentifikasi dirinya, dari atas kepala sampai bawah kaki.
“Kamu kenapa ngeliatin aku gitu?” tanya Jerrico lagi.
Jihan terkesiap dengan pertanyaan yang dilontarkan Jerrico padanya. “Enggak tuh. Kak Jerrico jangan kepedean. Aku gak liatin Kakak, ya,” jelasnya penuh kebohongan.
“Suka sama aku, ya?” sergah lelaki tampan itu.
Sebelum menjawab, Jihan pura-pura menggaruk pangkal hidungnya. Lalu, ia bergumam sepelan mungkin. Berharap Jerrico tidak mendengar pengakuannya. “Iya,” katanya.
Jerrico terkekeh. Ia tidak dapat menahan semua tingkah laku gemas yang dilakukan gadis kesayangannya. Jika memungkinkan, Jerrico ingin sekali menggigit sepasang pipi chubby yang sedari tadi tidak berhenti menggembung sebab kesal tersebut. Menurut lelaki tampan itu, Jihan yang marah adalah Jihan yang paling menggemaskan. Tak lama setelahnya, lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau, Jerrico kembali melajukan mobilnya.
“Kamu lucu, Jihan,” ujar Jerrico.
Jihan menahan senyumnya. Ia berusaha meminimalisir degup jantungnya yang tak karuan kala pujian dari Jerrico itu terus mengganggu di hatinya. Kalau saja, ia tidak ingat bahwa dirinya sedang merajuk, mungkin Jihan sudah melompat dari tempat duduknya dan memeluk kakak kelas kesayangannya itu. Ia tidak bisa apabila harus berdiam diri lebih lama lagi jika Jerrico memperlakukannya sepertinya ini.
Setelah hampir lima belas menit menempuh perjalanan, akhirnya Jerrico dan Jihan sampai di tempat makan yang dimaksud. Di sana, Jerrico memesan satu paket nasi ayam untuk dirinya serta satu paket nasi ayam porsi anak kecil dan ice cream cone untuk adik kelasnya. Seketika sadar bahwa Jerrico membelikannya makanan dengan hadiah mainan yang ada di dalamnya, Jihan berjingkrak senang.
“Kok Kakak tau aku belum punya mainan ini?!” tanya Jihan semangat. Sepasang manik selegam senjanya tidak dapat lepas dari salah satu karakter pokemon berwarna kuning favoritnya yang ada di tangannya.
“Tau dong. ‘Kan terakhir kali kita video call, kamu nunjukkin aku koleksi mainan kamu. Terus aku sadar kamu belum punya yang ini,” jawab Jerrico yakin.
“Ih, Kak Jerrico inget!” ucap gadis cantik itu. “Makasih, ya, Kak.” Jihan tersenyum manis.
Jerrico membalas simpul itu tak kalah manis. Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan pucuk kepala Jihan. “Iya, sama-sama, ya, Cantik. Sekarang makan dulu.”
Jika tadi Jerrico seolah berbicara dengan seseorang yang tengah mengidap penyakit sariawan, setelah diberi beberapa sesajen, seperti makanan cepat saji dan es krim, kini Jihan justru tidak dapat berhenti mengoceh, mulai dari tugas fisika yang sangat sulit untuk diselesaikan bahkan oleh peringkat pertama di kelasnya sampai kedua orang tuanya yang tiba-tiba pergi ke Italia tadi pagi.
“Makan dulu, Jihan,” ucap Jerrico. Ia dapat melihat semangat juang gadis cantik itu yang membara-bara.
“Iya, Kak. Ini aku makan kok,” balas Jihan.
“Maksudnya makan yang bener. Nasinya nempel di mulut kamu tuh,” ujar lelaki tampan itu.
Dengan sigap, Jerrico menyeka butiran nasi yang melekat di sudut bibir seranum buah persik itu. Jihan sempat terhenyak ketika tangan besar itu menyentuh ujung mulutnya. Ia mengerjapkan netranya beberapa kali. Jihan dapat merasakan hangatnya tangan itu. Lagi, entah untuk ke berapa kalinya di hari ini, jantungnya tidak berdetak sesuai ritme yang normal. Setelah dirasa bersih, Jerrico menarik kembali tangannya.
“Jangan berantakan dong makannya, Cantik,” kata Jerrico.
“I-Iya, Kak,” ujar Jihan tebata. “Maaf.”
Mendengarnya, Jerrico terkekeh. “Iya, Jihan,” ucap lelaki tampan itu. “Dimaafin kalo makannya abis,” lanjutnya.
Kemudian, sepasang kakak dan adik kelas yang saling memendam rasa itu melanjutkan santapan siang menuju sore masing-masing. Di sela-sela waktu makan, Jerrico berinisiatif untuk memulai percakapan dengan gadisnya terlebih dulu. Jihan-pun memiliki beragam jawaban untuk terus mempertahankan obrolannya dengan sang pujaan hati. Setelah hampir setengah jam, Jerrico mengajak Jihan untuk pulang.
“Jihan,” panggil Jericco saat keduanya baru mendudukkan diri masing-masing di dalam mobil.
“Iya, Kak?” balas Jihan. Tangannya bergerak memasangkan sabuk pengaman untuk dirinya.
“Mau boba gak?” tanya sang kakak kelas.
Jihan mengerutkan dahinya. Ia memandang kakak kelasnya itu heran. ”Tumben banget Kak Jerrico nawarin aku begituan,” kata Jihan.
“Biasanya ‘kan kalo cewek ngambek terus dikasih yang manis-manis langsung jadi gak ngambek lagi,” jelas Jerrico.
Mendengarnya, Jihan tertawa. “Kakak kata siapa kayak gitu? Terus yang ngambek siapa?”
Jerrico mendekatkan wajahnya ke arah Jihan. Dengan gerakan tiba-tiba itu, Jihan lagi-lagi dibuat membeku di tempatnya. Saat ini, sepasang manik selegam senjanya tengah menatap sepasang senja selegam malam di hadapannya. Baik Jerrico maupun Jihan, sama-sama dapat merasakan napas hangat yang menerpa wajah masing-masing.
Jerrico menyeringai. “Kamu, Jihan. Kamu yang ngambek. Iya ‘kan?” tanya lelaki tampan itu memastikan.
Jihan segera memalingkan wajahnya. Ia mencoba memasukkan pasokan oksigen sebanyak-banyaknya setelah tadi ia menahan napas cukup lama sebab wajah tampan yang menatapnya intens. “Enggak kok. Aku gak ngambek,” jawab gadis cantik itu.
Setelah mendengar jawaban demikian dari sang gadis, barulah Jerrico mau kembali ke tempat semula. Ia mengulas senyum manis sehingga matanya ikut tersenyum. “Oke, kalo gitu. Kita pulang, ya.”
Jerrico melajukan mobilnya keluar dari parkiran restoran cepat saji tersebut. Sesuai dengan rencananya, dan juga berhubung gadisnya menolak ketika ditawari makanan atau minuman manis, ia akan mengantar Jihan pulang. Seharusnya, atmosfer tidak terasa semenegangkan dan semenyeramkan tadi, tetapi entah mengapa gadis cantik yang duduk di sebelahnya tetap bungkam.
Jihan tidak dapat berhenti bergerak di tempatnya duduk. Semenjak tadi, ketika ia pertama kali melihat serta merasakan wajah tampan favoritnya sedekat nadi, Jihan jadi kesulitan untuk menyamankan posisinya. Seolah tanpa dosa, Jerrico terlihat sangat nyaman mengendarai mobilnya. Di sisi lain, gadisnya hanya sekadar untuk bernapas dengan normal saja membutuhkan tenaga ekstra.
Jihan merasa ada sesuatu yang membuncah di dalam dirinya. Namun, ia sendiri tidak tahu apa itu. Adegan Jerrico, yang seperti hampir menciumnya, tadi terus menghantuinya. Lihat saja, Jihan tidak dapat bernapas dengan normal sejak tadi. Jantungnya terus saja berdegup kencang bagai kuda pacu yang berlari. Juga, perutnya terasa aneh, seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam sana.
Selagi gadis cantik itu sibuk bergumul dengan lamunannya, mobil yang ditumpanginya masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Jerrico memberhentikan mobilnya di depan garasi besar yang ada di sana. Ia melepaskan sabuk pengaman yang melindunginya. Jerrico sempat terkejut kala ia menolehkan pandangannya dan yang ditemukannya adalah sang adik kelas yang serupa dengan patung, hanya diam di tempat tanpa ada pergerakan apapun.
“Jihan,” panggil Jerrico seraya menepuk pundak lawan bicaranya.
Yang dipanggil namanya hanya bergeming dan masih asyik dengan skenario yang ada di kepalanya. Barulah setelah sang kakak kelas mengguncang tubuhnya beberapa kali, Jihan kembali ke alam sadarnya.”Iya, Kak? Kenapa?” ucapnya tidak santai.
“Kita udah sampai,” jawab lelaki tampan itu.
Jihan mengedarkan pandangannya dari dalam mobil tersebut. Benar saja, keduanya sudah sampai di rumahnya. “Oh, iya, Kak.”
Jihan bergerak untuk melepaskan sabuk pengamannya. Namun, entah mengapa, mungkin karena hilangnya konsentrasi, Jihan kesulitan untuk membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Pengaitnya tidak mau keluar dari tempatnya. Dengan inisiatif, Jerrico membantu gadisnya. Tubuhnya mendekat ke arah Jihan. Lalu, sepasang lengan kekarnya bergerak menolong tangan mungil Jihan untuk melepaskan benda pengaman tersebut.
“Kamu kenapa, Jihan? Semenjak masuk mobil tadi, kamu jadi diem. Mukamu juga pucet. Ada yang ngeganggu pikiran kamu, ya?” tanya Jerrico. Tangannya masih berjuang melepaskan pengait sabuk pengaman.
“E-Enggak kok, Kak. Aku gak apa-apa,” elaknya.
“Jangan bohong, Jihan,” ucap Jerrico.
Jerrico masih nyaman di posisinya yang setengah bangkit dari tempat duduknya. Meskipun, otot kakinya sudah merasa sedikit kaku, ia tetap mempertahankan postur tersebut. Dan juga, sebetulnya, sudah sedari tadi Jerrico melepaskan kaitan sabuk pengaman gadisnya. Namun, sepertinya, Jihan sama sekali tidak menyadari hal itu. Ia masih sibuk merangkai dusta demi dusta untuk dilontarkan pada sang pujaan hati.
“Aku gak bohong, Kak Jerrico,” bantah gadis cantik itu.
Jerrico dan wajah tampannya yang saat ini berada lebih rendah dari sang gadis menatap lamat pada sepasang manik selegam senja yang membulat sempurna. Ia dengan sengaja beradu tatap dengan Jihan agar gadis itu mau berkata jujur padanya. Namun, bukannya mengatakan fakta, Jihan malah membeku di tempatnya. Untuk kedua kalinya, Jerrico berada sedekat itu dengannya seraya menatapnya intens.
“Kamu tau ‘kan kalo bohong itu gak baik, Jihan?” kata Jerrico dengan bias suara sedalam palung.
Jihan diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu dengan kebohongan yang sudah direncanakannya. “Tapi aku—”. Belum sempat gadis cantik itu menyelesaikan kalimatnya.
Cup!
Jerrico menciumnya singkat. Walaupun sekelibat, Jihan dapat merasakan dengan jelas bagaimana belahan ranum itu menyentuh bibirnya dengan lembut. Setelah kecupan singkat itu juga, Jihan merasakan bahwa rasa yang membuncah di dalam dirinya perlahan tersalurkan. Jantungnya berdegup semakin kencang. Serta, kupu-kupu yang ada di dalam perutnya seolah meledak sempurna.
“Masih mau bohong lagi?” tanya Jerrico serius.
Jihan menggeleng. “E-Enggak, Kak,” jawabnya terbata.
Jerrico mengangguk. Ia mengapresiasi kesadaran sang gadis meskipun harus diprovokasi terlebih dahulu. “Bagus,” katanya. “Sekarang aku tanya lagi. Kamu cemburu liat aku deket sama perempuan lain, Jihan?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Jihan dengan susah payah menelan salivanya. Walaupun, intensitas bertemu mereka termasuk ke dalam kategori sering, tetapi percakapan yang terjadi di antara mereka sama sekali dan tidak pernah menjurus ke hal tersebut. Singkatnya, pada lubuk hati terdalam masing-masing, Jerrico tahu bahwa Jihan menyukainya dan sebaliknya. Jihan tidak tahu, untuk pertanyaan yang satu apakah ia harus berbohong atau berkata jujur.
Jihan hendak menggelengkan kepalanya lagi. Bahkan, mulutnya baru membuka setengah dan kata yang terlontar hanya, “Eng—”. Jerrico kembali menciumnya.
Cup!
Sedikit berbeda dengan yang sebelumnya, kecupan ini terasa dan terlihat lebih kuat. Jerrico tidak mencium gadisnya dalam waktu singkat dan Jihan juga tidak memberontak diperlakukan demikian. Perlahan, tangan besar itu bergerak mengusap sebelah pipi sang gadis dan tangan mungil itu bergerak menangkup bahu lebar lelaki kesayangan. Terhitung sudah beberapa menit berjalan tetapi keduanya belum mau melepaskan. Setidaknya, sampai…
“Tunggu, Kak!” Jihan melepaskan ciuman itu dengan tidak santai. “Aku gak bisa napas,” katanya.
Jerrico terkekeh. “Iya, Jihan,” balasnya. “Kita pelan-pelan aja, ya.”
Di detik berikutnya, Jerrico hendak membawa gadisnya untuk kembali masuk ke dalam ciuman yang sangat candu nan memabukkan itu. Jerrico mengulurkan tangannya untuk menangkup dagu mungil gadisnya. Jihan dapat merasakan ibu jari sang kakak kelas mengusap bibirnya dengan lembut. Kemudian, Jerrico kembali memangkas jarak yang sudah sangat dekat dengan gadisnya. Namun, Jihan menghentikan pergerakan itu.
“Kak,” panggil Jihan.
“Iya, Jihan?” balas Jerrico lembut.
“Di dalam rumah aku aja, ya. Lagi gak ada Papa sama Mama kok.”
Selepasnya, sepasang siswa sekolahan itu ke luar dari dalam mobil. Jihan melangkah terlebih dahulu untuk kemudian diekori oleh Jerrico. Selagi gadis cantik itu sibuk mencari kunci pintu utama rumahnya, Jericho mengusap kedua bahunya. Jihan dapat merasakan dengan jelas seluruh tubuhnya bereaksi. Ia merinding tetapi bukan dalam artian yang buruk. Tangan besar kakak kelas kesayangannya itu menghantarkan hangat pada tubuhnya.
“Ada gak kuncinya? Sini aku bantu cari,” ujar lelaki tampan itu.
Tepat setelah Jerrico menawarkan bantuannya, Jihan menemukan kumpulan kunci yang menggantung menjadi satu dengan hiasan boneka kecil berbentuk hamster. “Ketemu, Kak!” jawab Jihan yang terdengar sangat ceria seolah ia telah menemukan harta karun.
Jihan memutar salah satu kunci berukuran paling besar pada lubang di bawah kenop pintu berwarna putih itu. Dan setelah pintu besar itu terbuka, tampaklah rumah mewah yang diisi oleh interior yang juga mewah. Namun, Jerrico merasakan ada sesuatu yang janggal. Suasana di dalam sana terasa sunyi dan senyap. Jerrico kembali mengikuti langkah gadisnya masuk ke dalam sana.
“Selamat datang di rumah aku, Kak!” ucap Jihan semangat. Ia mengangkat tinggi kedua tangannya.
Jerrico tertawa gemas. “Makasih, Jihan.” Ia mengusap pucuk gadisnya lembut. “Kamar kamu yang mana?” tanyanya.
“Kamar aku ada di lantai 3, Kak,” kata gadis cantik itu. “Kita naik lift aja, ya.”
Jihan menggandeng tangan besar Jerrico untuk mengikutinya masuk ke dalam elevator yang ada di dalam rumahnya. Di dalam sana, Jihan menekan tombol dengan angka tiga untuk menuju lantai di mana kamarnya berada. Satu detik setelah pintu logam itu tertutup rapat, Jerrico meraih tangan Jihan agar mendekat kepadanya. Ia menangkup sebelah sisi wajah cantik itu lalu menciumnya mesra.
Jihan yang kewalahan dengan gerakan tiba-tiba itu mencoba mengikutinya secara perlahan. Ia peluk leher lelaki tampan yang lebih tinggi darinya itu. Paham dengan sinyal itu, Jerrico merendahkan sedikit tubuhnya. Dipeluk erat pinggang adik kelasnya itu. Tak lama kemudian, lift yang mereka naiki sampai di lantai tiga dan pintu pun terbuka. Tidak ingin melewatkan momen barang sedetik, Jerrico menggendong Jihan ke dalam pelukannya.
Tanpa melepaskan pautan mereka, Jerrico melangkah ke luar dari dalam lift. Kaki jenjangnya berjalan pasti menuju kamar paling ujung di lantai itu. Terdapat hiasan makrame berwarna merah muda tergantung di daun pintu itu. Jerrico menyudahi ciumannya terlebih dahulu. Ia tertawa dalam diam saat bibir ranum Jihan kembali mencari bibirnya. Jihan baru sadar setelah beberapa detik. Wajahnya memerah karena malu.
“Masih mau, ya?” ledek Jerrico.
“Ih, Kakak! Jangan gitu. Aku malu,” balas gadis cantik itu sebal.
Jerrico tersenyum. Ia mengeratkan gendongan Jihan pada tubuhnya. “Kamar kamu yang ini ‘kan?” tanyanya.
Jihan memutar balik kepalanya. Kemudian, ia kembali mengarahkan pandangannya pada Jerrico. “Iya, Kak. Ini kamar aku,” katanya sembari mengangguk.
Jerrico mengangguk sebentar. Lalu, tangannya bergerak memutar kenop pintu berwarna emas itu. Ia dorong sedikit pintu besar itu agar terbuka lebar. Setelahnya, keduanya masuk ke dalam kamar tidur itu. Jihan yang masih berada di dalam gendongan ala koala yang memeluk pohon itu mengarahkan Jerrico agar menurunkannya di tepi ranjang. Seolah tidak ingin menghabiskan waktu tanpa lelaki kesayangannya, Jihan masih memeluk Jerrico yang berdiri di hadapannya.
Jerrico lagi-lagi terkekeh. Ia mengusap pucuk kepala gadis cantik yang mendekapnya erat. Sekarang, posisi kepala sang gadis menghadap langsung ke perut atletis sang kakak kelas. “Jihan,” panggilnya.
Mendengar, suara sedalam palung itu memanggil namanya, Jihan menengadahkan kepalanya. Ia tatap lamat sepasang manik dengan binar menawan itu. “Iya, Kak?”
Jerrico merendahkan kepalanya. Ia berusaha sedekat mungkin dengan sang gadis. Ia tersenyum sebelum berkata lembut. “Masih mau lanjut yang tadi?”
Tentunya, Jihan tidak ingin menolak penawaran yang satu ini karena memang itu yang ia inginkan. Setelah merasakan ada sesuatu yang menggelitik di dalam perutnya, Jihan ingin rasa itu kembali. Ia mau perasaan yang memohon untuk dipuaskan itu segera dituntaskan. Perlahan, Jerrico kembali mendekatkan wajahnya dengan wajah cantik sang adik kelas. Bibirnya bertemu lagi dengan bibir kesukaannya sejak hari ini.
Sedikit berbeda dari yang sebelumnya, ciuman kali ini terlihat dan terasa lebih menuntut. Jerrico terus menekan tengkuk gadisnya agar memperdalam ciumannya. Sedangkan, kedua lengan Jihan berpegangan lebih erat dengan bahu lebar kakak kelasnya. Kemudian, posisi duduk Jihan yang duduk di ujung tempat tidur semakin merendah sampai akhirnya ia berbaring. Jerrico meletakkan tangan kekarnya di sebelah kanan dan kiri Jihan.
Sepasang kakak dan adik kelas itu sangat amat menikmati momen intim yang terjadi. Mereka seolah sudah ahli dengan permainan seperti ini. Merasa pautan yang terjalin membangkitkan sesuatu yang panas di dalam diri, Jerrico melonggarkan dasi yang melingkari di lehernya. Selagi ia menjalankan aksinya itu, siku lelaki tampan itu tidak sengaja menyenggol payudara Jihan.
“Ahh!” lenguh Jihan sesaat melepaskan ciumannya.
Jerrico menatap khawatir pada adik kelasnya itu. “Kamu gak apa-apa, Han? Sakit, ya?” tanyanya.
“Enggak, Kak,” jawabnya. Jihan menggigit bibir bawahnya. Tampaknya, ia enggan untuk mengatakan fakta menggelikan yang akan keluar dari mulutnya. “Mau lagi,” ucapnya sangat pelan.
“Apa, Jihan? Aku gak dengar,” kata Jerrico.
Jihan memanyunkan bibirnya. “Mau lagi.”
Jerrico tersenyum. “Kamu mau lagi? Kayak tadi?” tanyanya meyakinkan.
Jihan mengangguk pelan. Jerrico juga mengangguk pelan menyetujui permintaan gadisnya itu. Kemudian, Jerrico mengangkat tubuh mungil Jihan untuk bersandar di kepala ranjang agar memudahkan dirinya untuk menjalani semua aktivitas panas yang akan datang. Jerrico tersenyum dan tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantik Jihan. Ia dapat merasakan pipi chubby itu menghangat.
“Cantik,” puji Jerrico.
Jihan yang disanjung seperti itu tidak dapat menahan senyumnya. Ia tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang putih bersih. “Kak Jerrico juga ganteng kok,” balasnya.
Di detik selanjutnya, tangan besar itu bergerak. Jerrico membuka satu per satu kancing kemeja seragam sekolah milik adik kelasnya. Di balik pakaian tersebut, Jerrico dapat melihat dengan samar sepasang payudara mengencang yang masih ditutupi oleh pelindungnya. Sepertinya, Jihan sudah mulai terangsang. Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama, Jerrico meraup gunung sintal itu.
“Nghhh, ahh,” lirih Jihan saat Jerrico memainkan payudaranya.
Dalam diamnya, masih dengan tangannya yang bergerak aktif, Jerrico tersenyum puas. Ia sangat suka bagaimana Jihan terlena dengan permainannya. Lihat saja, wajah yang mengekspresikan kenikmatan itu terpampang nyata di hadapannya. Jihan sesekali menggigit bibir bagian bawahnya lalu menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Tangannya meremat seprai yang melindungi ranjangnya.
“Enak gak, Jihan?” tanya Jerrico menggoda.
“Mphh, enakhh, Kak,” jawab Jihan susah payah.
“Lagi?” tanya lelaki tampan itu serius.
“Lagihhh,” sergah Jihan.
Dengan begitu, Jerrico menangkup sebelah payudara adik kelasnya. Ia keluarkan gunung sintal itu dari penutupnya. Kemudian, Jerrico memilin ujung payudaranya. Jihan yang dilecehkan seperti itu semakin dibuat terbang angkasa. Tangannya kini mencengkram kemeja seragam sekolah kakak kelasnya. Kedua kakinya meringkuk. Jihan merasakan sesuatu yang aneh, seperti geli dan nikmat, di bagian bawahnya.
“Nghhh, Kak,” panggil gadis cantik itu.
“Iya, Cantik?” balas Jerrico lembut.
“Gelihh,” racaunya.
“Kenapa, Han?” tanya Jerrico.
“Geli, Kak,” ulang Jihan. “Di bawahhh.”
Jerrico menyeringai. Tangannya yang sedari tadi asyik meremas payudara sang gadis beralih ke arah selatan. JerrIco mengusap kewanitaan Jihan dari luar pakaian dalamnya. “Di sini?” godanya.
Jihan menganggukkan kepalanya berapa kali. “Iyahh, Kak.” Tanpa sadar, kakinya membuka lebar.
“Aku mainin. Mau?” tawar lelaki tampan itu.
Jihan lagi-lagi mengangguk pasrah. Ia tidak tahan dengan semua rasa nikmat yang menyelimutinya. Kepalanya terasa pusing. “Mau.”
Selanjutnya, Jerrico berpindah posisi. Di atas ranjang besar nan empuk itu, Jerrico duduk di belakang sang gadis. Jihan berada di dalam rengkuhan Jerrico. Kemudian, tangan besar itu kembali bergerak. Jerrico mengusap leher, sepasang payudara, dan berakhir pada paha bagian dalam adik kelasnya. Lalu, Jerrico menepuk pelan vagina yang masih terbungkus celana dalam itu. Ia dapat merasakan ada bercak basah di sana.
Jerrico meletakkan dagunya di atas bahu kanan Jihan. “Aku masukin, ya, Jihan.” Ia meminta izin.
Setelahnya, Jerrico melesatkan dua jarinya ke dalam sana. Tubuh Jihan menegang kala vaginanya tersentuh oleh Jerrico. Beberapa kali Jihan berusaha menutup kakinya demi menetralisir rasa nikmat yang menjalar dan beberapa kali juga Jerrico kembali melebarkannya. Jari-jarinya di dalam sana bermain dengan sangat andal. Bergerak memutar, ke atas dan ke bawah, serta tak lupa untuk memanjakan klitorisnya.
“Nghhh, ahh, Kak,” desah Jihan kenikmatan.
Jerrico mengecup pipi sang gadis. “Enak?”
“Lagihhh, Kak,” kata Jihan menagih.
Sesuai dengan titah, tangan Jerrico bergerak semakin brutal dan menusuk. Ia menambahkan satu jari lagi untuk masuk ke dalam sana. Ibu jarinya tidak berhenti bergerak memutar pada klitoris sang gadis. Jihan yang diperlakukan seperti itu hanya dapat menikmati permainan dan mengelukan nama kakak kelasnya. Kedua tangannya menarik celana seragam sekolah Jerrico. Jihan merasakan ada sesuatu yang ingin keluar.
“Kak,” panggil Jihan.
“Iya, Cantik?” balas Jerrico.
“Nghh, gak tahan, ahh,” ujar gadis cantik itu terbata. “Mau dimasukin.”
Mendengarnya, sepasang manik selegam malam itu membulat sempurna. Ia tidak menyangka Jihan akan meminta hal itu kepadanya. Jerrico tahu, ia tidak boleh bergerak lebih jauh lagi. Jerrico tidak ingin melakukan hal itu kepada Jihan. Setidaknya, dalam waktu dekat. Jihan masih terlalu muda untuk hal demikian. Namun, permainan tangannya pada bagian selatan adik kelasnya itu masih berlangsung.
“Jihan,” panggil lelaki tampan itu. “Gak sekarang, ya, Cantik.”
“Ahh, Kak. Tapi, nghhh, aku mau….” Jihan tidak mampu merampungkan kalimatnya. Sepertinya, puncak kenikmatannya akan datang sebentar lagi.
“Iya, Cantik. Aku bantu keluarin aja, ya,” final Jerrico.
Tepat setelah ucapannya berakhir, Jerrico mempercepat gerakannya. Tanpa sadar, Jihan ikut menggoyangkan pinggulnya. Ia ingin sesuatu yang akan menggelitik seluruh tubuhnya ini menemukan titik terang. Pastinya, Jerrico sadar akan hal itu. Oleh karena itu, tangannya kanannya bergerak menangkup payudara yang menganggur. Jerrico remas, pijat, dan sesekali memilin ujung payudara itu.
“Nghhh, Kak. Mau keluarhh,” jelas gadis cantik itu.
Jerrico mengangguk. “Iya, gak apa-apa, Cantik. Keluarin aja,” ucapnya lembut.
“Ahh, Kak!” pekik Jihan.
Jihan menjemput titik ternikmatnya. Tubuhnya yang sedari tadi menegang kini mulai meluruh. Seluruh permukaan tubuhnya dibanjiri keringat. Jihan tumbang di dalam pelukan lelaki kesayangannya. Di dalam dekapan itu, Jerrico memeluk erat Jihan. Ia mengusap pelan bahu dan pucuk kepala gadisnya secara bergantian. Jerrico tersenyum saat mendengar Jihan yang terengah-engah.
“Jihan,” panggil Jerrico.
“Iya, Kak? Jihan mengangkat sedikit pandangannya.
“Enak gak?” tanyanya lagi.
Jihan mengangguk pelan. ”Enak, Kak.”
“Mau lagi?” guyon Jerrico.
Jihan menggeleng cepat. “Nanti dulu, Kak. Aku capek banget.”
Jerrico tertawa dengan jawaban antisipatif dari adik kelasnya itu. Lalu, dengan inisiatif, Jerrico mengecup pucuk kepala gadisnya dalam waktu yang cukup lama. Jerrico seolah ingin menyalurkan rasa sayangnya lewat ciuman itu. Ia dapat menghirup harum shampoo yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh Jihan. Selagi menikmati waktu romantis itu, Jerrico teringat sesuatu.
“Jihan,” panggil lelaki tampan itu.
“Iya, Kak?” balas Jihan pelan.
“Mau cheese cake gak?” tanya Jerrico asal.
Jihan mengetahui ada yang tidak beres dari pernyataan itu. Ia menegakkan tubuhnya. Ditatapnya lelaki tampan yang duduk di belakangnya itu. Jihan menyampirkan selimut pada tubuhnya yang setengah polos itu. Jerrico terkekeh saat menyadari aksinya. Kemudian, ia bergerak memeluk Jihan agar gadis cantik itu tidak perlu merasa malu. Sementara itu, Jihan semakin bingung dengan tingkah Jerrico.
“Kak Jerrico kenapa tiba-tiba nawarin aku cheese cake?” balas Jihan dengan kembali bertanya.
Jerrico terkekeh sebelum menjawab. “Itu loh. Biasanya ‘kan cewek kalo lagi ngambek suka kalo dikasih yang manis-manis.”
Jihan menatap heran kakak kelasnya itu. “Aku gak marah,” katanya.
“Beneran?” tanya Jerrico memastikan.
Jihan mengangguk. “Iya, Kak. Aku gak marah kok.”
“Aku pikir kamu marah,” ucapnya lagi.
“Karena?” tanya Jihan penasaran.
Jerrico menekatkan mulutnya ke telinga kiri Jihan. Ia berbisik. “Karena gak aku masukin.”
Sontak, Jihan bergerak menjauh. Ia memukul lengan kekar yang memeluknya. “Ih, Kayak! Jangan gitu dong. Aku jadi malu sendiri nih,” keluhnya.
Jerrico tertawa lepas saat mengetahui Jihan malu setengah mati saat dirinya membahas permintaannya itu di tengah-tengah permainan panas tadi. Jerrico kembali mendekap Jihan yang memberi jarak padanya dari belakang. Dipeluknya erat tubuh mungil itu seolah Jihan akan pergi meninggalkannya apabila ia lemah. Ia kecup lagi pucuk kepala itu untuk kemudian sepasang pipi chubby kesukaannya.
“Jangan marah, ya, Cantik. Aku bukannya gak mau. Aku takut kalo aku kayak gitu aku jadi kehilangan kontrol. Aku gak mau kalo kita kelepasan,” jelas Jerrico memberikan pengertian kepada adik kelasnya. “Kamu masih punya masa depan yang panjang. Kamu masih punya banyak keinginan dan impian. Kita pelan-pelan aja, ya.”
Mendengarnya, hati Jihan menghangat. Namun, ada satu hal yang mengganggunya. Jerrico bilang ingin menjalani hubungannya dengan perlahan tetapi ia hanyalah sekadar adik kelas yang mempunyai rasa cinta dan kasih sayang. “Kak Jerrico bilang kita pelan-pelan aja…,” ucap Jihan menggantung. “Tapi aku gak punya hak, Kak. Aku gak punya hak buat menjalani hubungan yang pelan-pelan itu.”
Jerrico mengernyitkan dahinya.”Maksud kamu apa, Jihan?”
Jihan menghela napas panjang. “Aku ‘kan bukan pacarnya Kak Jerrico. Jadi, aku gak bisa dong menjalani hubungan pelan-pelan itu sama Kakak,” jelasnya.
Jerrico tersenyum. Jadi, ini yang ia maksud. Jerrico lupa bahwa ia belum meresmikan hubungannya dengan Jihan. Ia sibuk memuaskan Jihan dengan permainan intimnya. “Kamu bisa gak, Jihan? Gak usah lucu banget kayak gitu. Aku pengen gigit kamu rasanya.”
“Aku lagi serius loh, Kak.” Nada bicara Jihan meninggi.
“Maaf, ya. Aku lupa,” entengnya. “Aku keasyikan ‘main’ sama kamu sampai aku lupa kalo kita belum pacaran.”
Jihan kembali memanyunkan bibirnya. “Tuh ‘kan, Kak Jerrico.”
“Yaudah, kalo gitu. Jihan Chalondra, adik kelas paling cantik, paling lucu, dan paling bahagia kalo lagi makan enak… mau, ya, jadi pacarnya aku?”
Jihan tersenyum. Lalu, dengan tiba-tiba ia merangkul Jerrico erat. “Nah, gitu dong, Kak!” ujarnya senang. “Sayang Kak Jerrico banyak-banyak!”