Matahari terbit dari ufuk timur. Cahayanya yang terang diam-diam menyelinap melalui celah gorden yang tertutup. Karamelia mengerjap beberapa kali kala benderang itu memaksa masuk ke dalam maniknya. Akhirnya, sang raja hari menang dan wanita cantik itu terpaksa membuka matanya.
Karamelia terrsenyum saat pemandangan yang pertama kali tampak pada penglihatannya adalah sang suami dan buah hatinya yang masih tertidur pulas. Ia terkekeh kecil. Perlahan tapi pasti, Karamelia mengusap pipi suaminya dan anaknya secara bergantian. Simpul manis yang ada di wajahnya kian mengembang.
“Lucu banget sih anak Mama,” monolognya.
“Akunya gak lucu?” tanya Agraziel dengan suara beratnya.
“Kamu udah bangun, Ga?” balas Karamelia dengan kembali bertanya.
Agraziel mengangguk sekali. “Kamu kok udah bangun?” tanya sang suami lagi.
“Ini udah pagi. Aku harus bangun,” jawab wanita cantik itu.
Agraziel menangkup sebelah tangan sang istri untuk kemudian ia usap punggung tangan lembut itu. “Tidur lagi aja. Kamu ‘kan baru tidur jam 3 pagi,” ujarnya.
Bukannya menurut apa kata sang suami, Karamelia malah bangkit lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. “Aku gak apa-apa, Ga. Aku udah gak ngantuk.”
Mendengarnya, Agraziel berdecak. “Kamu kalo dibilangin bandel, gak pernah mau denger,” protesnya.
Karamelia hanya tertawa kecil menanggapi ucapan sang suami. Kemudian, sepasang maniknya tertuju pada bayi perempuan yang berbaring di antara dirinya dan juga Agraziel. Lagi, wanita cantik itu tersenyum. Sementara itu, Agraziel memerhatikan sang istri dan anaknya secara bergantian.
“Cantik, ya, anakku,” ujar Karamelia.
“Anak kita,” sahut Agraziel. “Buatnya ‘kan bareng.”
Selepasnya, Agraziel memiringkan tubuhnya agar menghadap langsung pada sang buah hati. Diusapnya perut buncit bayi berumur tujuh bulan itu. Karamelia benar. Sepanjang hidupnya, bayi perempuan kedua inilah yang paling cantik yang pernah Agraziel temui karena yang pertama adalah Karamelia kecil.
“Kamu ngerasa gak sih, Ga? Kalo sebenernya Aine itu lebih mirip sama aku,” ucap Karamelia tiba-tiba.
“Enggak,” jawab Agraziel singkat. “Lebih mirip sama aku.”
“Lebih mirip sama aku tau.” Karamelia tidak mau kalah.
“Dari awal Aine lahir juga semua orang yang jenguk kita di rumah sakit bilangnya Aine mirip sama aku,” balas Agraziel.
Karamelia mengerucutkan bibirnya. Ia sebenarnya ingin menyangkal fakta yang satu ini tetapi secara kesuluruhan Aine memang sangat mirip dengan sang suami, mulai dari hidung, mata, warna kulit, sampai senyum manis yang terpatri di wajah cantiknya. Aine adalah Agraziel dalam persona perempuan.
“Aine cuma ngontrak di perut kamu,” ledek Agraziel.
“Dih!” Karamelia memukul pelan lengan suaminya.
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan signifikan yang terjadi di antara sepasang suami itu. Keduanya sibuk memusatkan atensi mereka pada anugerah indah yang Tuhan berikan tepat setelah perayaan satu tahun pernikahan. Aine adalah hadiah terindah yang Agraziel dan Karamelia terima pada hari jadi mereka.
“Aine lucu banget,” kata wanita cantik itu.
“Iya dong. Anakku,” ujar Agraziel.
“Anak kita,” ketus Karamelia.
“Iya, anak kita,” pasrah lelaki manis itu.
Karamelia sempat diam sejenak sebelum kalimat yang keluar dari mulutnya mengejutkan sanubari sang suami. “Jadi pengen punya lagi deh.”
“Hah?!” pekik sang suami sembari bangkit dari posisi berbaringnya. “Apanya yang pengen punya lagi?” tanyanya tak santai.
Sebab suara bising yang dihasilkan Agraziel, Aine ikut terkejut. Bayi perempuan itu bangun dan langsung mengeluarkan kata-kata mutiaranya dalam bentuk tangisan. Dengan sigap, Karamelia menggendong Aine agar masuk ke dalam dekapannya. Ia menepuk pelan bokong bayi kecil itu.
“Agra, pelan-pelan dong ngomongnya. Anaknya jadi bangun ‘kan,” oceh sang istri.
Agraziel mengusap tengkuknya canggung. “Lagian kamu ngomongnya ada-ada aja. Bikin aku jantungan tau gak.”
Aine mulai tenang setelah diberikan susu yang langsung dari sumbernya. “Aku ‘kan cuma bilang Aine lucu.”
“Bukan itu. Kalimat setelahnya,” ucap sang suami.
“Oh,” singkat Karamelia. “Yang aku bilang mau punya lagi. Emangnya kenapa sih? Anak bayi ‘kan lucu,” lanjutnya.
Agraziel menghela napas panjang sebelum dirinya merangkak mendekat ke arah sang istri. Ia tatap satu per satu dua perempuan cantik yang paling ia sayangi setelah Mama dan Mami. “Iya, aku tau. Anak bayi tuh pasti lucu, apalagi Aine.”
“Iya ‘kan. Aku gak salah dong,” ujar Karamelia.
“Iya, kamu gak salah,” jawab Agraziel. “Tapi aku cuma takut, Kar.”
Mendengar respon ganjil dari sang suami, Karamelia mengernyitkan dahinya. Ia menolehkan pandangannya ke arah Agraziel. “Takut? Takut apa?”
“Aku masih inget momen pas kamu mau melahirkan Aine,” katanya. “Aku masih inget dengan jelas gimana kamu teriak, gimana kamu merintih kesakitan, gimana kencengnya genggaman tangan kamu, banyaknya darah yang keluar. Aku hampir berpikir bakal terjadi apa-apa sama kamu,” jelas Agraziel dengan suara setenang mungkin. “Aku bukannya gak siap kalo harus punya anak lagi. Aku cuma gak siap kalo harus liat kamu kesakitan kayak gitu lagi, Kar.”
Suasana menjadi hening. Akhirnya, Agraziel mengakui kelemahannya dan Karamelia mencoba mengerti. Ya, memiliki buah hati memang bukan perkara mudah, baik bagi sang ayah maupun bagi sang ibu. Semua itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Agraziel dan Karamelia sangat paham akan hal itu.
“Maaf, ya, Kar,” ujar Agraziel.
Karamelia tidak sakit hati dengan pengakuan suaminya tetapi ia bangga. Lelaki manis yang ada di hadapannya ini adalah lelaki dengan hati terlembut yang pernah ditemuinya. Dengan semua perhatian dan kasih sayangnya, wajar saja Agraziel tidak sanggup hati apabila harus melihat istrinya kesakitan lagi.
“Jangan minta maaf, Ga. Kamu ‘kan gak salah. Aku paham kok perasaan kamu. Maaf, ya, udah bikin kamu khawatir,” jelas Karamelia.
“Kamu juga gak salah, Kar. Jangan minta maaf. Sampai kapan pun, aku gak bakal bisa paham gimana perjuangan seorang ibu, pasti banyak banget pengorbanannya. Dari awal hamil aja aku udah bisa liat gimana menderitanya kamu,” balas lelaki manis itu.
Karamelia tidak sanggup menahan tingkat gemas suaminya itu. Ia sangat suka bagaimana Agraziel selalu berusaha menjadi seorang suami dan ayah yang siap siaga. Karamelia seperti menikahi seorang tentara yang siap menjaga keharmonisan keluarganya. Agraziel adalah segalanya bagi Karamelia dan Aine.
“Aku gak menderita kok,” ucap Karamelia sembari terkekeh. “‘Kan ada kamu yang selalu jadi suami siap siaga. Makasih, ya, Agra.”
Agraziel meluluh hatinya kala kalimat sanjungan itu masuk ke dalam hati terdalamnya. Ia tersenyum lalu mengecup kening istrinya. “Makasih juga, ya, Sayang, udah mau jadi istri untuk aku dan ibu untuk Aine.”