Ambivalent

Di tengah musik yang mengalun dengan keras, keempat eksekutif muda, Syahra, Nada, Jasmine, dan juga Kamilla tengah sibuk membahas isu yang sedang panas di semua kalangan pebisnis ulung. Ya, apalagi jika bukan Heuston yang menarik diri dari akuisisi bersama Morelle.

“Audin nolak gitu aja? Lo serius, Ra?” tanya Nada.

Syahra mengusap bibir gelas minumannya menggunakan jari telunjuknya. Ia mengangguk sekali. “Iya,” jawab wanita cantik itu pasrah.

“Gue gak paham deh sama pola pikir Audin,” tambah Kamilla. “Maksud gue, Syahra udah rela bikin perusahaan lain waiting list cuma gara-gara ngasih kesempatan kedua buat Heuston.”

“Lo pada seharusnya gak usah heran,” kata Jasmine. “Lo liat aja gimana dulu Audin ninggalin Syahra,” ucapnya. “No offense, ya, Ra.”

Syahra hanya tersenyum datar menanggapi pernyataan yang dilontarkan temannya itu. Jasmine tidak sepenuhnya salah. Ia bahkan masih ingat betul bagaimana surat cerai itu tiba-tiba ada di meja kantornya di pagi hari yang cerah setelah kepulangannya dari rumah sakit.

“Ya, mau gimana lagi,” ujar Syahra. “Mungkin Audin punya alasan tersendiri.”

“Masih aja dibela,” sindir Kamilla sembari menegak minuman yang bertengger di tangan kanannya.

Setelahnya, tidak ada lagi percakapan dengan topik berat di antara mereka berempat. Syahra dan teman-temannya sepakat untuk bersenang-senang dan meninggalkan sejenak pekerjaan mereka yang menumpuk malam ini. Keempatnya butuh waktu untuk menyalurkan penatnya.

“Suami lo gimana, Mil?” tanya Jasmine.

“Apanya?” balas Kamilla dengan kembali bertanya.

“Winston gak keberatan lo hangout sama kita di sini?” tanya Nada.

Kamilla mengibaskan telapak tangannya beberapa kali. “Tenang aja,” katanya. “Asal sama kalian, Winston pasti ngebolehin.”

“Berarti lo nanti dijemput sama dia?” tanya Jasmine lagi.

Kamilla mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Bisa jadi nanti dia nyusul gue ke sini.”

Mendengarnya, Syahra langsung menegakkan posisi duduknya. “Gak sama Audin kan?” tanyanya dengan nada tidak santai.

“Hai, Sayang,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang.

“Hai, Win,” sapa Kamilla. “Rapatnya udah selesai?” tanyanya.

Winston mendudukkan dirinya di sebelah istrinya. Ia mengecup singkat pipi kanan Kamilla. “Udah,” jawabnya.

“Kalau udah punya suami mah beda, ya,” celetuk Nada.

Winston dan Kamilla terkekeh pelan mendengar pernyataan Nada. “Kenapa, Nad? Iri? Mau gue comblangin gak?” ledek Winston bertubi-tubi.

“Mau dong!” jawab Nada semangat.

“Sini sama gue,” sahut Gerald yang tiba-tiba datang.

Melihat kehadiran Gerald yang muncul bak hantu, Nada melengos. “Gak makasih,” tolaknya. “Mending gue jomblo seumur hidup.”

“Mulutnya, Nad,” tegur Jasmine.

Di antara perbincangan antara para elit itu, ada seseorang yang dengan sengaja diam pada tempatnya sehingga menyerupai patung. Meskipun begitu, sepasang maniknya menelisik serta hatinya berharap bahwa Audin tidak datang ke tempat ini, setidaknya malam ini.

“Kamu mau turun, Win?” tanya Kamilla pada suaminya.

“Kamu mau? Ayo,” ajak Winston.

Winston dan Kamilla menjadi pasangan pertama yang turun dari lantai dua menuju lantai dansa. Di meja bundar tersebut menyisakan Gerald yang sibuk adu mulut dengan Nada beserta Brandon dan juga Jasmine.

“Lo pada mending turun deh,” ucap Jasmine. “Gue pusing liat kalian berantem.”

Akhirnya, Nada turun ke lantai dansa. Namun, bukan bersama Gerald, melainkan Jasmine. Demi mengikuti langkah Nada, Gerald menyeret Brandon untuk ikut turun ke lantai dansa. Sekarang, hanya Syahra yang tersisa.

“Gue pusing banget,” gumam Syahra.

Sepertinya, banyak hal yang sedang mengganggu pikiran wanita cantik itu. Isi dari gelas yang digenggamnya sudah habis dalam waktu kurang dari lima belas menit. Syahra meletakkan gelas kosong itu di hadapannya dan hendak memanggil pelayan wanita.

Gayung bersambut. Seorang pelayan wanita datang menghampirinya. Namun, saat Syahra akan menyebutkan pesanannya, pelayan wanita tersebut meletakkan sebuah gelas martini dengan buah ceri yang bertengger di atasnya.

“Silakan,” kata pelayan wanita itu. “Pesanannya, Nona.”

“Tapi saya belum order,” kata Syahra.

“Minumannya sudah dipesan oleh seseorang, Nona,” balas pelayan wanita tersebut.

Sepersekian detik setelahnya, pemesan yang dimaksud oleh pelayan wanita tersebut datang. “Makasih,” ucap Audin kepada pelayan wanita tersebut sembari memberinya tip sebagai tanda terima kasih. Setelahnya, pelayan wanita tersebut pergi. “Masih jadi kesukaan kamu ‘kan?” tanya lelaki tampan itu.

Syahra tersenyum sembari mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Cherry on top.”

“Aku boleh duduk di sini?” tanya Audin lagi.

Syahra kembali mengangguk. “Boleh kok.”

Audin mendudukkan dirinya di sebelah kanan Syahra dengan jarak yang cukup terpaut. “Kamu ke sini sama siapa?” tanyanya basa-basi. Sebenarnya, Audin tahu bahwa mantan istrinya itu datang bersama Nada, Jasmine, dan Kamilla.

“Biasa,” jawab Syahra lagi. “Nada, Jasmine, Kamilla.”

Audin mengangguk paham. “Kamu kenapa gak turun bareng mereka?” Ia mengidikkan dagunya ke arah teman-temannya beserta teman-teman mantan istrinya yang sedang asyik berdansa di lantai dansa.

Syahra menggeleng sekali. “Enggak,” jawabnya. “Aku lagi capek.”

“Kerjaan lagi hectic banget, ya?” Audin tiada henti-hentinya mewawancarai wanita cantik itu.

“Kamu lucu deh, Na.” Bukannya menjawab pertanyaan yang mantan suaminya lontarkan padanya, Syahra malah menyindir Audin.

“Maksudnya?” balas Audin dengan kembali bertanya.

“Perasaan dulu pas masih sama aku, kamu gak pernah sepeduli ini,” ujar Syahra.

Audin menghela napasnya. Sejenak, ia tatap sepatu pantofelnya yang memijak pada lantai klub yang dingin untuk kemudian kembali menatap sepasang manik yang selalu menjadi kesukaannya itu dengan nanar. “Bukan gitu maksud aku, Ra.”

“Kamu kenapa mundur dari akuisisi kita?” tanya Syahra skak mat. “Kali ini, tolong… kasih alasan yang masuk akal,” tambahnya.

Mendengar pertanyaan yang Syahra ucapkan, Audin membatu. Pikiran dan emosinya terlalu kalang kabut untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Audin tahu betul bahwa Syahra berhak atas penjelasan darinya.

“Kalau kamu enggan karena aku mantan istri kamu…,” ucap Syahra menggantung. “Anggap aku mitra kamu. Kamu tau ‘kan, Na? Kalau aku butuh penjelasan kenapa kamu mundur dari kesepakatan kita.”

Audin mengangguk pelan. “Iya, Ra,” katanya. “Aku tau.”

“Jadi, kenapa Heuston mundur dari kandidat akuisisi sama Morelle?” tanya Syahra lagi. “Padahal, seperti yang kamu tau, Heuston punya peluang paling besar untuk akuisisi sama Morelle.”

Untuk berapa saat, Audin diam. Bukannya tak ingin menjawab pertanyaan dari mitra perusahaannya itu tetapi perihal apa yang akan disampaikannya kepada Syahra. Sementara itu, Syahra masih menunggu jawaban dari Audin.

“Ra,” panggil Audin. Ia memfokuskan pandangannya pada wajah cantik yang selalu sukses menyihir perasaannya. “Boleh aku ngomong jujur?” tanya Audin serius.

Mendengar pertanyaan yang Syahra pikir mustahil keluar dari mulut Audin, wanita cantik itu tersenyum dalam diamnya. Pasalnya, hal inilah yang Syahra inginkan dari Audin selama menjadi suaminya maupun mitra kerjanya. “Boleh, Na,” jawab Syahra. “Kamu boleh ngomong apapun sama aku.”

“Kamu tau ‘kan kalau Heuston bukan aku yang bangun tapi Papi,” ujar Audin.

Syahra mengangguk. “Iya,” katanya.

“Waktu aku nikah sama kamu, bahkan sebelum aku nikah sama kamu, Heuston sering banget ngalamin masalah,” jelas Audin. “Papi pengen aku jadi penerusnya tapi di hati aku yang paling dalam aku gak pengen jadi pebisnis,” lanjutnya. “Jadinya, setelah aku take over Heuston, ada aja masalah yang terjadi.”

“Emangnya kamu sukanya apa, Na?” tanya Syahra lembut.

Audin menolehkan pandangannya ke arah Syahra. Ia tersenyum. “Acting,” jawabnya. “Atau musik,” tambahnya. “Pokoknya yang berhubungan dengan seni.”

Syahra mengangguk paham. “Pantes aja kamu banyak tau trivia tentang seni,” ujarnya.

“Iya, ya,” ucap Audin. “Aku bahkan gak sadar.”

“Kamu udah pernah coba ngomong jujur ke Papi?” tanya Syahra lagi tetapi kali ini lebih serius.

Audin menggeleng. “Aku anak tunggal, Ra,” katanya. “Aku gak tega kalau harus ngehancurin harapan Papi sama anak satu-satunya ini. Cuma aku satu-satunya harapan Papi,” lanjut lelaki tampan itu. Audin kembali menundukkan pandangannya. “Belum lagi, setelah nikah sama kamu… aku banyak nyusahin kamu.”

Mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut mantan suaminya itu, Syahra sempat terdiam. “Kamu tau kamu gak nyusahin aku, Na.”

Audin tersenyum masam. “Aku banyak nyusahin kamu, Ra,” ucapnya. “Setelah kamu nikah sama aku, kamu jadi lebih sering pulang malem dan bulak-balik keluar kota untuk bantu ngurusin Heuston karena aku gak becus.”

“Aku juga pebisnis, Na,” tegas wanita cantik itu. “Itu udah bagian dari kewajiban aku.”

“Kamu ngurusin aku, Heuston, Morelle, dan calon anak kita yang ada di dalem perut kamu,” jelas Audin.

Kalimat terakhir yang diucapkan diam mampu membuat Syahra terdiam seribu bahasa. Padahal, Syahra hampir lupa dengan kejadian itu, di mana dirinya mengalami keguguran karena terlalu lelah bekerja.

“Aku gagal ngurusin Heuston, aku gagal bantu kamu ngurusin Morelle, aku gagal jadi suami kamu, dan aku juga gagal jadi ayah dari calon anak kita,” ujar Audin. “Kenapa aku batalin akuisisi sama Morelle? Karena aku tau aku gak akan bisa ngurusin itu semua, Ra.” Ia mengusap wajahnya kasar.

Syahra baru tahu bahwa Audin sama terpukulnya dengan dirinya saat mereka kehilangan calon bayi yang ada di perutnya. Yang Syahra tahu hanyalah Audin dengan tega meninggalkannya sehari setelah dirinya mengalami keguguran.

Syahra mendekatkan dirinya ke arah Audin. Ia mengusap bahu lebar yang dulu sering menjadi tempatnya bersandar. “Na,” panggilnya.

Yang dipanggil namanya menoleh. Syahra dapat melihat dengan jelas sepasang manik yang biasanya terlihat tegas itu kini memerah. Audin menahan tangisnya. Di saat seperti itu, Syahra tetap tersenyum agar tidak memperkeruh suasana.

“Kamu gak gagal,” kata Syahra. “Semua orang mengalami yang namanya ‘pertama kali’,” ucapnya. “Bukan salah kamu kalau kamu gagal ngurus semua keperluan Heuston, apalagi bakat dan kemauan kamu bukan di situ. Bukan salah kamu juga kalau aku keguguran dan kehilangan anak kita.”

“Andai aku bisa berbuat lebih, Ra, mungkin semua ini gak akan terjadi,” ungkap Audin.

Syahra menggeleng sebab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. “Enggak, Na, kamu udah berbuat cukup, sangat cukup,” ujarnya.

Mendengarnya, Audin bergerak merengkuh tubuh mungil yang duduk di sampingnya. Ia sembunyikan wajah tampannya yang sudah berlinangan air mata pada ceruk leher mantan istrinya.

“Maafin aku, Ra,” ucap Audin.

Syahra mengusap punggung lebar yang menanggung banyak beban itu dengan lembut. “Iya, Na.”

Audin sangat merindukan masa-masa bersama Syahra, masa-masa di mana Syahra selalu ada untuk menyiapkan semua keperluan, membantunya menyelesaikan pekerjaan, sampai menenangkannya apabila lelah sedang melanda harinya.

Bagi Audin, Syahra adalah sebaik-baiknya perempuan yang pernah ditemuinya, bahkan mendekati kata sempurna. Jika memungkinkan, Audin ingin Syahra kembali hadir di dalam hidupnya.

Syahra melepaskan pelukannya dengan Audin. Ia tangkup rangka wajah tegas yang tampan itu. Ibu jarinya bergerak menyeka jejak air mata yang ada. Ditatapnya sepasang manik yang masih menyisakan air mata penyesalan itu.

“Na,” panggil Syahra.

“Iya, Ra,” sahut Audin.

“Udah lega?” tanya wanita cantik itu.

Audin mengangguk sekali. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah cantik di depannya. Dikecupnya kening yang sangat ia rindukan itu. “Udah,” jawabnya. “Makasih, ya, Ra.”

“Yang kuat, ya, Na,” ucap Syahra. “Kamu hebat udah sampai di sini.”

“Ra.” Kali ini, Audin yang memanggil nama mantan istrinya itu.

“Iya, Na,” balas Syahra.

“Seandainya aku minta kesempatan kedua dari kamu… untuk kita, mungkin gak?” tanya Audin.

Bersama pertanyaan yang lelaki tampan itu lontarkan, jantung Syahra meledak. Audin melamarnya untuk yang kedua kali di tempat pertama kali mereka bertemu. Syahra tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Bagaimana pun, Audin memiliki hatinya.

Serupa dengan Audin, wanita cantik itu juga ingin memulai lembaran baru dengan pujaan hatinya itu. Syahra tersenyum lalu mengangguk pelan. Lengkungan seindah jagat raya itu dibalas serupa oleh Audin.

“Ikut aku, Ra,” ajak Audin.

Audin menggenggam tangan wanitanya itu agar mengikuti langkahnya. Ia membawa Syahra menuju lantai teratas dari bangunan yang sekarang mereka singgahi. Sesampainya di sana, Audin dan Syahra dapat melihat dengan jelas pemandangan city light dari atas sana.

“Cantik, ya, Na,” ujar Syahra.

Berbeda dengan Syahra yang sibuk memfokuskan atensinya ke arah lampu yang terlihat seperti kunang-kunang dari ketinggian bangunan tersebut, Audin memusatkan pandangannya pada wajah cantik yang berdiri di sampingnya.

“Iya, Ra,” balas Audin. “Cantik.”

“Aku udah lama gak menghirup udara malam,” kata Syahra.

“Aku juga udah lama,” tambah Audin.

Syahra menolehkan pandangannya ke arah Audin. “Udah lama apa?” tanyanya.

“Udah lama gak menghirup kamu,” celetuk Audin sembari tersenyum.

“Mulai deh,” protes Syahra.

Kemudian, dengan gerakan secepat angin, Audin memeluk Syahra dari belakang. “Tapi serius, Ra,” katanya. “Aku sekangen itu sama kamu sampai mau mati rasanya. Entah apa jadinya aku kalau gak sama kamu.”

Syahra tersenyum. Ia sangat suka bagaimana Audin merangkai kata-kata indah untuknya walaupun cukup jarang dilakukan. Syahra memeluk dirinya sendiri di atas lengan besar yang melingkarinya.

“Aku juga kangen sama kamu, Na,” balas wanita cantik itu.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara Audin dan Syahra. Sepasang suami dan istri yang baru saja rujuk itu sibuk menatap intens pemandangan masing-masing. Audin dengan Syahra dan Syahra dengan city light view.

“Na,” panggil Syahra membuka suara.

“Iya, Ra,” balas lelaki tampan itu lembut.

“Aku boleh minta sesuatu sama kamu?” tanya Syahra serius.

Audin yang sedari tadi menenggerkan dagunya pada bahu Syahra kini menoleh ke arah sumber suara. “Anything, Ra,” jawabnya. “Selama aku mampu, aku akan berusaha turuti apapun kemauan kamu.”

“Janji, ya, sama aku,” ucap Syahra. “Kalau ada apa-apa, kita diskusikan bareng-bareng. Kamu jangan pendam semuanya sendiri,” katanya. “Aku ada buat kamu dan sebaliknya, Na,” jelasnya.

Audin tersenyum. Syahra selalu memiliki cara untuk merepih dirinya beserta kelemahannya tanpa membuatnya merasa rendah diri. Audin tahu bahwa dirinya kembali jatuh cinta pada wanita hebat yang ada di dalam dekapannya. “Iya, Ra. Aku janji,” ucapnya.

Mendengarnya, Syahra tersenyum. Ia mengusap pucuk kepala yang berada tepat di samping kanannya. Audin ikut tersenyum. Ia mendekatkan wajah tampannya pada wajah cantik sang istri. Hidung bangir keduanya saling bertemu.

Audin dan Syahra saling melempar tatap khas rasa rindu dari jarak mereka yang hanya terpaut beberapa senti itu. Audin, dengan gerakan perlahan tetapi pasti, mendekatkan bibirnya ke arah bibir ranum Syahra. Di detik berikutnya, kedua belahan itu berjumpa setelah sekian lama.

Bentangan semesta yang dihiasi oleh bintang menjadi saksi bisu bahwa Audin dan Syahra memutuskan untuk kembali bersama dan memulai kehidupan yang baru. Sepertinya, keduanya sama-sama dimabuk rindu.

Pagutan yang terjadi di antara sepasang suami dan istri itu enggan untuk disudahi. Angin malam yang dingin terasa kontras dengan ciuman mereka yang semakin memanas. Audin mengeratkan pelukannya dan Syahra menekan tengkuk lawan mainnya.

“Mphhh,” lenguh Syahra kala merasa cumbuan itu semakin menuntut padanya.

Audin mendorong pelan tubuh mungil istrinya agar merapat pada tembok yang menjadi pembatas antara mereka dengan langit malam. Kemudian, ia bubuhi tengkuk Syahra dengan ciuman.

“Nghhh, Na,” lirih wanita cantik itu.

Audin sudah lama tidak menyentuh istrinya. Ia tidak menyangka rasanya terasa jauh lebih nikmat karena rindu yang sempat dipendamnya. Audin tidak memberi kesempatan bagi Syahra untuk membalas.

“Ahh, Na,” desah Syahra. “Jangan di sini,” pintanya.

Mendengar permintaan tersebut, Audin berhenti. Ia terkekeh dan berkata. “Maaf, ya,” ucapnya sembari mengusap tengkuknya canggung. “Aku kangen banget sama kamu.”

Syahra ikut terkekeh mendengar respon menggemaskan dari suaminya. Kali ini, wanita cantik itu yang menggenggam tangan besar Audin. Ia menarik lelaki tampan itu agar mengikuti langkahnya.

Audin dan Syahra menuruni satu per satu anak tangga untuk menuju lift. Setelah masuk ke dalam lift, keduanya hanya turun tiga lantai. Syahra membawanya menuju penthouse yang tersedia di dalam bangunan tersebut.

“Penthouse ini punya kamu?” tanya Audin.

Syahra menggeleng. “Bukan sih,” jawabnya.

“Punya siapa?” tanya Audin lagi.

“Kamu,” ucap Syahra sembari tersenyum lebar. Ia mengajak sang suami untuk masuk ke dalam kamar utama. “Tadinya aku mau kasih surprise untuk ulang tahun kamu,” jelasnya. “Tapi kamunya malah minta cerai.”

Mendengar penjelasan dari Syahra, Audin hanya dapat tersenyum masam. “Waduh,” ucapnya. “Aku minta maaf, ya.”

Syahra tertawa lepas. “Kamu udah tiga kali minta maaf sama aku, Na.”

“Kesalahan aku terlalu besar, Ra,” sahut Audin. “Aku akan selalu minta maaf sama kamu.”

Syahra menggeleng beberapa kali. Ia menempatkan jari telunjuknya di depan bibir Audin. “Enggak, Na,” katanya. “Kamu udah minta maaf dengan tulus dan janji sama aku. Itu udah sangat cukup,” jelas Syahra.

“Tapi, Ra—” Belum sempat Audin merampungkan kalimatnya.

Syahra menyambar terlebih dahulu. “Daripada kamu minta maaf terus, mending kamu lanjutin yang tadi,” godanya.

Audin terkekeh. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak permintaan dari istrinya itu, apalagi perihal berbagi kasih seperti ini. Di dalam kamar yang luas dan megah itu, Audin dan Syahra mendudukan diri mereka di tepi ranjang.

Aduin menangkup wajah cantik Syahra dengan telapak tangannya yang besar. “Cantik,” pujinya. Seberkas pujian itu mampu membuat wajah cantik yang ditangkupnya menyemburatkan rona serupa buah ceri. Audin tertawa. “Tuh ‘kan cantik.”

“Kamu kebiasaan deh,” keluh Syahra.

Tingkah lucu Syahra membuat Audin semakin tidak tahan. Akhirnya, ia cium kembali bibir seksi yang terus menggodanya. Audin, dengan semua rasa rindu dan kasih sayangnya, bergerak dengan semangat.

Tentunya, Syahra tidak ingin kalah. Kedua tangannya bergerak melepas jas hitam yang melindungi tubuh atletis sang suami. Ia usap lengan besar nan berotot itu. Entah Syahra terbawa suasana atau memang tubuh Audin yang semakin membesar.

“Mphhh,” lenguh Syahra saat Audin menggigit bibirnya.

Sejenak, Audin menjeda kegiatannya. Ia tatap sepasang manik secerah konstelasi bintang di bentangan semesta itu sembari tangannya bergerak melepas satu per satu kancing dari blus putih yang Syahra kenakan.

Audin dapat melihat sepasang payudara yang masih terlindungi bra berwarna hitam itu terus memanggilnya. Lalu, lelaki tampan itu menggendong Syahra agar menyandarkan tubuhnya pada kepala kasur.

Audin hendak melonggarkan dasi yang melingkari kerah kemejanya tetapi pergerakannya dihentikan oleh Syahra. “Aku aja yang buka,” katanya. Dengan telaten, wanita cantik itu melonggarkan dasi berwarna merah tua yang ternyata adalah pemberiannya. “Ini dasi dari aku, ya?” tanya Syahra.

Audin mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Aku selalu pake ini.”

Dalam diamnya, Syahra salah tingkah. Ia melanjutkan aktivitasnya. Syahra membuka satu per satu kancing kemeja putih yang dikenakan Audin. Seketika tubuh besar itu terpampang di hadapannya, Syahra terdiam. Ia meneguk salivanya.

Audin mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?” tanyanya.

Syahra menggelengkan kepalanya beberapa kali demi mengembalikan kesadarannya. “Gak apa-apa,” jawabnya.

Audin terkekeh mengetahui istrinya salah tingkah. Kemudian, lelaki tampan itu menempatkan tubuh Syahra di dalam kungkungannya sebelum kembali mencium istrinya dengan penuh gairah.

Sepertinya, Audin lebih merindukan Syahra dibanding wanita cantik itu merindukannya. Lihat saja, bagaimana lelaki tampan itu mencium Syahra sampai istrinya itu merasa kewalahan. Perlahan, ciuman itu turun menuju leher dan dadanya.

“Nghh, ahhh,” desah Syahra.

Audin membumbui tubuh istrinya yang sudah terekspos dengan tanda kepemilikan. Kemudian, tangan besar itu bergerak melepas bra yang melindungi sepasang gunung sintal yang selalu menjadi kesukaannya.

“Ahhh, Na,” lirih Syahra.

Audin mengulum sebelah puting payudaranya. Sedangkan, payudaranya yang lain dipijat, diremas, dan sesekali dipilih ujung putingnya oleh sang suami. Sudah lama sekali rasanya wanita cantik itu tidak merasakan nikmat seperti ini dari Audin.

“Nghh, Na, ahhh,” desah Syahra.

Syahra tidak dapat berhenti mengelukan nama sang suami yang sibuk bermain dengan payudara. Ternyata Audin masih hapal dengan titik-titik sensitif yang dapat merangsang tubuhnya.

“Enak, Ra?” tanya Audin menggoda.

Syahra tidak dapat menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Syahra terlalu fokus untuk mengkhidmati semua rasa nikmat yang melingkupinya.

Selanjutnya, dengan tangan kiri yang masih setia bermain pada payudara sang istri, tangan kanan Audin bergerak melepaskan celana kulot serta celana dalam yang dikenakan Syahra. Ia dapat melihat bagian selatan itu memerah dan berkedut samar.

Audin kembali menghentikan kegiatannya untuk sementara waktu. Ia melakukan hal serupa pada dirinya. Audin melepas tali pinggang dan celana hitam yang dipakainya. Terlihat batang besar itu sudah menegang dengan sempurna.

Lalu, Audin mendekatkan tubuhnya pada Syahra. Ia memejamkan matanya untuk kemudian mengecup kening istrinya. “Aku sayang kamu, Syahra Suwardhono,” ujarnya.

Mendengar afirmasi cinta tersebut, Syahra tersenyum. Ia memeluk tubuh besar suaminya. “Aku juga sayang sama kamu, Audin Nareswara,” bisiknya.

Audin semakin bersemangat kala suara merdu itu mengalun pada indera pendengarannya. Sekarang, ia akan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Audin menciumi senti demi senti tubuh Syahra.

Syahra dapat merasakan dengan jelas ujung penis suaminya yang mulai terlumuri pelumas alami terus menyentuh tubuhnya. Sebab rasa geli bercampur nikmat di bagian selatannya, Syahra kerap kali menutup kakinya. Namun, kerap kali juga Audin dengan sigap menahannya.

“Ahhh,” lirih Syahra saat merasakan hangatnya bibir itu saat menyentuh permukaan kulitnya.

Tubuhnya wanita cantik itu mulai menggelinjang. Tanpa sadar, Syahra menggoyangkan pinggulnya. Pastinya, Audin sadar akan hal itu. Kemudian, jari tengah dan telunjuk lelaki tampan itu bergerak. Ia melengangkan kedua jarinya untuk memeriksa vagina wanita cantik itu.

“Udah basah, ya?” goda Audin

“Nghh, Na, ahhh.” Syahra yang diperlakukan seperti itu hanya dapat mendesah kencang.

Baik Audin maupun Syahra sudah siap untuk permainan inti. Perlahan, lelaki tampan itu meneroboskan penisnya untuk masuk ke dalam vagina sang istri. Syahra meremat kain yang melindungi kasurnya saat ujung penis sang suami mulai memasukinya.

“Nghhh.” Kali ini, Audin yang mendesah. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Penis itu sudah masuk separuh jalan. Audin mulai bergerak dengan tempo lambat.

“Mphhh,” lenguh Syahra.

Di menit berikutnya, Audin menambah tempo gempurannya. Ranjang yang mereka tiduri mulai berguncang hebat sesuai dengan irama hentakan penis Audin di dalam vagina wanita cantik itu. Keduanya dibawa terbang ke langit teratas oleh permainan panas itu.

“Ahhh, cepetin, Na,” pinta Syahra.

Sesuai dengan permintaan tersebut, Audin bergerak dua kali lebih cepat. Sementara itu, Syahra membantu suaminya dengan menggoyangkan pinggulnya. Ia dapat merasakan ujung penis Audin menabrak dinding rahimnya.

Audin dan Syahra bermain selagi bermandikan keringat. Permainan malam ini adalah yang terpanas yang pernah mereka lakukan sebab keduanya baru saja bangkit dari keterpurukan masing-masing.

“Aku, nghh, mau keluar, ahhh,” ujar Syahra susah payah.

Dengan inisiatif, Audin menghentakkan penisnya di bawah sana. Ia dapat merasakan vagina sang istri seolah menyedot kepemilikannya. Syahra benar-benar akan menjemput pelepasannya sebentar lagi.

“Ahh!” pekik wanita cantik itu.

Syahra mendapatkan titik ternikmatnya tetapi pergerakannya tidak berhenti. Ia tetap harus membantu Audin untuk menjemput pelepasannya. Syahra memandang rangka wajah tegas yang terlihat semakin tampan itu dari posisinya.

“Nghh, aku keluar, ahh, Ra,” ucap Audin.

Audin hendak mencabut penisnya dari dalam sana. Namun, Syahra lebih dulu dengan sekuat tenaganya menarik tubuh besar itu agar memeluknya. Akhirnya, Audin menyemprotkan spermanya di dalam rahim sang istri.

“Ra,” panggil Audin khawatir.

“Kenapa, Na?” balas Syahra dengan kembali bertanya.

“Maaf,” ucap Audin sedikit ketakutan. Suaranya bergetar. “Aku keluar di dalam.”

Syahra tersenyum. “Gak apa-apa, Na,” ucap Syahra. “Kalau di awal main aku bilang aku mau kamu keluar di dalam, kamu pasti bakal nolak.”

“Kenapa kamu pengen aku keluar di dalam, Ra?” tanya Audin serius.

“Kamu tau betul apa alasannya, Na,” jawab Syahra.

Mendengarnya, hati Audin menghangat. Ia tersenyum mengetahui kebesaran hati istrinya itu. “Makasih, ya, Sayang,” katanya.

Audin merebahkan tubuhnya di samping Syahra. Ia dekap tubuh mungil yang polos itu seolah akan pergi jauh. Audin tidak berhenti mengecup pucuk kepala istrinya. Tangan besarnya juga bergerak mengusap punggung sempit Syahra.

Tak lama kemudian, Audin mendengar suara helaan napas yang teratur. Ia menundukkan sedikit pandangannya. Audin tersenyum saat melihat istrinya tidur dengan nyenyak di dalam pelukannya.

Sebelum hari berakhir, Audin kembali mengecup kening Syahra tetapi kali ini sedikit lama. “Wanita cantik yang hebat,” katanya. “Makasih udah hadir lagi di hidupku.”