Reward and Punishment

Mentari terbenam di ujung hari, meninggalkan jejak berwarna oranye kemerahan di lengkungan semesta. Di sebuah taman kampus yang sepi pengunjung, seorang lelaki tampan dengan postur tubuh yang tegap tengah duduk dengan gelisah. Kedua tangannya menangkup satu sama lain selagi ibu jarinya mengusap permukaan tangannya. Kaki-kaki jenjangnya pun tidak berhenti membuat ketukan pada tanah yang dipijaknya.

Tak lama setelahnya, seorang lelaki tampan lainnya datang dan mengambil posisi duduk di kursi kayu yang sama. Sunyi, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara mereka. Keduanya sibuk tenggelam dengan pikiran negatif masing-masing. Ditemani mentari yang semakin menghilang, sepasang sahabat yang sudah berteman sangat lama itu, Gavin dan Valdi, untuk pertama kalinya berpotensi mengalami perpecahan.

“Kenapa?” tanya Valdi datar.

“Gue bakal tanggung jawab, Val,” jawab Gavin tetapi bukan menjawab pertanyaan yang sahabatnya maksud.

“Bukan itu pertanyaan gue,” balas lelaki tampan itu. Valdi yang tadinya duduk bertumpu pada kedua kakinya, kini mengangkat tubuhnya dengan tegap. Namun, pandangannya masih mengarah lurus ke depan. “Kenapa harus Vallerie?”

Mendengar ada satu nama yang disebut, Gavin menghela napas panjang. “Lo harus dengerin penjelasan gue dulu,” katanya.

Valdi terdiam sejenak. “Ya, udah. Jelasin.”

Gavin menolehkan pandangannya ke arah Valdi. “Sebelumnya, gue minta maaf karena itu Vallerie, adek lo,” ucapnya. “Tapi yang namanya hati nggak ada yang bisa nebak, Val. Jangankan lo, gue aja bingung kenapa gue malah jatuh ke Vallerie.”

“Ini bukan pertama kalinya lo ketemu sama Vallerie, Gav,” sahut Valdi. “Kalau lo emang suka sama dia, kenapa harus sekarang? Kenapa harus pas adek gue lagi—” Belum sempat lelaki tampan itu merampungkan kalimatnya.

Gavin lebih dulu menyambar. “Kalau lo pikir gue suka sama Vallerie karena gue udah melakukan hal ‘itu’ sama dia, lo salah besar,” jelasnya. “Gue yang terlalu denial sama perasaan gue sendiri.”

Valdi terkekeh remeh mendengar kalimat eksplanasi dari sahabatnya itu. “Klise banget,” sarkasnya.

Setelahnya, selama beberapa detik menuju menit, tidak ada percakapan intens yang terjadi. Valdi terlalu kecewa untuk melanjutkan topik obrolan itu. Sementara itu, Gavin sedang memikirkan cara bagaimana membuktikan kepada sahabatnya itu bahwa cintanya tulus kepada sang adik. Lagi, baik Gavin dan Valdi, larut dalam lamunan masing-masing. Setidaknya, sampai Gavin kembali membuka suara.

“Mau sekeras apapun gue berusaha untuk menunjukkan kalau gue serius sama Vallerie tapi kalau lo sendiri nggak percaya sama gue, semuanya bakal sia-sia,” jelas Gavin.

Valdi terdiam. Ia berusaha mencerna kata demi kata yang sahabatnya itu ucapkan padanya. Di waktu yang bersamaan, ponsel genggamnya berbunyi dan menampilkan notifikasi satu per satu pesan yang adiknya kirimkan melalui WhatsApp Chat. Valdi mencoba menelaah pengakuan dosa dari Vallerie. Kedua maniknya yang serupa bulan purnama membulat dengan sempurna kala menangkap isi dari pesan-pesan tersebut.

Di sisi lain, Gavin mengintip pesan-pesan yang Vallerie kirim kepada sahabatnya itu. Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah gadis cantik itu mengaku telah melakukan sesuatu yang berpotensi membuat kakak lelaki kesayangannya itu kecewa. Dalam diamnya, Gavin menghela napas pasrah sembari mengusap wajahnya kasar. Ia tidak menyangka bahwa Vallerie akan mengambil langkah juga untuk melanjutkan hubungan mereka.

“Lo harus mengapresiasi Vallerie karena udah berani ngaku dosa sama lo,” sergah Gavin.

Valdi mematikan layar ponselnya lalu memasukkannya ke dalam saku celana denimnya. “Nggak usah sok menggurui gue,” jawabnya ketus.

“Gue nggak berusaha menggurui lo,” balas Gavin.

“Vallerie emang salah tapi lo lebih salah,” ucap Valdi.

Satu kalimat itu sukses menohok sanubari Gavin. Ia menelan salivanya. Apa yang Valdi katakan tidak sepenuhnya salah. “Iya, gue salah. Dan untuk itu, gue sangat memohon maaf sama lo.” Gavin terus menerus meminta maaf kepada kakak dari gadis cantik pujaan hatinya. “Tapi lo harus inget kalau Vallerie itu udah memasuki fase remaja, Val. Dia bakal nyari tau banyak hal, termasuk sesuatu yang berhubungan dengan seksual. Lo juga nggak bisa sepenuhnya menyalahkan Vallerie karena hormon di dalam tubuhnya udah mulai bekerja dengan semestinya,” jelas lelaki tampan itu. “Lo harusnya bersyukur karena Vallerie nggak jatuh ke dalam pergaulan bebas.”

“Jadi, maksud lo, kecanduan porno dan ‘main’ sama lo itu lebih baik dibanding pergaulan bebas. Iya, gitu?” tanya Valdi tidak santai.

“Bukan itu maksud gue,” balas Gavin. “Tunggu. Lo tau Vallerie kecanduan porno?” tanyanya.

Valdi mengangguk. “Tau.”

“Terus... Kenapa lo diem aja?” tanya Gavin menuntut.

“Gue bisa apa, Gav?! Dengan tau fakta Vallerie kecanduan porno aja gue udah ngerasa gagal jadi kakak buat dia. Apalagi nggak lama kemudian, gue juga tau kalau adek gue ada main sama sahabat gue sendiri, gue udah nggak bisa apa-apa lagi!” jelas Valdi dengan nada berapi-api.

Gavin meraih sebelah Pundak lebar sahabatnya. “Lo nggak gagal jadi kakak buat Vallerie, Val,” ujarnya.

Valdi menolehkan pandangannya ke sembarang arah, ke mana saja asal tidak menatap langsung netra sahabatnya. “Lo nggak akan paham,” ketusnya.

Mendengarnya, Gavin untuk kesekian kalinya menghela napas panjang. “Iya, lo bener. Gue nggak akan paham karena posisinya gue nggak punya adek perempuan kayak Vallerie,” jelasnya. “Tapi lo sendiri, Val, lo paham nggak kalau Vallerie itu udah mulai dewasa?” tanya Gavin.

“Vallerie itu adek gue, Gav,” jawab Valdi. “Gue yang paling paham sama Vallerie dibanding diri dia sendiri.”

“Lo yakin?” tanya Gavin menuntut.

Valdi tidak berani menjawab. Ia lebih memilih diam dan berpikir keras. Ada seberkas beban di hati terdalamnya. Sedari kecil, Valdi dan Vallerie hidup bagaikan sebatang kara yang digelimangi harta. Kehadiran orang tua keduanya sangat minim sehingga Valdi yang harus maju menggantika peran orang tuanya untuk sang adik tercinta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Valdi juga memiliki kehidupannya sendiri yang harus ia urus.

“Kalau lo yakin, kenapa lo diem aja pas tau Vallerie mulai menjuru ke suatu hal yang salah?” sindir Gavin. “Gue nggak menyalahkan lo atas yang terjadi sama Vallerie karena gue tau pasti berat ngurusin Vallerie sendiri, apalagi di perempuan,” lanjutnya.

“Kenapa lo bisa yakin kalau lo sama Vallerie ngelakuin ‘hal’ itu atas dasar cinta?” tanya Valdi tiba-tiba. “Vallerie aja belum pernah kenal cowok lain selain gue dan kalian,” sambungnya.

“Nggak mudah, Val, untuk tau gue beneran sayang atau nggak ke Vallerie,” kata lelaki tampan itu. “Selama ini, tanpa gue sadari, gue selalu pengen jadi sosok yang dibanggakan sama Vallerie,” ujarnya.

Valdi kembali terdiam tetapi kali ini dalam artian yang lebih baik. Ia ingin mendengarkan dengan saksama penjelasan dari sang sahabat. Valdi ingin tahu apakah ia bisa memberikan sedikit kepercayaannya kepada Gavin. Lagi pula, apabila Gavin tidak sungguh-sungguh dengan Vallerie, ia tidak akan di sini sekarang bersamanya dan membahas masalah ini dengan serius.

“Lo inget nggak? Dulu pas masih ospek, gue sering banget nginep di rumah lo. Waktu itu, Vallerie banyak tanya-tanya ke gue tentang kehidupan kampus padahal gue sama lo aja baru mulai ospek,” jelas Gavin sembari otaknya memutar kenangan yang dimaksud. “Vallerie banyak cerita sama gue. Dia pernah cerita kalau di sekolahnya ada pentas seni dan ngundang band. Dari situ, Vallerie bilang dia pengen punya pacar anak band. Setelah masuk kampus, gue insiatif bikin band bareng lo dan yang lain. Selain itu, Vallerie juga pengen punya pacar yang pinter bergaul, makanya gue daftar HIMA,” lanjutnya.

“Vallerie nggak pernah cerita kayak gitu sama gue,” kata Valdi.

“Vallerie bukannya nggak mau cerita sama lo tapi dia nggak enak,” ucap Gavin. “Nggak enak kalau harus ganggu lo, soalnya lo kalau di rumah sering keliatan capek.”

“Vallerie bilang gitu ke lo?” tanya Valdi.

Gavin mengangguk sekali. “Iya,” jawabnya. “Tanpa sadar, gue selalu pengen wujudin sosok pacar yang Vallerie pengen, Val.”

Kali ini, Valdi yang menghela napasnya panjang. Ia tatap langit di atasnya yang sudah menggelap sempurna. Valdi dapat melihat hanya ada satu bintang yang bersinar terang di sana seolah memberi tanda serta harapan pada dirinya bahwa ia tidak gagal, baik dalam menjaga adiknya maupun mempertahankan pertemanannya. Valdi sangat sayang kepada adik semata wayangnya dan begitu juga dengan sahabatnya.

Valdi menolehkan pandangannya ke arah Gavin. Semenjak dirinya duduk di situ, baru saat ini ia menatap langsung wajah sahabatnya itu. “Andai gue kasih kepercayaan ini ke lo, Gav, apakah lo mau janji jagain Vallerie sama seperti gue jagain dia?”

Tanpa ragu, Gavin mengangguk. “Gue akan sangat berterima kasih kalau lo mau percaya sama gue,” ujarnya.

“Gue sendiri nggak tau Vallerie beneran suka atau cuma penasaran sama lo,” ucap Gavin.

“Lo nggak usah khawatir, Val,” jawab Gavin. “Itu urusan gue.”

“Jaga janji lo, ya, Gav,” final Gavin.

Gavin mengangguk. “Kalau gue nyakitin Vallerie, gue juga nyakitin lo,” katanya. “Gue nggak akan dan nggak mau nyakitin dua orang kesayangan gue.”

Dalam diamnya, Valdi tersenyum hangat. Ia sangat bersyukur bahwa persahabatannya yang sudah susah payah ia jaga tidak harus kandas malam ini. Namun, tidak menutup kemungkinan masih ada seberkas kekhawatiran di dalam hatinya mengenai Vallerie. Mungkin Valdi bisa menjamin janji yang Gavin ucapkan padanya tetapi tidak untuk Vallerie. Ia bisa aja melakukan hal di luar nalar.

“Lo udah ketemu sama Vallerie?” tanya Valdi.

“Belum,” ucap Gavin. “Gue belum berani nemuin dia kalau gue belum selesai urusannya sama lo.”

“Temuin Vallerie sekarang,” kata Valdi. “Gue takut dia ngelakuin hal-hal di luar nalar.”

“Vallerie,” kata Gavin. “Di mana?” tanyanya.

“Di rumah,” jawab Valdi.

“Makasih, ya, Gav,” ucap lelaki tampan itu sembari menepuk sebelah pundak sahabatnya.

Setelahnya, Gavin berlalu dari taman kampus, meninggalkan Valdi sendirian. Ia berlarian di area gedung parkir untuk kemudian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di lantai paling atas. Dengan perasaan bahagia yang tak terbendung, Gavin melajukan mobilnya menuju kediaman sang sahabat sekaligus gadis cantik pujaannya. Tak lama kemudian, ia sampai di rumah besar nan mewah tersebut.

Gavin memarkirkan mobilnya di halaman rumput yang lebar di dalam pekarangan rumah itu. Namun, ada sesuatu hal yang aneh. Gavin dapat melihat dengan jelas bahwa pintu utama rumah dengan cat dominan putih tersebut sedikit terbuka. Ia juga melihat ada sepasang sepatu berwarna putih yang ada di sana, di mana ia yakini itu bukan milik Vallerie, apalagi Valdi.

Gavin masuk ke dalam rumah itu. “Vallerie,” panggilnya.

“Bangun dong, Vall!” pekik seseorang.

Gavin mendengar suara seorang perempuan yang melengking memanggil nama gadisnya. Ia segera melengang ke arah dapur. Gavin menghentikan langkahnya seketika sepasang maniknya menangkap keberadaan dua orang gadis cantik dengan posisi yang tidak aman. Salah seorang dari mereka tengah tergeletak di atas kitchen set. Sedangkan, yang satunya lagi sedang berusaha menyingkirkan beberapa botol minuman beralkohol dari sana.

“Vallerie,” panggil Gavin. Ia mendekat ke arah gadisnya.

“Kak Gavin?” tanya Heidy.

“Iya,” jawab Gavin. “Heidy ‘kan?” tanyanya.

Heidy mengangguk. “Iya, Kak.”

“Ini Vallerie kenapa bisa kayak gini?” tanya Gavin tergesa-gesa.

“Aku nggak tau, Kak,” jawab Heidy. “Tadi Vallerie telpon aku tapi suaranya nggak jelas. Aku takut Vallerie kenapa-napa. Jadi, aku dateng ke sini. Ternyata, bener ‘kan, Vallerie kenapa-napa,” jelasnya.

Gavin berusaha merengkuh tubuh Vallerie untuk ia gendong bak koala yang menempel di punggung lebarnya. “Vallerie minum berapa botol?” tanyanya lagi.

Heidy menggeleng. “Nggak tau juga, Kak,” jawabnya lagi. “Yang aku pegang cuma dua botol tapi tadi aku juga liat ada botol lain di taman belakang sama di ruang tengah.”

Gavin membawa Vallerie untuk berbaring di sofa ruang tengah. Di tengah perjalanan, gadis cantik itu membuat gerakan tiba-tiba. Ia memukul punggung lebar lelaki tampan yang menggendongnya. “Aduh, Vall,” ringis Gavin.

“Kamu siapa?!” pekik Vallerie. “Aku nggak mau, ya, digendong kalau bukan sama Kak Gapin!”

“Ini aku, Vall,” sahut Gavin.

Gavin meletakkan tubuh indah serupa ulat bulu yang meliak-liuk itu di atas sofa. Sementara itu, dirinya mengambil posisi di tepi sofa. Gavin menggenggam tangan Vallerie. “Heidy,” panggilnya.

“Iya, Kak,” jawab gadis cantik itu.

“Gue boleh minta tolong?” tanya Gavin.

“Boleh, Kak. Apa?” tanya Heidy.

“Tolong buatin Vallerie teh manis hangat tapi pake teh kamomil, ya. Tehnya ada di laci kayu yang di deket cucian piring,” pinta lelaki tampan itu.

“Sebentar, ya, Kak,” balas Heidy.

Sementara itu, Heidy membuatkan teh hangat untuk sahabatnya, Gavin masih berusaha untuk mengembalikan kesadaran sang gadis yang hanya tinggal seujung jari. “Vall,” panggilnya lagi sembari mengusap pipi Vallerie. “Bangun dong.”

Tak lama kemudian, Heidy datang dengan sebuah nampan di tangannya. Ia mendekat ke arah Gavin dan sahabatnya. Saat Heidy hendak menyerahkan cangkir yang berisikan teh manis hangat tersebut, Vallerie kembali membuat gerakan tiba-tiba. Ia menendang nampan yang Heidy pegang sehingga sang sahabat kehilangan keseimbangannya. Alhasil, nampan beserta cangkir bermotif bunga yang berisikan teh kamomil itu jatuh ke lantai.

“Aduh!” pekik Heidy kala teh panas itu tumpah tepat di atas kaki jenjangnya.

“Astaga,” seru Gavin. “Lo nggak apa-apa, Dy?” tanyanya.

“Panas, Kak,” keluh Heidy yang terduduk di atas lantai.

“Sana ke toilet, basuh kaki lo pake air dingin,” perintah lelaki tampan itu. “Gue telpon Silas biar jemput lo.”

Mendengar ada satu nama yang tidak asing masuk ke dalam indera pendengarannya, Heidy menoleh ke arah Gavin. “Kakak tau aku deket sama Kak Silas?” tanyanya.

“Lo beneran nanya kayak gitu sekarang?” sarkas Gavin. “Udah sana ke toilet.”

Dengan langkah terseok, Heidy berjalan menuju toilet terdekat yang ada di lantai pertama rumah tersebut. Ia membasuh kakinya menggunakan air dingin yang mengalir dari shower. Sementara itu, Gavin yang tengah berusaha keras menenangkan Vallerie yang bergerak bagaikan angin puting beliung tetap mencoba menelpon salah satu temannya yang terkenal paling susah untuk dihubungi. Setelah beberapa saat, Silas menjawab panggilan dari Gavin.

“Halo, Las,” ucap Gavin.

Eh, Gav,” balas Silas di seberang sana. “Lo nggak apa-apa? Kok tumben telpon gue?” tanyanya bertubi-tubi.

“Lo bisa nggak ke rumah Valdi sekarang? Gue tunggu, ya,” ujar Gavin.

Ke rumah Valdi?” tanya Silas penasaran. “Valdi-nya aja lagi sama kita.”

“Kakinya Heidy kesiram air panas,” jelas Gavin. “Lo anter pulang sana.”

Hah?!” Seketika mendengar kabar buruk tersebut, Silas berteriak dari seberang sana. “Kok bisa?!

Gavin menjauhkan jangkauan layar ponselnya dari telinganya. “Nggak sengaja ketendang sama Vallerie,” jelasnya. “Udah nggak usah banyak tanya, lo cepet ke sini.”

Iya, Gav,” finalnya. “Gue ke sana.

Setelah mengakhiri panggilan dengan Silas, Gavin meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian, Heidy datang menghampiri. Ia mendudukkan dirinya di sofa seberang Gavin dan Vallerie. Heidy mengusap kaki jenjang nan putihnya yang memerah dan sesekali ia meringis kesakitan. Luka bakar yang disebabkan oleh teh kamomil itu pastinya akan membekas di beberapa tempat.

“Sorry, ya, Dy,” ucap Gavin. “Silas lagi di jalan mau ke sini kok.”

Heidy mengangkat pandangannya lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, Kak,” jawabnya. “Lo nggak perlu minta maaf. ‘Kan Vallerie juga nggak sengaja.”

Mendengarnya, hati Gavin menghangat. Ia bersyukur banyak orang baik yang mengelilingi gadis cantik kesayangannya. “Nanti kalau lo butuh ganti rugi, bilang ke gue aja, ya.”

“Heidy!” pekik seseorang diiringi dengan bantingan pintu.

Silas berlari ke arah ruang tengah. Ia menghentikkan langkahnya di hadapan Heidy untuk kemudian berlutut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya tergesa-gesa.

“Aku nggak apa-apa kok,” jawab Heidy.

Di sisi lain, Gavin yang melihat kedatangan Silas dengan cepat melepas hoodie yang dikenakannya lalu menyampirkannya pada tubuh bagian bawah Vallerie yang sedikit terekspos. “Las,” sapa Gavin.

“Kok lo bisa ada di sini?” tanya Silas.

“Ya, bisa,” jawabnya singkat. “Valdi gimana?” tanya Gavin.

“Valdi aman kok,” jawab Silas. “Dia udah cerita semuanya ke kita.”

“Gue di sini dulu, ya,” ujar Gavin.

“Vallerie kenapa?” tanya Silas lagi.

“Nggak tau tuh,” sahut Heidy. “Tadi dia nelpon aku tapi suaranya nggak jelas. Karena aku khawatir, aku dateng aja ke sini. Pas masuk ke dalem, Vallerie udah jongkok di atas kitchen set,” jelasnya.

“Mabok parah tuh,” balas Silas.

“Ini udah agak mendingan,” ujar Gavin. “Tadi punggung gue dipukul sama dia.”

Silas terkekeh. “Padahal punggung lo biasanya dicakar sama Vallerie, ya, Gav,” ledeknya.

“Bangsat,” umpat Gavin.

Heidy berusaha keras menyembunyikan tawanya. Kemudian, Silas bangkit dari posisinya. Ia mengalungkan sebelah tangan Heidy agar dapat ia bopong. “Ayo, kita ke klinik dulu,” katanya. “Duluan, ya, Gav,” lanjutnya.

“Duluan, ya, Kak,” sahut Heidy. “Tolong jagain Vallerie,” tambahnya.

“Iya, Dy,” balas Gavin. “Cepet sembuh, ya.”

“Jangan lupa pake pengaman, Gav,” teriak Silas yang sudah berada di ambang pintu.

“Sialan,” gumam Gavin.

Gavin kembali memusatkan atensinya pada gadis cantik kesayangannya. Ia selipkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantik Vallerie. Untuk saat ini, Vallerie sudah tidur dengan tenang. Namun, Gavin tidak menjamin beberapa menit, bahkan detik, ke depan seperti apa perilaku yang akan Vallerie tunjukkan. Menurut Gavin, Vallerie yang tengah tertidur pulas adalah Vallerie yang paling cantik.

Gavin ingat sekali kapan terakhir kali Vallerie tertidur di hadapannya seperti ini. Kala itu, Vallerie baru sampai di rumah setelah menghadiri pelajaran tambahan di sekolahnya. Vallerie mendudukkan dirinya di atas sofa dan beberapa detik kemudian dirinya sudah berangkat ke alam mimpi. Gavin yang sedang menyaksikan acara televisi teralihkan fokusnya pada gadis cantik yang tertidur di sampingnya.

“Cantik,” ujar Gavin. “Kamu kok bisa sampe kayak gini sih, Vall?” sambungnya.

Tepat setelah lelaki tampan itu bermonolog demikian, Vallerie bangkit dari posisinya secara tiba-tiba. Tanpa membuka kedua matanya sedikit pun, sepasang tangannya bergerak mengalung pada bahu lebar Gavin untuk kemudian wajah cantik itu bergerak maju dan mencium bibir lelaki tampan yang ia rindukan selama beberapa pekan terakhir. Gavin sempat tercekat dengan gerakan tiba-tiba itu.

“Nghh, Vall,” lirih Gavin.

Gavin dengan seluruh tenaganya mencoba untuk menghentikan Vallerie yang seperti kerasukan iblis itu. Namun, entah karena pengaruh alkohol atau amarah, Gavin merasa kekuatan Vallerie seratus kali lebih kuat semenjak terakhir kali mereka bertemu. Barulah setelah beberapa saat, Vallerie menyudahi ciuman itu. Kemudian, ia tarik kerah kemeja hitam yang dikenakan Gavin.

“Kamu kemana aja?” tanya Vallerie yang setengah sadar.

“Maaf, Vall, aku baru dateng ke kamu sekarang,” jawab Gavin.

“Aku nggak mau kamu minta maaf,” kata gadis cantik itu. “Aku mau kamu nggak pergi dari aku, Kak Gapin!” Di akhir kalimat, suara yang biasanya terdengar merdu itu, kali ini memekik hebat.

Gavin membulatkan kedua matanya. Ia tahu, Vallerie benar-benar marah. “Aku minta maaf, Vall,” ucapnya.

Selanjutnya, yang terjadi adalah Vallerie mendorong Gavin agar berbaring di dalam kungkungannya. Ia menyibakkan rambut hitam panjangnya ke arah belakang. Sebelum melanjutkan sesi memaki dan memarahi lelaki kesayangannya, Vallerie menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Emangnya minta maaf akan balikin keadaan kayak gitu lagi?!” tanyanya tidak santai.

“Vall, dengerin aku dulu,” sela Gavin. “Aku udah bilang sama Valdi tentang kita,” katanya.

“Diem, Kak!” bentak Vallerie. “Kamu nggak tau betapa menderitanya gue selama beberapa minggu terakhir setelah lo tinggal gitu aja,” jelasnya.

“Iya, aku tau, Vall, makanya—” Belum sempat Gavin menyelesaikan pemaparannya.

Vallerie dengan cepat meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir lelaki tampan itu. “Diem,” singkatnya. Ia mendekatkan wajah cantiknya ke arah wajah tampan yang ada di dalam kuasanya. “Sekarang, giliran aku yang ngomong.”

Dalam diamnya, Gavin mengangguk. Vallerie benar. Ia tidak tahu kesulitan apa saja yang sudah dilewati oleh gadis cantik kesayangannya itu selama beberapa pekan terakhir setelah ia meninggalkannya dengan ketidakjelasan. Gavin mempunyai alasan tersendiri dan begitu juga dengan Vallerie. Gavin sebagai pihak yang lebih menyakiti memiliki hak untuk tetap diam sampai Vallerie selesai berkeluh kesah.

“Aku nyakitin hatinya Bang Paldi karena udah main sama kamu,” ujarnya. “Tapi aku juga pengen tau hal-hal yang selama ini aku sukain, salah satunya seks,” lanjut Vallerie. “Gimana… Caranya… Biar… Aku… Bisa….” Vallerie sengaja menggantungkan kalimatnya dan membuat Gavin menunggu.

Detik berubah menjadi menit tetapi tidak ada kata atau bahkan kalimat lanjutan yang keluar dari mulut Vallerie. Akhirnya, Gavin membuka suaranya. “Vall,” panggilnya.

“Apa?” ketus gadis cantik itu.

“Kamu nggak mau lanjutin omongan kamu?” tanya Gavin serius.

Sepertinya, Vallerie terlalu nyaman dengan posisinya saat ini dan baru menyadarinya, di mana dirinya duduk di atas lelaki kesayangannya sembari menatap rangka tegas dengan paras tampan itu dari jarak dekat. Vallerie memandang intens sepasang manik indah yang berada di dalam kungkungannya. Entah sebab efek rindu atau apa tetapi Gavin beribu kali terlihat lebih tampan dan menawan malam ini, membuat Vallerie ingin menguasainya.

“Kamu ganteng,” ucap Vallerie.

“Hah? Kamu bilang apa?” balas Gavin kebingungan.

“Aku jadi pengen,” final Vallerie.

Di detik berikutnya, gadis cantik itu menangkap rangka tegas yang ada di hadapannya. Diciumnya bibir yang selalu menggoda sanubarinya itu. Dengan ganas, Vallerie menikmati makanan pembukanya alias bibir manis Gavin. Sementara itu, Gavin yang lagi-lagi diberi tembakan maut seperti itu hanya mampu membeku di tempatnya sembari kedua tangannya memegang erat lengan kurus yang bertumpu di atasnya.

“Nghh,” lenguhan pertama Vallerie lolos karena permainannya sendiri.

Gavin paham bahwa gadis cantiknya ini selain membutuhkan kepastian atas hubungan mereka juga merindukan sosok untuk diajak bermain intim. Oleh sebab itu, tanpa basa-basi, Gavin bergabung ke dalam permainan panas tersebut. Ia memeluk tubuh mungil Vallerie sembari membalas cumbuannya dengan penuh gairah. Setelah beberapa pekan, Gavin dan Vallerie kembali bertemu dengan cara mereka.

Kemudian, tangan kanan Vallerie bergerak mengusap dada bidang Gavin yang masih terlapisi kemeja hitam andalannya. Sedangkan, tangan kanan Gavin bergerak menekan tengkuk Vallerie agar cumbuaan mereka terasa lebih dalam dan nikmat. Entah sudah terhitung berapa kali sepasang kepala itu berganti arah, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Permainan yang sedang berlangsung terasa semakin panas dan menuntut.

“Nghh, ahhh,” desah Vallerie saat ciuman hangat itu berpindah ke area lehernya.

Di sana, untuk pertama kalinya, Gavin memberikan gadis cantiknya tanda khas kepemilikan berwarna ungu kemerahan. Vallerie sangat menikmati bagaimana Gavin menandainya setiap inci demi inci pada permukaan kulitnya seolah tubuh indahnya adalah milik lawan mainnya. Tidak sampai di situ saja, tangan besar itu kembali bergerak mengusap perut rata Vallerie yang hangat.

“Mphhh,” lenguh Vallerie tertahan. Ia menggigit bibir bagian bawahnya.

“Enak, Vall?” bisik Gavin dengan suara baritonnya.

Vallerie mengangguk. “Nghh, iya,” jawabnya.

“Lagi?” tanya Gavin menggoda.

Vallerie kembali mengangguk. “Iya,” jawab gadis cantik itu yakin.

Mendengar ada permintaan yang tidak bisa ia tolak, Gavin dengan segera merubah keadaan. Ia memutar balik posisinya dengan Vallerie. Jika tadi Vallerie yang memegang kendali, kali ini giliran Gavin yang menguasai gadisnya. Dua pasang netra itu kembali bertemu seolah saling mengirimkan sinyal permainan panas malam ini harus berjalan sempurna setelah apa yang sudah mereka lewati.

Selanjutnya, tangan kanan lelaki tampan itu bergerak membuka satu per satu kancing baju piyama berbahan satin yang melindungi tubuh indah Vallerie. Sementara itu, Vallerie melakukan hal serupa, dibukanya kancing demi kancing kemeja hitam yang terlihat sangat cocok dipakai oleh Gavin. Selain melempar atasan satu sama lain, kedua insan itu saling melempar senyum sebelum memulai permainan yang lebih panas.

“Ahh, Kak,” desah Vallerie saat Gavin tiba-tiba meremas payudaranya yang masih terlindungi oleh bra.

“Aku kangen banget sama kamu, Vall,” ucap lelaki tampan itu di sela-sela permainan.

Mendengarnya, Vallerie tersenyum sembari menggigit bibir bagian bawahnya sebab rasa geli dan bahagia yang datang bersamaan. “Nghh, apa, Kak?” ledeknya. “Aku, ahh, nggak denger.”

Gavin menyeringai. Ia tahu bahwa gadis cantik yang sedang ia coba kuasai ini berusaha menggodanya. Gavin memangkas jarak yang memang sudah deka tantara dirinya dan Vallerie. Lalu, tangan besarnya bergerak melepas kaitan bra yang menutupi sepasang gunung sintal kesukaannya. Ia meremas sebelah payudara itu. Sedangkan, payudara lainnya yang terbebas ia isap ujungnya.

“Nghh, ahhh,” desah Vallerie sebab rasa nikmat yang perlahan meningkat.

Gavin menjeda sebentar permainannya. “Aku bilang, aku kangen kamu, Vallerie,” ulangnya. Setelahnya, ia melanjutkan kegiatannya semula.

Vallerie terkekeh. Ia mengusap kepala lelaki tampan kesayangannya yang tengah sibuk menyusu padanya. “Ahh, Kak,” lirihnya. “Aku nggak denger, nghhh, apa-apa.”

Vallerie masih berdiri di atas pendiriannya. Namun, bukan Gavin namanya apabila ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia kembali mendekatkan tubuhnya pada tubuh mungil di dalam kungkungannya. Gavin menjilat daun telinga Vallerie sehingga seluruh tubuhnya meremang. “Udah mulai nakal, ya,” ucapnya sembari menyeringai.

Vallerie berani bersumpah bahwa kalimat yang baru saja Gavin ucapkan padanya sukses membuat gairahnya sampai pada level tertinggi. Ia memejamkan matanya untuk kemudian menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit ruang tengah. Di sisi lain, Gavin kembali melanjutkan permainannya. Ia mengomando Vallerie untuk melumuri jari telunjuk dan jari tengahnya menggunakan air liur dari mulutnya.

“Basahin,” perintah lelaki tampan itu.

“Kak,” panggil Vallerie yang mulai merasa khawatir.

“Basahin, Vallerie,” ulang Gavin dengan nada suara yang jauh lebih tegas.

Vallerie menelan salivanya. Meskipun begitu, ia tetap melakukan ultimatum yang sudah disampaikan padanya. Vallerie tahu permainan panas malam ini akan jauh terlihat dan terasa lebih menarik sebab jarak dan waktu yang sudah keduanya rasakan. Ia menggenggam tangan besar itu menggunakan kedua tanggannya untuk kemudian mulai menjilat dan melumat dua jari yang juga besar itu dengan cara yang sesensual mungkin.

Vallerie dapat melihat dengan jelas bagaimana Gavin mulai tidak sabar dengan trik yang ia ciptakan sendiri. Gavin menatap Vallerie seolah dirinya adalah makan malamnya. Sepertinya, Gavin memang tidak tahan dengan godaan dari gadisnya. Berikutnya, yang terjadi adalah lelaki tampan itu dengan tiba-tiba bergerak melepaskan celana pendek beserta celana dalam yang Vallerie kenakan.

“Berani berbuat, berani bertanggung jawab, Vallerie,” ucap Gavin.

Vallerie bertaruh. Malam ini, Gavin seolah dirasuki oleh makhluk pencinta seks. Ia dapat melihat binar dari sepasang manik yang serupa konstelasi bintang di semesta itu terlihat berbeda. Kemudian, Gavin membuka sabuk yang melingkari pinggangnya dan memasangkannya kepada Vallerie. Ia letakkan sepasang lengan kurus itu di atas kepala sang empunya.

Gavin sempat melengang dari atas sofa tersebut dan berjalan ke arah tas ranselnya. Dari dalam tas yang banyak berisikan buku dan kliping makalah itu, ia mengeluarkan sebuah dasi berwarna hitam. Vallerie menganga dibuatnya. Kemungkinan besar sebentar lagi ia akan merealisasikan salah satu adegan dari video porno yang pernah ia saksikan. Dengan langkah pasti, Gavin kembali padanya.

“B-Buat apa, Kak?” tanya Vallerie terbata.

Gavin menyeringai. “Kamu tau betul apa guna dasi ini, Vallerie,” jelasnya.

Lalu, di detik berikutnya, Gavin memakaikan dasi yang diambilnya tadi untuk menghalangi penglihatan gadisnya. Semua hal yang akan terjadi selama beberapa saat ke depan akan menjadi kejutan tersendiri bagi Vallerie atau bahkan bagi Gavin juga. Sebelum memulai permainan yang lebih menantang, Gavin menyempatkan diri untuk mengecup kening lawan mainnya dengan khidmat.

“Kalau aku udah mulai kelepasan, kasih tau aku, ya, Vall,” ujar Gavin sembari membukan celana denim yang melekat di pinggulnya.

Vallerie mengangguk dalam diamnya. Sekarang, permainan inti yang menegangkan akan segera dimulai. Gavin memulainya dengan menangkup dagu gadisnya lalu melumat bibir semerah ceri itu dengan kasar. Vallerie yang memiliki akses terbatas sempat kewalahan menghadapi Gavin yang pergerakannya seolah dipandu oleh iblis. Ia beberapa kali sempat kehabisan napas.

“Nghh, ahh, Kak,” desah Vallerie.

Setelah puas menjamah bibir indah yang saat ini terlihat membengkak itu, Gavin berpindah haluan. Kini, ia sedang sibuk bermain dengan sepasang payudara yang menegang hebat. Gavin tidak memberi ampun dengan mengeksploitasi sebisa mungkin mainan kesukaannya itu. Di satu sisi, tangan kanannya meremas, memijat, dan sesekali memilin ujung payudaranya. Di sisi lain, ia melumat ujung payudara itu menggunakan lidahnya.

“Mphh, Kak, ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Gavin benar-benar tidak memberinya waktu untuk beristirahat atau ampun sedikit pun kepada Vallerie. Dengan indera penglihatannya yang sepenuhnya tertutup, seluruh permainan yang Gavin ciptakan untuknya terasa seratus bahkan seribu kali lebih nikmat. Vallerie terus mengelukan nama lawan mainnya, di mana lirihan, lenguhan, dan desahan itu menjadi bahan bakar untuk Gavin.

“Ahhh,” lirih Vallerie sedikit berteriak kala ada benda hangat yang melesat masuk ke dalam vaginanya.

Ternyata, Gavin sedang menikmati area kewanitaan gadisnya menggunakan lidahnya sembari ibu jarinya sesekali bergerak memutari klitorisnya. Vallerie seperti dibawa terbang ke langit teratas dengan semua servis yang lelaki tampan kesayangannya itu berikan padanya. Ia tidak menyangka pertemuan khas rasa rindunya akan senikmat ini. Vallerie masih ingat saat Gavin bilang dirinya-lah yang paling mumpuni dalam permainan panas seperti ini.

“Nghhh, ahh, Kak,” lirih Vallerie yang terus merasa kenikmatan.

“Enak, Vall?” tanya Gavin sembari tersenyum puas.

“Ahh, iya, Kak,” jawabnya.

Gavin mendekatkan tubuhnya ke arah Vallerie. Sementara itu, tangan kirinya bergerak mengusap untuk kemudian masuk ke dalam vagina gadisnya. “Apa, Vall? Aku nggak denger apa-apa.” Kali ini, giliran Gavin yang menjahili Vallerie.

“Mphh, Kak,” desah gadis cantik itu.

Gavin semakin mempercepat tempo kocokannya. “Aku masih nggak denger apa-apa, Vallerie,” ucapnya.

“Ahhh, Kak,” lenguh Vallerie tiada henti. “Iya, enakhh.”

“Pinter,” puji Gavin.

Selanjutnya, lelaki tampan itu menghentikan semua permainannya. Ia membuka dasi yang menutupi kedua matanya gadisnya. Tentunya, hal itu membuat Vallerie bertanya. “Kok nggak ditutup lagi, Kak?” tanyanya.

“Aku mau liat kamu,” jawab Gavin sembari kembali bersiap-siap untuk memasuki gadis cantik itu. “Aku masukin, ya, Vall,” tanyanya.

“Tunggu, Kak,” ucap Vallerie.

Gavin memerhatikan Vallerie yang mulai merubah posisinya. Sepasang netranya membelalak kala mengetahui posisi yang Vallerie pilih adalah doggy style. Saat ini, gadis cantik itu sedang menungging membelakanginya. “Kamu serius, Vall?” tanya Gavin serius.

“Aku pernah bacanya katany gaya kayak gini bikin penis lebih kerasa di dalem, Kak,” jelas Vallerie.

Gavin menganga mendengar kalimat eksplanasi itu. “Riset kamu boleh juga,” ujarnya.

Dengan begitu, Gavin mengusap ujung penisnya sebelum memasuki vagina gadisnya. Sedangkan, Vallerie sekeras mungkin untuk bertahan di atas kedua tangannya yang terbilang lemah. Keduanya melenguh saat penis itu sudah setengah masuk ke dalam vagina, baik Gavin maupun Vallerie, sama-sama memejamkan mata sembari menengadahkan kepala mereka ke arah langit-langit ruang tengah.

“Nghh, ahh,” lirih Gavin.

“Ahhh,” lenguh Vallerie.

Gavin menggoyangkan pinggulnya secara perlahan. Hanya dengan gerakan sederhana yang belum mencapai inti, keduanya sudah merasakan surga dunia. Vallerie lagi-lagi benar. Gaya yang dipilihnya memang memberikan kenikmatan yang hakiki bagi keduanya. Lalu, Gavin kembali meneroboskan penisnya agar masuk dengan sempurna. Ia dapat merasakan ujung penisnya mulai menyentuh dinding rahim.

“Mphh, Kak,” desah Vallerie tertahan.

“Nghh, enak, Vall,” lenguh Gavin.

“Terusin, Kak,” pinta gadis cantik itu.

Ada kalimat perintah seperti demikian, Gavin menambah tempo kecepatan gempurannya. Tubuh polos keduanya bergerak sesuai irama ketukan, di mana ketukan tersebut menandakan kenikmatan yang terjadi. Suara kecipak permukaan kulit yang saling bertemu serta decitan kaki sofa yang seolah meminta tolong menjadi saksi bisu atas permainan panas yang terjadi di antara Gavin dan Vallerie.

“Ahh, cepetin, Kak, nghhh,” ujar Vallerie.

Tanpa jawaban secara lisan, Gavin menambah kecepatannya tiga kali lebih cepat dibanding semula. Vallerie dapat merasakan dengan jelas bagaimana ujung penis besar nan berurat itu menabrak dinding rahimnya dengan keras. Permainan panas kali ini terasa sangat memuaskan, terlihat bagaimana Gavin dan Vallerie membantu satu sama lain agar mencapai nikmat bersama.

“Kerasin lagi, mphhh, Kak,” ucap Vallerie.

Gavin mulai paham bahwa di setiap permainan intim antara dirinya dan Vallerie selalu ada permintaan yang akan gadis cantik itu selipkan. Ia bangga dengan gadisnya sebab dapat menikmati permainan mereka dengan baik. Belum lagi, kenikmatan itu tidak hanya dirasakan oleh Vallerie saja, melainkan dirinya juga ikut merasakan. Gavin bersyukur hatinya jatuh kepada Vallerie.

“Nghh, Kak, aku mau, ahhh, keluar,” jelas Vallerie susah payah.

“Mphh, aku juga, Vall,” balas Gavin.

Setelahnya, keduanya bergerak secepat dan sekeras yang mereka bisa agar dapat menjemput pelepasannya masing-masing. Bulir demi bulir keringat membanjiri wajah cantik dan tampan mereka. Seluruh usaha serta tenaga sudah dikerahkan pada permainan panas malam ini. Sepertinya, permainan panas kali ini Sebagian adalah bentuk balas dendam atas rindu yang ada.

“Ahh!” pekik Vallerie.

Ternyata, gadis cantik itu mencapai titik ternikmatnya lebih dulu. Tubuhnya tumbang sebab kedua tangannya yang sudah tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Berbeda dengan Vallerie, Gavin masih berusaha untuk mencapai klimaks. Kemudian, ide gila tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Ia meraih tubuh mungil Vallerie untuk kemudian bermain dengan sepasang payudaranya yang menggelantung dengan bebas.

“Nghh, Kak, ahhh,” desah Vallerie.

Gavin mampu membuat gadis cantik itu kembali mengelukan namanya. Tidak hanya sampai di situ, Vallerie kemungkinan besar akan menjemput klimaksnya lagi. Ia mengumpat di dalam hatinya tetapi bukan artinya ia tidak menikmati permainan tambahan ini. Padahal, indera penglihatannya sudah tidak tertutup lagi. Namun, Gavin memberikannya kejutan dalam bentuk lain.

“Akh!” pekik Gavin.

“Ahh!” pekik Vallerie lagi.

Keduanya tumbang bersamaan. Dengan tubuh yang dibanjirin keringat, Gavin dan Vallerie sama-sama diburu napas. Gavin memeluk Vallerie dengar erat. Vallerie dapat melihat dengan jelas dada bidang itu terlihat kembang kempis di hadapannya dan keadaan itu pun tak jauh berbeda dengannya. Ia merentangkan tangannya agar dapat memeluk tubuh besar yang mendekapnya.

“Capek, Vall?” tanya Gavin.

“Lumayan, Kak,” jawabnya.

“Sama,” sahut Gavin. “Aku juga.”

Vallerie mengangkat pandangannya agar dapat melihat wajah tampan itu dengan lebih jelas. “Kamu kayak orang gila,” pujinya dalam bentuk umpatan.

Mendengarnya, Gavin tertawa. “Kamu juga sama gilanya,” balasnya.

Vallerie memukul dada lelaki kesayangannya. “Aku kalau main sama kamu selalu keluar dua kali,” jelasnya.

“Ya, jelas dong,” ucap Gavin. “Kamu tau cara menikmati permainan,” lanjutnya.

Setelahnya, selama beberapa saat, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya. Gavin dan Vallerie sibuk mengatur kembali oksigen agar masuk dengan sempurna ke sistem pernapasan mereka. Di satu sisi, Gavin sibuk mengusap pucuk kepala gadisnya. Di sisi lain, Vallerie sibuk memainkan jari telunjuknya di dada bidang lelaki tampan kesayangannya.

Paling tidak, sampai Gavin berinisiatif memecah keheningan. “Vall,” panggilnya.

“Apa?” sahut Vallerie.

“Maaf, ya,” ucapnya tanpa menatap wajah cantik gadisnya.

Vallerie hanya berdehem singkat menjawab pernyataan yang satu itu. Gavin tahu ini tidak mungkin mudah baginya, apalagi bagi Vallerie. Jadi, untuk saat ini dan entah sampai kapan, Gavin akan mengikuti bagaimana alur berjalan sesuai kemauan gadis cantik kesayangannya. Ia akan melakukan apapun demi memperbaiki hubungannya dengan Vallerie sebab gadis cantik itu adalah alasan dia menjalani hari-harinya.

“Vall,” panggil Gavin lagi.

“Apa, Kak?” jawab Vallerie tidak semangat. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Gavin menatap wajah cantik yang berposisi lebih rendah darinya. “Aku mau mandi,” ucapnya.

“Ya, udah,” jawab Vallerie sekenanya. “Sana.”

“Kamu nggak mau ikut?” tanya Gavin.

“Duluan aja deh, Kak,” kata gadis cantik itu. “Badan aku masih lemes banget.”

“Oh, oke,” balas Gavin. “Kalau jadi pacar aku, mau?” tanya lelaki tampan itu.