Nonchalantly

Sean menyandarkan tubuh kekarnya pada kursi panjang berbahan logam yang ia duduki. Di malam yang semakin larut ini, Sean memutuskan untuk mendatangi taman kecil di kompleks perumahannya untuk menghirup udara segar. Sebetulnya, suhu di luar semakin rendah dan terasa menusuk tetapi lelaki setinggi tiang bendera itu tetap memaksakan diri untuk meninggalkan rumahnya.

Setelah bertukar pesan singkat, yang sebenarnya tidak singkat, dengan kekasihnya, Sean semakin dibuat bingung. Pasalnya, selama beberapa hari terakhir, Sena tidak mengirim pesan sebaris pun untuk sekadar berkabar padanya. Sekalinya mengirim pesan, gadis cantik itu malah ingin mengakhiri hubungannya dengan Sean. Entah apa yang merasuki Sena? Mungkinkah informasi bodong yang ia baca dari salah satu akun sosial media kampus mereka?

“Aku harus apa, Sena?” monolog Sean.

Sean bertarung dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia tidak akan rela apabila harus menyudahi hubungan asmaranya bersama Sena. Sean sudah menjatuhkan hatinya semenjak hari pertama mereka di universitas. Tepatnya, rasa itu mulai tumbuh sejak hari-hari di pekan ospek. Di hari pertama ospek, Sena membantu teman sekelompoknya yang pingsan karena dehidrasi. Sean membantu kakak panitia membopong teman barunya itu.

Tidak hanya sampai di situ saja, sepulang ospek, Sean kembali menangkap Sena tengah membawakan barang belanjaan seorang nenek tua yang hendak menyebrang di jalan raya besar. Di saat calon mahasiswa lain yang ada di sekitar sana sibuk mencatat materi perkuliahan, memeriksa isi tas ranselnya, dan membeli keperluan yang harus dibawa ke kampus keesokan harinya, Sena lebih memilih untuk menolongkan nenek tua itu.

“Aku gak akan bisa kalo harus kehilangan kamu,” tambahnya.

Sean masih nyaman dengan posisinya yang setengah berbaring sembari indera penglihatannya secara samar-samar memandang gelapnya langit semesta yang serupa seperti perasaannya saat ini. Juga, otak dan sanubarinya masih dipenuhi dengan bayang-bayang sang kekasih. Selagi lelaki tampan itu masih bergumul dengan emosi negatif yang bersarang dalam hatinya, sebuah sosok menghampirinya perlahan.

“Sean?”

Mendengarnya, sontak, Sean menegakkan posisi duduknya. Sepasang manik selegam malamnya membelalak sempurna saat mengetahui sesosok yang mendekatinya adalah malaikat tercantik yang pernah ia temui. Ya, itu kekasihnya, Sena Ainsley. Di malam yang semakin gelap ini, Sean dapat melihat dengan jelas senyum tipis yang terpatri di wajah bak putri kerajaan itu.

“Sena?” sapa Sean kebingungan. “Kok kamu bisa ada di sini?”

Sena terkekeh pelan. “Aku lagi ada di rumah nenek aku di deket sini. Kamu gak tau, ya, Sean?”

Sean menggeleng. “Sini duduk, Na,” ajak lelaki tampan itu.

Sena mengangguk menyetujui. Ia menempatkan dirinya duduk di sebelah Sean. “Kamu gak tau, ya, Sean?” tanyanya.

“Gak tau apa?” balas Sean kembali bertanya.

“Kalo rumah nenek aku ada di sekitar sini. Di deket rumah kamu,” jelas Sena.

Sean menggeleng. Ia menundukkan pandangannya. Sementara itu, Sena tertawa miris. Inilah yang dimaksud oleh gadis cantik itu. Sean tidak mengetahui apapun tentang dirinya. Jangankan untuk hal besar, hal kecil seperti siapa nama kucing peliharaannya saja, Sean tidak tahu. Entah memang Sean yang memiliki kepribadian seperti itu atau Sean tidak memedulikan aspek-aspek di dalam hidupnya.

“Maaf, Na,” ujar Sean pelan.

Sena menolehkan pandangannya. “Kamu gak perlu minta maaf, Sean. ‘Kan aku yang salah,” katanya.

“Enggak, Sena. Kamu gak salah,” bantah Sean.

“Aku salah karena aku terlalu berharap banyak dari kamu, Sean.”

Pandangan Sena beralih menjadi menatap halaman playground yang berjarak tak jauh darinya. Sena sering kali mendudukkan dirinya di dalam perosotan berwarna merah terang itu kala rasa rindu akan Sean menghantam dadanya. Sena lebih memilih membungkam dirinya alih-alih harus menyampaikan perasaannya sebab ia tahu lelaki seperti apa Sean itu. Sean Ghanendra, lelaki tampan dan cuek yang sebenarnya sangat amat mencintainya.

“Mau pindah duduk di ayunan aja gak?” tawar Sean tiba-tiba.

“Boleh.”

Dengan begitu, sepasang kekasih yang statusnya masih di ambang ketidakjelasan itu berpindah haluan. Sean duduk di ayunan di sebelah kanan dan Sena di sebelah kiri. Saat Sena hendak mendudukkan dirinya di atas kursi permainan yang khas dengan anak-anak itu, secara diam-diam Sean memperhatikannya. Sepertinya, Sena merasa kesusahan untuk duduk di sana. Sean baru saja akan membantu gadisnya, dan di saat yang bersamaan…

“Awas, Sena!”

Dengan sigap, Sean menangkap tubuh mungil yang hampir menyentuh tumpukan pasir yang ada di atas tanah di sana. Sena dapat merasakan lengan berotot dan telapak tangan besar yang menopang tubuhnya. Kemudian, dua pasang jendela dunia itu saling bertukar tatap. Di bawah sinar rembulan malam yang cenderung redup, baik Sean dan Sena, merasa wajah pasangannya terlihat lebih menawan nan menarik.

“Kamu gak apa-apa, Na?” tanya Sean.

Refleks, Sena membangkitkan tubuhnya. Ia buru-buru mendudukkan dirinya di atas kursi ayunan. “Aku gak apa-apa, Sean,” jawabnya. “Makasih, ya.”

Dalam diamnya dan masih pada posisi berlututnya, Sean tersenyum. Untuk pertama kalinya, dalam setahun belakangan, ia dapat memeluk gadisnya secara tidak langsung. Jika biasanya Sena yang berinisiatif untuk menggandeng lengan atau telapak tangan serta menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Sean, kali ini dekapan itu terjadi dengan izin semesta. Sean memang lelaki tampan yang memiliki kepribadian unik.

Sean bangkit dan kembali ke tempat duduknya. Setidaknya, hampir lima belas menit mereka menghabiskan waktu dengan menikmati atmosfer yang menyelimuti mereka. Sean sesekali menggoyangkan ayunannya agar bergerak maju dan mundur. Sedangkan, Sena kerap kali menggoyangkan kakinya sehingga telapak sepatunya menyapu butiran pasir di bawahnya. Meskipun begitu, tersimpan banyak kalimat yang ingin disampaikan satu sama lain.

“Sena.”

“Sean.”

Keduanya memanggil satu sama lain bersamaan. Dan lagi, netra mereka saling memandang. Sean mengulas senyum terlebih dahulu sebelum diikuti oleh sang gadis. Lalu, Sean dan Sena tertawa terbahak-bahak. Setidaknya, tertawaan itu dapat meredakan sejenak perang dingin yang, secara sadar atau tidak sadar, terjadi di antara mereka. Setelah puas melepas sedikit perasaan buruk di sanubari masing-masing, Sean dan Sena kembali pada realita.

“Kamu mau ngomong duluan, Na?” tawar Sean.

“Seharusnya…,” kata Sena menggantung. “Tanpa aku ngomong lagi pun kamu tau aku mau ngomong apa.”

Sean bergeming di tempatnya. Kecemasan yang sedari tadi ia sembunyikan akhirnya menghampirinya. Ya, Sena dan permintaan putusnya. “Sena,” panggil lelaki tampan itu.

“Iya, Sean?” balasnya lembut.

“Boleh aku ngomong sesuatu sama kamu?” tanya Sean.

“Boleh, Sean,” jawab gadis cantik itu.

“Aku mau minta maaf sama kamu, Na,” ucap Sean.

“‘Kan aku udah bilang kamu gak perlu minta maaf, Sean. Aku—” Belum sempat Sena menyelesaikan kalimatnya.

Sean sudah menyambarnya. “Aku gak bisa kehilangan kamu, Na.” Ia menolehkan pandangannya ke sebelah kiri, ke arah Sena. Ditatapnya manik yang kilauannya mengalahkan bintang di langit. “Maaf butuh waktu lama untuk aku sadar. Aku sayang sama kamu, Sena, sayang banget. Aku gak siap dan gak rela kalo harus ngelepas kamu.”

“Sean…,” gumam Sena.

“Aku bukan tipe cowok yang bisa dengan mudah mengekspresikan rasa sayang dan cinta lewat kata-kata ataupun tindakan, Na. Bukannya aku gak mau tapi aku gak tau caranya. Aku juga gak tau kalo ternyata kamu tersiksa dengan perilaku aku yang seperti ini ke kamu. Aku minta maaf. Aku gak tau harus gimana ke kamu tapi aku tau aku sayang dan cinta sama kamu itu tulus dan bukannya perasaan yang dipaksa,” jelas lelaki tampan itu.

“Kamu gak perlu merasa sebersalah itu, Sean,” ujar Sena menenangkan. “Setiap orang punya caranya sendiri-sendiri dan begitu juga dengan kamu. Juga… berubah itu bukan perihal mudah. Iya ‘kan, Sean?”

“Tapi aku gak tahan kalo harus ngeliat kamu sakit dan merasa gak dihargai,” tambah Sean. “Kalo dengan pribadi aku yang kayak gini aku bisa kehilangan kamu maka lebih baik aku berubah.”

Sena menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Sena cukup terkagum dengan pengakuan yang dilontarkan sang kekasih padanya. Di satu sisi, ia merasa tidak sepenuhnya yakin. Dengan pengalaman yang dimilikinya bersama orang-orang di sekitarnya, Sena ragu bahwa Sean benar-benar ingin berubah demi dirinya. Di sisi lainnya, Sena juga belum ingin melepaskan Sean seutuhnya, apalagi setelah penjelasannya tadi.

“Aku gak pernah mau rela berkorban demi seseorang sebelumnya, Na,” tukas Sean. “Aku gak pernah merasa kayak gini sebelumnya. Banyak kebahagiaan yang aku rasakan dan itu bersumber dari kamu. Aku gak akan ngomong banyak lagi ke kamu. Aku akan berusaha untuk jadi apa yang kamu harapkan.”

“Kenapa, Sean?” tanya Sena. “Kenapa kamu mau berubah hanya demi aku?”

Sean bangkit dari posisi duduknya. Ia memposisikan dirinya berdiri tegak di hadapan sang gadis. Kemudian, ia menyejajarkan wajahnya agar dapat menatap wajah cantik kesukaannya lebih dekat. Kedua tangannya bertumpu pada lututnya. “Kamu bukan sekadar ‘hanya’ buat aku, Sena. Kamu segalanya,” finalnya seraya tersenyum.

Kalimat terakhir yang mengandung sanjungan pada pernyataan yang kekasihnya itu lontarkan untuknya sukses membuat Sena tersenyum manis. Sean berani bertaruh bahwa simpul ini adalah simpul paling indah yang pernah Sena tampilkan dan itu untuknya. Sean mengusap pelan pucuk kepala gadisnya. Akhirnya, lelaki tampan itu dapat mengutarakan perasaannya yang sebenarnya kepada gadisnya.

“Cantik,” puji Sean.

Sena tersipu malu mendengar lelaki kesayangannya, berkata demikian. “Sean,” ucapnya. “Jangan gitu.”

“Kenapa? ‘Kan kamu emang cantik, Na,” balas Sean.

“Ya, tapi tetep aja. Jangan gitu,” sanggahnya.

Sean terkekeh. Sena terlihat sangat menggemaskan dengan senyum yang disembunyikan serta wajah yang memerah seperti itu. Oleh sebabnya, Sean berjanji akan terus membuat Sena terlihat demikian dengan membahagiakannya. Sepertinya, Sean terlalu larut dengan wajah cantik yang menunjukkan kebahagiaannya itu. Tanpa ia sadari, dirinya semakin mendekat ke arah Sena.

“Sena,” panggil Sean.

“Iya, Sean?” balas Sena.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki tampan itu. Namun, Sena dapat melihat dengan jelas sepasang manik selegam malam kekasih itu tidak berhenti memandang belahan ranumnya. Sean juga dapat mendengar dengan jelas degup jantung gadisnya yang berdetak tidak karuan. Keduanya dapat merasakan napas hangat masing-masing yang berhembus semakin cepat.

Kemudian, sebelah tangan kekar itu bergerak. Sean menangkup dagu mungil Sena agar sepasang manik selegam senja yang berbinar serupa konstelasi bintang itu mau menatap langsung ke arahnya. Sena sama sekali tidak tahu motif macam apa yang melatarbelakangi perbuatan kekasihnya malam ini. Namun, satu hal yang ia tahu adalah apa yang akan Sean lakukan selanjutnya.

Sean memangkas jarak antara dirinya dan Sena. Ia memejamkan matanya erat. Berbeda dengan Sean, Sena tidak melakukan hal serupa. Ia membeku di tempatnya. Kedua telapak tangan yang menggenggam rantai ayunan di sebelah kanan dan kirinya semakin mengerat. Napasnya tertahan beriringan dengan bibir cantik nan menggoda yang kian mendekat pada miliknya. Sebelum milik lelakinya bertemu dengannya, Sena menolehkan wajahnya.

Sean terkejut dengan tingkah laku gadisnya. “Kenapa, Sena?” tanyanya. “Kamu gak mau? Aku gak akan lanjutin kalo kamu gak mau.”

“Bukan gitu.” Sena mengulum bibirnya. “Jangan di sini,” bisiknya.

Sean menangkat sebelah alisnya. Pasalnya, Sena menggumam dengan suara yang amat kecil sehingga lelaki tampan itu tidak dapat mendengarnya. Sean mendekatkan telinganya ke arah Sena. “Apa, Na? Aku gak denger kamu ngomong apa.”

“Jangan di sini,” ulangnya.

Sean memandang heran kekasihnya itu “Maksud—” Belum sempat Sean menyelesaikan kalimatnya, Sena mendahuluinya.

“Di rumah aku aja,” ucap gadis cantik itu.

Lalu, Sena bangkit dari posisi duduknya. Ia genggam tangan besar itu untuk ikut berlari dengannya. Dari taman kompleks yang memiliki lahan berumput luas itu, Sena menggandeng Sean dengan erat untuk menuju rumah sang nenek yang berjarak tidak begitu jauh. Pada wajah cantik dan tampan sepasang kekasih itu, terpatri jelas senyum secerah mentari pagi. Sean tidak dapat menyembunyikan simpul bahagianya dan begitu juga dengan Sena.

Sesampainya di depan rumah, Sena mengomando kekasihnya untuk meredam suara langkah yang ada sepelan mungkin. Hari memang sudah malam. Namun, besar kemungkinannya bahwa Rosita, nenek dari kekasih Sean itu, masih terjaga. Perlahan, Sena menggeser gerbang tua berkarat yang membatasi rumah besar itu dari jalan beraspal. Ia dapat melihat bayangan Rosita tengah mengaduk teh di dalam cangkir di pelataran dapur dari halaman depan.

Sepasang kekasih itu menyelinap masuk melalui pintu utama rumah mewah dengan interior Eropa kuno tersebut. Tidak ada lagi akses masuk yang memungkinkan bagi Sean dan Sena untuk melengang masuk ke dalam sana, selain pintu utama. Jika Sean dan Sena lebih memilih untuk masuk melewati pintu kecil dari arah garasi maka mereka akan dibawa langsung bertemu dengan Rosita.

Sena membuka pelan pintu berbahan kayu jati di rumahnya. Keduanya mengendap masuk melalui ruang tamu dan ruang keluarga. Sean dan Sena dapat mendengar langkah kaki beserta deruan sendok yang beradu dengan cangkir porselen dari jarak dekat. Sena memusatkan fungsi indera penglihatannya ke arah dapur seraya tangan kirinya masih menggenggam erat sang kekasih.

“Kamar aku ada di atas,” ucap Sena.

Sean mengangguk sebagai jawaban. Entah karena terlalu fokus atau malah atensinya teralihkan, Sena tidak menyadari bahwa tepat di depannya, Matcha, kucing abu-abu kesayangannya, tengah menunggu kedatangannya. Sontak, Sena berhenti mendadak dan membuat Sean menabrak tubuhnya. Sena hampir saja terjatuh ke atas lantai keramik yang dingin jika saja kekasihnya itu tanggap menarik tubuh mungil itu.

“Matcha?!” pekik Sena dengan intonasi suara serendah mungkin.

“Kamu gak apa-apa, Na?” tanya Sean.

“Sena?” panggil Rosita.

Dua pasang manik itu membelalak. Mereka dapat mendengar dengan jelas suara Rosita yang menggema dari arah dapur. “Iya, Oma.”

“Kamu udah pulang, Sayang?” tanya Rosita yang masih sibuk dengan teh dan kue keringnya di dapur.

“Udah, Oma,” jawab Sena.

Sean membantu sang gadis untuk berdiri dengan tegap. “Itu Oma kamu?” tanyanya.

“Iya,” balas Sena singkat.

“Aku kenalan, ya?” tawar lelaki tampan itu.

“Jangan!” pekik Sena sembari menutup mulut Sean menggunakan telapak tangannya.

“Sena panggil Oma, Sayang?” ujar Rosita.

Mendengar cucu kesayangannya sudah datang dari jalan-jalan malam, Rosita berniat untuk menghampirinya. Ia membawa nampan yang berisikan teh kamomil dan kue kering buatannya. Baik Sean maupun Sena dapat mendengar jelas bahwa Rosita berjalan mendekat ke arah mereka. Ini gawat. Rosita bisa saja pingsan jika mengetahui Sena membawa pulang seorang laki-laki yang tak dikenalnya ke dalam rumah ini.

“Enggak, Oma,” kata gadis cantik itu. “Sena capek, Oma. Sena mau langsung tidur, ya. Good night, Oma!”

Selepasnya, Sena kembali menggandeng tangan Sean dari berlari kencang untuk menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar tidur Sena. Di dalam kamarnya, Sena langsung mengunci pintu. Ia mengusap dadanya yang terasa sesak. Rosita hampir saja memergokinya pulang bersama Sean. Belum beranjak dari balik pintu, Sena memastikan sang nenek tidak mengikutinya. Ia menempelkan sebelah telinganya ke daun pintu kamarnya.

Melihatnya, Sean terkekeh. “Kamu lucu deh,” katanya.

Setelah yakin bahwa nenek tercintanya tidak mengekorinya, Sena menghela napas panjang. “Lucu gimana? Aku bisa mati kalo Oma tau aku bawa kamu ke rumah,” jelasnya.

“Ya, lagian kamu ngelarang aku kenalan. Padahal, aku mau kenalan sama Oma kamu,” ledek Sean.

Sena memukul pelan dada kekasihnya. “Ih, Sean! Kamu ada-ada aja deh. Kalo gitu nanti kita berdua bisa mati.”

Sean tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah cantik kesukaannya. “Ya, kalo matinya sama kamu sih aku mau aja,” katanya menggombal.

Mendengar ada suara serak nan berat yang menyeruak ke dalam indera pendengarannya disertai dengan wajah tampan yang menatapnya intens, Sena bergeming. Sepasang manik selegam senjanya menatap lurus ke arah manik yang selama ini ia ketahui tidak pernah memancarkan kepastian. Tetapi, Sena berani bertaruh, Sean berubah hanya dengan hitungan jam. Sena seolah bertemu dengan sosok baru malam ini.

“Jangan gombal,” sergah Sena. Ia memalingkan wajahnya tersipu malu.

Lagi, Sean terkekeh. “Iya, Sena. Aku gak gombal lagi,” ucapnya seraya mengusap pucuk kepala sang gadis.

Seolah melanjutkan adegan yang sempat terhenti sebelumnya, dua pasang manik yang berbinar indah itu kembali bertukar tatap. Sean tidak dapat melewatkan kecantikan yang gadisnya pancarnya dari jarak sedekat ini. Sementara itu, Sena tidak ingin membuang waktunya barang sedetik demi untuk menikmati karya Tuhan yang diciptakan, mungkin, hanya untuknya.

“Kita udah di rumah aku,” ujar Sena.

“Jadi, aku boleh…,” Sean sengaja menggantung kalimatnya. Membiarkan sang gadis untuk bermain dengan imajinasinya.

Sean mengangguk sekali. Ia menyetujui permintaan dari sang kekasih. Mendengarnya, Sean tersenyum puas. Kemudian, lelaki tampan itu menempelkan tangan kirinya di samping kepala sang gadis di atas daun pintu. Sedangkan, tangannya yang satu lagi mengelus wajah dengan kulit halus dan seputih susu. Berikutnya, Sean kembali memangkas jarak yang sudah sangat dekat antara dirinya dan Sena.

Akhirnya, setelah lama menunggu, kedua bibir yang menginginkan satu sama lain itu bertemu. Untuk pertama kalinya, Sean mengecup mesra belahan selembut awan milik gadisnya. Dilumatnya benda kenyal itu menggunakan bibirnya. Dengan inisiatif sendiri, Sena mengalungkan lengannya pada bahu lebar di hadapannya. Sean, yang seolah mendapat lampu hijau, bergerak lebih.

Ia bawa tubuh mungil Sena ke dalam gendongannya. Masih dengan belahan yang terpaut, Sean berjalan dengan sang gadis di dalam dekapannya. Langkahnya pasti menuju ranjang tidur Sena. Di atas sana, Sean membanting pelan tubuh yang menggodanya sejak ia memasuki kamar tidur ini. Kemudian, lelaki tampan itu membuka jaket denimnya dan melemparnya ke sembarang arah.

Ciuman panas yang terlihat dan terasa semakin menuntut itu berlangsung kurang lebih selama lima belas menit. Lihat saja, bagaimana tangan besar itu bergerilya ke segala area yang bisa dijangkaunya. Sena, yang diperlakukan seperti itu, sudah pasti menyambut dengan baik. Ia mengusap otot perut kekasihnya yang tercetak jelas dari balik kaos hitam yang dikenakannya. Keduanya saling memancing hasrat pasangannya.

Tak lama kemudian, Sean menyudahi kecupannya terlebih dahulu. Ia dibuat terkesima dengan permainan balasan dari sang gadis. “Sena,” gumamnya. “You’re good at this thing.”

Mendengarnya, Sena tertawa pelan. “Beneran?” balasnya. “This is my first time.”

Sean yang mengetahui fakta itu semakin merasa kagum dengan Sena. “Am I your first kiss?” tanyanya.

Sena mengangguk. “Iya,” katanya. “And also my first boyfriend.”

Kali ini, Sean yang tertawa. Ia cukup lega mengetahui kebenaran tersebut. “Then, I’m the lucky one here,” ucapnya. “Aku gak salah dengan keputusan aku mempertahankan kamu. Makasih, ya, Sena, udah mau ngasih aku kesempatan kedua.”

Sena tersenyum. Ia mencubit pangkal hidung bangir kekasihnya. “We’re both lucky, Sean,” jelasnya. “Aku belum pernah menemukan seseorang yang sungguh-sungguh dengan kehadiran aku. Kamu jadi yang pertama yang bisa buat aku percaya kalo aku emang pantas untuk dihargai. Makasih, ya, Sean.”

Sean dan Sena saling melempar senyum. Sepertinya, bagi mereka, tidak ada malam yang lebih membahagiakan dibanding malam ini. Pastinya, sebab mereka sudah menemukan titik terang dan kejelasan dari hubungan yang terjalin. Walaupun, di luar sana dingin terasa hampir membekukan aliran darah tetapi tidak di dalam kamar dan di atas ranjang ini. Kegiatan yang sangat panas sebentar lagi akan terjadi.

“May I continue?” tanya Sean meminta izin.

“Yes, please,” balas gadis cantik itu.

Dengan begitu, setelah mendapat persetujuan, barulah Sean melanjutkan niatnya untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi aset indah milik sang gadis. Ia kembali mencium belahan ranum yang mulai sekarang akan menjadi kesukaannya. Sementara itu, tangan bergerak menjamah semua bagian tubuh gadisnya yang bisa disentuhnya. Sena menggigit bibir lawan mainnya saat merasakan tangan besar itu meremat payudara.

Sean yang mengetahui ada darah segar yang mengalir karena perbuatan gadisnya, bukannya berhenti malah menjadi semakin bersemangat. Sena memang benar-benar andal dalam permainan intim seperti ini. Lalu, tangan lelaki tampan itu kembali bergerak. Sean membuka kancing piyama tidur gadisnya satu per satu untuk kemudian membuka bra yang melindungi sepasang gunung sintal Sena.

“Nghhh, ahh, Sean.” Lenguhan pertama Sena lolos.

Cumbuan itu turun perlahan membubuhi setiap area di sekitar dada dan perut sang gadis. Sean meninggalkan tanda khas kenikmatan di sekujur tubuh indah Sena. Sean sesekali mencuri pandangan pada ujung puting yang mencuat sebab gadisnya yang mulai terangsang hebat. Ia tidak tahan lagi apabila harus membiarkan sepasang payudara itu bergoyang tanpa ada yang memainkan.

“Sean, ahhh, mphh,” desah Sena.

Sean berpindah haluan. Sekarang, seolah anak bayi yang merindukan air susu ibunya, Sean melumat puting dari gunung sintal sang gadis. Sedangkan, tangannya yang terbebas, ia gunakan untuk meremas, memijat, lalu memilin ujung puting payudara yang satunya lagi. Sean baru mulai dengan bagian atas tubuhnya, tetapi nikmat yang diberikan setara dengan surga dunia.

“Ahhh, Sean,” lirih gadis cantik itu.

Sean sungguh-sungguh menikmati tubuh Sena dan Sena benar-benar menikmati segala bentuk tidakan yang Sean lakukan padanya. Keduanya hanyut dalam nikmatnya permainan yang mereka ciptakan berdua. Sena dapat merasakan ada sesuatu yang memohon untuk segera masuk ke dalam dirinya di bawah sana dan Sean dapat merasakan bahwa sesuatu terasa semakin basah di bawah sana.

Selanjutnya, setelah puas dengan sepasang payudara sang gadis, Sean ingin menikmati bagian tubuh Sena yang lain. Sena, yang gairahnya serupa dengan kekasih, juga menginginkan miliknya untuk segera disentuh. Sean, yang peka dengan hal tersebut, kembali berbuat. Ia melepaskan celana pendek beserta pakaian dalam yang melindungi aset indah di dalamnya. Sean tersenyum sesaat indera penglihatannya dimanjakan oleh vagina gadisnya.

“Sean!” protes Sena. “Kamu kebiasaan deh. Jangan diliatin gitu,” tegurnya.

Sean tertawa. “Ya, gimana aku gak tergoda untuk ngeliatin. Punya kamu secantik itu.”

Sena lagi-lagi dibuat berdegup jantungnya dengan pujian yang dilontarkan lelaki kesayangannya. Sepasang manik selegam senjanya memandang ke segala arah, ke mana saja asal tidak menatap langsung sepasang manik selegam malam itu. Ia tidak mau Sean tahu bahwa dirinya cepat luluh jika kekasihnya itu terus mengumbar sanjungan padanya. Setidaknya, sampai sesuatu memasuki kewanitaannya. Sena dibuat menggelinjang.

“Mphh, ahhh,” lenguh Sena saat Sean menelusupkan dua jarinya ke dalam vaginanya sembari telapak tangannya menekan pelan perut bagian bawahnya.

Sena menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar tidurnya. Kedua telapak tangannya mencengkram erat kain, yang sudah dibuat kusut, yang melapisi tempat tidurnya. Berulang kali sepasang kaki jenjang itu hendak menutup demi menetralisir rasa nikmat yang ada dan berulang kali Sean menghalangi pergerakannya itu. Tanpa aba-aba, ia mempercepat adukan jarinya.

“Sean, ahhh,” desah Sena tak tertahan.

“Enak, Na?” tanya lelaki tampan itu.

Sena menggeleng cepat. “Enggakhh.”

“Lagi?” tawar Sean.

“Iya lagihhh,” jawab Sena semangat.

Sesuai dengan permohonan dari sang gadis, Sean meningkatkan kecepatan permainan tangannya di bawah sana. Sean dapat merasakan cairan yang melumuri kewanitaan Sena dan juga tangannya semakin deras. Apabila Sean boleh menerka, Sena sebentar lagi akan menjemput pelepasannya. Namun, jika memang hal itu benar akan terjadi, Sean akan segera menghentikannya. Sebab…

“Nghhh, ahh, Sean,” panggil Sena.

“Iya, Sayang?” balas Sean.

“Mau, ahh, keluar,” ucap Sena.

Sean menghentikan aktivitasnya pada vagina sang gadis. Ia bergerak mendekatkan tubuhnya kepada Sena. Sean mengungkung tubuh mungil itu di bawah kuasanya. Lalu, ia berbisik. “Aku masukin, ya.”

Barusan yang keluar dari mulut Sean bukanlah sebuah bentuk pertanyaan melainkan pernyataan. Jadi, dengan ada atau tidaknya izin yang Sena ucapkan, kekasih tampan itu akan tetap melakukan aksinya. Kedua tangan Sena yang tadinya meremas erat kain tempat tidurnya kini beralih pada sepasang bahu lebar di atasnya. Pegangannya semakin kencang kala sesuatu di bawah sana mulai memasuki dirinya.

“Shh, ahhh, Na,” lirih Sean.

Padahal, milik Sean belum sepenuhnya masuk. Namun, nikmat yang ada sudah mulai memuncak. Sena menahan napasnya seiring dengan penis besar yang melesat masuk ke dalam vaginanya. Bagian selatannya terasa penuh. Kemudian, setelah dirasa sudah masuk dengan sempurna, Sean membiarkan kejantanannya beradaptasi dengan lubang sempit yang dimasukinya.

“Nghh, Sean,” panggil Sena.

Sean mengangkat pandangannya menghadap wajah cantik di bawahnya. “Iya, Na?”

“Gerakin aja,” pintanya.

Sean mengangguk. “Kalo sakit bilang, ya, Sayang,” katanya.

Perlahan, mengikuti titah sang gadis, lelaki tampan itu mulai bergerak. Awalnya, Sean menggempur bagian bawah gadisnya dengan tempo pelan. Namun, seiring dengan desahan yang mengelukan namanya dan juga nikmat yang ada semakin bertambah, ia menambah kecepatannya. Decitan kaki ranjang beserta suara khas kenikmatan yang menggema di seluruh sudut kamar tidur menjadi saksi bisu atas permainan keduanya.

“Shh, Na, ahhh,” lirih lelaki tampan itu sembari terus meningkatkan tempo hantamannya.

Serupa dengan sang kekasih, Sena ikut menggoyangkan pinggulnya seolah ingin kepala penis itu terus menabrak dinding rahimnya. “Nghh, ahh, Sean.”

Keduanya bergerak semakin brutal. Mereka ingin memasuki satu sama lain lebih dalam demi memuaskan gairah yang ada. Sepasang kekasih itu ingin merasakan titik nikmat tertinggi. Lihat saja, tubuh-tubuh polos itu dibanjiri oleh keringat. Selimut yang tadinya menyampir pada tubuh mereka, kini jatuh tak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Sepertinya, baik Sean maupun Sena, akan menjemput pelepasannya.

“Ahh, Sean, aku mau, nghhh, keluar,” ujar Sena susah payah.

“Hold on, Na,” balas Sean. “With me.”

Sean bergerak tiga kali lebih cepat dan lebih keras dibanding yang sebelumnya. Membuat tempat tidur yang mereka tempati bergoyang dengan sangat kencang. Sena mencakar punggung lebar Sean selagi dirinya menahan gairah yang membuncah. Sean dapat merasakan penisnya terjepit oleh otot-otot yang menengah di dalam vagina gadisnya. Sena akan mencapai titik ternikmatnya sebentar lagi.

“Ahh, Sean, aku gak, mphh, tahan,” ucap Sena.

“Go ahead, Sena,” ujar lelaki tampan itu.

Dengan disetujui permintaanya, Sena segera melepaskan apa yang seharusnya dilepas. Sepasang kaki jenjangnya bergetar hebat. Setelah tiga hentakan, Sean mengeluarkan penisnya dari dalam Sena. Ia semburkan sperma hangat itu ke sembarang arah. Kemudian, Sean memposisikan tubuhnya berbaring di sebelah sang gadis. Keduanya diburu napas masing-masing.

Sean tertawa pelan. “Pacar aku pinter mainnya.” Ia seka helaian rambut yang menghalangi wajah cantik gadisnya.

Sena ikut tertawa. “Kamu enak mainnya,” balasnya.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Sean dan Sena ingin menikmati atmosfer menenangkan yang melingkupi mereka. Sean yang sibuk menatap wajah secantik dewi Yunani di hadapannya. Sedangkan, Sena sibuk bermain dengan rangka wajah tegas yang mulai sekarang ia yakini akan selalu menyayanginya. Setidaknya, sampai Sean kembali membuka suara.

“Makasih, ya, Sena,” katanya. “Makasih udah kasih kesempatan kedua buat aku. Makasih udah percaya sama aku. Aku gak tau lagi harus bilang apalagi. Aku beruntung banget ketemu sama kamu. Maaf aku pernah nyakitin kamu. Maaf aku pernah mengabaikan rasa kamu. Aku sebisa mungkin akan pegang janji aku ke kamu. Jadi…,” potong Sean. “Jangan pergi, ya, Sena.”

Mendengarnya, Sena tersenyum teduh. “Iya, Sean. Aku terima permintaan maaf kamu. Aku juga berterima kasih sama kamu udah mau berusaha untuk aku.” Sena mendekatkan wajahnya ke arah Sean. “Untuk kita.”

Selagi sepasang kekasih itu tengah memadu cinta di dalam kamar. Tanpa sepengetahuan mereka, sedari tadi, Rosita memantau kegiatan mereka melalui connecting door yang menghubungkan kamar tidurnya dengan kamar tidur Sena. Anehnya, bukannya merasa marah sebab cucu kesayangannya sudah melakukan hubungan layaknya suami istri dengan laki-laki yang tidak pernah ia kenal, Rosita malah tersenyum tenang.

“Sena sudah besar, ya, Sayang,” monolognya. “Siapa tadi namanya? Sean? Nama yang bagus,” lanjut sang nenek. “Makasih, ya, Sean, sudah mengembalikan kepercayaan cucu kesayanganku terhadap laki-laki. Kamu adalah laki-laki pertama yang mendapat kepercayaannya. Sedangkan, ayahnya sendiri saja tidak. Semoga Sean dapat menjaga kepercayaan yang Sena berikan, ya,” final Rosita seolah Sean dapat mendengar wejangannya.