The Victor

Tyson tengah duduk di salah satu sofa yang ada di selasar lantai asrama tempatnya dan anggota Mars lainnya menginap. Tangan kirinya menopang kepalanya yang terasa berat. Sedangkan, tangan kanannya sibuk mengetik pada papan ketik atau sesekali menggulir pada layar ponselnya. Tyson menatap kosong pada layar ponselnya yang menampilkan room chat-nya bersama Kevin. Menurutnya, semakin hari semakin berat saja rasanya.

Tak lama setelahnya, Tyson bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah pergi. Ia menuruni lift untuk keluar dari gedung bertingkat itu demi menetralisir rasa cemas dan takut yang bersarang di benaknya. Di depan gedung yang dihuni oleh banyak atlet itu, Tyson menengadahkan kepalanya ke arah langit malam. Ia dapat melihat khatulistiwa yang membentang luas dengan taburan cahaya bintang.

Tyson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia tidak ingin dinginnya semilir angin malam mengganggu indera peraba pada tangannya. Tyson masih membutuhkan kedua tangannya untuk bertanding di babak final besok pagi. “Tyson harus apa, Ma? Tyson kangen sama Mama. Tyson juga kangen sama Cassie,” gumamnya.

“Tyson?” Seseorang tiba-tiba menginterupsi ketenangan yang sedang Tyson berusaha cari.

Mendengar ada yang memanggil namanya, Tyson menyejajarkan pandangannya ke arah sumber suara. Sepasang manik selegam malam di semesta itu membulat sempurna. “Cassie?”

“Mars stay di gedung ini, ya?” tanya Cassie sembari menghampiri Tyson.

“Iya. Kalo Venus stay di mana, Cass?” tanyanya.

“Venus nginep di Gedung D,” jawab gadis cantik itu.

Tyson mengangguk paham. “Kamu abis dari mini market, ya?”

Kali ini, Cassie yang mengangguk. “Iya.”

“Pasti beli gelatin,” terkanya.

Cassie terkekeh. “Iya, kamu bener.”

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi. Keduanya, baik Tyson maupun Cassie, terlalu canggung untuk membahas hal-hal lain atau keseharian mereka sebab waktu dan jarak yang dua tahun belakangan tercipta di antara mereka. Tyson mengusap tengkuknya. Sementara itu, Cassie sibuk menendang angin menggunakan kaki-kaki jenjangnya. Tyson menyadari kebiasaan menggemaskan yang satu itu belum hilang dari Cassie.

“Di luar dingin, Cass. Kamu pakai pakaian yang agak terbuka,” ucap Tyson dengan inisiatif. “Mau masuk ke dalam dulu?”

Awalnya, Cassie ragu. Ia tidak tahu harus menolak atau menerima ajakan dari lelaki tampan kesayangannya yang kehadirannya sudah lama ia damba-dambakan. Namun, ada satu hal yang Cassie tahu. Ia sama rindunya dengan Tyson. Kepalanya mengangguk pelan. “Boleh.”

Akhirnya, Tyson dan Cassie berjalan masuk ke dalam gedung lalu menaiki lift untuk sampai ke lantai 7, lantai di mana Tyson dan anggota Mars lainnya menginap. Tyson mempersilakan Cassie untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia di selasar lantai tersebut, sofa yang beberapa menit lalu ia duduki sembari memikirkan keberadaan Cassie yang sangat ingin ia temui.

“How are you, Cass?” tanya Tyson setelah mengambil posisi duduk di sebelah kiri Cassie.

“I’m fine, Tyson,” jawabnya ramah. “Kamu sendiri gimana?”

“Aku….” Tyson sengaja menggantung kata-katanya. Ingin sekali rasanya kalimat rindu diucapkannya tetapi ia masih tidak sanggup apabila mengingat betapa sakitnya Cassie saat mengetahui dirinya pergi begitu saja. “Aku juga baik, Cass.” Tyson menampilkan senyuman palsu untuk menutupi hatinya yang terluka.

Cassie tahu ada yang salah dengan Tyson. Tepatnya, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tyson salah jika mengira ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cassie beruntung memiliki sahabat, Jovita, yang salah satu hobinya adalah mengulik peristiwa yang tengah terjadi di sekitarnya. Melihat keadaan lelaki tampan yang sampai sekarang masih ia sayangi itu, Cassie tersenyum pilu.

“Your lying is still as bad as the last time, Ty,” kata Cassie.

Tyson memusatkan pandangannya pada sepasang manik selegam mentari pagi kesukaannya. Ia tertawa demi menyempurnakan kebohongannya. “Aku gak bohong, Cass. I’m fine. I really do,” elaknya.

Cassie kembali tersenyum. Namun, yang satu ini terlihat lebih tulus. Cassie sangat paham apabila Tyson belum siap untuk mengungkapkan kebenaran yang menimbulkan luka di hatinya. Ia mengangguk. “I see,” katanya.

Tyson menegak salivanya. Tenggorokannya terasa kering sebab semua rangkaian dusta yang dibuatnya. Tyson tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya kalau Cassie tahu peristiwa yang sebenarnya tetapi ada satu hal yang harus ia sampaikan dengan setulus hatinya, yaitu permintaan maaf. Tyson belum sempat memohon maaf dari gadisnya itu semenjak ia pergi meninggalkannya sendiri dua tahun lalu.

“Cassie,” panggil Tyson.

“Iya, Tyson?” Cassie menatap sepasang netra yang sangat ia rindukan binar ketulusannya. Cassie berani bertaruh netra itu masih sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya.

“I have something to tell you,” ujar Tyson serius.

Cassie menyamankan posisi duduknya. Sejujurnya, inilah yang ia tunggu sejak tadi. Ia merindukan momen di mana Tyson dan dirinya selalu bertukar kisah keseharian mereka atau membicarakan hal-hal serius terkait diri mereka dan masa depan. “Go ahead, Tyson. I’m listening.”

“Aku… minta maaf,” gumam lelaki tampan itu.

“Maaf? Maaf untuk apa?” balas Cassie dengan kembali bertanya.

“Aku tahu kamu sakit karena aku,” ucap Tyson sembari menghela napas panjang. “Dua tahun lalu aku pergi ninggalin kamu, ninggalin Mars, tanpa kabar atau berita apapun. Aku gak minta kamu untuk paham sama keadaanku. Aku cuma berharap kamu bisa maafin aku,” lanjutnya. “Maafin aku, Cassie.”

Sedih. Marah. Kecewa. Terharu. Bingung. Cassie tidak tahu emosi apa yang harus ia rasakan di saat seperti ini. Di satu sisi, ia sangat bahagia dapat bertemu kembali dengan Tyson meskipun di hati mereka masing-masing masih tersimpan luka yang amat mendalam. Di sisi lain, Cassie merasa kasihan karena Tyson kehilangan semangat hidupnya, Mama, untuk selama-lamanya. Namun, fakta-fakta di atas juga tidak memungkiri bahwa Tyson sempat pergi meninggalkannya.

Cassie menghela napas panjang. Ia meraih sebelah bahu lebar di hadapannya lalu mengangguk. “Iya, Tyson,” jawabnya. “Aku maafin kamu. Maaf juga, ya, aku sempat marah sama kamu tanpa tau alasan kepergian kamu,” ujar Cassie. “Maaf juga… aku gak datang ke pemakaman Mama.”

Kalimat terakhir yang diucapkan Cassie membuat Tyson mengangkat pandangannya. Dua pasang manik itu saling bertemu. Tyson tidak menyangka bahwa Cassie sudah mengetahui alasan di balik kepergiannya yang sangat tiba-tiba dua tahun lalu. Kala itu, Tyson sangat amat membutuh keberadaan Cassie untuk tetap ada di sisinya tetapi ia tidak sampai hati ketika mengingat ia meninggalkan gadis cantik itu tanpa alasan yang jelas.

“Cass…,” ucap Tyson.

“If only I knew what happened to you, aku gak akan gegabah dan malah pasif sama keberadaan kamu, Ty,” jelas Cassie.

“I’m… I’m sorry, Cassie,” kata Tyson mengulang kata maafnya. Seketika, air mata mulai berjatuhan dari sepasang manik selegam malam itu. Bayangan Mama yang tengah tersenyum manis dan fakta bahwa Cassie sama sekali tidak marah padanya akan apa yang terjadi di masa lalu membuat hatinya menjadi lapang, seolah Tyson dapat bernapas lega sekarang. Ia membawa Cassie masuk ke dalam dekapannya. Tyson tersenyum haru.

Cassie membalas pelukan itu. Ia mengusap punggung lebar yang sudah lama menanggung beban yang sangat berat itu. “Kamu gak perlu minta maaf sama aku, Tyson. How about you? Are you okay? Kenapa kamu gak bilang tentang Mama ke aku?” tanya gadis cantik itu bertubi-tubi.

Tyson melonggarkan dekapannya. “Aku gak bisa,” jawabnya. “Aku bakal jadi manusia yang paling gak tau diri, Cass, kalau aku butuh kamu setelah aku buang kamu.”

Mendengarnya, Cassie menggeleng. “Enggak, Tyson. You weren’t. Kamu gak buang aku.”

Kali ini, Tyson yang menggeleng. Ia tersenyum canggung. “No, Cassie. I was,” balasnya. “Aku bersyukur kamu mau terima permintaan maaf aku. Makasih, ya.”

Cassie mengangguk. Ia tersenyum ramah. Namun, tak dapat dipungkiri masih ada satu hal lagi yang mengganjal di hatinya. Ya, hubungannya dengan Tyson. Apakah mereka sudah putus? Atau ini saatnya mereka kembali? Ia tidak tahu tetapi ingin tahu. Apabila Cassie boleh jujur, masih ada percikan asmara yang timbul saat dirinya menemukan keberadaan Tyson tetapi ia tidak tahu apakah Tyson merasakan hal yang sama.

“Tyson…,” panggil Cassie.

“Iya, Cassie?” balasnya.

“What are we?” tanya gadis cantik itu dengan suara sepelan mungkin.

Walaupun begitu, Tyson tetap dapat mendengarnya. Apapun yang berhubungan dengan Mama dan Cassie, ia pasti lebih peka. Tyson tersenyum dengan sepasang manik selegam malam yang terlihat sayu. “Ikut aku sebentar, ya? I want to show you something.”

Setelah itu, Tyson mengajak Cassie untuk berkunjung ke kamar tidurnya di gedung tersebut. Kamar tidurnya terletak di ujung selasar dekat dengan jendela besar yang menampilkan langsung stadion pertandingan. Di dalam sana, Tyson mempersilakan Cassie untuk duduk di tepi ranjangnya. Sementara itu, dirinya merogoh tas ranselnya yang tergantung di dalam lemari bajunya. Tyson mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah berukuran sedang.

Tyson mendudukkan dirinya tepat di sebelah kanan Cassie tanpa ada jarak sedikit pun. Lengan keduanya pun saling bersentuhan. “Ini.” Ia menyerahkan kotak tersebut kepada Cassie.

Cassie yang menerima kotak dengan aksen mewah itu mengernyitkan keningnya. Ia membuka perlahan kotak yang diberikan Tyson padanya. Cassie menganga serta kedua matanya melotot sempurna saat mengetahui benda apa yang dilindungi oleh kotak dengan bahan velvet itu. “Cantik banget,” pujinya.

“Ini kalung punya Mama,” jelas lelaki tampan itu. “Kesukaannya.”

Mendengarnya, Cassie tiba-tiba menjadi gugup. Ia menyerahkan kembali barang berharga kepada Tyson. “Ih, aku ngeri pegangnya, Ty,” ucap Cassie. “Nih aku balikin ke kamu aja.”

Melihat tingkah menggemaskan Cassie, Tyson tertawa lepas. “Gak apa-apa, Cass,” balasnya. “Ini punya kamu sekarang.”

Cassie dibuat semakin bingung oleh lelaki tampan kesayangannya itu. Ia pandangi lagi kalung emas putih yang dihiasi oleh liontin berlian berwarna merah itu. “Maksudnya?” tanyanya.

Tyson semakin memangkas jarak antara dirinya dan Cassie, seolah-olah jarak yang pernah tercipta dua tahun lalu hilang dalam sekejap. Ia merangkul tubuh mungil yang, apabila memungkinkan, ingin ia miliki sepenuhnya. “Pas Mama masuk rumah sakit dia pernah bilang sama aku. Mama bilang, ‘Gimana keadaannya Cassie, Nak? Dia baik-baik aja ‘kan? Mama kangen sama dia. Kangen masak dan baking bareng dia.’,” jelas Tyson.

Cassie mendengar ada pesan rindu dari mendiang Mama, semakin tertarik dengan kisah yang diceritakan oleh Tyson padanya. “Oh ya? Terus Mama bilang apalagi?” tanyanya penasaran.

Tyson tersenyum melihat antusiasme dari gadis cantik yang ada di dalam dekapannya. “Mama juga bilang, ‘Tyson, kamu coba ke kamar Mama terus buka lemari baju Mama yang dari kayu jati. Di dalam sana, ada brankas yang kombinasi nomornya ulang tahun Cassie.’,” lanjut Tyson.

“Ulang tahun aku?” Cassie memiringkan kepalanya karena heran.

Tyson mengangguk. “Yaudah. Besoknya aku cek brankasnya. Di sana ada kalung itu.” Ia mengidikkan dagunya ke arah kalung yang tersimpan rapi di dalam kotak yang Cassie pegang. “Kalungnya aku bawa ke Mama. Terus… tau gak Mama bilang apa?”

Cassie menggeleng. “Enggak. Emangnya Mama bilang apa?”

“Mama bilang sama aku, ‘Itu kalung kesukaan Mama, Nak. Dulu Papa ngasih itu pas ulang tahun pertama pernikahan Papa sama Mama yang bertepatan juga dengan kabar Mama lagi mengandung kamu. Mama pengen kamu kasih kalung ini ke Cassie. Mama gak tau sampai kapan umur Mama. Jadi, Mama minta tolong sama kamu, ya, Nak. Cassie itu anaknya baik. Mama juga gak pernah ngeliat kamu sebahagia ini sebelum sama Cassie. Kasih kalung ini, ya, ke Cassie kalau kamu serius sama dia.’.”

Cassie mematung di tempatnya. Bukan karena otak mungilnya tidak dapat memproses semua paparan yang Tyson jelaskan padanya tetapi sebaliknya. Cassie sangat bersyukur bahwa Mama menyayanginya layaknya anak kandungnya sendiri. Namun, mendengar kabar seperti itu, Cassie tidak tahu apakah ada hari yang lebih membahagiakan lagi selain hari ini, seolah hari-hari kelamnya tergantikan dengan cerahnya sinar rembulan di malam hari ini.

Hari ini, di mana Cassie mengetahui semua kebenaran yang tersembunyi. Hari ini, di mana Cassie bertemu dengan Tyson setelah dua tahun terpisah darinya. Hari ini, di mana Cassie secara resmi merasakan lagi bunga-bunga cinta di dalam hatinya yang ditanam kembali oleh Tyson. Cassie tidak dapat menahan senyumnya, begitu juga dengan Tyson. Dua pasang netra itu saling melempar pandang.

“Aku kasih kalung kesukaan Mama ke kamu, Cass. Mama bilang kalau aku mau serius sama kamu, aku harus kasih kalung ini sebagai tanda keseriusanku. Aku tau aku terkesan gak tau diri. Setelah dua tahun menghilang dan gak ada kabar terus tiba-tiba aku datang ke kamu dengan dalih aku mau serius. Aku—” Tyson belum sempat merampungkan kalimat pengakuan cintanya, kali ini, yang lebih serius.

Cassie melakukan hal yang di luar dugaan. Dengan cepat, gadis cantik itu memangkas jarak yang memang sudah dekat antara dirinya dan Tyson. Ia mencium bibir sang kekasih yang sudah lama dirindukannya. Tyson bergeming. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Cassie akan bergerak secepat dan seagresif ini. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Tyson kepalang bahagia.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Tyson membalas ciuman itu. Awalnya, ciuman itu terasa nikmat, seolah keduanya sedang mengekspresikan kerinduan yang telah lama dipendam, tetapi lama-kelamaan ciuman itu semakin menuntut. Baik Tyson maupun Cassie menginginkan lebih. Mereka ingin menembus apa yang selama dua tahun belakangan ini tidak mereka dapatkan. Iya, cinta satu sama lain, dalam banyak artian.

Tak lama setelahnya, saat Cassie sudah mulai kehabisan napas. Ia menyudahi ciumannya terlebih dahulu. Napasnya tersengal sebab ulahnya sendiri. Tyson yang melihat wajah gadisnya memerah hanya dapat tersenyum. Ia mengusap pucuk kepala Cassie. Masih di dalam dekapan hangat itu, keduanya melempar senyum dan pandang. Tyson dan Cassie kembali merasakan bahagia yang sempat hilang.

“Semangat banget, Cass,” guyon Tyson.

Cassie hanya tertawa. “Kamu juga gak nolak,” balasnya.

Tyson yang mengetahui Cassie bukannya salah tingkah tetapi malah membalas dengan berani ejekannya merasa semakin terpancing. “Jadi, gimana?” tanyanya lagi.

Cassie mengerucutkan bibirnya. “Apanya yang gimana?”

“The proposal?” Tyson mengangkat sebelah alisnya.

Cassie menyeringai. “Are you joking me, Tyson?” katanya. “Emang ‘jawaban’ yang tadi belum cukup, ya?”

Mendengarnya, Tyson menyeringai. Kesempatan emas kembali datang ke padanya. “No?” balasnya. “I want to know more, please.”

Cassie mengangguk paham. Ternyata, Tyson memang menginginkan lebih. Ia juga tidak ingin membohongi dirinya bahwa ia menginginkan hal yang sama. Dengan begitu, Cassie kembali mendekatkan wajahnya pada wajah tampan sang kekasih. Ia mengecup sudut bibir yang sudah menggodanya begitu pertama kali kembali melihatnya. Cassie mengalungkan lengannya pada bahu lebar pemanah di hadapannya.

“You want more, Tyson? Here you go.”

Cassie melanjutkan kegiatan mereka yang tadi dengan sengaja ia tunda. Ciuman kali ini terasa dan terlihat lebih intens dibanding sebelumnya. Tangan Cassie terus menggoda dada bidang milik kekasihnya. Sementara itu, tangan Tyson bergerak mengusap perut rata gadisnya dari balik kaos tipis yang dikenakannya. Keduanya merasakan kenikmatan yang hakiki. Meskipun begitu, baik Tyson maupun Cassie, masih ingin yang lebih dari ini.

Oleh karena gairah yang memuncak, dengan telaten, Tyson mengangkat tubuh indah gadisnya untuk duduk di atas pangkuannya. Kemudian, ciuman itu perlahan turun ke arah dada Cassie yang sudah sedikit terekspos. Cassie menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Dekapan kedua lengannya pada bahu lebar di hadapannya semakin erat. Cassie sama bergairahnya dengan Tyson.

“Nghh, ahhh, Tyson,” lenguh gadis cantik itu saat sang kekasih berulang kali menjilat beberapa titik sensitif di lehernya.

Mulut Tyson masih bekerja keras di area dada mendekati payudara sang gadis. Tyson meninggalkan beberapa tanda kepemilikannya di sana. Cassie semakin dibuat terbang ke angkasa. Sedangkan, Tyson semakin gencar melancarkan aksinya. Cassie mendekap kekasih itu semakin dalam agar Tyson semakin bertemu dengan buah dada kebanggaannya. Tyson yang mengerti dengan isyarat itu kembali bergerak.

“I’ll remove your shirt, ya, Cassie,” ucap Tyson.

Pada kalimat itu, Tyson mendeklarasikan sebuah pernyataan dan bukannya meminta izin dari gadisnya. Cassie yang sangat rindu didominasi oleh lelaki kesayangannya itu tentunya dengan senang hati bersedia. Tyson menanggalkan kaos berwarna putih menutupi tubuh indah Cassie. Setelah ia dapat melihat permukaan kulit yang putih bersih itu, Tyson segera menghirup aroma Cassie dengan khidmat.

“I love this smell,” kata Tyson saat indera penciumannya dipenuhi dengan semerbak wangi vanilla yang bercampur dengan aroma asli dari tubuh Cassie.

“Ahhh, Tyson,” lirih Cassie kala hidung bangir itu terasa menggelitik di antara sepasang payudaranya.

Di detik selanjutnya, lagi-lagi tanpa adanya aba-abanya, Tyson melepas bra berwarna hitam yang melindungi payudara kenyal milik Cassie. Ia hisap sebelah puting kecoklatan yang sudah mencuat sempurna itu. Sementara itu, tangannya yang terbebas memainkan ujung puting payudara yang menganggur. Tyson dengan aksinya yang melecehkan sepasang buah dadanya membuat Cassie semakin ingin mencapai kepuasaan tertinggi.

“Mphhh, Tyson, stophh,” komando Cassie.

Mendengar Cassie merintih seperti itu, Tyson menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia masih punya hati nurani untuk tidak menyakiti gadisnya walaupun Cassie juga sebenarnya mau. “Kenapa? I think you’ll like it,” tanyanya menggoda.

“Bukannya aku gak suka,” jawab Cassie. Ia menggigit bibir bagian bawahnya yang terlihat sedikit membengkak karena ciuman panasnya tadi bersama Tyson. “Tapi….”

“Is there something bothering you?” tanya Tyson.

Cassie melirik bagian selatan dirinya dan kekasihnya. “Down there,” ujar gadis cantik itu. “It hurts, Tyson. I want you inside me immediately.”

Tyson terkekeh. Ternyata, Cassie masih saja tidak sabaran apabila berhubungan dengan kegiatan pemuas nafsu seperti ini. Tyson menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Okay. But, lemme check it first.” Selepas dengan pernyataannya itu, Tyson bergerak mengusap kewanitaan Cassie dari arah luar pakaia dalamnya.

“Ahhh,” desah gadis cantik itu.

“You’re right,” jelas Tyson. “Kamu udah basah.”

“Quickly, Tyson. I can’t hold it anymore,” jelas Cassie memohon.

“Hold on, Cassie. I don’t wanna hurt you,” balas lelaki tampan itu.

Tangan kekar Tyson masih bermain dengan vagina gadisnya. Ia ingin memastikan bahwa lubang surgawi itu sudah terlumasi seluruhnya. Namun, bukan Cassie namanya jika ia tidak memberontak. Tyson ingin bermain lembut dengannya tetapi sang kekasih sepertinya tidak satu suara dengannya. Cassie terus menggoyangkan pinggulnya agar jari-jari besar itu menyentuh vaginanya lebih dalam.

“Play rough on me, Tyson,” goda Cassie.

“This is our first time after a long time, Cassie,” ujar Tyson. “Kamu yakin?”

Cassie menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan sangat yakin. “Please…,” ucapnya.

Tyson tidak mempunyai pilihan lain, selain menyetujui permintaan gadisnya. “Okay. But, at least let yours wet first.”

Cassie mengiyakan perintah dari sang dominannya. Setidaknya, itu yang dapat ia lakukan alih-alih Tyson harus menolak keinginannya mentah-mentah. “With yours?”

Tyson menggeleng. “With my fingers, Cassie, my fingers.”

“Kamu gak seru,” keluhnya.

Tyson yang mendengar gadis cantiknya melayangkan protes memutar bola matanya. “You have to be patient to get what you want, Cassie.”

Cassie mendekatkan wajahnya kepada Tyson. “Like us?” Bibirnya mengukir senyum indah.

Tyson membalas simpul itu dengan tak kalah indah. “Like us.”

Selanjutnya, Tyson menangkup dagu mungil dari wajah cantik yang saat ini berposisi lebih tinggi darinya. Ia kecup bibir menawan itu dari satu sudut ke sudut lain. Sedangkan, tangannya bergerak melucuti celana pendek olahraga serta pakaian dalam dengan warna senada dengan bra miliknya tadi. Tyson dapat merasakan cairan hangat perlahan mengalir membasahi celana piyamanya.

“Ahh!” teriak Cassie tiba-tiba saat jari telunjuk dan jari tengah milik kekasihnya itu menerobos ke dalam kewanitaannya.

“Katanya kamu mau aku main kasar? Tapi baru kayak gini aja kamu udah kesakitan,” ledek lelaki tampan itu.

“I am, ahhh,” balas Cassie. Ia masih dapat menikmati rasa itu meski tempo yang bergerak di bawahnya cenderung lamban.

Tyson mendekatkan mulutnya ke telinga kanan sang gadis. “Untuk apa aku main kasar? If only with this slowly movement like this could brings heaven to you, Cassie.”

Cassie menggigit pipi bagian bawahnya. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar tidur kekasihnya. “But, still, Tyson… the rough one’s more challenging,’ ucap Cassie sembari mengatur napasnya karena rasa nikmat yang menjalari tubuhnya. “Am I, right?”

Tyson menambah pergerakan pada bagian selatan Cassie. Kini, ibu jarinya bergerak memutari klitorisnya. “So, you still want the rough one?” tanya Tyson meyakinkan.

“Nghhh, yes, ahh, please,” ujar Cassie susah payah.

Tyson tersenyum seram. “Alright,” katanya. “You got what you wish.”

Selanjutnya, Tyson mulai bergerak. Ia mengangkat tubuh indah Cassie lalu membantingnya ke ranjang tidurnya. Kemudian, Tyson berjalan mendekati laci di bawah meja belajarnya. Dari dalam sana, ia mengambil seutas tali dan sebuah dasi. Cassie dengan susah payah menelan salivanya saat Tyson benar-benar berubah menjadi persona yang ia inginkan. Ia tiba-tiba saja merasa sedikit menyesal dengan pilihannya. Tyson tampak sangat mengerikan dan menggoda.

“Play hard or go home is your concept ‘kan, Cass?” tanya Tyson sensual. “So, this is what you got.”

Tyson memutar balik tubuh kekasihnya itu agar menelungkup. Kemudian, kedua tangan Cassie diikat membelakangi tubuhnya. Setelahnya, ia menutup manik dengan binar seterang konstelasi bintang di angkasa itu menggunakan dasi. Tyson menyibakkan rambutnya ke arah belakang sembari tersenyum puas kala sepasang manik selegam malamnya melihat mahakarya indah yang terbaring di atas ranjangnya.

Tyson mulai naik ke atas ranjang untuk kemudian menciumi punggung mulus itu. Cassie dibuat merinding sebab ciuman panas itu beradu dengan rendahnya suhu kamar tidur sang kekasih. Tubuhnya menggelinjang hebat meskipun Tyson belum menghantamnya dengan batang berurat yang sangat Cassie inginkan untuk berada di dalamnya sekarang. Cassie takut tetapi merasa terpuaskan di saat yang bersamaan.

“Akh!” pekik Cassie kala tangan kekar Tyson menampar bokongnya.

“Ah, I forgot something,” ucap Tyson.

Cassie kembali menelan saliva kala tenggorokannya terasa kering hanya karena sepenggal kalimat tersebut. “Lupa apa, Tyson?” tanyanya.

Tyson berjalan ke arah nakas di sebelah kiri tempat tidurnya. Ia membuka laci di bawah lampu tidur dengan warna lampu warm white itu. Cassie tidak tahu pasti apa yang kekasihnya ambil dari dalam situ. Namun, seketika ada suara getaran yang samar memasuki indera pendengarannya, Cassie langsung tahu apa yang Tyson maksud. Ternyata, Tyson masih menyimpan benda itu bersamanya.

“Mainan kesukaan kamu,” jawab lelaki tampan itu seraya melepaskan semua baju yang melekat pada tubuh kekarnya.

Akhirnya, setelah menyiapkan keperluan seadanya yang akan membuat Cassie terbang menuju angkasa, Tyson kembali naik ke atas ranjang. Ia memposisikan dirinya setengah berdiri di belakang tubuh indah gadisnya. “Spread your legs, Cantik,” perintah Tyson. Cassie menuruti perintah kekasihnya. Tangan Tyson bergerak memasangkan vibrator kecil pada bagian klitoris Cassie.

“Ahhh, Tyson, nghh,” lirih gadis cantik itu.

Lutut yang tadinya berdiri tegap menumpu beban tubuhnya sudah terjatuh lemas. Tyson mengangkat pinggul gadisnya agar posisinya kembali seperti semula. Ia kembali menampar bokong sintal itu. Cassie menenggelamkan wajahnya ke arah bantal. Ia merintih saat rasa sakit itu muncul bersamaan dengan rasa nikmat. Tyson sungguh-sungguh memenuhi tugasnya untuk bermain kasar dengannya.

“You like that, Cass?” tanya Tyson.

Cassie menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Iya,” balasnya lemas.

“Lagi?” tanya Tyson menantang.

Dengan lantang Cassie menjawab, “Lagi!”

Tyson menyiapkan penisnya untuk menghantam vagina Cassie. Ia mengusap batang yang sudah mencuat hebat itu. Tyson juga bergerak mengusap vagina gadisnya dari depan ke belakang agar pelumas alami itu menyebar dengan rata. Tyson dibuat semakin bergairah saat daerah kewanitaan kekasihnya berkedut dengan samar. Sepertinya, ia akan langsung menancapkan penisnya saja.

“Ahh, Tyson!” lenguh gadis cantik itu kala batang besar itu langsung setengah masuk ke dalam miliknya.

“Nghh, Cass, you’re so tight,” puji Tyson.

Cassie kembali menenggelamkan wajahnya ke arah bantal. “Mphhh, ahhh.” Lirihannya tertahan.

Tyson mulai bergerak maju mundur agar penisnya masuk dengan sempurna ke dalam lubang sempit itu. “Ahhh, Cass.”

Di balik bantal yang menutupi wajah cantiknya itu, Cassie menggigit pipi bagian dalamnya. “Ahh, Tyson, move faster,” pintanya.

Tyson yang baru saja selesai menanamkan batangnya dengan sempurna ke dalam vagina Cassie langsung bergerak dengan kecepatan sedang. Dengan aktivitas panas, basah, dan menyentuh kulit masing-masing itu, keduanya mulai terbang ke luar angkasa. Tyson memejamkan maniknya seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Cassie berusaha bertahan dengan posisinya agar ujung penis Tyson terus menggempur rahimnya.

Seiring waktu yang berjalan cepat, tempo yang Tyson mainkan juga kian cepat. Dari kecepatan sedang, cepat, menjadi sangat cepat. Cassie merasa kewalahan dengan segala rasa nikmat yang tercipta dari permainan ala nafsunya bersama Tyson. Serupa dengan Cassie, Tyson pun merasakan hal yang sama. Ia tanpa ampun menghantamkan penisnya ke dalam rahim sang kekasih.

“Tyson, ahhh, harder,” ujar gadis cantik itu putus asa.

“Wanna cum, Cass?” tanya Tyson.

Cassie mengangkat pandangannya. Ia menyempatkan diri untuk melirik kekasihnya yang masih menikmati momen ini di belakangnya. “Iya,” jawabnya.

Mendengarnya, Tyson bergerak menggempur gadisnya jauh lebih keras dari sebelumnya. Cassie dapat merasakan dengan jelas bagaimana kepala penis itu menyentuh titik manisnya yang semakin membuatnya ingin meraih puncak kenikmatan. Berkat Cassie, Tyson juga sebentar lagi akan menjemput pelepasannya. Namun, Cassie melakukannya terlebih dahulu. Tubuh indahnya menggelinjang sempurna.

“I’m cum, Tyson,” kata Cassie.

“One more time, Cassie,” pinta lelaki tampan itu.

“Hah? Maksudnya?” balas Cassie dengan kembali bertanya.

“Cum one more time for me,” perintah Tyson.

Cassie yang tidak mengenal kata lelah pada aspek apapun itu di dalam hidupnya tentunya menyetujui permintaan lelaki kesayangannya itu. Pinggulnya ikut bergoyang lebih keras. Tyson membungkukkan tubuhnya agar kedua tangannya yang terbebas dapat meraih payudara milik Cassie yang menggantung dengan indah. Dengan begitu, Cassie akan kembali mencapai titik ternikmatnya.

“I’m cum, Cassie,” kata Tyson. “Akh!”

“Ahh, Tyson!” pekik Cassie.

Tyson dan Cassie menjemput pelepasannya bersama-sama. Tyson pada pelepasan pertamanya dan Cassie pada pelepasannya keduanya. Setelah permainan panas yang menegangkan, keduanya tumbang di atas ranjang. Dengan sisa tenaganya, Tyson melepaskan ikatan tangan serta membuka dasi yang menghalangi penglihatan gadisnya. Cassie mengerjapkan beberapa kali kala sinar lampu kamar menyerang maniknya.

Cassie tersenyum saat pemandangan pertama kali yang ia lihat setelah warna kembali menghiasi netranya adalah senyuman manis yang terpatri di wajah tampan Tyson. Tyson menarik selimut untuk kemudian mendekap Cassie di dalam pelukannya. Ia mengusap kepala bagian belakang sang gadis. Sedangkan, Cassie sibuk memainkan jari-jarinya pada dada bidang lelaki kesayangannya.

“Capek gak, Cass?” tanya Tyson sembari mengangkat wajah cantik itu agar menatap langsung maniknya.

Cassie mengangguk. “Capek,” jawabnya. “Tapi enak.”

Tyson tertawa mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Cassie. Ia mengusap pelan kepala kekasihnya. “You’re still good at this game,” ujarnya.

“Aku gak akan kayak gini kalo gak sama kamu, Tyson.” Cassie menjawil pangkal hidung bangir Tyson.

“I love the bad cop roles’ you played at this game,” jelas lelaki tampan itu.

“And I love the way you turned into a bad guy when I ask,” balas Cassie.

Mereka tertawa pada lelucon nyata yang memang terjadi di antara keduanya. Setelah kembali mengucap janji untuk sehidup semati bersama, Tyson dan Cassie menghabiskan malam dengan pemainan panas khas keduanya. Baik Tyson maupun Cassie tidak akan menyangka turnamen tahunan yang terselenggara di tahun ini akan membawa keajaiban bagi mereka berdua. Tyson dan Cassie ingin berada di sisi masing-masing selamanya.