Trial and Error

“Hai, Vall,” sapa Gavin dengan senyum serupa kelinci sesaat Vallerie membukakan pintu untuknya.

“E-Eh, Kak Gapin,” balas Vallerie ragu. “Kenapa, Kak?” tanyanya.

Gavin yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol menyandarkan dirinya di kerangka pintu kamar Vallerie. Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya. Gavin menggelengkan kepalanya beberapa kali demi menjaga kesadarannya.

“Gue…,” ucapnya menggantung.

“Gue…,” ulang Vallerie. “Gue kenapa, Kak?”

Gavin mengusap dadanya yang terasa panas sebab minuman kerasa yang ditenggaknya. “Gue boleh…,” katanya kembali terpotong.

“Boleh apa, Kak?” tanya Vallerie lagi.

“Gue boleh pinjem….” Gavin terus memenggal kata per kata yang ingin ia ucapkan.

“Pinjem?” tanya Valleri sembari menggigit bibir bagian bawahnya. “Pinjem apa, Kak?”

Mendengar pernyataan yang diucapkan Gavin, Vallerie dengan otak kotornya sudah berkelana ke sana kemari. Ia memiliki prasangka bahwa Gavin akan meminjam sesuatu yang ada di tubuhnya.

Vallerie memang memiliki hobi menyaksikan film porno. Namun, jika sudah dihadapkan dengan kenyataan, nyalinya langsung berubah menjadi ciut. Ia mundur beberapa langkah. Sementara itu, Gavin semakin mendekatkan langkah kepadanya.

“Kak,” panggil Vallerie yang kakinya terus berjalan mundur.

Yang dipanggil tidak menghiraukannya. Vallerie yang langkahnya terus mundur disambut baik dengan Gavin yang terus melangkah dengan maju tak gentar. Langkah mereka yang kian bersambut akhirnya terhenti sebab Vallerie berada di sudut kamarnya.

Vallerie menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Sedangkan, Gavin menyandarkan tangannya kanannya tepat di sebelah kepala gadis cantik itu. Vallerie menolehkan pandangannya sembari memejamkan kedua matanya dengan erat.

Gavin mendekatkan wajahnya ke arah telinga kiri Valerie. Lalu, ia berbisik. “Gue mau pinjem kamar mandi lo,” katanya.

Vallerie yang mendengar pernyataan itu mulai membuka matanya. Pandangannya perlahan kembali pada wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti darinya. “Di situ, Kak,” ujarnya. Jari telunjuknya mengarah ke pintu yang ada di sebelah lemari baju.

Pandangan Gavin mengikuti ke mana jari telunjuk Vallerie tertuju. Ia mengangguk pelan. “Oke,” ucapnya sembari tersenyum manis.

Setelah kepergian Gavin yang masuk ke dalam kamar mandinya, Vallerie berjongkok pada posisinya di sudut ruangan. “Anjir,” umpat gadis cantik itu sembari mengusap dadanya. “Gue pikir gue bakal diapa-apain sama Kak Gapin.”

Kemudian, Vallerie bangkit dan memposisikan dirinya duduk di tepi ranjang. Ia menunggu Gavin untuk keluar dari kamar mandinya. Vallerie ingin memastikan bahwa dirinya dapat melanjutkan menonton film porno dengan tenang.

Detik demi detik yang akhirnya berubah menjadi menit, Gavin tidak kunjung keluar dari dalam sana. Terhitung sudah hampir setengah jam lelaki tampan itu ada di dalam kamar mandinya. Vallerie menunggu dengan tidak sabar.

Vallerie ingin sekali menyerukan nama dari teman kakaknya itu. Namun, ia tidak ingin mengambil resiko. Orang yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol dapat melakukan apa saja di luar nalarnya, apalagi laki-laki.

Akhirnya, Vallerie memilih untuk meninggalkan Gavin yang ada di dalam kamar mandinya dan meneruskan film biru yang sedang disaksikannya. Vallerie menyembunyikan dirinya bersama laptop dan harddisk kesayangannya di bawah naungan selimut.

Vallerie sangat amat menikmati waktu berkualitasnya dengan film favoritnya itu. Tanpa sadar, Gavin keluar dari kamar mandinya. Tadinya, Gavin hendak langsung keluar dari kamar tersebut tetapi indera pendengarannya menangkap sesuatu. Gavin yang berada di ambang pintu menghentikan langkahnya. Ia memutar balik tubuhnya menuju gundukan selimut yang ada di atas ranjang. Gavin dapat mendengar dengan jelas suara desahan seorang wanita.

Dengan kesadaran yang ala kadarnya, Gavin menggenggam ujung selimut berwarna biru muda itu. Suara desahannya yang didengarnya semakin intensif. Gavin berpikir bahwa ia akan memergoki salah satu temannya sedang bercinta dengan Vallerie.

Srak!

Gavin menyingkirkan kain tebal yang menyelimuti Vallerie dan alat perangnya. Gavin dan Vallerie sama-sama terkejut. Vallerie langsung terduduk di tempatnya. Keduanya saling beradu tatap.

“Kak Gapin!” pekik Vallerie.

“Vall,” panggil Gavin. “Kamu ngapain?” tanyanya.

“Itu, Kak… Anu….” Vallerie bingung harus merangkai kebohongan yang seperti apa jika tertangkap basah seperti ini.

“Ngapain?” tanya Gavin lagi.

Vallerie mengusap tengkuknya canggung. “Nonton film, Kak,” jawabnya. “Ada tugas untuk analisis film,” dusta gadis cantik itu.

Vallerie harap semoga Gavin dapat mempercayai kebohongannya yang seadanya sebab masih dalam pengaruh minuman keras. Apabila begitu, berarti Vallerie salah besar. Selama di dalam kamar mandi tadi, Gavin berusaha keras mengembalikan kesadarannya.

Gavin merebut laptop yang ada di pangkuan Vallerie. Ia menggulirkan jari telunjuknya dan membuka satu demi satu folder yang tersimpan di dalam harddisk yang tersambung. Vallerie berusaha menahan tetapi kekuatan Gavin jauh dari jangkauannya.

“Kamu suka nontonin yang kayak gini, Vall?” tanya Gavin tanpa memalingkan pandangannya dari layar laptop.

Vallerie yang ditanya seperti itu hanya dapat diam. Ia menundukkan pandangannya pada sepasang kakinya yang menapak di atas lantai dingin. Vallerie pikir saat Valdi memergokinya sedang menonton film porno adalah yang terburuk tetapi ternyata dugaannya salah.

“Jawab, Vall,” tegas Gavin.

Vallerie menatap wajah dengan rangka tegas yang berdiri di hadapannya dengan sinis. “Lo gak ada hak nanya-nanya kayak gitu ke gue, Kak,” ujarnya tak santai. “Itu privasi gue.”

Gavin menolehkan pandangannya ke arah Vallerie. Ia dapat melihat tatapan khas amarah yang terpancar dari bola mata yang cantik itu. “Gue cuma nanya, Vall, bukan mengusik privasi lo,” jelas Gavin. “Gue masih temen kakak lo.”

Mendengarnya, Vallerie memutar bola matanya sembari menghela napas panjang. “Iya,” jawabnya singkat.

“Valdi tau?” tanya Gavin lagi. Ia kembali memeriksa film-film yang ada di sana.

“Tau,” jawab Vallerie. “Kayaknya,” lanjutnya.

Kemudian, Gavin menutup laptop tersebut dan meletakkanya di atas ranjang. “Lo dapet dari mana film kayak gini?” tanyanya bak anggota kepolisian.

“Temen,” jawab Vallerie.

“Siapa?” tanya Gavin. “Yang tadi gue jemput lo di rumahnya?” terkanya.

Mendengar kalimat yang dilontarkan Gavin, kedua mata Vallerie membulat sempurna. “Bukan!” jawabnya setengah berteriak.

Gavin menyeringai. “Bener tebakan gue.”

Vallerie menatap Gavin dengan tidak santai. “‘Kan gue bilang bukan, Kak,” tegasnya.

“Justru dengan gelagat lo yang kayak gitu jadi ketauan, Vall,” jelas Gavin.

Vallerie menyerah. Gavin terlalu cerdas untuk dirinya yang sangat sembrono. Ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Kini, Vallerie hanya bisa pasrah. Mungkin besok pagi namanya sudah menjadi headline utama di portal berita digital.

Gavin ikut duduk di samping Vallerie. “Gue gak akan kasih tau siapa-siapa asal lo mau jawab pertanyaan gue,” ujarnya.

“Apa?” tanya Vallerie.

“Lo kenapa suka nonton kayak gini?” tanya Gavin serius.

Vallerie terdiam sejenak. Ia bimbang. Haruskah dirinya membongkar sebagian besar rahasia terbesarnya, di mana rahasia tersebut Valdi sendiri tidak mengetahuinya. Vallerie kembali menghembuskan napasnya dengan kasar.

“Gue penasaran, Kak,” katanya. “Kenapa orang pengen melakukan kegiatan kayak gitu? Kenapa orang merasa puas dengan melakukan kegiatan kayak gitu? Kenapa orang punya banyak cara untuk memuaskan satu sama lain pas melakukan kegiatan kayak gitu?” jelas Vallerie. “Intinya, gue cuma penasaran.”

Kali ini, giliran Gavin yang menghela napasnya dengan kasar. “Lo pernah melakukan kegiatan kayak yang tadi lo liat?”

Vallerie menggeleng. “Enggak,” jawabnya singkat. “Gue takut tapi gue penasaran.”

“Kenapa gitu?” tanya Gavin.

“Di satu sisi, gue penasaran dan pengen melakukan hal kayak gitu tapi… di sisi lain, gue takut akan resikonya karena gue gak tau dari kegiatan kayak gitu bisa menyebabkan efek samping yang seperti apa,” ujar Vallerie.

Eksplanasi yang dilontarkan Vallerie barusan sukses membuat Gavin terdiam. Tadinya, ia sangat menghakimi perilaku tidak wajar yang Vallerie lakukan. Namun, Gavin tidak melihat lebih dalam lagi.

Bagaimana pun, Vallerie adalah seorang gadis yang sedang memasuki fase pencarian jati diri dan tidak jarang pada fase ini banyak rasa penasaran yang melingkupi dirinya. Untungnya, Vallerie tidak jatuh pada pergaulan yang salah.

Gavin salut dengan fakta bahwa Vallerie mampu mengontrol dirinya agar tidak terbuai dengan rasa penasarannya. Dalam diamnya, Gavin tersenyum. Ia mengulurkan tangan kirinya untuk kemudian mengusap pelan pucuk kepala gadis cantik tersebut.

“Pinter,” puji Gavin.

Diperlakukan manis seperti itu, Vallerie terkejut bukan main. Ia menatap wajah tampan yang ada di sampingnya itu dengan heran. Vallerie dapat melihat senyum serupa kelinci yang Gavin tampilkan untuknya.

“Gue bangga sama lo,” kata Gavin.

“Bangga?” tanya Vallerie penasaran. “Bangga kenapa, Kak?”

“Lo tau kegiatan yang suka lo liat itu punya konsekuensi tersendiri. Lo sebagai remaja yang lagi punya banyak gairah bisa ngontrol itu,” jelas lelaki tampan itu. “Banyak remaja seumuran lo di luar sana yang terjebak di pergaulan bebas, Vall.”

Mendengarnya, Vallerie tersenyum manis. Prasangkanya akan skenario terburuk yang sempat terlintas di kepalanya tiba-tiba menghilang. Perkataan dan senyum yang Gavin berikan padanya mampu membuatnya tenang.

“Tapi gue tetep gak menyetujui lo sering nonton kayak gini, ya,” ujar Gavin.

“Iya, Kak,” balas Vallerie datar. “Gue juga tau kalau gue salah.”

“Gue sita harddisk lo,” kata Gavin.

Vallerie membulatkan kedua matanya dengan sempurna. Kalimat yang baru saja Gavin lontarkan untuknya sukses membuat jantungnya jatuh dan menyatu dengan lambungnya. “Yah, Kak?!” protesnya. “Kok gitu?”

“Gak baik, Vall, sering-sering nonton kayak gitu,” ucap Gavin.

“Jangan dong, Kak,” cegah Vallerie. “Gue janji gak bakal sering nonton lagi,” pintanya.

Gavin menggeleng. “Enggak.”

Vallerie menundukkan pandangannya. Gavin jauh lebih tegas dibandingkan Valdi dan ditambahkan lelaki tampan itu tau sisi gelapnya. Vallerie tidak dapat berbuat banyak. Semoga saja hari-harinya dapat berjalan dengan lancar meskipun tanpa alat perang andalannya.

“Kalau penasaran, langsung aja,” sergah Gavin.

Vallerie langsung mengangkat pandangannya. Ia menatap wajah tampan yang tetap berekspresi datar setelah mengatakan kalimat berbahaya seperti tadi. Gavin juga membalas tatapan dari Vallerie.

“Barusan lo ngomong apa, Kak?” tanya Vallerie memastikan.

“Kalau penasaran, langsung aja,” ulang Gavin. “Jangan nonton.”

“Sama lo gitu, Kak?” tanya Vallerie hati-hati.

“Lo maunya sama siapa? Silas? Jasper? Arion?” balas Gavin tak santai. “Mereka semua gak punya pengetahuan yang mumpuni kayak gue.”

Vallerie terdiam. Ini bisa saja kesempatan sekali di dalam seumur hidupnya. Vallerie kembali menggigit bibir bagian bawahnya, pertanda ia gugup. Gavin dapat melihat dengan jelas bahwa gadis cantik di sampingnya ini sedang bertengkar dengan dirinya sendiri.

“Ya, kalau lo gak mau, gue gak akan maksa,” tambahnya.

“Gue bukannya gak mau, Kak,” kata Vallerie.

“Terus?” balas Gavin dengan kembali bertanya.

“Kalau ketauan Bang Paldi gimana?” tanya Vallerie.

Mendengarnya, Gavin menyeringai sukses. Ternyata, yang ditakutkan Vallerie adalah fakta bahwa Valdi kemungkinan besar akan mengetahui hubungan mereka berdua yang seperti ini dan bukannya ajakan untuk berhubungan itu sendiri.

“Valdi gak akan tau,” ucap Gavin. “Gue jamin.”

“Bener, ya, Kak?” tanya Vallerie memastikan. “Gue bisa mati kalau Bang Paldi tau.”

“Sama gue juga, Vall,” balas Gavin.

Setelahnya, sempat tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara Gavin dan Vallerie. Mungkin mereka baru sadar bahwa topik perbincangan yang sedang mereka bahas merupakan topik sensitif. Namun, tak lama setelahnya, Gavin membuka suara.

“Lo siap, Vall?” tanyanya.

Vallerie mengangguk. “Siap, Kak.”

Gavin menepuk kedua pahanya. “Sini,” katanya. “Duduk di atas gue.”

Kalimat tersebut sukses membuat jantung Vallerie berhenti seketika. Adegan ini persis seperti film yang pernah disaksikannya. Ia menempatkan dirinya di atas pangkuan Gavin lalu menyamankan posisinya.

Gavin memeluk Vallerie dari belakang. Sementara itu, Vallerie menyandarkan kepalanya pada sebelah bahu lebar Gavin. Kemudian, Gavin menyelipkan tangan besarnya ke dalam kaus yang dikenakan Vallerie. Ia mengusap perut rata yang terasa hangat itu.

“Mphhh,” lirih Vallerie sembari menggigit bibirnya.

Vallerie dapat merasakan suhu yang kontras antara pendingin ruangan di kamarnya dan tangan Gavin yang terasa hangat. Lalu, Gavin mulai membubuhi tengkuk gadis cantik itu dengan banyak kecupan. Vallerie merasakan geli dan nikmat di saat yang bersamaan.

“Nghh, Kak,” lenguh Vallerie.

Vallerie tidak menyangka bahwa rasanya akan senikmat ini. Ini baru permulaan. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana permainan inti yang akan mendatang. Vallerie hanya akan fokus menikmati semuanya yang Gavin berikan padanya sembari mempelajarinya.

Selanjutnya, Gavin melepaskan kemeja yang melindungi tubuh atletisnya untuk kemudian melakukan hal serupa pada gadis cantik yang ada di atas pangkuannya. Gavin memeluk Vallerie dengan erat sembari memberinya banyak ciuman pada punggung sempit itu.

“Kak, ahhh,” desah Vallerie.

Kulit mereka bersentuhan satu sama lain seolah sedang membagi nikmat. Gavin tidak berhenti bekerja. Tangannya menjamah segala benda yang dapat diraihnya. Ia bermain dengan kedua gunung sintal yang masih terlapisi oleh bra berwarna hitam.

“Nghhh, Kak, ahh,” lenguh gadis cantik itu kenikmatan.

Tangan kanan Gavin memijat dan meremas sebelah payudara Vallerie. Sedangkan, tangan kirinya menelusup masuk melalui sisi atas bra dan bermain dan memilin puting payudara tersebut.

“Ahhh,” lirih Vallerie.

Vallerie mengakui dengan setulus hatinya dengan pertanyaan yang Gavin katakan padanya bahwa anggota The Coast yang lain tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni akan hal ini. Vallerie diberi bukti konkret atas pernyataan itu.

“Balik badan, Vall,” perintah Gavin.

Vallerie membalikkan tubuhnya menghadap Gavin. Ia mengalungkan tangannya pada bahu lebar Gavin dan kakinya melingkar pada pinggang lelaki tampan itu. Tangan Gavin bergerak melepas kaitan bra yang melingkar pada payudaranya.

“Mphhh, Kak, ahh,” desah Vallerie.

Gavin melumat putih payudaranya secara bergantian. Secara otomatis, tangan Vallerie menekan kepala bagian kepala Gavin agar mendekap ke arahnya lebih dekat. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar sebab semua rasa nikmat ini.

Tanpa sadar, Vallerie menggoyangkan pinggulnya. Ia merasa geli di bagian selatannya. Gavin yang sedang fokus bermain dengan sepasang gunung sintal di hadapannya merasa teralihkan. Vallerie menggesek kewanitaannya pada kejantanannya.

“Nghh, Val,” ringis Gavin. “Nanti yang di bawah juga dapet giliran.”

“Enakhh, Kak,” kata Gavin.

Mengetahui Vallerie yang sudah tidak sabar, Gavin membawa tubuh Vallerie berbaring di tengah ranjang. Ia meluruhkan celana pendek beserta celana dalam miliki Vallerie. Gavin dapat melihat Vallerie dengan segera menyilangkan kakinya.

Gavin menyeringai. “Katanya mau,” ledeknya.

“Gue malu, Kak,” jawab Vallerie.

“Gue juga buka. Biar lo gak malu sendirian,” ujar lelaki tampan itu. Setelahnya, Gavin melepas sabuk hitam yang melingkari pinggangnya. “Mau pake ini gak?” tanyanya.

“Anjir, Kak,” umpat Vallerie.

Meskipun begitu, Vallerie mengulurkan kedua tangannya agar Gavin dapat mengikatnya. Gavin rekatkan sepasang lengan tangan mungil itu di kepala kasur. Gavin dapat melihat dengan jelas tubuh indah Vallerie tanpa sehelai benang pun.

“Shit, Vall.” Kali ini, Gavin yang mengumpat. “Kalau gini, gue yang kena.”

Mendengarnya, Vallerie tertawa pelan. “Silakan aja, Kak.”

“Jangan gitu,” ucap Gavin. “Nanti lo kewalahan sendiri.”

Gavin mencium bibir ranum yang menggodanya sejak dirinya memasuki kamar tidur ini. Ia kulum bibir bagian bawah milik gadis cantik itu. Gavin dibuat terkesan. Untuk ukuran permainan pertama, Vallerie melampaui ekspektasinya.

Gavin menyudahi ciumannya. “Lo beneran baru pertama kali, Vall?” tanya Gavin.

Vallerie mengangguk. “Iya, Kak. Kenapa?” balasnya dengan kembali bertanya.

“Gak apa-apa,” kata Gavin.

Selain sedikit malu bahwa Vallerie mungkin andal dalam permainan panas seperti ini, Gavin juga takut bahwa mungkin dirinya akan terjerat pesona Vallerie dan menjadikan gadis cantik itu sebagai candunya.

“Gue jago, ya, Kak,” sela Vallerie sembari tersenyum.

Mellihat senyum manis yang terpatri di wajah cantik Vallerie, Gavin menjadi salah tingkah. “Ngaco,” ucapnya sembari tertawa pelan.

Gavin kembali melanjutkan permainan. Ia memberi leher jenjang itu tanda kepemilikan khas berwarna merah keunguan membuat Vallerie tidak berhenti mengelukan namanya. Gavin sukses memberikan surga dunia padanya.

Kemudian, Gavin perlahan turun ke arah kedua payudaranya, perut ratanya, dan berakhir di area paha bagian dalamnya. Vallerie berulang kali berusaha menutup kakinya sebab rasa geli yang bercampur nikmat tetapi berulang kali juga Gavin dengan sigap mencegahnya.

“Nghhh, Kak, ahh,” desah gadis cantik itu.

Gavin menyiapkan dua jarinya untuk masuk ke dalam vagina Vallerie. Ia mengomando Vallerie untuk menjilat jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesuai dugaannya, Vallerie melakukannya dengan sangat menggoda. Gavin dibuat memuncak hasratnya.

“Kalau sakit bilang, ya, Vall,” ujar Gavin.

“Iya, Kak,” jawab Vallerie.

Gavin memasukkan dua jarinya ke dalam kewatiaan gadis cantik itu. Vallerie menggigit bibirnya saat jari-jari besar itu masuk ke dalam dirinya. Ia memejamkan matanya dengan erat. Sementara itu, Gavin memperhatikan raut wajah Vallerie dengan saksama.

“Sakit, Vall?” tanyanya.

Vallerie menggeleng. “Enggak, Kak, ahhh, lanjut aja.”

Gavin mulai mengocok jarinya di bawah sana dengan tempo pelan. Dengan gerakan sederhana seperti itu saja, Vallerie terbang menuju langit teratas. Tubuhnya menegang. Ia merasakan sensasi yang aneh pada dirinya. Pinggulnya kembali bergoyang. Vallerie jelas ingin lebih.

Gavin tersenyum menang saat mengetahui hal tersebut. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Vallerie lalu bertanya. “Mau apa, Vall?” tanyanya sensual.

“Nghh, Kak,” lirih Vallerie.

“Bilang yang jelas,” kata Gavin. “Gue gak denger.”

“Ahhh, mau pake, mphh, lidah, Kak,” pinta Vallerie.

“Mau pake lidah gue?” tanya Gavin memastikan.

Vallerie mengangguk. “Iya, Kak.”

“Mohon dulu,” kata Gavin dengan wajah yang penuh dengan keangkuhan.

Vallerie yang sedang disibukkan dengan kenikmatannya di bawah sana tiba-tiba saja dibuat memohon sebab ada permintaan yang ia ajukan kepada Gavin. Ia menduga lelaki tampan itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatannya malam ini.

Vallerie dengan susah payah mendekatkan mulutnya ke telinga kiri Gavin. Kemudian, ia berbisik, “Nghhh, Kak, please, ahh, gue mau, nghh, pake lidah lo,” ujarnya terbata-bata.

Mendengarnya, Gavin menyeringai lebar. “Bagus.”

Gavin menundukkan tubuhnya. Ia melesatkan lidahnya tanpa aba-aba ke dalam vagina Vallerie dan membuat gadis cantik itu memekik kenikmatan. Tubuh Vallerie menggeliat hebat. Kedua kakinya yang memang sudah lemas ditahan oleh Gavin di sebelah kanan dan kiri kepalanya.

“Ahhh, Kak,” lenguh Vallerie.

Benda kenyal itu terus menghujam klitorisnya. Sedangkan, kedua jari Gavin tidak ditarikanya melainkan ia masukkan lebih dalam dan menyentuh titik manisnya. Vallerie dibuat menggila oleh permainan itu sebab pemainnya, Gavin, adalah orang gila.

“Nghhh, Kak, ahh,” lirih gadis cantik itu.

Gavin merasa lubang surgawi itu sudah cukup basah untuk dimasukinya. Lalu, Gavin menegakkan tubuhnya. Ia kembali mendekatkan wajahnya pada wajah cantik Vallerie. Ia mengecup kening gadis cantik itu dalam waktu yang cukup lama.

“Gue masukin, ya?” tanya Gavin memastikan.

Vallerie tidak menjawab dengan lisannya. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Tentu saja, senyuman itu dibalas dengan senyum yang tak kalah indah. Gavin menekan perut bagian bawah Vallerie sembari perlahan memasukkan kejantanannya.

“Kalau gak tahan bilang, ya, Vall,” ujar Gavin.

“Iya, mphh, Kak,” jawab Vallerie.

Gavin sudah memasukkan penisnya setengah. Ia dapat melihat dengan jelas raut wajah Vallerie yang mengekspresikan kenikmatan. Kemudian, ia menggoyangkan pinggulnya dengan tempo pelan sembari meneroboskan lagi penisnya agar masuk dengan sempurna.

“Nghhh, Val,” lirih Gavin.

Akhirnya, hasratnya yang memuncak terbayarkan juga sejak Gavin memangku Vallerie dan gadis cantik itu dengan tidak sengaja, atau sengaja, menggoda kejantannya tadi. Menurut Gavin, Vallerie sangat pantas untuk dinikmati.

Di dalam hatinya, masih ada rasa ketidakpercayaan pada Vallerie bahwa ini kali pertamanya melakukan hubungan seksual. Vallerie yang hanya bermodalkan video porno mampu menyambut permainannya dengan baik.

“Ahhh, Kak, cepetin lagihh,” pinta Vallerie.

Sesuai dengan ultimatum yang ada, Gavin menambah tempo gempurannya. Ranjang yang mereka tumpangi berdua mendecit dengan kencang seolah menjadi saksi bisu permainan panas di malam hari ini.

Vallerie sangat puas dengan pelayanan Gavin. Ia banyak meminta di dalam permainan ini tetapi Gavin mampu memberikan persis apa yang diinginkannya. Pada permainan kali ini, keduanya sama-sama diuntungkan.

“Nghh, hentakkin lagi, ahhh, Kak,” pinta Vallerie lagi.

Tanpa mengurangi kecepatannya, Gavin mengeraskan gempurannya hingga penisnya menabrak dinding rahim gadis cantik itu. Baik Gavin dan Vallerie menengadahkan kepala mereka ke arah langit-langit sebab rasa nikmat yang menjalar.

Permainan panas itu dibumbui dengan gerakannya yang cukup kasar. Namun, keduanya menikmati kebrutalan itu dengan senang hati. Bahkan, sebentar lagi, salah satu dari mereka akan menjemput pelepasannya.

“Ahhh, Kak, gue mau, mphh keluar,” ujar Vallerie susah payah.

Benar saja, beberapa detik setelahnya, Vallerie merasakan titik ternikmatnya yang pertama bersama laki-laki. Apabila biasanya Vallerie berusaha memuaskan dirinya sendiri tetapi kali ini Gavin ada untuk menemaninya.

“Ahh!” pekik Vallerie saat mencapai titik ternikmatnya.

“Nghh, gue bentar lagi, mphhh, Vall,” jelas Gavin.

Gavin yang sebentar lagi akan mencapai pelepasannya bergerak semakin kasar. Ia memeluk tubuh Vallerie untuk kemudian mengulum puting payudaranya secara bergantian. Vallerie yang merasa dinikmati seperti itu menjadi terangsang lagi.

“Ahhh, gue jadi mau, nghh, keluar lagi, Kak,” ucap Vallerie.

“Keluarin aja, Vall,” balas lelaki tampan itu.

Vallerie memeluk erat tubuh atletis yang berada di atasnya. Gavin benar. Vallerie sebaiknya tidak bermain-main dengan lelaki tampan ini. Ia dapat merasakan pinggulnya yang hampir lepas sebab permainan brutal ini.

“Ahh, Kak!” Vallerie mendapatkan pencapaiannya yang kedua.

Sementara itu, Gavin mencabut penisnya dari bawah sana. Ia arahkan kejantannya yang menegang sempurna itu ke wajah cantik Vallerie. Sepersekian detik kemudian, cairan putih yang kenal membanjiri wajah gadis cantik itu.

“Akh!” pekik Gavin yang diburu napas.

Gavin merebahkan tubuhnya di sebelah Vallerie. Di atas ranjang berukuran sedang itu, baik Gavin maupun Vallerie sama-sama mengatur napas mereka. Keduanya memandang ke arah langit-langit kamar yang dihiasi lampu berwarna putih hangat.

“Thanks, Vall,” ucap Gavin membuka suara.

“Harusnya gue yang bilang makasih ke lo, Kak,” sahut Vallerie.

“Lo mainnya hebat,” puji lelaki tampan itu.

Vallerie tersenyum sumringah. “Iya, ya?” katanya. “Kalau gitu peluk dong,” sambung gadis cantik itu.

Mendengar permintaan tersebut, Gavin menarik Vallerie untuk masuk ke dalam pelukannya. Ia juga menyampirkan selimut untuk menutupi tubuh mereka yang polos bak bayi. Gavin mengusap punggung dan kepala bagian belakang Vallerie secara bergantian.

“Lo banyak request, ya, Vall,” ledek Gavin.

“Ya, lo-nya juga mau aja, Kak,” balas Vallerie.

Setelahnya, tidak ada percakapan signifikan di antara keduanya. Gavin dan Vallerie menikmati atmosfer yang melingkupi mereka. Gavin dapat mendengar napas Vallerie yang mulai teratur dan sebaliknya.

“Gue takut, Kak,” kata gadis cantik itu tiba-tiba.

“Takut kenapa, Vall?” tanya Gavin.

“Takut ketauan Bang Paldi,” ucap Vallerie.

“‘Kan udah gue bilang itu urusan gue,” ujar Gavin. “Lo gak usah khawatir,” lanjutnya.

Di tengah-tengah percakapan dengan topik yang lagi-lagi cukup serius dan menyita tenaga itu, tiba-tiba saja jam kuno yang berada di ruang tamu rumah Vallerie berdenting kencang. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Gavin bankit dari posisinya.

“Mau ke mana, Kak?” tanya Vallerie yang ikut duduk di atas ranjangnya. “Gue mau mandi,” jawab Gavin. “Mau ikut?” tanyanya.

Vallerie menyibakkan rambut panjangnya ke arah belakang. Lalu, ia menggeleng. “Lo duluan deh, Kak,” katanya. “Kaki gue masih sakit.”

Gavin tertawa. “Katanya ‘silakan aja’ tapi baru gitu aja udah sakit,” ledeknya.

Vallerie mengambil bantal yang ada di sebelahnya dan melemparkannya ke arah Gavin. “Dih!”

Gavin berjalan kembali mendekati Vallerie. Ia kecup kening gadis cantik itu dan berkata, “Aku mandi dulu, ya, Sayang.”