ttoguxnanaxranie

Setelah kejadian Farelio dan alat bantu seks itu, yang dapat Airin lakukan hanyalah menangis. Hatinya seolah tersayat bilah bambu tajam. Untuk kesekian kalinya, harapannya dipatahkan oleh lelaki tampan itu. Kini, Airin tengah duduk di beranda gedung apartemennya sembari memeluk dirinya sendiri. Kepalanya yang terasa berat ia tenggelamkan di antara kedua kaki yang menumpu tubuhnya.

Tidak ada siapapun di sana selain petugas keamanan. Bagi Pak Bagus, satpam yang bertugas di bangunan unit tempat gadis cantik itu tinggal, pemandangan Airin yang sedang sesenggukan adalah hal biasa.

Lelaki paruh baya itu memandangi Airin dengan tatapan iba. Menurutnya, gadis cantik itu masih terlalu muda untuk terus-menerus menanggung ujian dari Tuhan. Ia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Airin.

Selagi Pak Bagus sibuk menjaga gadis cantik yang sering sekali membelikannya seporsi nasi goreng kala hujan datang dari kejauhan, sebuah mobil datang lalu berhenti tepat di depan posnya. Pak Bagus mulai merasa tak asing dengan mobil klasik itu.

“Eh, Nak Alby. Cari Nak Airin, ya?” tanya lelaki paruh baya itu lembut saat Alby menghampirinya.

“Iya, Pak Bagus. Itu Airin, ya?” jawab Alby dengan kembali bertanya. Hatinya harap-harap cemas.

“Iya, Nak. Itu Nak Airin. Bapak juga gak tau kenapa Nak Airin nangis. Untung Nak Alby dateng. Tolong dihibur, ya, Nak. Bapak gak tega liatnya,” jelas Pak Bagus seraya mengusap sebelah bahu lebar lawan bicaranya.

Mendengarnya, Alby menyimpulkan senyum semenenangkan mungkin baru kemudian ia membalas. “Iya, Pak. Bapak tenang aja. Tugas saya buat bantu Airin bahagia.”

Setelahnya, Alby melangkahkan kakinya menuju beranda apartemen. Perlahan namun pasti, ia pastikan langkahnya tak menganggu momen menyedihkan dari gadis cantik yang ia sayangi.

“Airin,” panggil lelaki manis itu lembut. Alby mendudukkan dirinya di samping Airin.

Mendengar ada sebias suara yang mengalunkan namanya, Airin mengangkat kepala. Ia menoleh ke arah samping, ada Alby di sana. Sudah menjadi kebiasaan bagi gadis cantik itu untuk melihat sosok Alby saat lara datang menyelimuti hatinya.

“Lagi sedih, ya?” tanya Alby. “Sorry, ya, kalo gua ganggu waktu nangis lo,” sambungnya.

“Lo ngapain ke sini, By?” tanya Airin dengan napasnya yang tersendat.

Sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang gadis, lelaki manis itu menyempat diri untuk tersenyum. “Mau ngucapin lo selamat ulang tahun. Lo ulang tahun ‘kan hari ini? Sekalian gua mau kasih hadiah, tapi gua mau nungguin lo selesai nangis dulu,” jelasnya.

Voila! Kalimat lembut yang terdengar bak buih ombak di lautan itu secara ajaib membuat Airin berhenti menangis. Selalu saja begini, di mana ada kesedihan, di situ ada Alby. Anehnya, Alby tak pernah merasa keberatan sebab hal itu, malah Airin yang terkadang merasa tak enak hati pada lelaki manis penuh humor itu.

“Udah selesai nangisnya?” tanya Alby.

Tidak ingin menjawab secara lisan, gadis cantik itu hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dengan begitu, Alby kembali menyunggingkan senyumnya. Lubuk hatinya mulai merasa lega kala gadis kesayangannya sudah berhenti menangis.

“Lo kalo lagi sedih jangan lupa nangis, ya, Airin. Itu hal yang wajar kok, gak apa-apa bagi manusia untuk nangis ketika mereka lagi sedih,” ujar lelaki manis itu. “Tapi, ada satu hal yang mau gua bilang ke lo. Sejujurnya, hati gua sakit ketika liat lo nangis, Rin, makanya sebisa mungkin gua bantu lo buat bahagia. Itu udah jadi tugas buat gua,” lanjut Alby.

Sepasang manik selegam senja itu menatap sepasang manik lainnya. Kumpulan kalimat penenang yang barusan Alby ucapkan padanya seolah obat yang meredakan rasa sakit dalam hatinya. Lelaki manis itu terdengar begitu tulus. Saat di dekatnya, Airin merasakan nyaman yang teramat sangat.

“Makan, yuk. Pasti lo belom makan, ‘kan? Gua ajak lo ke tempat makan enak langganan gua,” ajak Alby.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, akhirnya keduanya melengang pergi dari kawasan apartemen gadis cantik itu. Alby melajukan mobilnya melalui kota metropolitan yang padat kendaraan. Mereka disuguhkan pemandangan gedung tinggi dan lampu jalanan yang bersinar kuning terang selama dalam perjalanan.

Lelaki manis itu benar-benar menepati janjinya untuk membawa Airin ke tempat makan yang dulu pernah menjadi andalannya, bahkan sampai sekarang saat dirinya kembali ke kampung halaman. Di malam yang hampir larut ini, memang paling lezat menyantap makanan berkuah. Oleh sebab itu, Alby memesan dua porsi soto daging untuknya dan juga Airin.

Di dalam rumah makan yang tidak terlalu ramai pengunjung itu, Alby dan Airin menyantap hidangan masing-masing dengan khidmat. Sesekali, lelaki tampan itu mencuri pandang pada gadis cantik di sebelahnya. Menurut Alby, Airin terlihat paling cantik ketika sedang menikmati makanan lezat.

“Enak, Rin?” tanya Alby.

Sembari menyuap sesendok lagi nasi, gadis cantik itu menganggukkan kepalanya. “Enak, By. Pantes ini tempat jadi langganan lo, makanannya enak,” puji Airin.

Mendengarnya, lelaki manis itu terkekeh. “Makan yang banyak, ya, Airin. Lo paling cantik kalo lagi makan enak,” ujarnya.

Seketika, pergerakannya terhenti. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Airin merasa tidak asing dengan kalimat yang satu ini. Seseorang pernah mengatakan hal serupa padanya. Namun, ia tidak bisa mengingat jelas siapa sosok itu.

Berbeda dengan sang gadis, Alby sudah menghabiskan santapan malamnya. Sedangkan, Airin, ia masih setengah jalan. Gadis cantik itu benar-benar akan menikmati kuah soto beserta isinya dengan sangat hati-hati. Sebisa mungkin ia resap sari-sari kenikmatan dari makanan khas Betawi itu.

“Rin,” panggil Alby. “Gua mau tanya sesuatu sama lo. Boleh?” tanyanya.

“Boleh. Tanya aja. Tapi gua sambal makan, ya,” balas Airin.

“Iya. Besok kalo mau ke sini lagi, bilang aja, ya, nanti gua temenin,” tawar lelaki manis itu.

Mendengarnya, Airin mengacungkan jempolnya. “Mau tanya apa lo?” lanjutnya.

“Kenapa garpu yang gua pake gak bisa ngambil kuah soto yang gua makan, ya?” ujar Alby sembari memainkan alat makan dan sisa kuah sotonya.

Hampir saja Airin tersedak daging kala indera pengedengarannya menangkap stimulus aneh berupa pertanyaan konyol yang dilontarkan Alby. “Bercanda lo, By,” ucapnya.

“Gua nanya. Lo jawab aja sesuai hati lo,” balas lelaki manis itu.

“Ya, karena itu bukan sendok,” jawab Airin singkat.

Alby menjentikkan jarinya. Sepertinya, jawaban Airin memenuhi ekspektasinya. Setelah menyesap the manis hangat pesanannya, ia membalas pernyataan gadisnya. “Berarti mau sampe kapanpun juga kuah sotonya gak akan bisa diambil ‘kan, ya?”

Dengan cepat, Airin mengangguk merespon kalimat Alby. “Iya.”

“Jadi, sekuat apapun garpu gak akan pernah bisa jadi sendok ‘kan, Rin? Sama kayak dunia, sekuat apapun kita berusaha tapi kalo bukan tempatnya gak akan bisa dipaksain,” jelas lelaki manis itu.

Airin berani bersumpah, kalimat yang dilontarkan Alby saat itu sangat menusuk ke dalam sanubarinya. Bukan dalam sisi negatif, melainkan itu tamparan baginya. Sekuat apapun harapannya akan suatu hal, jika memang bukan untuknya maka hal itu tidak akan datangnya.

Terkadang manusia lupa mereka hanya makhluk biasa yang mempunyai harapan berlebih terhadap dunia tetapi melupakan fakta bahwa semesta juga punya cara sendiri untuk bekerja. Memiliki keinginan pasti boleh, namun keinginan itu memiliki dua jawaban, yakni ‘iya’ atau ‘tidak’.

Dengan langkah yang tergesa, Faya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan rumah dengan interior kuno itu. Tidak kumuh, namun tidak terlihat modern juga. Namun, bangunan tersebut tetap nyaman untuk ditinggali, terutama bagi Gibran. Lelaki tampan itu tersenyum sampai menampilkan deretan giginya. Kedua tangannya terbentang lebar.

“Gibran,” lirih Faya saat dirinya masuk ke dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukn itu.

Gibran, lelaki tampan itu tentunya merasakan hal serupa. “Halo, Faya. Apa kabar?” tanyanya.

“Aku kangen kamu, Gib,” ujar wanita cantik itu seraya mengeratkan pelukannya.

Oleh sebab itu, Gibran tersenyum. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala wanitanya. “Kita ngobrol di dalem aja, ya. Di luar lagi dingin. Aku gak mau alergimu kambuh,” jelasnya.

Keduanya berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu utamanya. Sesampainya di dalam sana, Faya dapat dengan jelas mencium aroma melati dari aroma diffuser yang dipasang Gibran untuknya. Ternyata, selain susu coklat hangat, Gibran masih mengingat kesukaan Faya yang satu ini.

“Harum,” ucap Faya sambil tersenyum manis.

Gibran lebih memilih untuk tidak membalas pernyataan Faya dengan kata-kata. Lelaki tanpan itu hanya menyimpulkan senyum terbaiknya, senyum yang hanya ia berikan untuk Faya. Kemudian, Gibran berjalan menuju dapur untuk mengambil secangkir coklat hangat dan es kopi hitam miliknya.

“Udah gelas keberapa hari ini, Gib?” tanya Faya lembut. Ia menyesap coklat panasnya.

Gibran terlebih dahulu menyedot racikan kopi yang dibuatnya. “Baru ini, Fay,” jawabnya.

“Jangan lupa apa kata dokter, ya, Gib,” ujar Faya lagi.

Gibran terkekeh kecil. Ia letakkan gelas berisi minuman pahit itu di hadapannya untuk kemudian menatap lamat sepasang manik selegam senja yang selalu berbinar terang untuknya.

“Aku gak pernah dengerin apa kata dokter, Fay. Aku dengerin apa kata kamu. Kalo kamu larang aku minum kopi, ya, aku gak akan minum,” enteng lelaki tampan itu. “Selain Bunda, cuma omongan kamu yang aku percaya,” lanjutnya.

Mendengarnya, Faya tertawa remeh. Gibran tidak pernah berubah semenjak empat tahun lalu ia meninggalkannya. Gibran tetap menjadi lelaki tampan dengan senyuman khas serupa kelinci yang selalu mengganggu pikirannya, terutama saat bersama dengan Asrhav.

“Ashrav,” ucap Gibran. “Kalo kamu di sini, dia gimana?” tanyanya ragu.

Ada satu nama yang disebut oleh Gibran, Faya menoleh. Ia tahu, cepat atau lambat, lelaki kesayangannya itu akan bertanya perihal kabar saudara kembarnya. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran.

“Aku gak bisa, Gib. Aku gak bisa sama Ashrav,” jelas Faya.

Wanita cantik itu tidak mampu memandang manik selegam malam favoritnya. Tiba-tiba saja, skenario menyakitkan terlintar di sanubarinya, tentang bagaimana Faya menyakiti Gibran dulu. Perlahan, ia menitihkan air mata.

“Maafin aku, Gib,” lirih wanita cantik itu.

Dengan sigap, Gibran merengkuh wanitanya agar masuk ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Tidak peduli seberapa sakit luka yang ditinggalkan, Gibran akan selalu menyambut kedatangan Faya.

“Jangan sedih, Ay,” ucap Gibran menenangkan.

Akhirnya, panggilan manis itu terucap dari mulutnya. Faya dibuat cukup tenang hatinya kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang tidak asing. Wanita cantik itu berusaha untuk menghentikan tangisannya sebab perasaan yang campur aduk.

Gibran melonggarkan pelukannya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Faya. Lelaki tampan itu banyak melempar senyum pada wanitanya hari ini. Ia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah. Faya kembali padanya.

“Ay,” panggil Gibran. “Aku gak peduli seberapa besar rasa sakit yang kamu sebabkan ke aku, itu gak akan merubah sedikit pun rasa sayang aku ke kamu. Dari pertama kali aku ketemu kamu di kampus, aku udah jatuh cinta sama kamu dan selamanya akan begitu. Aku gak peduli apa kata orang. Aku sayang sama kamu. Kita mulai dari awal, ya.”

Dengan langkah yang tergesa, Faya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan rumah dengan interior kuno itu. Tidak kumuh, namun tidak terlihat modern juga. Namun, bangunan tersebut tetap nyaman untuk ditinggali, terutama bagi Gibran. Lelaki tampan itu tersenyum sampai menampilkan deretan giginya. Kedua tangannya terbentang lebar.

“Gibran,” lirih Faya saat dirinya masuk ke dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukn itu.

Gibran, lelaki tampan itu tentunya merasakan hal serupa. “Halo, Faya. Apa kabar?” tanyanya.

“Aku kangen kamu, Gib,” ujar wanita cantik itu seraya mengeratkan pelukannya.

Oleh sebab itu, Gibran tersenyum. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala wanitanya. “Kita ngobrol di dalem aja, ya. Di luar lagi dingin. Aku gak mau alergimu kambuh,” jelasnya.

Keduanya berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu utamanya. Sesampainya di dalam sana, Faya dapat dengan jelas mencium aroma melati dari aroma diffuser yang dipasang Gibran untuknya. Ternyata, selain susu coklat hangat, Gibran masih mengingat kesukaan Faya yang satu ini.

“Harum,” ucap Faya sambil tersenyum manis.

Gibran lebih memilih untuk tidak membalas pernyataan Faya dengan kata-kata. Lelaki tanpan itu hanya menyimpulkan senyum terbaiknya, senyum yang hanya ia berikan untuk Faya. Kemudian, Gibran berjalan menuju dapur untuk mengambil secangkir coklat hangat dan es kopi hitam miliknya.

“Udah gelas keberapa hari ini, Gib?” tanya Faya lembut. Ia menyesap coklat panasnya.

Gibran terlebih dahulu menyedot racikan kopi yang dibuatnya. “Baru ini, Fay,” jawabnya.

“Jangan lupa apa kata dokter, ya, Gib,” ujar Faya lagi.

Gibran terkekeh kecil. Ia letakkan gelas berisi minuman pahit itu di hadapannya untuk kemudian menatap lamat sepasang manik selegam senja yang selalu berbinar terang untuknya.

“Aku gak pernah dengerin apa kata dokter, Fay. Aku dengerin apa kata kamu. Kalo kamu larang aku minum kopi, ya, aku gak akan minum,” enteng lelaki tampan itu. “Selain Bunda, cuma omongan kamu yang aku percaya,” lanjutnya.

Mendengarnya, Faya tertawa remeh. Gibran tidak pernah berubah semenjak empat tahun lalu ia meninggalkannya. Gibran tetap menjadi lelaki tampan dengan senyuman khas serupa kelinci yang selalu mengganggu pikirannya, terutama saat bersama dengan Asrhav.

“Ashrav,” ucap Gibran. “Kalo kamu di sini, dia gimana?” tanyanya ragu.

Ada satu nama yang disebut oleh Gibran, Faya menoleh. Ia tahu, cepat atau lambat, lelaki kesayangannya itu akan bertanya perihal kabar saudara kembarnya. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran.

“Aku gak bisa, Gib. Aku gak bisa sama Ashrav,” jelas Faya.

Wanita cantik itu tidak mampu memandang manik selegam malam favoritnya. Tiba-tiba saja, skenario menyakitkan terlintar di sanubarinya, tentang bagaimana Faya menyakiti Gibran dulu. Perlahan, ia menitihkan air mata.

“Maafin aku, Gib,” lirih wanita cantik itu.

Dengan sigap, Gibran merengkuh wanitanya agar masuk ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Tidak peduli seberapa sakit luka yang ditinggalkan, Gibran akan selalu menyambut kedatangan Faya.

“Jangan sedih, Ay,” ucap Gibran menenangkan.

Akhirnya, panggilan manis itu terucap dari mulutnya. Faya dibuat cukup tenang hatinya kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang tidak asing. Wanita cantik itu berusaha untuk menghentikan tangisannya sebab perasaan yang campur aduk.

Gibran melonggarkan pelukannya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Faya. Lelaki tampan itu banyak melempar senyum pada wanitanya hari ini. Ia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah. Faya kembali padanya.

“Ay,” panggil Gibran. “Aku gak peduli seberapa besar rasa sakit yang kamu sebabkan ke aku, itu gak akan merubah sedikit pun rasa sayang aku ke kamu. Dari pertama kali aku ketemu kamu di kampus, aku udah jatuh cinta sama kamu dan selamanya akan begitu. Aku gak peduli apa kata orang. Aku sayang sama kamu. Kita mulai dari awal, ya.”

Dengan langkah yang tergesa, Faya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan rumah dengan interior kuno itu. Tidak kumuh, namun tidak terlihat modern juga. Namun, bangunan tersebut tetap nyaman untuk ditinggali, terutama bagi Gibran. Lelaki tampan itu tersenyum sampai menampilkan deretan giginya. Kedua tangannya terbentang lebar.

“Gibran,” lirih Faya saat dirinya masuk ke dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukn itu.

Gibran, lelaki tampan itu tentunya merasakan hal serupa. “Halo, Faya. Apa kabar?” tanyanya.

“Aku kangen kamu, Gib,” ujar wanita cantik itu seraya mengeratkan pelukannya.

Oleh sebab itu, Gibran tersenyum. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala wanitanya. “Kita ngobrol di dalem aja, ya. Di luar lagi dingin. Aku gak mau alergimu kambuh,” jelasnya.

Keduanya berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu utamanya. Sesampainya di dalam sana, Faya dapat dengan jelas mencium aroma melati dari aroma diffuser yang dipasang Gibran untuknya. Ternyata, selain susu coklat hangat, Gibran masih mengingat kesukaan Faya yang satu ini.

“Harum,” ucap Faya sambil tersenyum manis.

Gibran lebih memilih untuk tidak membalas pernyataan Faya dengan kata-kata. Lelaki tanpan itu hanya menyimpulkan senyum terbaiknya, senyum yang hanya ia berikan untuk Faya. Kemudian, Gibran berjalan menuju dapur untuk mengambil secangkir coklat hangat dan es kopi hitam miliknya.

“Udah gelas keberapa hari ini, Gib?” tanya Faya lembut. Ia menyesap coklat panasnya.

Gibran terlebih dahulu menyedot racikan kopi yang dibuatnya. “Baru ini, Fay,” jawabnya.

“Jangan lupa apa kata dokter, ya, Gib,” ujar Faya lagi.

Gibran terkekeh kecil. Ia letakkan gelas berisi minuman pahit itu di hadapannya untuk kemudian menatap lamat sepasang manik selegam senja yang selalu berbinar terang untuknya.

“Aku gak pernah dengerin apa kata dokter, Fay. Aku dengerin apa kata kamu. Kalo kamu larang aku minum kopi, ya, aku gak akan minum,” enteng lelaki tampan itu. “Selain Bunda, cuma omongan kamu yang aku percaya,” lanjutnya.

Mendengarnya, Faya tertawa remeh. Gibran tidak pernah berubah semenjak empat tahun lalu ia meninggalkannya. Gibran tetap menjadi lelaki tampan dengan senyuman khas serupa kelinci yang selalu mengganggu pikirannya, terutama saat bersama dengan Asrhav.

“Ashrav,” ucap Gibran. “Kalo kamu di sini, dia gimana?” tanyanya ragu.

Ada satu nama yang disebut oleh Gibran, Faya menoleh. Ia tahu, cepat atau lambat, lelaki kesayangannya itu akan bertanya perihal kabar saudara kembarnya. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran.

“Aku gak bisa, Gib. Aku gak bisa sama Ashrav,” jelas Faya.

Wanita cantik itu tidak mampu memandang manik selegam malam favoritnya. Tiba-tiba saja, skenario menyakitkan terlintar di sanubarinya, tentang bagaimana Faya menyakiti Gibran dulu. Perlahan, ia menitihkan air mata.

“Maafin aku, Gib,” lirih wanita cantik itu.

Dengan sigap, Gibran merengkuh wanitanya agar masuk ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Tidak peduli seberapa sakit luka yang ditinggalkan, Gibran akan selalu menyambut kedatangan Faya.

“Jangan sedih, Ay,” ucap Gibran menenangkan.

Akhirnya, panggilan manis itu terucap dari mulutnya. Faya dibuat cukup tenang hatinya kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang tidak asing. Wanita cantik itu berusaha untuk menghentikan tangisannya sebab perasaan yang campur aduk.

Gibran melonggarkan pelukannya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Faya. Lelaki tampan itu banyak melempar senyum pada wanitanya hari ini. Ia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah. Faya kembali padanya.

“Ay,” panggil Gibran. “Aku gak peduli seberapa besar rasa sakit yang kamu sebabkan ke aku, itu gak akan merubah sedikit pun rasa sayang aku ke kamu. Dari pertama kali aku ketemu kamu di kampus, aku udah jatuh cinta sama kamu dan selamanya akan begitu. Aku gak peduli apa kata orang. Aku sayang sama kamu. Kita mulai dari awal, ya.”

“Den Farel, Bi Ijah tinggal dulu ke rumah, ya. Bibi mau masak untuk makan siang. Nanti, kalo ada yang dateng suruh ke rumah Bibi aja, ya, Den,” jelas wanita paruh baya itu ramah kepada salah satu langganannya.

Mendengarnya, lelaki tampan itu tersenyum. “Iya, Bi,” ucapnya.

“Makasih, ya, Den,” balas Bi Ijah. “Den Farel jangan lupa makan, wajah gantengnya jadi pucet gitu. Nanti Bibi ajak makan siang di rumah Bibi aja, ya. Mau, Den?” tawarnya.

Farelio menggelengkan kepalanya sembari kedua telapak tangannya bergerak melambai. “Gak usah, Bi. Saya gak apa-apa kok. Makasih banyak, ya, Bi,” jawab lelaki tampan itu lembut.

Setelah percakapannya dengan Farelio, Bi Ijah melengang pergi menuju rumahnya yang berjarak dari warung tempatnya berjualan, masih berada di sekitaran sekolah menengah atas itu juga.

Di siang hari yang mendung disertai dengan angin yang berhembus pelan, Farelio mengatupkan kedua tangannya. Lelaki tampan itu sangat merefleksikan perasaan bimbang.

Ya, apalagi jika bukan perihal gadisnya. Farelio menyesal tidak menggunakan waktu dua tahun belakang ini untuk mengenal baik gadis kesayangannya. Ia terlihat gelisah.

Selain rindu yang melanda, lelaki tampan itu juga merasa terpukul hatinya. Ingin sekali Farelio memberikan hadiah kecil untuk Airin. Mengingat dirinya tidak pernah memberikan apapun kepada gadisnya, selain rasa nikmat.

“Airin sukanya apa?” monolognya.

Tak lama berselang, terdengar suara langkah yang mendekat. Farelio mengangkat pandangannya dan yang ia temukan ialah sesosok yang tidak terduga tetapi ia harapkan kehadirannya.

Bukan Airin, melainkan Alby. Lelaki tampan itu menatap intens pada teman sekolahnya yang sudah sejak lama ingin ia temui.

“Bu Ijah mana?” tanya Alby.

“Bi Ijah, bukan Bu Ijah,” balas Farelio dingin.

Alby terkekeh kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang terdengar tak asing. Sepasang manik indahnya menyipit. “Jawabannya persis kayak Airin,” ucapnya.

“Apa lo bilang?” tanya Farelio tidak santai. Lelaki tampan itu bangkit dari posisi duduknya.

“Gua gak bilang apa-apa,” elak sang lawan bicaranya. “Bi Ijahnya ke mana?” tanya Alby lagi.

“Lagi pulang ke rumahnya,” jelas Farelio.

Mendengarnya, Alby mengangguk beberapa kali tanda mengerti. Setelahnya, lelaki manis itu mengambil posisi duduk pada kursi kayu yang sebelumnya ditempati oleh Farelio.

Melihatnya, Farelio melakukan hal yang sama. Entah mengapa, rasa penasaran dalam hati lelaki tampan itu semakin membuncah. Hubungan seperti apa yang tengah dijalani siswa pindahan ini bersama gadisnya.

Tapi, tiba-tiba saja rasa penasaran itu hilang dalam sekejap. Menurut Farelio, ada hal yang lebih penting untuk dipusingkan sekarang. Ya, sekiranya hadiah apa yang akan Airin suka atau mungkin lelaki tampan itu bisa memberi gadisnya sesuatu yang sangat ia butuhkan, perhatian misalnya.

“Coklat atau bunga, ya?” gumam Farelio.

Hanya dengan dua kata benda yang diucapkan teman di sebelahnya itu mampu membuat Alby menoleh dengan semangat. “Lo bilang apa? Coklat atau bunga, ya. Buat siapa? Airin, ya?” tanya lelaki manis itu.

Farelio berdecak sebal. “Lo gak perlu tau,” singkatnya.

“Jelas, lo perlu tau,” balas Alby. “Airin itu alergi sama serbuk sari. Tapi, dia suka makanan manis. Jadi, kalo mau kasih sesuatu, mending lo kasih coklat aja ke dia,” jelasnya.

Sepasang manik selegam malam itu menatap benci pada lelaki manis yang duduk di sebelahnya. Keduanya saling beradu pandang dan tidak ada yang mau mengalah, seolah Farelio dan Alby tengah memperbutkan Airin yang tak kasat mata.

Di detik berikutnya yang terjadi adalah Farelio mencegkram kerah kemeja sekolah Alby sembari bangkit dari posisi duduknya.

Tentunya, lelaki manis itu sedikit terangkat tubuhnya. Walaupun begitu, Alby sebisa mungkin untuk tidak ikut larut ke dalam amarah temannya. Ia mencoba untuk tenang.

“Tau apa lo tentang Airin? Lo bukan siapa-siapanya. Jadi, gak usah sok tau,” desis Farelio.

Mendengarnya, Alby tertawa remeh. “Mending lo tanya sendiri ke orangnya,” ucapnya santai.

BUAGH!

Tidak ingin bersabar lebih lama lagi, Farelio meninju sebelah wajah tampan Alby sampai temannya itu terhempas ke tanah. Alby menyeka luka kecil yang timbul di ujung bibirnya. Ia menyeringai.

Sepasang manik indahnya menatap tidak suka pada Farelio yang berdiri menjulang di hadapannya. Apa-apaan orang ini, batinnya.

“Lo kenapa deh, Rel? Padahal, gua cuma ngasih tau informasi penting tentang Airin ke lo, tapi lo semarah ini. Kenapa? Lo iri sama gua karena gua lebih kenal Airin. Iya, Rel?” tanya Alby.

Beberapa kalimat itu sukses memberikan pasokan batu bara khas amarah yang membuat amarah Farelio semakin berapi-api. Sepasang manik selegam malam yang biasanya bersinar indah itu, kini berubah drastis.

Dari tatapan itu seolah mengartikan Alby akan mati hari itu juga. Setelahnya, Fareio kembali bergerak. Lelaki tampan itu menimpa tubuh besar sang lawan untuk kemudian kembali melayangkan pukulan lain.

BUAGH!

Satu pukulan.

BUAGH!

Dua pukulan.

Dan saat Farelio akan melayangkan pukulan ketiga, sepasang lengan ringkih menghentikan pergerakannya. “Farel!” pekik Airin.

Dengan begitu, Farelio baru sepenuhnya sadar dari emosi negatif yang menyelimutinya. Airin menarik sebelah tangan berotot itu agar bangun dari tubuh Alby.

Di sisi lain, Hana ikut membantu sepupunya untuk bangkit lalu duduk di tempat. Ia beberapa kali menepuk pipi Alby sebab dirasa lelaki manis itu mulai kehilangan kesadarannya.

“Alby,” panggil Hana.

“Tenang, Cil. Gua masih hidup,” gurau Alby di sela-sela atmosfer menegangkan di sana.

“Kita pulang,” singkat Airin.

Selepasnya, gadis cantik itu menggandeng tangan lelaki kesayangannya untuk pergi dari kerumunan. Sementara itu, Alby yang wajahnya dipenuhi luka terbuka hanya dpat memandang nanar pada gadis pujaan hatinya yang perlahan menghilang dari pandangannya sembari menggenggam tangan Farelio. Melihatnya, Alby berdecak seraya menyeringai.

“Lo gak apa-apa, By?” tanya Hana khawatir.

“Enggak, gua kenapa-napa. Hati gua sakit, Cil,” jelasnya.

#scuffle

“Den Farel, Bi Ijah tinggal dulu ke rumah, ya. Bibi mau masak untuk makan siang. Nanti, kalo ada yang dateng suruh ke rumah Bibi aja, ya, Den,” jelas wanita paruh baya itu ramah kepada salah satu langganannya.

Mendengarnya, lelaki tampan itu tersenyum. “Iya, Bi,” ucapnya.

“Makasih, ya, Den,” balas Bi Ijah. “Den Farel jangan lupa makan, wajah gantengnya jadi pucet gitu. Nanti Bibi ajak makan siang di rumah Bibi aja, ya. Mau, Den?” tawarnya.

Farelio menggelengkan kepalanya sembari kedua telapak tangannya bergerak melambai. “Gak usah, Bi. Saya gak apa-apa kok. Makasih banyak, ya, Bi,” jawab lelaki tampan itu lembut.

Setelah percakapannya dengan Farelio, Bi Ijah melengang pergi menuju rumahnya yang berjarak dari warung tempatnya berjualan, masih berada di sekitaran sekolah menengah atas itu juga.

Di siang hari yang mendung disertai dengan angin yang berhembus pelan, Farelio mengatupkan kedua tangannya. Lelaki tampan itu sangat merefleksikan perasaan bimbang.

Ya, apalagi jika bukan perihal gadisnya. Farelio menyesal tidak menggunakan waktu dua tahun belakang ini untuk mengenal baik gadis kesayangannya. Ia terlihat gelisah.

Selain rindu yang melanda, lelaki tampan itu juga merasa terpukul hatinya. Ingin sekali Farelio memberikan hadiah kecil untuk Airin. Mengingat dirinya tidak pernah memberikan apapun kepada gadisnya, selain rasa nikmat.

“Airin sukanya apa?” monolognya.

Tak lama berselang, terdengar suara langkah yang mendekat. Farelio mengangkat pandangannya dan yang ia temukan ialah sesosok yang tidak terduga tetapi ia harapkan kehadirannya.

Bukan Airin, melainkan Alby. Lelaki tampan itu menatap intens pada teman sekolahnya yang sudah sejak lama ingin ia temui.

“Bu Ijah mana?” tanya Alby.

“Bi Ijah, bukan Bu Ijah,” balas Farelio dingin.

Alby terkekeh kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang terdengar tak asing. Sepasang manik indahnya menyipit. “Jawabannya persis kayak Airin,” ucapnya.

“Apa lo bilang?” tanya Farelio tidak santai. Lelaki tampan itu bangkit dari posisi duduknya.

“Gua gak bilang apa-apa,” elak sang lawan bicaranya. “Bi Ijahnya ke mana?” tanya Alby lagi.

“Lagi pulang ke rumahnya,” jelas Farelio.

Mendengarnya, Alby mengangguk beberapa kali tanda mengerti. Setelahnya, lelaki manis itu mengambil posisi duduk pada kursi kayu yang sebelumnya ditempati oleh Farelio.

Melihatnya, Farelio melakukan hal yang sama. Entah mengapa, rasa penasaran dalam hati lelaki tampan itu semakin membuncah. Hubungan seperti apa yang tengah dijalani siswa pindahan ini bersama gadisnya.

Tapi, tiba-tiba saja rasa penasaran itu hilang dalam sekejap. Menurut Farelio, ada hal yang lebih penting untuk dipusingkan sekarang. Ya, sekiranya hadiah apa yang akan Airin suka atau mungkin lelaki tampan itu bisa memberi gadisnya sesuatu yang sangat ia butuhkan, perhatian misalnya.

“Coklat atau bunga, ya?” gumam Farelio.

Hanya dengan dua kata benda yang diucapkan teman di sebelahnya itu mampu membuat Alby menoleh dengan semangat. “Lo bilang apa? Coklat atau bunga, ya. Buat siapa? Airin, ya?” tanya lelaki manis itu.

Farelio berdecak sebal. “Lo gak perlu tau,” singkatnya.

“Jelas, lo perlu tau,” balas Alby. “Airin itu alergi sama serbuk sari. Tapi, dia suka makanan manis. Jadi, kalo mau kasih sesuatu, mending lo kasih coklat aja ke dia,” jelasnya.

Sepasang manik selegam malam itu menatap benci pada lelaki manis yang duduk di sebelahnya. Keduanya saling beradu pandang dan tidak ada yang mau mengalah, seolah Farelio dan Alby tengah memperbutkan Airin yang tak kasat mata.

Di detik berikutnya yang terjadi adalah Farelio mencegkram kerah kemeja sekolah Alby sembari bangkit dari posisi duduknya.

Tentunya, lelaki manis itu sedikit terangkat tubuhnya. Walaupun begitu, Alby sebisa mungkin untuk tidak ikut larut ke dalam amarah temannya. Ia mencoba untuk tenang.

“Tau apa lo tentang Airin? Lo bukan siapa-siapanya. Jadi, gak usah sok tau,” desis Farelio.

Mendengarnya, Alby tertawa remeh. “Mending lo tanya sendiri ke orangnya,” ucapnya santai.

BUAGH!

Tidak ingin bersabar lebih lama lagi, Farelio meninju sebelah wajah tampan Alby sampai temannya itu terhempas ke tanah. Alby menyeka luka kecil yang timbul di ujung bibirnya. Ia menyeringai.

Sepasang manik indahnya menatap tidak suka pada Farelio yang berdiri menjulang di hadapannya. Apa-apaan orang ini, batinnya.

“Lo kenapa deh, Rel? Padahal, gua cuma ngasih tau informasi penting tentang Airin ke lo, tapi lo semarah ini. Kenapa? Lo iri sama gua karena gua lebih kenal Airin. Iya, Rel?” tanya Alby.

Beberapa kalimat itu sukses memberikan pasokan batu bara khas amarah yang membuat amarah Farelio semakin berapi-api. Sepasang manik selegam malam yang biasanya bersinar indah itu, kini berubah drastis.

Dari tatapan itu seolah mengartikan Alby akan mati hari itu juga. Setelahnya, Fareio kembali bergerak. Lelaki tampan itu menimpa tubuh besar sang lawan untuk kemudian kembali melayangkan pukulan lain.

BUAGH!

Satu pukulan.

BUAGH!

Dua pukulan.

Dan saat Farelio akan melayangkan pukulan ketiga, sepasang lengan ringkih menghentikan pergerakannya. “Farel!” pekik Airin.

Dengan begitu, Farelio baru sepenuhnya sadar dari emosi negatif yang menyelimutinya. Airin menarik sebelah tangan berotot itu agar bangun dari tubuh Alby.

Di sisi lain, Hana ikut membantu sepupunya untuk bangkit lalu duduk di tempat. Ia beberapa kali menepuk pipi Alby sebab dirasa lelaki manis itu mulai kehilangan kesadarannya.

“Alby,” panggil Hana.

“Tenang, Cil. Gua masih hidup,” gurau Alby di sela-sela atmosfer menegangkan di sana.

“Kita pulang,” singkat Airin.

Selepasnya, gadis cantik itu menggandeng tangan lelaki kesayangannya untuk pergi dari kerumunan. Sementara itu, Alby yang wajahnya dipenuhi luka terbuka hanya dpat memandang nanar pada gadis pujaan hatinya yang perlahan menghilang dari pandangannya sembari menggenggam tangan Farelio. Melihatnya, Alby berdecak seraya menyeringai.

“Lo gak apa-apa, By?” tanya Hana khawatir.

“Enggak, gua kenapa-napa. Hati gua sakit, Cil,” jelasnya.

“Ma, Ranie pergi dulu, ya. Mau ke lapangan kompleks,” ujar gadis cantik itu setengah berteriak sembari berjalan melalui sang ibu yang tengah sibuk memerhatikan layar ponsel di sofa ruang tamu.

“Mau ke mana, Ran?” balas sang ibu dengan kembali bertanya. Wanita paruh baya yang kecantikannya masih seperti remaja umur 20an itu meluruhkan sedikit kacamata baca yang bertengger di hidungnya.

“Ke lapangan kompleks, Mama,” jawab Ranie malas.

“Ke lapangan kompleks? Cantik begini. Ngapain?” ucapnya seolah menginterogasi.

Sang ibu menelisik penampilan putri tunggalnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Untuk seseorang yang akan berolahraga, pakaian yang Ranie kenakan terlalu berlebihan.

Dengan casual dress selutut berwarna navy blue yang kontras dengan kulitnya yang seputih susu serta rambutnya yang ia biarkan tergerai menutupi kedua bahunya, Ranie terlihat sangat menawan sore hari itu.

“Ya, emangnya kenapa? Anak semata wayang Mama ‘kan emang cantik. Kenapa heran?” elak Ranie.

“Oh, Mama tau. Kamu pasti mau ketemu Juna, anaknya Melisa. Iya ‘kan? Ngaku kamu,” sergah wanita paruh baya itu.

Mendengarnya, gadis cantik itu memutar bola matanya. Pada akhirnya, sang ibu mengetahui rencana yang sebenernya. Memang, insting seorang ibu tidak akan pernah salah. Sekarang, mau tidak mau, ingin tidak ingin, Ranie harus mengakuinya.

Belum sempat gadis cantik itu melontarkan penjelasan, sang ibu sudah mendahuluinya. “Mama tuh gak suka sama Juna, Ran. Anaknya sombong banget, persis kayak ibunya. Mama tuh gak pernah mau ke abang tukang sayur kalo Melisa belanja di sana juga,” jelas sang ibu.

Lagi, baru saja gadis cantik itu hendak membuka mulutnya untuk merampungkan kalimat yang sedari tadi tertahan di ujung lidahnya, wanita kesayangannya itu kembali menyela. “Kamu mending sama Savero deh, Ran. Dia anaknya baik, lembut, ramah, sopan juga. Orang tuanya juga Mama sama Papa kenal,” sambungnya.

“Udah belom? Ini mama ngomongnya udah apa belom? Nanti Ranie mau ngomong diputus lagi,” ujar Ranie sembari menatap sang ibu.

“Udah,” singkat wanita cantik itu.

“Ranie sama Savero ‘kan udah temenan dari kecil, Ma. Ya, gak mungkin aja antara Ranie sama Savero ada yang nyimpen rasa, kayak gak mungkin aja gitu,” jelas gadis cantik itu.

“Nih, Mama kasih tau, ya, Ran,” ucap sang ibu sembari menarik pelan tangan anak gadisnya agar duduk di sampingnya. “Gak ada yang gak mungkin. Dulu Mama sama Papa tuh musuhan, kamu tau? Akhirnya, bareng-bareng juga. Mama sama Papa yang saling gak suka aja bisa bersatu, apalagi kamu sama Savero yang dari kecil udah ke mana-mana bareng,” lanjutnya.

Sejenak, gadis cantik putri sulung dari Keluarga Dhanurendra itu menyatu dalam pikirannya. Otak mungilnya mencoba untuk memproses kalimat penjelasan dari wanita cantik kesayangannya.

Ah, tapi sepertinya itu hal yang mustahil. Apalagi, sahabat tampannya itu merupakan lelaki yang paling digemari para gadis disekolahnya. Tidak menutup kemungkinan Savero menaruh hati pada salah satu penggemarnya, bukan?

“Ah, udah deh, Ma. Ranie pusing. Ranie mau pergi dulu. Bye, Ma,” final gadis cantik itu. Sebelum melengang pergi, ia menyempatkan diri untuk mengecup sebelah pipi sang ibu.

Sementara itu, sang ibu hanya menggeleng merespon tingkah anak sulungnya. “Kamu kayak Papamu banget, Ran. Keras kepala. Gak akan berhenti sampe ke titik akhir,” gumamnya.

Tak lama berselang, setelaha kepergian Ranie, seseorang mengetuk pintu utama rumah megah nan mewah itu. Sang pemilik rumah melirik ke arah pintu.

Siapa yang bertamu di sore hari seperti ini, batin sang ibu. Wajah cantik itu terlihat berseri kala melihat sesosok lelaki tampan yang berdiri menjulang di beranda rumahnya.

“Selamat sore, Ma,” ujarnya. Itu Savero Ghazanvar, sahabat dari Ranindya Alister Dhanurendra atau bisa dibilang anak kesayangan Mamanya Ranie setelah anak kandungnya sendiri.

“Eh, Savero! Ya ampun, Nak. Mama kangen sama kamu,” ujar wanita paruh baya itu seraya memeluk erat anak laki-laki di hadapannya.

“Vero juga kangen sama Mama,” balasnya disertai senyuman manis. Lelaki tampan itu mengusap pelan punggung wanita yang ada di dalam dekapannya.

“Baru aja Ranie keluar, Ver. Kamu masuk dulu, ya. Mama buatin minum. Kamu udah makan?” tanyanya bertubi-tubi sesaat setelah melepaskan pelukannya.

Sepasang ibu dan lelaki tampan yang ia sudah anggap seperti anak sendiri itu melengang masuk ke dalam rumah.

Wanita paruh baya itu mempersilakan Savero untuk duduk sementara ia menyiapkan minuman dingin di dapur. Perlu diketahui bahwa Savero memiliki panggilan yang sama seperti Ranie memanggil ibunya, ya, dengan sebutan ‘Mama’.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, baik Ayah dan Bunda yang merupakan orang tua Savero maupun Papa dan Mama orang tua dari Ranie, keduanya sudah menjalin hubungan persahabatan sejak lama.

“Mama, ini ada masakan dari Bunda,” ujar lelaki tampan itu. Savero menyusul ibu dari sahabat kesayangannya itu ke arah dapur.

“Masukin ke kulkas aja, Sayang. Nanti Mama angetin kalo Papa sama Ranie pulang,” jelasnya.

Sejenak, lelaki tampan itu diam membeku dalam posisinya. “Ranie lagi keluar, ya, Ma?” tanya Savero basa-basi seraya memasukkan beberapa menu makanan ke dalam lemari pendingin.

“Iya, tadi katanya mau ke lapangan kompleks, mau ketemu sama Juna deh kayaknya,” lanjut wanita cantik itu.

Mendengarnya, lelaki tampan itu hanya menganggukkan kepalanya beberapa tanda menegerti. Bukannya tidak tahu, Savero malah tahu pasti apa tujuan dari sang sahabat berkunjung ke lapangan bersama itu. Padahal, Ranie sendiri bukan tipe manusia yang untuk bergerak.

Sore itu, Savero tenggelam bersama pikirannya terkait Ranie yang akan menyatakan cintanya pada Juna, sang kakak kelas. Lamunan lelaki tampan itu sempat terhenti kala dering nyaring sebuah ponsel menyeruak di seluruh sudut dapur kediaman Keluarga Dhanuredra.

“Halo, Yah,” ucap sang ibu.

Setelahnya, wanita paruh baya itu berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua rumahnya, mungkin ke arah kamar tidurnya. Savero kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti.

Setelah selesai, lelaki tampan itu mendudukkan dirinya di atas sofa empuk di ruang tamu. Jemarinya sibuk mengetikkan beberapa pesan untuk dikirim kepada Ranie.

“Savero Sayang,” ucap sang ibu yang tiba-tiba muncul.

“Iya, Ma,” sahutnya.

“Mama jemput Papa dulu, ya. Katanya mobilnya mogok di jalan tol mau pulang ke sini. Vero kalo mau makan masak aja atau pesen makan di ojol aja, ya, Sayang. Uangnya ada di laci dapur,” jelas wanita cantik itu.

“Savero anter aja, ya, Ma?” tawar lelaki tampan itu.

“Gak usah, Sayang. Nanti Mama sekalian mau ke supermarket sama pesen kue buat Neneknya Ranie, untuk ulang tahunnya. Vero di rumah aja, tungguin Ranie pulang,” ujarnya.

Dengan begitu, Savero mengangguk mengerti. Setelah menyalami wanita cantik kesayangan setelah ibu kandungnya itu, ia mengantar Mama sampai di depan rumah.

Ia melambai sembari tersenyum manis ke arah mobil sedan putih yang perlahan mulai menghilang dari indera penglihatannya itu.

Savero hendak masuk ke dalam rumah besar nan megah itu saat sepasang telinganya mendengar jelas suara tangisan seorang perempuan yang samar-samar mendekat. Sepasang manik selegam malamnya memantau ke segala arah. Tak lama, seorang gadis cantik muncul menghampirinya.

“Ranie,” ucap Savero.

Gadis cantik itu berjalan gontai seraya kedua bahunya yang bergetar hebat sebab tangisannya. Melihatnya, Savero panik setengah mati. Ia berlari kecil ke arah Ranie. Apa yang terjadi pada sahabat kesayangannya itu?

“Kamu kenapa, Ran?” tanya lelaki tampan itu tak santai.

Ranie, yang ditanyai seperti itu bukannya menjawab, tangisnya malah semakin kencang. Refleks, Savero mengusap pucuk kepalanya untuk kemudian membawanya ke dalam pelukannya. Tangisan sedu itu terdengar sempat terdengar tertahan.

“Kita masuk dulu, ya. Tenangin diri kamu di dalem rumah,” ujar Savero.

Setelahnya, sepasang sahabat itu berjalan masuk ke dalam rumah Keluarga Dhanurendra. Di atas sofa, keduanya duduk saling berhadapan. Tidak lupa, Savero menyeduh teh herbal hangat untuk melegakan tenggorokan gadisnya yang sedari tadi tidak mau berhenti menangis.

“Ranie, berhenti dulu nangisnya. Nanti dada kamu sakit,” ucap lelaki tampan itu lembut. Tangannya tidak berhenti mengusap sebelah bahu Ranie.

“Aku…ditolak…Kak Juna, Ver,” gumam gadis cantik itu terbata.

Mendengarnya, Savero menghela napas panjang. Lelaki tampan itu sebenarnya sudah memprediksi kejadian ini. Bagaimana tidak, Juna, sang kakak kelas, saat ini tengah menjalin hubungan dengan salah satu siswi program pertukaran pelajaran dari Tiongkok.

Keduanya baru menjadi sepasang kekasih selama beberapa hari. Jadi, wajar saja tidak banyak yang tau. Terlebih lagi seorang Arjuna Hamamammi bukan termasuk ke dalam kategori siswa populer yang informasinya diminati banyak orang.

“Udah, Ranie. Jangan nangis lagi,” kata Savero menahan pilu.

Sejujurnya, melihat sang sahabat menitihkan air mata adalah kelemahan bagi Savero. Baginya, Ranie menangis adalah sakit hati terbesarnya setelah mengetahui apabila kedua orang tuanya sakit.

Senyum manis yang biasa terukir bahkan hanya dengan guyonan sepele itu, hari ini tidak nampak. Jika Ranie sakit hati, maka Savero akan merasakan hal yang sama.

“Aku…suka banget…sama…Kak Juna, Ver,” lirih gadis cantik itu.

“Tuhan itu baik, Ranie. Tuhan gak akan kabulin keinginan kamu kalo itu buruk. Berarti, Kak Juna emang bukan buat kamu,” jelas Savero.

Seolah mantra ajaib, setelah mendengar kalimat tersebut, tangisan gadis cantik itu langsung mereda. Sepasang bahu yang bergetar hebat itu kini berhenti. Manik selegam senja yang masih dienangi air mat aitu berbinar indah menatap sang sahabat.

“Iya, ya, Ver,” ucap Ranie.

“Iya dong, Ran. Jangan nangis lagi, ya. Ranie ‘kan perempuan hebat,” puji lelaki tampan itu dengan senyuman tulus serta maniknya yang menyipit.

Melihatnya, hati Ranie menghangat. Di situasi apapun, di keadaan apa saja, Savero selalu ada di sampingnya. Tidak hanya saat suka, melainkan saat duka juga. Gadis cantik itu harus berterima kasih kepada Tuhan karena sudah mengirimkan malaikat dalam bentuk Savero Ghazanvar.

“Makasih, ya, Vero. Aku gak tau deh gimana jadinya kalo gak ada kamu,” kata gadis cantik itu lembut.

Di detik selanjutnya, dengan kesadaran penuh, Ranie memeluk erat sahabatnya seolah mengirimkan rasa terima kasih serta menyalurkan rasa sedihnya tadi.

Sementara itu, yang didekap hanya dapat membatu di tempatnya. Untuk pertama kali di dalam hidupnya, Savero dipeluk oleh Ranie.

“Ran,” panggil lelaki tampan.

Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat untuk kemudian melepaskan dekapannya. Wajah cantik yang sebelumnya terlihat sendu, sekarang kembali berseri.

Ranie sudah dapat mengulas senyumnya lagi. Berbeda dengan gadisnya, Savero mematung dalam posisi duduknya. Beberapa kali maniknya mengerjap demi mengembalikan kewarasannya.

Ranie terkekeh. “Kamu kenapa deh, Ver? Kok bengong gitu? Baper, ya, aku peluk,” ledeknya.

Menengarnya, Savero menatap sinis ke arah sang sahabat. Lelaki tampan itu menyeringai seram. Savero pada sore menjelang malam hari itu seperti berubah menjadi pribadi yang lain, yang belum pernah Ranie lihat sebelumnya.

“Ver,” panggil gadis cantik itu agak ragu.

Savero, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak menggubris ucapan sahabatnya. Ia menggeser posisi duduknya agar lebih mendekat ke arah Ranie, semakin dekat dan semakin dekat. Sampai pada akhirnya, wajah tampan itu berhadapan dengan wajah cantik kesukaannya.

Sepasang manik selegam senja itu membulat. Ranie tidak pernah sedekat ini dengan sang sahabat. Entah mengapa, jantungnya berdegup lebh kencang dari biasanya.

“Ver,” panggil Ranie lagi.

“Hm?” balas Savero hanya dengan deheman singkat.

“Ini kita terlalu deket,” ujarnya.

“Ya, emangnya kenapa?” enteng lelaki tampan itu.

Selanjutnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara sepasang sahabat itu. Keduanya seolah larut di dalam atmosfer yang kian nyaman dan memanas.

Savero yang sibuk memandang sahabat kesayangannya itu, sedangkan Ranie yang mati-matian menahan debar aneh di dalam dadanya.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi ialah Savero mencium bibir gadisnya lembut. Ranie, gadis cantik itu sempat terhenyak. Sepasang manik selegam senjanya kembali membelalak, bahkan semakin lebar.

Namun, tidak ada perlawanan yang dilakukan oleh gadis cantik itu. Ciuman itu seolah memberikan efek penyembuhan bagi hati yang baru saja tersakiti.

Tak lama setelahnya, Savero menyudahi acara mencium sahabatnya. Sepasang manik selegam malam itu mengerjap beberapa kali. Ia sedikit memundurkan jaraknya. “Maaf, ya, Ran. Aku gak tahan. Kamu hari ini keliatan cantik banget,” jelas lelaki tampan itu.

Sesaat, Ranie terbuai dalam rasa haru sebab sang sahabat. Gadis cantik itu tersenyum hangat. “Gak apa-apa, Vero. Lanjutin aja,” balasnya.

Entah apa yang merasuki Ranie kala itu. Kalimat pujian yang dilontarkan sahabatnya terdengar sangat memancing. Mendengarnya, Savero tersenyum puas. Ia tidak menyangka bahwa momen ini akan datang juga kepada dirinya dan juga gadisnya.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Savero kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat ragu untuk ia lanjutkan. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, lelaki tampan itu menarik tengkuk gadisnya agar masuk lagi ke dalam ciumannya.

Seolah memiliki hasrat yang sama, Ranie menyambut ciuman itu dengan senang hati. Sepasang lengan kurusnya bertengger pada bahu lebar di depannya. Keduanya terbuai dalam perasaan indah yang mereka cipatakan sendiri.

“Nghhh,” lenguhan pertama gadis cantik itu lolos.

Ranie serasa dibawa terbang menuju angkasa oleh Savero. Ciuman itu bagai candu walaupun ini kali pertamanya. Tidak berbeda jauh dengan gadisnya, lelaki tampan itu pun merasakan hal yang sama.

Perlahan, Savero menuntun Ranie agar berbaring di atas sofa sembari melanjutkan sesi berciuman mereka.

Ranie, gadis cantik itu, dengan kesadaran penuh atau tidak, tangannya bergerak melepas satu per satu kancing kemeja hitam yang dikenakan sang sahabat. Sontak, Savero menghentikan kegiatan mereka dan menatap gadisnya intens.

“Jangan, Ran,” cegahnya.

“Kenapa, Ver?” tanya Ranie penasaran.

“Aku takut gak bisa berhenti,” ucap Savero ragu.

Mendengarnya, gadis cantik itu menghela napas panjang. Telapak tangannya bergerak mengusap rangka wajah tegas di atasnya. Hanya dengan kecupan singkat, Savero sukses dibuat tersipu oleh sahabatnya.

“Jujur sama aku, Ver. Kamu suka sama aku?” tanya gadis cantik itu serius.

Savero, lelaki tampan itu terlalu malu untuk menjawab dengan lisan. Oleh karena itu, ia menganggukkan kepalanya beberapa kali untuk merespon pertanyaan yang dilontarkan Ranie. Meihatnya, gadis canik itu tertawa.

“Kamu gemesin banget, Ver. Kalo kamu suka sama aku, maka itu cukup buat aku,” jelasnya.

Di detik selajutnya, Ranie yang bergerak. Ia mendorong pelan kepala bagian belakang sahabatnya agar mendekat lalu kembali menciumnya. Keduanya memulai lagi permainan yang sempat tertuda. Kalimat yang dipaparkan gadisnya seolah penyemangat bagi Savero.

Lihat saja, bagaimana tangan lelaki tampan itu dengan penuh keyakinan bergerilya mengusap punggung sahabatnya. Tidak sampai di situ saja, tangan berotot itu juga menurunkan zipper gaun yang dikenakan Ranie.

“Mphh,” lirihnya gadis cantik itu saat Savero mengecupi ruang di sekitar dada sang gadis.

Padahal, baik bagi lelaki tampan itu maupun sahabatnya, ini adalah yang pertama. Tetapi, entah mengapa, Savero bagaikan seorang ahli dalam menikmati tubuh gadisnya. Ranie seolah diberikan surga dunia oleh sang sahabat.

“Ahh, Ver, nghh,” desah Ranie semakin menjadi.

Kala lelaki tampan itu melepas bra yang melingkar pada dada gadisnya untuk kemudian dengan ganas melahap sebelah payudara sang gadis sementara sebelahnya lagi ia remas lalu sesekali dipilin ujung yang mencuat itu.

Ranie menggigit bibir bagian bawahnya demi menetralisir rasa nikmat yang melingkupinya. “Vero, ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Desahan yang mengelukan namanya itu memberi energi tersendiri bagi Savero untuk terus bersinergi pada gadisnya. Ranie yang diliecehkan seperti itu tidak dapat menahan diri untuk diam di tempatnya.

Tubuh indah yang sudah setengah telanjang itu menggeliat di atas sofa. Tak jarang dengkul gadis cantik itu tidak sengaja, atau mungkin sengaja, mengenai kepemilikan sahabatnya.

“Nghh, Ran,” lirih lelaki tampan itu.

“Enak, Ver, teruh, ahh,” perintah Ranie.

Setelah puas bermain dengan sepasang gunung sintal yang mulai saat ini akan menjadi kesukaannya, Savero mengubah haluannya.

Lelaki tampan itu mencium perut rata sang gadis dan meninggalkan beberapa bekas kepemilikan di sana. Berikutnya, ciuman itu turun ke arah paha bagian dalam gadisnya.

“Ran, aku buka, ya?” tanya Savero meminta izin.

“Iya, Savero. Semuanya punya kamu,” ujar sang sahabat.

Dengan begitu, Savero melucuti kain terakhir yang menempel pada tubuh gadisnya. Ditatapnya aset itu dengan lamat seolah ia tidak pernah melihat pemandangan semenakjubkan itu. Hal itu sukses memunculkan rona merah di seluruh wajah cantik Ranie.

“Cantik, Ran,” puji lelaki tampan itu.

Hanya dengan satu kata kerja yang berbentuk sanjungan itu, jantung sang gadis dibuat kembali berdebar kencang tak karuan. Selain jago dalam memuaskan gadisnya, Savero juga andal membuat hati sahabatnya itu berdetak tidak sesuai dengan irama yang normal.

“Savero!” pekik Ranie kala sang sahabat memulai pergerakan dengan tiba-tiba.

Lelaki tampan itu melesatkan jari telunjuk serta jari tengahnya ke dalam bagian selatan gadisnya tanpa aba-aba. Ranie menengadahkan kepalanya kearah langit-langit ruang tengahnya.

Menurutnya, permainan yang dilakukan Savero pada vaginanya terasa seratus kali lebih nikmat dibanding sebelumnya.

“Ahh, Ver, ahh,” lirih Ranie.

Lihat saja, bagaimana gadis itu tidak berhenti melenguh sejak awal permainan panasnya dengan sang sahabat. Tanpa sadar, bersamaan dengan rasa nikmat yang melangit itu, Ranie menggoyangkan pinggulnya seolah meminta lebih. Peka dengan isyarat tersebut, Savero kembali bergerak.

“Nghh, ahh!” pekik gadis cantik itu lagi kala sang sahabat meneroboskan benda kenyal ke vagina gadisnya.

Lidah lelaki tampan itu bergerak lihai memutari klitoris sang gadis. Ranie semakin dibuat meracau olehnya. Sebab rasa nikmat yang semakin menyerang itu, Ranie akan menjemput pelepasannya sebentar lagi.

“Ver, ahh, aku mau, pipis,” ujar gadis cantik itu susah payah.

Mendengarnya, aksi jari dan lidah lelaki tampan itu semakin menggila. Jika boleh jujur, Ranie akan sangat senang hatinya apabila sesi panas seperti ini bisa terus berlangsung di masa mendatang bersama sang sahabat. Dapat dipastikan, gadis cantiknya itu akan mendapat titik ternikmatnya sebentar lagi.

“Ahh!” pekik Ranie.

Gadis cantik itu mendapatkan kenikmatan puncak. Napasnya terdengar menggebu. Tubuh indah yang sedari tadi menggelinjang, kini mulai meluruh.

Savero menarik jari beserta lidahnya dari vagina sang gadis. Dapat dilihat dengan jelas bahwa kaki Ranie bergetar hebat sebab permainan yang keduanya lakukan.

“Ranie perempuan hebat,” final Savero seraya mengecup kening gadisnya dalam waktu yang cukup lama.

Setelahnya, lelaki tampan itu menyampirkan selimut yang ia ambil dari kamar tidur tamu di dekat sana. Ia rentangkan kain tebal itu untuk menutupi tubuh polos gadisnya.

Savero berlutut di samping Ranie yang terkapar lemah di atas sofa. Tangannya bergerak mengusap pucuk gadisnya lembut hingga tertidur.

Savero terkekeh. “Capek, ya, Ran?” ledek lelaki tampan itu. “Kalo gini caranya, aku pengen cepet-cepet lamar kamu biar aku bisa liat kamu pas mau tidur sama bangun tidur setiap hari,” sambungnya.

Farelio menghela napasnya panjang. Lelaki tampan itu tengah duduk sembari menidurkan kepalanya di atas meja belajar yang menghadap langsung ke arah jendela.

Setidaknya, lelaki tampan itu bersyukur masih bisa mendapat sinar matahari serta makanan yang layak. Ya, walaupun tidak dapat dipungkiri selama beberapa pekan belakangan ini, hidupnya terasa tidak jauh beda dengan napi di penjara.

Pada siang menjelang sore hari itu, yang dapat lelaki tampan itu bayangkan hanyalah wajah cantik gadisnya. Farelio, lelaki tampan itu terhitung sudah hampir dua jam memandang foto Airin yang terpasang di meja belajarnya.

Perasaan ini sungguh menyiksa, yang lelaki tampan itu inginkan hanyalah gadisnya. Namun, mengapa perasaan dan keinginannya ini seolah sebuah dosa?

“Aku kangen kamu, Rin…,” lirih lelaki tampan itu.

Kemudian, Farelio bangkit dari posisinya. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya lalu menrebahkan tubuhnya di atas sana dengan sebelah tangannya masih menggenggam gambar cantik Airin.

Sementara itu, tangannya yang satu lagi ia biarkan mengulai di atas sepasang manik selegam malamnya. Lagi, lelaki tampan itu menghela napas panjang.

“Hidupku berat banget rasanya kalo gak ada kamu, Rin,” gumamnya.

Setelah cukup lama merasakan nyaman sekaligus sakit pada posisi tersebut, lelaki tampan itu kembali bangkit. Ia menyadarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Perlahan, tangan kirinya bergerak ke arah nakas untuk meraih sesuatu di dalam laci.

Terlihat sebuah benda kecil berwarna silver dengan ujung tajam yang Farelio genggam. Lelaki tampan itu mengeratkan pandangannya diiringi dengan tangan yang memegang benda itu semakin dekat ke arah nadi di pergelangan tangannya.

“Kalo gak ada kamu, aku gak akan bisa hidup, Rin. Jadi, lebih baik aku mati aja,” monolog Farelio.

Gerakan tangan lelaki tampan itu terlihat semakin pasti. Bagaimana ujung benda tajam itu semakin menghampiri urat tangannya yang menonjol sebab amarah yang tertahan. Dalam beberapa hari ini, Farelio merasa hidupnya kosong dan hampa.

Lelaki tampan itu seolah merasakan kehilangan seperti kepergian untuk kedua kalinya. Terkadang, dalam mimpinya, ia bertemu Mami yang selalu menjadi kesayangan dalam angannya dan kerap kali Airin muncul dalam bentuk sosok penyelamat di dalam mimpinya.

Entahlah. Farelio memiliki firasat bahwa mimpi-mimpinya itu adalah pertanda. Isyarat bahwa dirinya tidak layak untuk hidup dan dicintai.

Trauma yang ditinggalkan oleh sang ibu sangat membekas di dalam hatinya. Begitu juga dengan Airin yang ia lihat dalam beberapa waktu belakangan ini lebih memilih untuk mengabaikannya dan bergaul dengan siswa pindahan.

“I’ll send my love to you, Airin,” final Farelio.

TING!

Baru saja lelaki tampan itu akan melancarkan aksinya, suara notifikasi khas dari ponselnya menginterupsi. Bukan sembarangan suara, namun Farelio sengaja memasang nada dering yang berbeda, khusus untuk pesan dan panggilan masuk dari gadisnya.

“Airin…,” ujarnya.

Farelio dengan seksama membaca satu per satu pesan singkat yang Airin kiri untuknya. Tidak lain dan tidak bukan, pesan tersebut berisi kalimat penyemangat. Meskipun hubungan mereka semakin renggang, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat seberkas rasa yang hinggap di hati masing-masing.

Farelio, lelaki tampan itu membutuhkan Airin sebagai penopang dalam hidupnya. Namun, caranya menyayangi gadis cantik itu bisa dibilang cukup unik sehingga Airin merasa lelah dengan perasaan itu. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?

“Makasih, Sayang…,” ucap Farelio yang diiringi tetesan pertama dari air matanya yang tumpah.

DWARR!

Jantung Airin terkejut bukan main. Mungkin, jika tidak cekatan, semua menu masakan yang masih berada di dalam panci itu sudah melesat menuju apron dan juga lantai di dapurnya.

Suara Farelio yang membanting pintu utama apartemennya sangat dipertanyakan alasannya. Iblis apalagi yang merasuki lelaki tampan itu di siang hari seperti ini?

“Kamu apa-apaan sih, Rel?!” teriak Airin saat Farelio muncul di hadapannya.

“Kamu yang apa-apaan, Airin!” balas lelaki tampan itu tidak mau kalah.

Farelio berjalan dengan langkah mendentum untuk menghampiri gadisnya. Ia tarik sebelah pergelangan tangan Airin dan kemudian dihempasnya tubuh mungil itu ke arah tembok.

Airin, gadis cantik itu tentu saja meringis kesakitan. Lelaki manis kesayangannya itu tidak main-main dengan kekuatannya. Farelio, lelaki tampan itu menghimpit gadisnya.

Tidak ada jarak sedikit pun di antara keduanya. Bahkan, mereka dapat merasakan napas hangat dan menggebu satu sama lain.

“Kamu ‘kan tau aku gak suka liat kamu deket sama cowok lain, Rin,” jelas Farelio. “Terus kenapa kamu malah pergi sama anak baru itu?!” bentaknya.

Wajah tampan yang biasanya terlihat menawan itu, kali ini tampak menyeramkan. Sepasang manik selegam malamnya membelalak merefleksikan buncahan kemarahan.

Airin memalingkan wajahnya ke arah samping sebab suara lelakinya yang dengan tiba-tiba meninggi. Ia juga memejamkan matanya erat. Di siang nan panas hari itu, Farelio menggila di hadapan sang gadis.

Rasa cemburu dan iri menguasai hati dan pikirannya. Lelaki tampan itu sampai tidak bisa berpikir dengan jernih. Tidak ada tujuan lain selain memberi gadisnya beberapa pelajaran yang ia harap akan selalu diingat setiap waktu.

“Ask yourself, Farelio! Ke mana kamu pas event halloween kemaren?! Kamu tinggalin aku, ‘kan. Kamu gak berhak marah,” ujar Airin berapi-api.

Sepasang manik selegam senja yang biasanya terlihat berbinar indah itu, kini diselimuti oleh kekecewaan. Airin tidak mau dan tidak ingin berbohong tentang satu hal, Farelio, lelaki tampan kesayangannya.

Bagaimana Farelio selalu pergi ketika masalah menghampiri. Entah sebab rasa malu atau apa, selalu Airin yang menerima konsekuensinya.

“You say you would show me to the entire school that i am your girl, but what i seen just a liar babling about his lies again and again, Farel. Kamu pikir aku gak capek, ya? Kamu pikir kamu gak punya hati, ya? Iya, gitu, Farel?!” lanjut Airin.

Kini, pipi chubby gadis cantik itu sudah dibanjiri oleh air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya. Rahangnya mengeras. Bahkan, untuk menyelesaikan kalimat seperti itu saja, Airin butuh tenaga ekstra sebab napasnya yang tersendat.

“Kamu ngalihin topik pembicaraan kita, Airin,” dingin Farelio. “Itu gak mengubah fakta kalo kemaren kamu pergi sama cowok selain aku. Aku gak suka itu, Airin,” sambungnya.

Airin dapat mendengar jelas lelaki kesayangannya menekankan kata ‘pergi’ dan ‘cowok lain’ pada kalimatnya. Dua pasang manik itu saling memandang dengan intens seolah berperang. Untuk hari ini, hanya saat ini, Airin tidak mau lagi mengalah untuk perbuatan yang Farelio lakukan padanya.

“Kamu bajingan, Farelio,” final Airin.

PLAK!

Itu Farelio. Dengan kesadaran penuh, lelaki tampan itu menampar sebelah pipi sang gadis dengan tenaga khas rasa benci. Lihat saja, bagaimana Airin sampai menolehkan wajahnya ke arah samping sebab pukulan itu. Pipinya memerah padam.

“Coba bilang kayak gitu lagi, Airin. Aku mau denger kamu ngomong kayak gitu lagi,” ujar Farelio.

Airin, gadis cantik itu hanya diam. Ia tidak mau melanjutkan perdebatannya bersama Farelio. Sudah cukup untuk hari ini. Ia tidak memiliki tenaga lebih untuk meladeni lelaki kesayangannya itu.

Namun, saat gadis cantik itu hendak melengang pergi, Farelio lebih dulu menggenggam tangannya. Kemudian, lelaki tampan itu menarik sang gadis untuk menuju kamar tidurnya.

Di dalam sana, tanpa ragu, Farelio kembali membanting tubuh gadisnya, kali ini ke atas ranjang. Dengan gerakan yang tergesa-gesa, lelaki tampan itu melucuti semua pakaian yang dikenakan gadisnya untuk setelahnya ia melakukan hal yang sama.

“Take this, Airin. This is your penalty. I dare you to say the same things earlier after our session today,” jelas Farelio.

Di detik kemudian, yang terjadi adalah lelaki tampan itu mencium kasar gadisnya. Farelio benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya di atas tampat tidur sang gadis pada siang ini.

Lihat saja, bagaimana Airin berkali-kali memukul pundak lelaki kesayangannya sebab oksigennya yang mulai kehilangan fungsi. Tak lama setelahnya, Farelio menyudahi perang lidah bersama gadisnya.

“Kamu gila, ya, Rel?!” pekik Airin sembari menyeka bibirnya yang dipenuhi luka terbuka. Darah segar mengalir di sekitar mulutnya.

Hampir serupa dengan Airin, Farelio juga mengusap bibirnya yang dibanjiri darah miliki lawan mainnya. “As i said before, Airin. You deserve to be punished,” ucapnya.

Farelio, lelaki tampan itu kembali menyiksa gadisnya. Kali ini, ia kecupi seluruh ruang di sekitar leher dan dada gadisnya. Ia meninggalkan beberapa bekas kepemilikan yang tak tersembunyi.

Airin mencoba untuk memberontak. Beberapa kali gadis cantik itu mencakar punggung lebar Farelio. Tetapi, dengan sigap, lelaki tampan itu mengunci pergerakannya. Alhasil, yang bisa dilakukan gadis cantik itu hanyalah melirih kesakitan.

“Farel, nghh, it’s hurt,” kata gadis cantik itu.

Tentunya, Farelio tidak mengindahkan peringatan dari gadisnya. Ia tetap pada pendiriannya untuk menghukum Airin melalui hubungan intim sepihak.

Kini, lelaki tampan itu berubah haluan. Ia menciumi tubuh bagian bawah gadisnya, mulai dari paha bagian dalam sampai ke bibir vaginanya.

“Farel, ahhh, stop!” racau Airin.

Bukannya berhenti, aktivitas lelaki manis itu malah semakin menjadi. Tanpa melalukan foreplay yang rampung, Farelio meneroboskan kepemilikannya dalam sekali hentak ke dalam milik sang gadis.

“Farel!” pekiknya.

Airin berusaha mati-matian untuk menahan rasa sakit itu sendirian. Ia meremat bantal dan kain yang melapisi tempat tidurnya dengan sangat erat. Farelio seolah dirasuki iblis saat menggempur gadisnya.

PLAK!

Lelaki tampan itu baru saja menampar sebelah payudara gadisnya. Pastinya, pukulan itu menimbulkan bekas kemerahan di sana. Airin, siang itu dilingkupi oleh rasa sakit yang teramat sangat.

“Rel, please, nghh, stop, ahh, you hurting me,” racau Airin.

Airin menangis sejadi-jadinya. Rasa kecewa dan rasa sedih itu bercampur di dalam sanubarinya. Farelio sukses merobek-robek hatinya bak kertas putih bekas.

Entah mengapa, di sela-sela siksaan itu, yang Airin dapat ingat hanyalah canda tawanya bersama Alby beberapa hari lalu. Bagaimana lelaki manis itu seolah menghilangkan rasa sakit hatinya terhadap Farelio.

Ya, memang benar. Alby selalu muncul kala gadis cantik itu merasa gundah, saat hatinya sakit sebab lelaki kesayangannya. Di waktu yang kritis itu, Alby ada di sampingnya.

“Akhh!” pekik Farelio.

Lelaki tampan itu menjemput pelepasannya. Farelio menyemburkan spermanya ke dalam rahim sang gadis. Itu memang tujuannya. Airin semakin dibuat sendu hatinya oleh lelaki kesayangannya.

“Farel…,” lirih Airin di dalam tangisannya.

“Silakan masuk, Nona Cantik,” ujar Alby sembari tersenyum.

Mendengarnya, Airin terkekeh. “Makasih, By,” balasnya ramah.

Sebelah tangan kekar lelaki tampan itu bergerak menjaga agar pucuk kepala gadisnya tidak terbentur atap mobil klasiknya. Selepasnya, Alby berlari kecil memutari mobilnya untuk kemudian masuk ke dalam sana.

“Mau kemana nih?” tanya Alby seraya menghidupkan mesin mobilnya.

Airin mengangkat kedua bahunya. “Gak tau. ‘Kan tadi lo yang ajak gua jalan,” jawabnya.

Jika boleh jujur, Airin dibuat menghangat hatinya untuk kesekian kali atas perlakuan yang Alby berikan padanya. Bagaimana lelaki manis itu terus memanjakan Airin dengan sikapnya yang juga manis. Juga, Alby selalu membuatnya tertawa dengan tingkah-tingkah konyolnya.

“Bener juga, ya. ‘Kan tadi gua yang gantian ngajak lo jalan. Tapi, jujur nih, ya, Rin, jantung gua rasanya gak karuan banget,” jelas lelaki tampan itu.

“Loh, kenapa? Lo sakit, By?” tanya Airin serius.

“Bukan sakit sih. Gua kelewat seneng aja bisa jalan sama lo. Kayak ini tuh salah satu daftar bucket list yang ada di hidup gua dan terwujud,” enteng Alby.

“Sialan lo, By. Gua kira lo sakit,” ujar Airin sembari memukul pelan lengan kekar lelaki di samping kanannya.

“Kita makan dulu, yuk!” ajak lelaki tampan itu.

Tepat setelahnya, Alby menancap gas mobilnya dari depan pekarangan warung Bi Ijah. Entah ke mana, Airin juga tidak tahu pasti.

Namun, yang ia tahu pasti, ia ingin menghabiskan siang menuju sore hari ini dengan lelaki manis penuh guyon yang sudah memenuhi pikiran serta hatinya dalam beberapa waktu belakangan ini.

“Gua liat lo tadi di kantin. Lo udah makan siang ‘kan, Rin?” tanya Alby seraya mengangkat tuas rem tangan kala mobilnya berhenti di persimpangan yang lampu lalu lintasnya berwarna merah.

Airin mengangguk. “Udah,” singkatnya.

“Yaudah, berarti kita jajan aja,” final lelaki manis itu. “Eh, tapi, kalo lo masih laper bilang aja, ya, Rin,” lanjutnya.

“Iyaa, Alby,” jawab Airin.

Dengan begitu, setelah lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau, Alby kembali menancap gas mobilnya untuk menuju ke sekolah dasar terdekat.

Menurutnya, jajanan kaki lima paling menggiurkan adalah jajanan kaki lima yang dijual di sekitar sana.

Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya, hanya ada lagu yang mengalun dari music tape yang terpasang di audio mobil klasik tersebut.

Sesekali, Alby ikut menyenandung dengan musik kesukaannya. Dan seringkali, Airin mencuri pandang pada lelaki manis yang duduk di sebelahnya.

Entah mengapa, duduk di bangku penumpang tidak pernah terasa semenyenangkan dan semenenangkan ini sebelumnya, setidaknya bagi Airin.

Lihat saja, gadis cantik itu tidak bisa berhenti menyimpulkan garis cantik itu pada wajahnya yang juga cantik.

“Nah, gitu dong! Senyum. ‘Kan cantik diliatnya,” ujar Alby tiba-tiba.

Airin, gadis cantik itu tentunya salah tingkah. Sudah tidak terhitung berapa kali lelaki manis itu menyanjungnya dengan kata ‘cantik’. Anehnya, tidak terasa seperti gombalan, melainkan memang diucapkan secara tulus.

“Emangnya gua gak pernah senyum, ya, By?” tanya gadis cantik itu.

Alby berdehem. “Bukan gak pernah, Rin, tapi jarang. Gua gak tau kenapa orang secantik lo bisa jarang senyum. Padahal, kalo lo senyum, jangankan Karel, kepala sekolah sampe petugas kebersihan juga bisa suka sama lo,” ledeknya.

“Hiper tau gak, By,” balas Airin.

“Lo kalo senyum tuh keliatan cantik, Rin,” ucap Alby tanpa memalingkan pandangannya. Mobil klasik itu tengah melakukan manuver untuk memutari jalan di persimpangan untuk kemudian melaju memasuki sebuah gang.

Pada siang menuju sore kala itu, Airin terpaku pada pemandangan indah di sampingnya, yaitu Alby yang sedang mengendarai mobil klasiknya. Sepasang manik selegam senja itu sampai tidak berkedip seolah tidak ingin melewatkan hal tersebut barang sedetik pun.

“Heh? Lo kenapa, Rin? Kok bengong jadinya,” tegur lelaki manis itu.

Mendengarnya, Airin menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk menyadarkan dirinya. “Hah? Enggak kok. Gua gak apa-apa,” bantahnya.

Berbeda dengan Airin, lelaki manis itu terkekeh. “Lucu,” gumamnya pelan.

Tak lama setelahnya, sepasang siswa sekolah menengah atas itu sudah sampai di tujuan, tepatnya di Sekolah Dasar 01 Pelita Hati.

Alby meraih dompetnya yang terletak di saku belakang celana seragamnya kala sepasang maniknya menangkap sang gadis yang sedang membeku di tempat.

“Rin,” panggil Alby.

Yang dipanggil namanya menoleh ke sumber suara. “Ini sekolah gua dulu, By,” jelas Airin.

Alby mengangkat sebelah alisnya. “Lo serius? Gua dulu sekolah di sana,” ucap lelaki manis itu sembari menunjuk ke arah gedung sekolah yang berjarak tak jauh dari gedung sekolah sang gadis. “Tuh di SD 02, sama Hana,” sambungnya.

Ya, bangunan Sekolah Dasar 01 Pelita Hati sangat berdekatan dengan bangunan Sekolah Dasar 02 Pelita Hati. Bisa dibilang, kedua sekolah tersebut berada di satu rumpun yang sama. Keduanya bahkan tidak tahu fakta tersebut.

Setelahnya, gadis cantik dan lelaki manis itu melengang keluar dari mobil dan mulai mencari target jajanan kaki lima yang akan mereka santap.

Ada banyak sekali jenis jajanan yang ditawarkan. Ini pilihan yang sulit. Rasanya ingin sekali Airin memborong semua makanan yang ada di sana.

“Lo dulu sekolah di sini, By?” tanya Airin mengalihkan rasa bimbangnya.

“Iya. Sebenernya gua dulu tuh tinggal di sini, tapi pas Papa dapet jabatan baru harus pindah. Terus, belom lama ini, Papa dapet jabatan lagi dan kebetulan harus pindah lagi ke sii. Ya, jadinya balik. Kalo tau sekolah gua sampingan sama sekolah lo, kali gua gak akan mau diajak pindah, Rin,” jelas Alby.

“Gombal terus, By. Emangnya gak capek?” sindirgadis cantik itu.

“Awas, Rin!” ucap Alby sembari merangkul gadisnya agar mendekat padanya.

Baru saja sebuah kendaraan roda dua berjalan melewati mereka. Padahal, baik Airin maupun Alby berjalan di atas trotoar yang memang diperuntukan untuk pejalan kaki. Lihat saja, pengendara itu bahkan tidak meminta maaf dan malah mengomeli keduanya.

Alby berdesis. “Ini trotoar, Pak!” pekiknya tanpa melepaskan dekapannya.

“Sabar, By,” ujar Airin.

“Lo gak apa-apa?” tanya lelaki manis itu sembari menundukkan pandangan pada gadis cantik di dalam rangkulannya. Dua pasang manik itu saling bertemu untuk memandang satu sama lain. Namun, di detik berikutnya, Alby melepaskan dekapannya. “Sorry, Rin,” ucapnya.

“Gua gak apa-apa kok, By. Makasih, ya,” kata gadis cantik itu sembari tersenyum. Melihatnya, Alby ikut tersenyum. Lihatlah, betapa manis seorang Alby ketika tersenyum. Bagaimana tidak, maniknya menyipit seolah ikut tersenyum.

“Lo mau jajan apa?” tanya Alby.

“Cilok,” singkat Airin.

“Oke,” final lelaki manis itu.

Sesuai dengan rencana, keduanya melanjutkan perjalanan mereka untuk berburu jajanan kaki lima yang lezat khas sekolah dasar.

Untuk makanan seperti cilok pun, terdapat banyak jenisnya di sana. Akhirnya, pilihan Airin jatuh kepada cilok original khas kota hujan.

“Bang, ciloknya dua bungkus, ya,” ujar Alby.

“Oke, Mas,” jawab sang pedagang.

“Bang, kalo saya punya pacar cantik, Abang mau kasih saya diskon cilok gak?” tanya Alby menggoda penjual jajanan kaki lima di depannya.

“Aduh, Mas. Nanti saya rugi dong kalo gitu,” balas sang penjual ramah. “Tapi, gak apa-apa deh, Mas. Pacarnya emang beneran cantik kok.”

Mendengarnya, Alby tertawa puas. “Berarti Abang jangan kasih diskon ke saya sekarang, Bang. Nanti aja, soalnya dia belom jadi pacar saya. Doain, ya, Bang,” jelas lelaki tampan itu.

Entah bergurau ataupun serius, Airin hanya dapat tersenyum lebar menanggapi percakapan lelaki manis itu bersama pedagang cilok di depan sekolahnya.

Sebenarnya, gadis cantik itu sangat berharap hari ini tidak kunjung selesai atau tidak memiliki akhir. Airin tidak ingin menyudahi harinya dengan Alby. Mungkin, Alby Valla Bagasditya mulai mengambil hati seorang Airin Herning Kamarana.