scuffle

“Den Farel, Bi Ijah tinggal dulu ke rumah, ya. Bibi mau masak untuk makan siang. Nanti, kalo ada yang dateng suruh ke rumah Bibi aja, ya, Den,” jelas wanita paruh baya itu ramah kepada salah satu langganannya.

Mendengarnya, lelaki tampan itu tersenyum. “Iya, Bi,” ucapnya.

“Makasih, ya, Den,” balas Bi Ijah. “Den Farel jangan lupa makan, wajah gantengnya jadi pucet gitu. Nanti Bibi ajak makan siang di rumah Bibi aja, ya. Mau, Den?” tawarnya.

Farelio menggelengkan kepalanya sembari kedua telapak tangannya bergerak melambai. “Gak usah, Bi. Saya gak apa-apa kok. Makasih banyak, ya, Bi,” jawab lelaki tampan itu lembut.

Setelah percakapannya dengan Farelio, Bi Ijah melengang pergi menuju rumahnya yang berjarak dari warung tempatnya berjualan, masih berada di sekitaran sekolah menengah atas itu juga.

Di siang hari yang mendung disertai dengan angin yang berhembus pelan, Farelio mengatupkan kedua tangannya. Lelaki tampan itu sangat merefleksikan perasaan bimbang.

Ya, apalagi jika bukan perihal gadisnya. Farelio menyesal tidak menggunakan waktu dua tahun belakang ini untuk mengenal baik gadis kesayangannya. Ia terlihat gelisah.

Selain rindu yang melanda, lelaki tampan itu juga merasa terpukul hatinya. Ingin sekali Farelio memberikan hadiah kecil untuk Airin. Mengingat dirinya tidak pernah memberikan apapun kepada gadisnya, selain rasa nikmat.

“Airin sukanya apa?” monolognya.

Tak lama berselang, terdengar suara langkah yang mendekat. Farelio mengangkat pandangannya dan yang ia temukan ialah sesosok yang tidak terduga tetapi ia harapkan kehadirannya.

Bukan Airin, melainkan Alby. Lelaki tampan itu menatap intens pada teman sekolahnya yang sudah sejak lama ingin ia temui.

“Bu Ijah mana?” tanya Alby.

“Bi Ijah, bukan Bu Ijah,” balas Farelio dingin.

Alby terkekeh kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang terdengar tak asing. Sepasang manik indahnya menyipit. “Jawabannya persis kayak Airin,” ucapnya.

“Apa lo bilang?” tanya Farelio tidak santai. Lelaki tampan itu bangkit dari posisi duduknya.

“Gua gak bilang apa-apa,” elak sang lawan bicaranya. “Bi Ijahnya ke mana?” tanya Alby lagi.

“Lagi pulang ke rumahnya,” jelas Farelio.

Mendengarnya, Alby mengangguk beberapa kali tanda mengerti. Setelahnya, lelaki manis itu mengambil posisi duduk pada kursi kayu yang sebelumnya ditempati oleh Farelio.

Melihatnya, Farelio melakukan hal yang sama. Entah mengapa, rasa penasaran dalam hati lelaki tampan itu semakin membuncah. Hubungan seperti apa yang tengah dijalani siswa pindahan ini bersama gadisnya.

Tapi, tiba-tiba saja rasa penasaran itu hilang dalam sekejap. Menurut Farelio, ada hal yang lebih penting untuk dipusingkan sekarang. Ya, sekiranya hadiah apa yang akan Airin suka atau mungkin lelaki tampan itu bisa memberi gadisnya sesuatu yang sangat ia butuhkan, perhatian misalnya.

“Coklat atau bunga, ya?” gumam Farelio.

Hanya dengan dua kata benda yang diucapkan teman di sebelahnya itu mampu membuat Alby menoleh dengan semangat. “Lo bilang apa? Coklat atau bunga, ya. Buat siapa? Airin, ya?” tanya lelaki manis itu.

Farelio berdecak sebal. “Lo gak perlu tau,” singkatnya.

“Jelas, lo perlu tau,” balas Alby. “Airin itu alergi sama serbuk sari. Tapi, dia suka makanan manis. Jadi, kalo mau kasih sesuatu, mending lo kasih coklat aja ke dia,” jelasnya.

Sepasang manik selegam malam itu menatap benci pada lelaki manis yang duduk di sebelahnya. Keduanya saling beradu pandang dan tidak ada yang mau mengalah, seolah Farelio dan Alby tengah memperbutkan Airin yang tak kasat mata.

Di detik berikutnya yang terjadi adalah Farelio mencegkram kerah kemeja sekolah Alby sembari bangkit dari posisi duduknya.

Tentunya, lelaki manis itu sedikit terangkat tubuhnya. Walaupun begitu, Alby sebisa mungkin untuk tidak ikut larut ke dalam amarah temannya. Ia mencoba untuk tenang.

“Tau apa lo tentang Airin? Lo bukan siapa-siapanya. Jadi, gak usah sok tau,” desis Farelio.

Mendengarnya, Alby tertawa remeh. “Mending lo tanya sendiri ke orangnya,” ucapnya santai.

BUAGH!

Tidak ingin bersabar lebih lama lagi, Farelio meninju sebelah wajah tampan Alby sampai temannya itu terhempas ke tanah. Alby menyeka luka kecil yang timbul di ujung bibirnya. Ia menyeringai.

Sepasang manik indahnya menatap tidak suka pada Farelio yang berdiri menjulang di hadapannya. Apa-apaan orang ini, batinnya.

“Lo kenapa deh, Rel? Padahal, gua cuma ngasih tau informasi penting tentang Airin ke lo, tapi lo semarah ini. Kenapa? Lo iri sama gua karena gua lebih kenal Airin. Iya, Rel?” tanya Alby.

Beberapa kalimat itu sukses memberikan pasokan batu bara khas amarah yang membuat amarah Farelio semakin berapi-api. Sepasang manik selegam malam yang biasanya bersinar indah itu, kini berubah drastis.

Dari tatapan itu seolah mengartikan Alby akan mati hari itu juga. Setelahnya, Fareio kembali bergerak. Lelaki tampan itu menimpa tubuh besar sang lawan untuk kemudian kembali melayangkan pukulan lain.

BUAGH!

Satu pukulan.

BUAGH!

Dua pukulan.

Dan saat Farelio akan melayangkan pukulan ketiga, sepasang lengan ringkih menghentikan pergerakannya. “Farel!” pekik Airin.

Dengan begitu, Farelio baru sepenuhnya sadar dari emosi negatif yang menyelimutinya. Airin menarik sebelah tangan berotot itu agar bangun dari tubuh Alby.

Di sisi lain, Hana ikut membantu sepupunya untuk bangkit lalu duduk di tempat. Ia beberapa kali menepuk pipi Alby sebab dirasa lelaki manis itu mulai kehilangan kesadarannya.

“Alby,” panggil Hana.

“Tenang, Cil. Gua masih hidup,” gurau Alby di sela-sela atmosfer menegangkan di sana.

“Kita pulang,” singkat Airin.

Selepasnya, gadis cantik itu menggandeng tangan lelaki kesayangannya untuk pergi dari kerumunan. Sementara itu, Alby yang wajahnya dipenuhi luka terbuka hanya dpat memandang nanar pada gadis pujaan hatinya yang perlahan menghilang dari pandangannya sembari menggenggam tangan Farelio. Melihatnya, Alby berdecak seraya menyeringai.

“Lo gak apa-apa, By?” tanya Hana khawatir.

“Enggak, gua kenapa-napa. Hati gua sakit, Cil,” jelasnya.