confession

“Ma, Ranie pergi dulu, ya. Mau ke lapangan kompleks,” ujar gadis cantik itu setengah berteriak sembari berjalan melalui sang ibu yang tengah sibuk memerhatikan layar ponsel di sofa ruang tamu.

“Mau ke mana, Ran?” balas sang ibu dengan kembali bertanya. Wanita paruh baya yang kecantikannya masih seperti remaja umur 20an itu meluruhkan sedikit kacamata baca yang bertengger di hidungnya.

“Ke lapangan kompleks, Mama,” jawab Ranie malas.

“Ke lapangan kompleks? Cantik begini. Ngapain?” ucapnya seolah menginterogasi.

Sang ibu menelisik penampilan putri tunggalnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Untuk seseorang yang akan berolahraga, pakaian yang Ranie kenakan terlalu berlebihan.

Dengan casual dress selutut berwarna navy blue yang kontras dengan kulitnya yang seputih susu serta rambutnya yang ia biarkan tergerai menutupi kedua bahunya, Ranie terlihat sangat menawan sore hari itu.

“Ya, emangnya kenapa? Anak semata wayang Mama ‘kan emang cantik. Kenapa heran?” elak Ranie.

“Oh, Mama tau. Kamu pasti mau ketemu Juna, anaknya Melisa. Iya ‘kan? Ngaku kamu,” sergah wanita paruh baya itu.

Mendengarnya, gadis cantik itu memutar bola matanya. Pada akhirnya, sang ibu mengetahui rencana yang sebenernya. Memang, insting seorang ibu tidak akan pernah salah. Sekarang, mau tidak mau, ingin tidak ingin, Ranie harus mengakuinya.

Belum sempat gadis cantik itu melontarkan penjelasan, sang ibu sudah mendahuluinya. “Mama tuh gak suka sama Juna, Ran. Anaknya sombong banget, persis kayak ibunya. Mama tuh gak pernah mau ke abang tukang sayur kalo Melisa belanja di sana juga,” jelas sang ibu.

Lagi, baru saja gadis cantik itu hendak membuka mulutnya untuk merampungkan kalimat yang sedari tadi tertahan di ujung lidahnya, wanita kesayangannya itu kembali menyela. “Kamu mending sama Savero deh, Ran. Dia anaknya baik, lembut, ramah, sopan juga. Orang tuanya juga Mama sama Papa kenal,” sambungnya.

“Udah belom? Ini mama ngomongnya udah apa belom? Nanti Ranie mau ngomong diputus lagi,” ujar Ranie sembari menatap sang ibu.

“Udah,” singkat wanita cantik itu.

“Ranie sama Savero ‘kan udah temenan dari kecil, Ma. Ya, gak mungkin aja antara Ranie sama Savero ada yang nyimpen rasa, kayak gak mungkin aja gitu,” jelas gadis cantik itu.

“Nih, Mama kasih tau, ya, Ran,” ucap sang ibu sembari menarik pelan tangan anak gadisnya agar duduk di sampingnya. “Gak ada yang gak mungkin. Dulu Mama sama Papa tuh musuhan, kamu tau? Akhirnya, bareng-bareng juga. Mama sama Papa yang saling gak suka aja bisa bersatu, apalagi kamu sama Savero yang dari kecil udah ke mana-mana bareng,” lanjutnya.

Sejenak, gadis cantik putri sulung dari Keluarga Dhanurendra itu menyatu dalam pikirannya. Otak mungilnya mencoba untuk memproses kalimat penjelasan dari wanita cantik kesayangannya.

Ah, tapi sepertinya itu hal yang mustahil. Apalagi, sahabat tampannya itu merupakan lelaki yang paling digemari para gadis disekolahnya. Tidak menutup kemungkinan Savero menaruh hati pada salah satu penggemarnya, bukan?

“Ah, udah deh, Ma. Ranie pusing. Ranie mau pergi dulu. Bye, Ma,” final gadis cantik itu. Sebelum melengang pergi, ia menyempatkan diri untuk mengecup sebelah pipi sang ibu.

Sementara itu, sang ibu hanya menggeleng merespon tingkah anak sulungnya. “Kamu kayak Papamu banget, Ran. Keras kepala. Gak akan berhenti sampe ke titik akhir,” gumamnya.

Tak lama berselang, setelaha kepergian Ranie, seseorang mengetuk pintu utama rumah megah nan mewah itu. Sang pemilik rumah melirik ke arah pintu.

Siapa yang bertamu di sore hari seperti ini, batin sang ibu. Wajah cantik itu terlihat berseri kala melihat sesosok lelaki tampan yang berdiri menjulang di beranda rumahnya.

“Selamat sore, Ma,” ujarnya. Itu Savero Ghazanvar, sahabat dari Ranindya Alister Dhanurendra atau bisa dibilang anak kesayangan Mamanya Ranie setelah anak kandungnya sendiri.

“Eh, Savero! Ya ampun, Nak. Mama kangen sama kamu,” ujar wanita paruh baya itu seraya memeluk erat anak laki-laki di hadapannya.

“Vero juga kangen sama Mama,” balasnya disertai senyuman manis. Lelaki tampan itu mengusap pelan punggung wanita yang ada di dalam dekapannya.

“Baru aja Ranie keluar, Ver. Kamu masuk dulu, ya. Mama buatin minum. Kamu udah makan?” tanyanya bertubi-tubi sesaat setelah melepaskan pelukannya.

Sepasang ibu dan lelaki tampan yang ia sudah anggap seperti anak sendiri itu melengang masuk ke dalam rumah.

Wanita paruh baya itu mempersilakan Savero untuk duduk sementara ia menyiapkan minuman dingin di dapur. Perlu diketahui bahwa Savero memiliki panggilan yang sama seperti Ranie memanggil ibunya, ya, dengan sebutan ‘Mama’.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, baik Ayah dan Bunda yang merupakan orang tua Savero maupun Papa dan Mama orang tua dari Ranie, keduanya sudah menjalin hubungan persahabatan sejak lama.

“Mama, ini ada masakan dari Bunda,” ujar lelaki tampan itu. Savero menyusul ibu dari sahabat kesayangannya itu ke arah dapur.

“Masukin ke kulkas aja, Sayang. Nanti Mama angetin kalo Papa sama Ranie pulang,” jelasnya.

Sejenak, lelaki tampan itu diam membeku dalam posisinya. “Ranie lagi keluar, ya, Ma?” tanya Savero basa-basi seraya memasukkan beberapa menu makanan ke dalam lemari pendingin.

“Iya, tadi katanya mau ke lapangan kompleks, mau ketemu sama Juna deh kayaknya,” lanjut wanita cantik itu.

Mendengarnya, lelaki tampan itu hanya menganggukkan kepalanya beberapa tanda menegerti. Bukannya tidak tahu, Savero malah tahu pasti apa tujuan dari sang sahabat berkunjung ke lapangan bersama itu. Padahal, Ranie sendiri bukan tipe manusia yang untuk bergerak.

Sore itu, Savero tenggelam bersama pikirannya terkait Ranie yang akan menyatakan cintanya pada Juna, sang kakak kelas. Lamunan lelaki tampan itu sempat terhenti kala dering nyaring sebuah ponsel menyeruak di seluruh sudut dapur kediaman Keluarga Dhanuredra.

“Halo, Yah,” ucap sang ibu.

Setelahnya, wanita paruh baya itu berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua rumahnya, mungkin ke arah kamar tidurnya. Savero kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti.

Setelah selesai, lelaki tampan itu mendudukkan dirinya di atas sofa empuk di ruang tamu. Jemarinya sibuk mengetikkan beberapa pesan untuk dikirim kepada Ranie.

“Savero Sayang,” ucap sang ibu yang tiba-tiba muncul.

“Iya, Ma,” sahutnya.

“Mama jemput Papa dulu, ya. Katanya mobilnya mogok di jalan tol mau pulang ke sini. Vero kalo mau makan masak aja atau pesen makan di ojol aja, ya, Sayang. Uangnya ada di laci dapur,” jelas wanita cantik itu.

“Savero anter aja, ya, Ma?” tawar lelaki tampan itu.

“Gak usah, Sayang. Nanti Mama sekalian mau ke supermarket sama pesen kue buat Neneknya Ranie, untuk ulang tahunnya. Vero di rumah aja, tungguin Ranie pulang,” ujarnya.

Dengan begitu, Savero mengangguk mengerti. Setelah menyalami wanita cantik kesayangan setelah ibu kandungnya itu, ia mengantar Mama sampai di depan rumah.

Ia melambai sembari tersenyum manis ke arah mobil sedan putih yang perlahan mulai menghilang dari indera penglihatannya itu.

Savero hendak masuk ke dalam rumah besar nan megah itu saat sepasang telinganya mendengar jelas suara tangisan seorang perempuan yang samar-samar mendekat. Sepasang manik selegam malamnya memantau ke segala arah. Tak lama, seorang gadis cantik muncul menghampirinya.

“Ranie,” ucap Savero.

Gadis cantik itu berjalan gontai seraya kedua bahunya yang bergetar hebat sebab tangisannya. Melihatnya, Savero panik setengah mati. Ia berlari kecil ke arah Ranie. Apa yang terjadi pada sahabat kesayangannya itu?

“Kamu kenapa, Ran?” tanya lelaki tampan itu tak santai.

Ranie, yang ditanyai seperti itu bukannya menjawab, tangisnya malah semakin kencang. Refleks, Savero mengusap pucuk kepalanya untuk kemudian membawanya ke dalam pelukannya. Tangisan sedu itu terdengar sempat terdengar tertahan.

“Kita masuk dulu, ya. Tenangin diri kamu di dalem rumah,” ujar Savero.

Setelahnya, sepasang sahabat itu berjalan masuk ke dalam rumah Keluarga Dhanurendra. Di atas sofa, keduanya duduk saling berhadapan. Tidak lupa, Savero menyeduh teh herbal hangat untuk melegakan tenggorokan gadisnya yang sedari tadi tidak mau berhenti menangis.

“Ranie, berhenti dulu nangisnya. Nanti dada kamu sakit,” ucap lelaki tampan itu lembut. Tangannya tidak berhenti mengusap sebelah bahu Ranie.

“Aku…ditolak…Kak Juna, Ver,” gumam gadis cantik itu terbata.

Mendengarnya, Savero menghela napas panjang. Lelaki tampan itu sebenarnya sudah memprediksi kejadian ini. Bagaimana tidak, Juna, sang kakak kelas, saat ini tengah menjalin hubungan dengan salah satu siswi program pertukaran pelajaran dari Tiongkok.

Keduanya baru menjadi sepasang kekasih selama beberapa hari. Jadi, wajar saja tidak banyak yang tau. Terlebih lagi seorang Arjuna Hamamammi bukan termasuk ke dalam kategori siswa populer yang informasinya diminati banyak orang.

“Udah, Ranie. Jangan nangis lagi,” kata Savero menahan pilu.

Sejujurnya, melihat sang sahabat menitihkan air mata adalah kelemahan bagi Savero. Baginya, Ranie menangis adalah sakit hati terbesarnya setelah mengetahui apabila kedua orang tuanya sakit.

Senyum manis yang biasa terukir bahkan hanya dengan guyonan sepele itu, hari ini tidak nampak. Jika Ranie sakit hati, maka Savero akan merasakan hal yang sama.

“Aku…suka banget…sama…Kak Juna, Ver,” lirih gadis cantik itu.

“Tuhan itu baik, Ranie. Tuhan gak akan kabulin keinginan kamu kalo itu buruk. Berarti, Kak Juna emang bukan buat kamu,” jelas Savero.

Seolah mantra ajaib, setelah mendengar kalimat tersebut, tangisan gadis cantik itu langsung mereda. Sepasang bahu yang bergetar hebat itu kini berhenti. Manik selegam senja yang masih dienangi air mat aitu berbinar indah menatap sang sahabat.

“Iya, ya, Ver,” ucap Ranie.

“Iya dong, Ran. Jangan nangis lagi, ya. Ranie ‘kan perempuan hebat,” puji lelaki tampan itu dengan senyuman tulus serta maniknya yang menyipit.

Melihatnya, hati Ranie menghangat. Di situasi apapun, di keadaan apa saja, Savero selalu ada di sampingnya. Tidak hanya saat suka, melainkan saat duka juga. Gadis cantik itu harus berterima kasih kepada Tuhan karena sudah mengirimkan malaikat dalam bentuk Savero Ghazanvar.

“Makasih, ya, Vero. Aku gak tau deh gimana jadinya kalo gak ada kamu,” kata gadis cantik itu lembut.

Di detik selanjutnya, dengan kesadaran penuh, Ranie memeluk erat sahabatnya seolah mengirimkan rasa terima kasih serta menyalurkan rasa sedihnya tadi.

Sementara itu, yang didekap hanya dapat membatu di tempatnya. Untuk pertama kali di dalam hidupnya, Savero dipeluk oleh Ranie.

“Ran,” panggil lelaki tampan.

Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat untuk kemudian melepaskan dekapannya. Wajah cantik yang sebelumnya terlihat sendu, sekarang kembali berseri.

Ranie sudah dapat mengulas senyumnya lagi. Berbeda dengan gadisnya, Savero mematung dalam posisi duduknya. Beberapa kali maniknya mengerjap demi mengembalikan kewarasannya.

Ranie terkekeh. “Kamu kenapa deh, Ver? Kok bengong gitu? Baper, ya, aku peluk,” ledeknya.

Menengarnya, Savero menatap sinis ke arah sang sahabat. Lelaki tampan itu menyeringai seram. Savero pada sore menjelang malam hari itu seperti berubah menjadi pribadi yang lain, yang belum pernah Ranie lihat sebelumnya.

“Ver,” panggil gadis cantik itu agak ragu.

Savero, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak menggubris ucapan sahabatnya. Ia menggeser posisi duduknya agar lebih mendekat ke arah Ranie, semakin dekat dan semakin dekat. Sampai pada akhirnya, wajah tampan itu berhadapan dengan wajah cantik kesukaannya.

Sepasang manik selegam senja itu membulat. Ranie tidak pernah sedekat ini dengan sang sahabat. Entah mengapa, jantungnya berdegup lebh kencang dari biasanya.

“Ver,” panggil Ranie lagi.

“Hm?” balas Savero hanya dengan deheman singkat.

“Ini kita terlalu deket,” ujarnya.

“Ya, emangnya kenapa?” enteng lelaki tampan itu.

Selanjutnya, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara sepasang sahabat itu. Keduanya seolah larut di dalam atmosfer yang kian nyaman dan memanas.

Savero yang sibuk memandang sahabat kesayangannya itu, sedangkan Ranie yang mati-matian menahan debar aneh di dalam dadanya.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi ialah Savero mencium bibir gadisnya lembut. Ranie, gadis cantik itu sempat terhenyak. Sepasang manik selegam senjanya kembali membelalak, bahkan semakin lebar.

Namun, tidak ada perlawanan yang dilakukan oleh gadis cantik itu. Ciuman itu seolah memberikan efek penyembuhan bagi hati yang baru saja tersakiti.

Tak lama setelahnya, Savero menyudahi acara mencium sahabatnya. Sepasang manik selegam malam itu mengerjap beberapa kali. Ia sedikit memundurkan jaraknya. “Maaf, ya, Ran. Aku gak tahan. Kamu hari ini keliatan cantik banget,” jelas lelaki tampan itu.

Sesaat, Ranie terbuai dalam rasa haru sebab sang sahabat. Gadis cantik itu tersenyum hangat. “Gak apa-apa, Vero. Lanjutin aja,” balasnya.

Entah apa yang merasuki Ranie kala itu. Kalimat pujian yang dilontarkan sahabatnya terdengar sangat memancing. Mendengarnya, Savero tersenyum puas. Ia tidak menyangka bahwa momen ini akan datang juga kepada dirinya dan juga gadisnya.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Savero kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat ragu untuk ia lanjutkan. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, lelaki tampan itu menarik tengkuk gadisnya agar masuk lagi ke dalam ciumannya.

Seolah memiliki hasrat yang sama, Ranie menyambut ciuman itu dengan senang hati. Sepasang lengan kurusnya bertengger pada bahu lebar di depannya. Keduanya terbuai dalam perasaan indah yang mereka cipatakan sendiri.

“Nghhh,” lenguhan pertama gadis cantik itu lolos.

Ranie serasa dibawa terbang menuju angkasa oleh Savero. Ciuman itu bagai candu walaupun ini kali pertamanya. Tidak berbeda jauh dengan gadisnya, lelaki tampan itu pun merasakan hal yang sama.

Perlahan, Savero menuntun Ranie agar berbaring di atas sofa sembari melanjutkan sesi berciuman mereka.

Ranie, gadis cantik itu, dengan kesadaran penuh atau tidak, tangannya bergerak melepas satu per satu kancing kemeja hitam yang dikenakan sang sahabat. Sontak, Savero menghentikan kegiatan mereka dan menatap gadisnya intens.

“Jangan, Ran,” cegahnya.

“Kenapa, Ver?” tanya Ranie penasaran.

“Aku takut gak bisa berhenti,” ucap Savero ragu.

Mendengarnya, gadis cantik itu menghela napas panjang. Telapak tangannya bergerak mengusap rangka wajah tegas di atasnya. Hanya dengan kecupan singkat, Savero sukses dibuat tersipu oleh sahabatnya.

“Jujur sama aku, Ver. Kamu suka sama aku?” tanya gadis cantik itu serius.

Savero, lelaki tampan itu terlalu malu untuk menjawab dengan lisan. Oleh karena itu, ia menganggukkan kepalanya beberapa kali untuk merespon pertanyaan yang dilontarkan Ranie. Meihatnya, gadis canik itu tertawa.

“Kamu gemesin banget, Ver. Kalo kamu suka sama aku, maka itu cukup buat aku,” jelasnya.

Di detik selajutnya, Ranie yang bergerak. Ia mendorong pelan kepala bagian belakang sahabatnya agar mendekat lalu kembali menciumnya. Keduanya memulai lagi permainan yang sempat tertuda. Kalimat yang dipaparkan gadisnya seolah penyemangat bagi Savero.

Lihat saja, bagaimana tangan lelaki tampan itu dengan penuh keyakinan bergerilya mengusap punggung sahabatnya. Tidak sampai di situ saja, tangan berotot itu juga menurunkan zipper gaun yang dikenakan Ranie.

“Mphh,” lirihnya gadis cantik itu saat Savero mengecupi ruang di sekitar dada sang gadis.

Padahal, baik bagi lelaki tampan itu maupun sahabatnya, ini adalah yang pertama. Tetapi, entah mengapa, Savero bagaikan seorang ahli dalam menikmati tubuh gadisnya. Ranie seolah diberikan surga dunia oleh sang sahabat.

“Ahh, Ver, nghh,” desah Ranie semakin menjadi.

Kala lelaki tampan itu melepas bra yang melingkar pada dada gadisnya untuk kemudian dengan ganas melahap sebelah payudara sang gadis sementara sebelahnya lagi ia remas lalu sesekali dipilin ujung yang mencuat itu.

Ranie menggigit bibir bagian bawahnya demi menetralisir rasa nikmat yang melingkupinya. “Vero, ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Desahan yang mengelukan namanya itu memberi energi tersendiri bagi Savero untuk terus bersinergi pada gadisnya. Ranie yang diliecehkan seperti itu tidak dapat menahan diri untuk diam di tempatnya.

Tubuh indah yang sudah setengah telanjang itu menggeliat di atas sofa. Tak jarang dengkul gadis cantik itu tidak sengaja, atau mungkin sengaja, mengenai kepemilikan sahabatnya.

“Nghh, Ran,” lirih lelaki tampan itu.

“Enak, Ver, teruh, ahh,” perintah Ranie.

Setelah puas bermain dengan sepasang gunung sintal yang mulai saat ini akan menjadi kesukaannya, Savero mengubah haluannya.

Lelaki tampan itu mencium perut rata sang gadis dan meninggalkan beberapa bekas kepemilikan di sana. Berikutnya, ciuman itu turun ke arah paha bagian dalam gadisnya.

“Ran, aku buka, ya?” tanya Savero meminta izin.

“Iya, Savero. Semuanya punya kamu,” ujar sang sahabat.

Dengan begitu, Savero melucuti kain terakhir yang menempel pada tubuh gadisnya. Ditatapnya aset itu dengan lamat seolah ia tidak pernah melihat pemandangan semenakjubkan itu. Hal itu sukses memunculkan rona merah di seluruh wajah cantik Ranie.

“Cantik, Ran,” puji lelaki tampan itu.

Hanya dengan satu kata kerja yang berbentuk sanjungan itu, jantung sang gadis dibuat kembali berdebar kencang tak karuan. Selain jago dalam memuaskan gadisnya, Savero juga andal membuat hati sahabatnya itu berdetak tidak sesuai dengan irama yang normal.

“Savero!” pekik Ranie kala sang sahabat memulai pergerakan dengan tiba-tiba.

Lelaki tampan itu melesatkan jari telunjuk serta jari tengahnya ke dalam bagian selatan gadisnya tanpa aba-aba. Ranie menengadahkan kepalanya kearah langit-langit ruang tengahnya.

Menurutnya, permainan yang dilakukan Savero pada vaginanya terasa seratus kali lebih nikmat dibanding sebelumnya.

“Ahh, Ver, ahh,” lirih Ranie.

Lihat saja, bagaimana gadis itu tidak berhenti melenguh sejak awal permainan panasnya dengan sang sahabat. Tanpa sadar, bersamaan dengan rasa nikmat yang melangit itu, Ranie menggoyangkan pinggulnya seolah meminta lebih. Peka dengan isyarat tersebut, Savero kembali bergerak.

“Nghh, ahh!” pekik gadis cantik itu lagi kala sang sahabat meneroboskan benda kenyal ke vagina gadisnya.

Lidah lelaki tampan itu bergerak lihai memutari klitoris sang gadis. Ranie semakin dibuat meracau olehnya. Sebab rasa nikmat yang semakin menyerang itu, Ranie akan menjemput pelepasannya sebentar lagi.

“Ver, ahh, aku mau, pipis,” ujar gadis cantik itu susah payah.

Mendengarnya, aksi jari dan lidah lelaki tampan itu semakin menggila. Jika boleh jujur, Ranie akan sangat senang hatinya apabila sesi panas seperti ini bisa terus berlangsung di masa mendatang bersama sang sahabat. Dapat dipastikan, gadis cantiknya itu akan mendapat titik ternikmatnya sebentar lagi.

“Ahh!” pekik Ranie.

Gadis cantik itu mendapatkan kenikmatan puncak. Napasnya terdengar menggebu. Tubuh indah yang sedari tadi menggelinjang, kini mulai meluruh.

Savero menarik jari beserta lidahnya dari vagina sang gadis. Dapat dilihat dengan jelas bahwa kaki Ranie bergetar hebat sebab permainan yang keduanya lakukan.

“Ranie perempuan hebat,” final Savero seraya mengecup kening gadisnya dalam waktu yang cukup lama.

Setelahnya, lelaki tampan itu menyampirkan selimut yang ia ambil dari kamar tidur tamu di dekat sana. Ia rentangkan kain tebal itu untuk menutupi tubuh polos gadisnya.

Savero berlutut di samping Ranie yang terkapar lemah di atas sofa. Tangannya bergerak mengusap pucuk gadisnya lembut hingga tertidur.

Savero terkekeh. “Capek, ya, Ran?” ledek lelaki tampan itu. “Kalo gini caranya, aku pengen cepet-cepet lamar kamu biar aku bisa liat kamu pas mau tidur sama bangun tidur setiap hari,” sambungnya.