jubilee (1)
Setelah kejadian Farelio dan alat bantu seks itu, yang dapat Airin lakukan hanyalah menangis. Hatinya seolah tersayat bilah bambu tajam. Untuk kesekian kalinya, harapannya dipatahkan oleh lelaki tampan itu. Kini, Airin tengah duduk di beranda gedung apartemennya sembari memeluk dirinya sendiri. Kepalanya yang terasa berat ia tenggelamkan di antara kedua kaki yang menumpu tubuhnya.
Tidak ada siapapun di sana selain petugas keamanan. Bagi Pak Bagus, satpam yang bertugas di bangunan unit tempat gadis cantik itu tinggal, pemandangan Airin yang sedang sesenggukan adalah hal biasa.
Lelaki paruh baya itu memandangi Airin dengan tatapan iba. Menurutnya, gadis cantik itu masih terlalu muda untuk terus-menerus menanggung ujian dari Tuhan. Ia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Airin.
Selagi Pak Bagus sibuk menjaga gadis cantik yang sering sekali membelikannya seporsi nasi goreng kala hujan datang dari kejauhan, sebuah mobil datang lalu berhenti tepat di depan posnya. Pak Bagus mulai merasa tak asing dengan mobil klasik itu.
“Eh, Nak Alby. Cari Nak Airin, ya?” tanya lelaki paruh baya itu lembut saat Alby menghampirinya.
“Iya, Pak Bagus. Itu Airin, ya?” jawab Alby dengan kembali bertanya. Hatinya harap-harap cemas.
“Iya, Nak. Itu Nak Airin. Bapak juga gak tau kenapa Nak Airin nangis. Untung Nak Alby dateng. Tolong dihibur, ya, Nak. Bapak gak tega liatnya,” jelas Pak Bagus seraya mengusap sebelah bahu lebar lawan bicaranya.
Mendengarnya, Alby menyimpulkan senyum semenenangkan mungkin baru kemudian ia membalas. “Iya, Pak. Bapak tenang aja. Tugas saya buat bantu Airin bahagia.”
Setelahnya, Alby melangkahkan kakinya menuju beranda apartemen. Perlahan namun pasti, ia pastikan langkahnya tak menganggu momen menyedihkan dari gadis cantik yang ia sayangi.
“Airin,” panggil lelaki manis itu lembut. Alby mendudukkan dirinya di samping Airin.
Mendengar ada sebias suara yang mengalunkan namanya, Airin mengangkat kepala. Ia menoleh ke arah samping, ada Alby di sana. Sudah menjadi kebiasaan bagi gadis cantik itu untuk melihat sosok Alby saat lara datang menyelimuti hatinya.
“Lagi sedih, ya?” tanya Alby. “Sorry, ya, kalo gua ganggu waktu nangis lo,” sambungnya.
“Lo ngapain ke sini, By?” tanya Airin dengan napasnya yang tersendat.
Sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang gadis, lelaki manis itu menyempat diri untuk tersenyum. “Mau ngucapin lo selamat ulang tahun. Lo ulang tahun ‘kan hari ini? Sekalian gua mau kasih hadiah, tapi gua mau nungguin lo selesai nangis dulu,” jelasnya.
Voila! Kalimat lembut yang terdengar bak buih ombak di lautan itu secara ajaib membuat Airin berhenti menangis. Selalu saja begini, di mana ada kesedihan, di situ ada Alby. Anehnya, Alby tak pernah merasa keberatan sebab hal itu, malah Airin yang terkadang merasa tak enak hati pada lelaki manis penuh humor itu.
“Udah selesai nangisnya?” tanya Alby.
Tidak ingin menjawab secara lisan, gadis cantik itu hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dengan begitu, Alby kembali menyunggingkan senyumnya. Lubuk hatinya mulai merasa lega kala gadis kesayangannya sudah berhenti menangis.
“Lo kalo lagi sedih jangan lupa nangis, ya, Airin. Itu hal yang wajar kok, gak apa-apa bagi manusia untuk nangis ketika mereka lagi sedih,” ujar lelaki manis itu. “Tapi, ada satu hal yang mau gua bilang ke lo. Sejujurnya, hati gua sakit ketika liat lo nangis, Rin, makanya sebisa mungkin gua bantu lo buat bahagia. Itu udah jadi tugas buat gua,” lanjut Alby.
Sepasang manik selegam senja itu menatap sepasang manik lainnya. Kumpulan kalimat penenang yang barusan Alby ucapkan padanya seolah obat yang meredakan rasa sakit dalam hatinya. Lelaki manis itu terdengar begitu tulus. Saat di dekatnya, Airin merasakan nyaman yang teramat sangat.
“Makan, yuk. Pasti lo belom makan, ‘kan? Gua ajak lo ke tempat makan enak langganan gua,” ajak Alby.
Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, akhirnya keduanya melengang pergi dari kawasan apartemen gadis cantik itu. Alby melajukan mobilnya melalui kota metropolitan yang padat kendaraan. Mereka disuguhkan pemandangan gedung tinggi dan lampu jalanan yang bersinar kuning terang selama dalam perjalanan.
Lelaki manis itu benar-benar menepati janjinya untuk membawa Airin ke tempat makan yang dulu pernah menjadi andalannya, bahkan sampai sekarang saat dirinya kembali ke kampung halaman. Di malam yang hampir larut ini, memang paling lezat menyantap makanan berkuah. Oleh sebab itu, Alby memesan dua porsi soto daging untuknya dan juga Airin.
Di dalam rumah makan yang tidak terlalu ramai pengunjung itu, Alby dan Airin menyantap hidangan masing-masing dengan khidmat. Sesekali, lelaki tampan itu mencuri pandang pada gadis cantik di sebelahnya. Menurut Alby, Airin terlihat paling cantik ketika sedang menikmati makanan lezat.
“Enak, Rin?” tanya Alby.
Sembari menyuap sesendok lagi nasi, gadis cantik itu menganggukkan kepalanya. “Enak, By. Pantes ini tempat jadi langganan lo, makanannya enak,” puji Airin.
Mendengarnya, lelaki manis itu terkekeh. “Makan yang banyak, ya, Airin. Lo paling cantik kalo lagi makan enak,” ujarnya.
Seketika, pergerakannya terhenti. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Airin merasa tidak asing dengan kalimat yang satu ini. Seseorang pernah mengatakan hal serupa padanya. Namun, ia tidak bisa mengingat jelas siapa sosok itu.
Berbeda dengan sang gadis, Alby sudah menghabiskan santapan malamnya. Sedangkan, Airin, ia masih setengah jalan. Gadis cantik itu benar-benar akan menikmati kuah soto beserta isinya dengan sangat hati-hati. Sebisa mungkin ia resap sari-sari kenikmatan dari makanan khas Betawi itu.
“Rin,” panggil Alby. “Gua mau tanya sesuatu sama lo. Boleh?” tanyanya.
“Boleh. Tanya aja. Tapi gua sambal makan, ya,” balas Airin.
“Iya. Besok kalo mau ke sini lagi, bilang aja, ya, nanti gua temenin,” tawar lelaki manis itu.
Mendengarnya, Airin mengacungkan jempolnya. “Mau tanya apa lo?” lanjutnya.
“Kenapa garpu yang gua pake gak bisa ngambil kuah soto yang gua makan, ya?” ujar Alby sembari memainkan alat makan dan sisa kuah sotonya.
Hampir saja Airin tersedak daging kala indera pengedengarannya menangkap stimulus aneh berupa pertanyaan konyol yang dilontarkan Alby. “Bercanda lo, By,” ucapnya.
“Gua nanya. Lo jawab aja sesuai hati lo,” balas lelaki manis itu.
“Ya, karena itu bukan sendok,” jawab Airin singkat.
Alby menjentikkan jarinya. Sepertinya, jawaban Airin memenuhi ekspektasinya. Setelah menyesap the manis hangat pesanannya, ia membalas pernyataan gadisnya. “Berarti mau sampe kapanpun juga kuah sotonya gak akan bisa diambil ‘kan, ya?”
Dengan cepat, Airin mengangguk merespon kalimat Alby. “Iya.”
“Jadi, sekuat apapun garpu gak akan pernah bisa jadi sendok ‘kan, Rin? Sama kayak dunia, sekuat apapun kita berusaha tapi kalo bukan tempatnya gak akan bisa dipaksain,” jelas lelaki manis itu.
Airin berani bersumpah, kalimat yang dilontarkan Alby saat itu sangat menusuk ke dalam sanubarinya. Bukan dalam sisi negatif, melainkan itu tamparan baginya. Sekuat apapun harapannya akan suatu hal, jika memang bukan untuknya maka hal itu tidak akan datangnya.
Terkadang manusia lupa mereka hanya makhluk biasa yang mempunyai harapan berlebih terhadap dunia tetapi melupakan fakta bahwa semesta juga punya cara sendiri untuk bekerja. Memiliki keinginan pasti boleh, namun keinginan itu memiliki dua jawaban, yakni ‘iya’ atau ‘tidak’.