Kepulangan

Dengan langkah yang tergesa, Faya melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan rumah dengan interior kuno itu. Tidak kumuh, namun tidak terlihat modern juga. Namun, bangunan tersebut tetap nyaman untuk ditinggali, terutama bagi Gibran. Lelaki tampan itu tersenyum sampai menampilkan deretan giginya. Kedua tangannya terbentang lebar.

“Gibran,” lirih Faya saat dirinya masuk ke dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukn itu.

Gibran, lelaki tampan itu tentunya merasakan hal serupa. “Halo, Faya. Apa kabar?” tanyanya.

“Aku kangen kamu, Gib,” ujar wanita cantik itu seraya mengeratkan pelukannya.

Oleh sebab itu, Gibran tersenyum. Tangannya bergerak mengusap pelan pucuk kepala wanitanya. “Kita ngobrol di dalem aja, ya. Di luar lagi dingin. Aku gak mau alergimu kambuh,” jelasnya.

Keduanya berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu utamanya. Sesampainya di dalam sana, Faya dapat dengan jelas mencium aroma melati dari aroma diffuser yang dipasang Gibran untuknya. Ternyata, selain susu coklat hangat, Gibran masih mengingat kesukaan Faya yang satu ini.

“Harum,” ucap Faya sambil tersenyum manis.

Gibran lebih memilih untuk tidak membalas pernyataan Faya dengan kata-kata. Lelaki tanpan itu hanya menyimpulkan senyum terbaiknya, senyum yang hanya ia berikan untuk Faya. Kemudian, Gibran berjalan menuju dapur untuk mengambil secangkir coklat hangat dan es kopi hitam miliknya.

“Udah gelas keberapa hari ini, Gib?” tanya Faya lembut. Ia menyesap coklat panasnya.

Gibran terlebih dahulu menyedot racikan kopi yang dibuatnya. “Baru ini, Fay,” jawabnya.

“Jangan lupa apa kata dokter, ya, Gib,” ujar Faya lagi.

Gibran terkekeh kecil. Ia letakkan gelas berisi minuman pahit itu di hadapannya untuk kemudian menatap lamat sepasang manik selegam senja yang selalu berbinar terang untuknya.

“Aku gak pernah dengerin apa kata dokter, Fay. Aku dengerin apa kata kamu. Kalo kamu larang aku minum kopi, ya, aku gak akan minum,” enteng lelaki tampan itu. “Selain Bunda, cuma omongan kamu yang aku percaya,” lanjutnya.

Mendengarnya, Faya tertawa remeh. Gibran tidak pernah berubah semenjak empat tahun lalu ia meninggalkannya. Gibran tetap menjadi lelaki tampan dengan senyuman khas serupa kelinci yang selalu mengganggu pikirannya, terutama saat bersama dengan Asrhav.

“Ashrav,” ucap Gibran. “Kalo kamu di sini, dia gimana?” tanyanya ragu.

Ada satu nama yang disebut oleh Gibran, Faya menoleh. Ia tahu, cepat atau lambat, lelaki kesayangannya itu akan bertanya perihal kabar saudara kembarnya. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gibran.

“Aku gak bisa, Gib. Aku gak bisa sama Ashrav,” jelas Faya.

Wanita cantik itu tidak mampu memandang manik selegam malam favoritnya. Tiba-tiba saja, skenario menyakitkan terlintar di sanubarinya, tentang bagaimana Faya menyakiti Gibran dulu. Perlahan, ia menitihkan air mata.

“Maafin aku, Gib,” lirih wanita cantik itu.

Dengan sigap, Gibran merengkuh wanitanya agar masuk ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Tidak peduli seberapa sakit luka yang ditinggalkan, Gibran akan selalu menyambut kedatangan Faya.

“Jangan sedih, Ay,” ucap Gibran menenangkan.

Akhirnya, panggilan manis itu terucap dari mulutnya. Faya dibuat cukup tenang hatinya kala indera pendengarannya menangkap stimulus yang tidak asing. Wanita cantik itu berusaha untuk menghentikan tangisannya sebab perasaan yang campur aduk.

Gibran melonggarkan pelukannya. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Faya. Lelaki tampan itu banyak melempar senyum pada wanitanya hari ini. Ia tak mampu menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah. Faya kembali padanya.

“Ay,” panggil Gibran. “Aku gak peduli seberapa besar rasa sakit yang kamu sebabkan ke aku, itu gak akan merubah sedikit pun rasa sayang aku ke kamu. Dari pertama kali aku ketemu kamu di kampus, aku udah jatuh cinta sama kamu dan selamanya akan begitu. Aku gak peduli apa kata orang. Aku sayang sama kamu. Kita mulai dari awal, ya.”