ailing

Farelio menghela napasnya panjang. Lelaki tampan itu tengah duduk sembari menidurkan kepalanya di atas meja belajar yang menghadap langsung ke arah jendela.

Setidaknya, lelaki tampan itu bersyukur masih bisa mendapat sinar matahari serta makanan yang layak. Ya, walaupun tidak dapat dipungkiri selama beberapa pekan belakangan ini, hidupnya terasa tidak jauh beda dengan napi di penjara.

Pada siang menjelang sore hari itu, yang dapat lelaki tampan itu bayangkan hanyalah wajah cantik gadisnya. Farelio, lelaki tampan itu terhitung sudah hampir dua jam memandang foto Airin yang terpasang di meja belajarnya.

Perasaan ini sungguh menyiksa, yang lelaki tampan itu inginkan hanyalah gadisnya. Namun, mengapa perasaan dan keinginannya ini seolah sebuah dosa?

“Aku kangen kamu, Rin…,” lirih lelaki tampan itu.

Kemudian, Farelio bangkit dari posisinya. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya lalu menrebahkan tubuhnya di atas sana dengan sebelah tangannya masih menggenggam gambar cantik Airin.

Sementara itu, tangannya yang satu lagi ia biarkan mengulai di atas sepasang manik selegam malamnya. Lagi, lelaki tampan itu menghela napas panjang.

“Hidupku berat banget rasanya kalo gak ada kamu, Rin,” gumamnya.

Setelah cukup lama merasakan nyaman sekaligus sakit pada posisi tersebut, lelaki tampan itu kembali bangkit. Ia menyadarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Perlahan, tangan kirinya bergerak ke arah nakas untuk meraih sesuatu di dalam laci.

Terlihat sebuah benda kecil berwarna silver dengan ujung tajam yang Farelio genggam. Lelaki tampan itu mengeratkan pandangannya diiringi dengan tangan yang memegang benda itu semakin dekat ke arah nadi di pergelangan tangannya.

“Kalo gak ada kamu, aku gak akan bisa hidup, Rin. Jadi, lebih baik aku mati aja,” monolog Farelio.

Gerakan tangan lelaki tampan itu terlihat semakin pasti. Bagaimana ujung benda tajam itu semakin menghampiri urat tangannya yang menonjol sebab amarah yang tertahan. Dalam beberapa hari ini, Farelio merasa hidupnya kosong dan hampa.

Lelaki tampan itu seolah merasakan kehilangan seperti kepergian untuk kedua kalinya. Terkadang, dalam mimpinya, ia bertemu Mami yang selalu menjadi kesayangan dalam angannya dan kerap kali Airin muncul dalam bentuk sosok penyelamat di dalam mimpinya.

Entahlah. Farelio memiliki firasat bahwa mimpi-mimpinya itu adalah pertanda. Isyarat bahwa dirinya tidak layak untuk hidup dan dicintai.

Trauma yang ditinggalkan oleh sang ibu sangat membekas di dalam hatinya. Begitu juga dengan Airin yang ia lihat dalam beberapa waktu belakangan ini lebih memilih untuk mengabaikannya dan bergaul dengan siswa pindahan.

“I’ll send my love to you, Airin,” final Farelio.

TING!

Baru saja lelaki tampan itu akan melancarkan aksinya, suara notifikasi khas dari ponselnya menginterupsi. Bukan sembarangan suara, namun Farelio sengaja memasang nada dering yang berbeda, khusus untuk pesan dan panggilan masuk dari gadisnya.

“Airin…,” ujarnya.

Farelio dengan seksama membaca satu per satu pesan singkat yang Airin kiri untuknya. Tidak lain dan tidak bukan, pesan tersebut berisi kalimat penyemangat. Meskipun hubungan mereka semakin renggang, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat seberkas rasa yang hinggap di hati masing-masing.

Farelio, lelaki tampan itu membutuhkan Airin sebagai penopang dalam hidupnya. Namun, caranya menyayangi gadis cantik itu bisa dibilang cukup unik sehingga Airin merasa lelah dengan perasaan itu. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?

“Makasih, Sayang…,” ucap Farelio yang diiringi tetesan pertama dari air matanya yang tumpah.