peek

“Banyak banget, ya, By. Padahal kita mau jenguk Airin doang, bukan jenguk satu apartemennya,” sindir Hana.

“Harus totalitas dong, Cil. Kalo sama orang yang disayang gak boleh perhitungan,” balas lelaki manis itu.

“Gua liat-liat dari buah tropis sampe buah impor juga ada di buah bawaan lo,” ucap Hana lagi.

Yang diujar begitu hanya membalas dengan sentilan di kening mungil dan mulus lawan bicaranya. Sepasang sepupu itu baru saja keluar dari toko buah yang ada di perempatan di dekat sekolah mereka. Sesuai rencana awal, Alby dan Hana akan berkunjung ke tempat tinggal Airin untuk memeriksa keadaannya.

Berbeda dengan Hana, Alby kelewat cemas semenjak dirinya mengetahui bahwa gadis cantik pujaan tidak memberi kabar baik padanya maupun pada teman terdekatnya. Airin yang diketahui sudah melewatkan sekolah selama beberapa hari belakangan sukses membuat lelaki manis penuh humor itu kepalang khawatir.

Setelah mendapat bingkisan buah yang diinginkan, keduanya melengang pergi dari sana untuk menuju apartemen Airin. Sesaat sepasang sepupu itu sampai di pelataran parkiran gedung apartemen, mereka disambut baik oleh Pak Bagus sang petugas keamanan.

“Sore, Pak Bagus,” sapa Alby.

“Sore, Pak,” ucap Hana serupa.

“Saya mau jenguk Airin, Pak. Airin udah beberapa hari ini gak masuk sekolah,” jelas lelaki manis itu.

Pak Bagus yang mendengar pernyataan demikian hanya dapat menganga heran. “Owalah. Pantesan, ya, Nak. Bapak udah beberapa hari ini juga gak pernah liat Nak Airin pergi sama pulang sekolah. Bapak gak tau kalo Nak Airin sakit. Semoga Nak Airin cepat sembuh, ya. Tolong sampaikan salam Bapak sama Nak Airin,” ujarnya.

“Iya, Pak. Nanti saya sampaikan. Saya ke atas dulu, ya, Pak. Mari,” ucap Alby diakhiri dengan senyuman ramah.

Selepasnya, Alby dan Hana mulai masuk ke dalam bangunan tempat tinggal Airin. Mereka menaiki lift untuk sampai ke lantai yang di tuju. Pada awalnya, tidak ada percakapan signfikan yang terjadi antara sepasang sepupu itu. Alby sibuk dengan perasaan cemasnya dan Hana dengan rasa cemburunya.

Setidaknya, sampai gadis mungil itu mulai penasaran dan bertanya pada sang sepupu kesayangan. “Satpamnya kenal sama lo, By?” tanya Hana.

“Iya,” singkat Alby. “Gua ‘kan sering anter sama jemput Airin,” lanjutnya.

Mendengarnya, Hana memutar bola matanya jengah dan itu bertepatan dengan dentingan bel dari elevator tersebut yang menandakan bahwa mereka telah sampai di lantai yang dimaksud. Suasana di lorong unit tersebut terasa cukup mencekam mengingat para penghuninya yang masih melakukan aktivitas di luar.

Baik Alby maupun Hana hanya dapat merasakan atmosfir yang sunyi nan senyap. Sesampainya di depan unit tempat tinggal Airin, sembari masih memeluk keranjang yang berisi buah-buahan yang tadi dibeli, Alby menekan tombol bel yang tersedia di sana.

TING! TONG!

Satu kali dan tidak ada jawaban.

TING! TONG!

Sekali lagi dan masih tidak ada respon yang terdengar.

TING! TONG!

Alby menekan tombol bel seraya mengetuk daun pintunya, namun hasilnya tetap nihil.

“Coba lo telpon, Cil,” perintah Alby.

Dengan begitu, Hana merogoh saku rok seragam sekolahnya untuk mengambil ponselnya. Ia menelusuri kontak dengan nama Airin lalu membuat panggilan atas nama tersebut. Tidak hanya Hana, tetapi Alby juga mendengar suara itu, suara nada dering yang terus berbunyi sebab pihak seberang tidak menjawab panggilannya.

“Gak diangkat, By,” ucap Hana. “Mungkin Airin lagi berobat kali,” sambungnya.

Alby hanya dapat menghela napas panjang. Seketika sepasang bahunya meluruh. Pikirannya kalut dan hatinya gelisah. Ke mana gadis cantik dambaan hatinya selama beberapa hari ini? Keberadaan Airin sekarang mampu membuat seorang Alby tidak dapat berpikir jernih.

“Pulang, yuk, By. Guru privat gua udah mau dateng ke rumah. Buah sama nomor ujiannya dititip aja di pos satpam,” ujar gadis mungil itu. “Sabar, ya, By,” lanjut Hana seraya mengusap bahu lebar di sampingnya.

“Yaudah,” singkat Alby.

Akhirnya, sepasang sepupu itu memutuskan untuk pulang. Alby melangkah lebih dulu untuk kemudian diekori oleh Hana. Namun, di waktu yang bersamaan, pada saat Hana hendak membalikkan tubuhnya, indera pendengarannya menangkap sebuah stimulus berupa suara seorang perempuan yang sedang menangis.

Oleh sebab itu, bulu kuduknya langsung merinding. Melihat Alby yang langkahnya hampir mendekati elevator, Hana dengan segera menyusulnya. Dalam sekejap, jantungnya berdegup dengan sangat kencang, aliran darah di tubuhnya berdesir cepat, serta napasnya ikut menggebu.

Tangan gadis mungil itu bergerak menekan bel dengan tanda panah ke bawah itu berkali-kali yang ada di samping pintu elevator. Alby sadar sepupunya itu tiba-tiba bertingkah aneh. Ia mengulurkan tangannya untuk menghentikan pergerakan kompulsif yang dilakukan Hana.

“Heh, Cil. Lo kenapa?” tanya lelaki manis itu sembari menggenggam tangan mungil yang dipenuhi dengan keringat dingin.

“Hah? Apa?” balas Hana dengan kembali bertanya. Ia menolehkan kepalanya pada lelaki manis yang lebih tinggi yang berdiri di sebelahnya.

“Lo kenapa? Lo keringet dingin ini,” jelas Alby. Tangan besar yang tengah menggandeng tangan yang lebih kecil itu terangkat.

“Oh…,” ucap gadis mungil itu terbata. “Gua gak apa-apa,” dustanya.

Mendengarnya, Alby mengangkat sebelah alisnya. Ia tahu ada yang tidak beres dengan sepupu kesayangannya ini. “Aneh lo,” ledeknya.

Setelah elevator sampai dan membuka pintunya secara otomatis, dengan cepat Hana menarik tangan Alby untuk masuk ke dalamnya. Gadis mungil itu melakukan hal serupa pada tombol bertuliskan lower ground di dalam tabung besi tersebut tersebut. Dengan begitu, paru-parunya baru dapat bernapas sewajarnya.

“Itu gua gak salah denger ‘kan? Masa iya ada suara cewek nangis dari kamar Airin? Itu hantu atau…,” batin Hana sengaja menggantung perkataannya sendiri.