dernier

“Dua tahun aku deket sama kamu, aku baru tau ini tempat kamu nongkrong sama Alan-Vino,” sergah Airin selagi maniknya menginvestigasi setiap sudut dari markas tempat The Celestial’s biasa berkumpul.

Di salah satu gedung bertingkat yang berjarak tak jauh dari sekolah itu dipenuhi dengan keperluan musik ala anak band, seperti gitar, bass, drum, speaker serta standing microphone yang tersusun rapi di sudut ruangan.

Farelio, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak menghiraukan pernyataan gadisnya. Ia mempersilakan Airin untuk duduk di salah satu sofa besar berlapis kulit berwarna hitam yang ada di sana.

“Kamu mau minum apa, Rin?” tanya Farelio.

Mendengarnya, Airin tersenyum masam sembari menundukkan pandangannya. Indera pendengarannya terasa asing saat mendengar lelaki kesayangannya itu melontarkan sesuatu yang manis dan lembut padanya.

“Sorry, Rel. It feels kinda weird for me,” balas gadis cantik itu.

“It’s totally okay, Airin. I knew it,” ujar Farelio.

“Better for you to make it fast, Farelio. Aku gak punya waktu banyak,” tegas Airin.

Sepasang manik selegam senja yang biasa berbinar itu kini hilang. Di sore menjelang malam hari itu, Farelio benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda dari gadisnya. Ia tidak mengetahui pasti apa itu, tetapi ia tahu bahwa perubahan itu berkaitan dengan perasaan mereka satu sama lain.

“Ah, iya, i’m sorry. Aku bakal langsung ke intinya aja,” katanya. “I love you, Airin.”

Mendengar ada tiga kata keramat yang menyeruak masuk ke dalam telinganya, Airin bergeming. Wajah cantiknya menunjukkan ekspresi yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa jelaskan. Perasaannya berkecamuk kala itu.

Ia tersenyum sebelum membalas perkataan Farelio. “Di mana, Rel?”

“What do you mean by ‘di mana’, Airin?” balas Farelio dengan sebelah alisnya yang terangkat.

“You said you love me, right, Farelio?” tanya Airin memastikan.

“Of course. I love you and it will always,” ujar lelaki tampan itu.

“Then show me the love you mean by that,” ucapnya. “Selama ini aku gak pernah bisa liat, aku gak pernah bisa sentuh, aku gak pernah bisa denger, aku gak pernah bisa ngerasain apa yang kamu maksud dengan ‘cinta’, Farelio.”

“Kamu tau persis gimana cara aku mencintai kamu, Airin,” tegas Farelio.

Airin menghela napas panjang. Sebisa mungkin gadis cantik itu menahan tangisnya. “Kamu bener, Rel. Aku bisa kok liat, sentuh, denger, dan ngerasain cinta kamu yang ‘unik’ itu.”

Farelio mengusap wajahnya kasar. Sebelumnya, ia tidak pernah mengira bahwa proses mencintai dan dicintai akan menjadi serumit ini. “Terus aku harus gimana, Rin? Aku gak bisa kehilangan kamu. Aku bisa berubah kalo kamu mau, tapi aku mohon jangan tinggalin aku. I will never live if it’s without you.”

“I’m so sorry, Farelio. Apapun yang kamu ucapkan sekarang ke aku….” Airin sengaja menggantung kalimatnya. Ia tatap sepasang manik selegam malam yang pernah menjadi kesukaannya, lalu ia berkata. “Aku cuma mau bilang semuanya terlambat. Aku gak bisa lanjutin ‘kita’.”

“Rin, please…,” pinta Farelio. “I beg you.”

Di detik berikutnya, sebelah tangan lelaki tampan itu bergerak menggenggam tangan yang lebih kecil. Farelio menarik tangan mungil itu agar Airin masuk ke dalam dekapannya. Di sisi lain, Airin mencoba memberontak. Ia sangat tidak menginginkan hal ini terjadi.

“Rel, please….” Kali ini, Airin yang memohon. “Let me go.”

Bukannya mendengar apa yang gadisnya ucapkan, Farelio malah semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah Airin benar-benar akan pergi jika ia melepaskannya. Tak lama, terdengar suara dari seseorang yang menekan tombol angka pada pintu smart lock ruangan itu.

“Rel,” panggil Alvino yang datang bersama Nalandra.

Dengan begitu, Farelio baru mau melepaskan dekapannya. Kesempatan itu Airin gunakan untuk meloloskan diri dari lelaki tampan yang selama dua tahun belakang membuat perasaannya campur aduk.

“You okay, Rin?” tanya Alvino.

“I’m okay, Vin. Thanks,” ucap Arin.

Berbeda dengan Alvino yang lebih memberi perhatian pada Airin, Nalandra justru merasa prihatin dengan Farelio. Lelaki tampan yang sering bercanda itu menatap iba pada sang sahabat.

Menurut Nalandra, usaha yang Farelio lakukan selama ini semata-mata untuk mempertahankan keberadaan gadis yang dicintainya. Namun, entah mengapa semua ini terasa tidak benar.

Sepasang sahabat dari Farelio itu kemudian mengambil posisi duduk di seberang Airin dan Farelio. Untuk sejenak, tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara mereka. Setidaknya, sebelum Alvino kembali berucap.

“Udah makan, Rin? Kalo belom, gua pesenin makan, ya,” tawarnya.

Airin menggeleng. “Gak usah, Vin. Gua udah makan sama Alby kok sebelom ke sini,” ujarnya.

Farelio menggeram rendah sembari mengepalkan kuat telapak tangannya saat ada satu nama tak asing yang ia benci masuk melalui indera pendengarannya. Sudut maniknya melirik Airin yang terlihat seolah tidak berdosa setelah mengucapkan nama lelaki lain tepat di hadapannya.

“I really need to talk to you, Airin, and i’ll take you home later,” jelas Farelio. “You need to know that i risk my life for this talk with you,” lanjutnya.

Suara sedalam palung yang mengekspresikan keseriusan itu menyita perhatian Airin. Meskipun begitu, ia lebih memilih untuk diam. Untuk saat ini, hati kecilnya cukup merasa aman dan lega sebab kehadiran Alvino dan Nalandra di antara mereka. Farelio tidak mungkin melakukan hal gila pada gadisnya di depan teman-temannya, bukan?

Selepasnya, Farelio sibuk berbincang bersama Alvino dan Nalandra, meninggalkan Airin yang akhirnya memilih untuk berkirim pesan singkat dengan Alby melalui ponselnya. Sesekali, lelaki tampan itu melirik ke arah layar ponsel gadisnya dan yang ia temukan lagi-lagi adalah nama sang musuh.

Tanpa terasa, sore sudah berganti jadi malam. Dari jendela besar yang ditutupi tirai putih terpancar sinar berwarna oranye yang perlahan meredup. Selagi ketiga sahabat itu masih serius mengobrol, Farelo merasakan bahu sebelah kanannya semakin berat. Saat dirinya menoleh yang ia temukan ialah Airin yang tidak sadarkan diri tengah bersandar padanya.

Farelio tersenyum melihat gadisnya yang terlelap. “It’s been a long time since you slept next to me, Airin,” bisiknya.

Alvino dan Nalandra yang berada di tempat kejadian hanya dapat memandang satu sama lain. “Lo anterin pulang sana, Rel,” ujar Nalandra.

“Iya, ini mau gua anter pulang kok,” jawab Farelio tanpa memalingkan pandangannya. Lelaki tampan itu tengah asyik menyeka helaian rambut yang menghalangi wajah cantik yang sedang tertidur pulas di bahunya.

“Poor you, Farel,” gumam Alvino.

“Tutup mata kalian,” ujar lelaki tampan itu diiringi dengan tatapan serius pada kedua sahabatnya.

“Heh, Farelio! Anak orang lagi tidur, ya. Kebangetan lo,” ucap Nalandra setengah berbisik.

“Lo gak lupa masih ada gua sama Alan di sini ‘kan, Rel?” tambah Alvino.

Mendengarnya, sang pelaku hanya terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. “Gua tau gua minta kalian ke sini untuk nahan gua kalo gua kelepasan sama Airin, tapi itu bukan maksud gua sekarang,” balas Farelio. “Lo gak liat rok seragam Airin pendek banget gitu? Kalo gua gedong Airin nanti pahanya keliatan kemana-mana dan gua gak mau kalian ngeliat punya gua,” jelasnya.

“Udah jantungan aja gua denger lo nyuruh tutup mata,” balas Nalandra seraya mengelus-elus dadanya.

Setelahnya, sepasang sahabat yang sudah menemani Farelio sejak kecil itu mengeratkan manik masing-masing, sesuai perintah. Dengan begitu, Farelio baru merasa cukup tenang untuk menggendong gadisnya. Lelaki tampan itu membawa Airin masuk ke dalam mobilnya lalu mengantar gadis cantik itu pulang menuju apartemennya.

Di pelataran parkir gedung tempat tinggal Airin, Farelio menyempatkan diri untuk menikmati pemandangan yang mungkin tidak akan dapat ia lihat lagi selamanya setelah ini, yaitu momen saat Airin sedang tertidur pulang di hadapannya. Farelio mendekatkan wajahnya pada kening sang gadis.

“Sleep well, Airin,” ucapnya. “Also eat and live well,” lanjutnya. “I will always be love you no matter when and where i am,” final Farelio diiringi dengan kecupan hangat di kening Airin.