tribulation
“Lo harus tenang dulu, By. Kalo lo panik lo jadi gak bisa berpikir jernih,” jelas Hana.
Di siang menjelang sore hari itu, seperti rencana di awal, Alby dan Hana memutuskan untuk kembali berkunjung ke tempat tinggal Airin. Ya, walaupun semua ini murni dari inisiatif lelaki manis itu. Jangan tanya, sang sepupu sangat keberatan dengan hal ini.
Kini, keduanya tengah berdiri menunggu sang pemilik unit untuk membukakan pintu. Namun, seperti saat sebelumnya, Airin seperti tidak berniat untuk memberi siapapun akses masuk, baik ke dalam apartemennya maupun ke dalam kehidupannya.
Ditinggal yang terkasih sudah sangat menyedihkan baginya. Belum lagi, sekarang dirinya tengah berbadan dua. Airin tidak dapat bersikap layaknya manusia normal pada umumnya. Semuanya terasa hancur, terutama hidupnya.
TING! TONG!
Alby kembali menekan bel yang tersedia di samping pintu unit apartemen gadisnya, tetapi kali ini jauh lebih tergesa-gesa dari sebelumnya. Sampai akhirnya tangan yang lebih kecil menghentikan aksinya.
“Alby!” pekik Hana.
“Gua khawatir, Han!” balas Alby dengan nada bicara dan pitam yang semakin naik. “Gua gak tau keadaan Airin di dalem sana kayak gimana. Lo tau seberapa berharga Airin buat gua,” sambungnya.
Mendengarnya, Hana memutar bola matanya. Seperti yang pernah disinggung sebelumnya, Alby tidak pernah seemosional ini sebelumnya. Ya, setidaknya sebelum ia bertemu dengan Airin. Bagi lelaki manis yang penuh dengan humor itu, gadis cantik dambaannya mampu merebut hatinya hanya dalam beberapa detik. Hal itulah yang menyebabkan Alby bertingkah seperti ini.
Alby mengusap wajahnya kasar. “Gua dobrak aja pintunya,” ucapnya.
“Hah? Gimana?” tanya Hana terheran-heran.
“Gua mau dobrak pintunya. Airin bisa aja kenapa-kenapa di dalem sana,” jelasnya.
BRAK!
Dorongan pertama tidak berhasil.
BRAK!
Kali ini dorongannya jauh lebih kuat.
BRAK!
Barulah pada dorongan ketiga, pintu berwarna putih itu lepas kuncinya dan perlahan mulai terbuka.
Alby menguarkan kepalanya ke dalam ruangan yang terlihat gulita. Tidak ada satu pun lampu yang hidup. Hanya ada televisi yang tengah menampilkan sinetron terbaru dengan volume yang sangat besar.
“Rin,” panggil Alby sesaat kakinya melangkah masuk ke dalam sana dengan Hana yang mengekorinya.
Dua pasang manik itu menelisik segala sudut yang dapat dijangkau. Jika boleh jujur, tempat tinggal Airin terlihat seperti unit yang ditinggal oleh penghuninya secara tiba-tiba sebab ada urusan mendadak.
Bagaimana tidak, pemandangan di sana mendeskripsikan demikian. Potongan baju yang tergeletak di mana-mana. Tas sekolah yang biasa Airin gunakan tergantung di atas lemari makanan. Kemudian, tumpukan piring dan alat makan lainnya di atas meja serta bungkus makanan yang berserakan di segala tempat.
“Airin,” panggil Alby lagi. Namun, tidak ada seorang pun yang merespon panggilannya.
Berbeda dengan Alby dan semua rasa cemasnya, Hana menatap jijik ke sekelilingnya. Bagaimana bisa seorang gadis cantik tinggal di dalam kandang sapi seperti ini, batinnya. Untuk sesaat, Hana tidak ingin jauh dari sang sepupu. Ia takut setengah mati.
“Aduh!” keluh Hana kala kepalanya terbentur dengan punggung lebar Alby.
Pasalnya, lelaki manis itu berhenti secara tiba-tiba di depan pintu yang diduga sebagai ruang yang gadisnya gunakan untuk tidur. Sepasang manik minimalis yang terlihat indah saat tersenyum itu kini hilang.
Alby memandangi pintu kamar dengan hiasan makrame berwarna beige di depannya itu dengan perasaan yang sangat campur aduk. Perlahan namun pasti, tangannya terulur menggenggam kenop pintu yang terbuat dari bahan mental itu. Ia menghela napas panjang.
Cklek.
Berbeda dengan ruangan-ruangan sebelumnya, ruang tidur ini terlihat begitu terang. Semua lampu dan sistem penerangan yang ada hidup dengan sempurna. Juga, jika tidak salah dengar, ada keran air mengalir yang terbuka dari kamar mandi di dalam sana.
Tanpa rasa ragu sedikit pun sebab ingin mengetahui kondisi gadis kesayangannya sesegera mungkin, Alby membuka lebar pintu kamar tidur tersebut. Betapa terkejutnya sepasang sepupu itu kala manik mereka menangkap sebuah tubuh ringkih yang bersimbah darah kental tergeletak di atas ranjang.
Alby mematung di tempatkan. Sedangkan, Hana berusaha kerasa menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya. Untuk sejenak, keduanya sempat tidak percaya dengan apa yang manik mereka saksikan secara langsung.
“Airin!” pekik Alby. Ia berlari menghampiri gadisnya. “Sadar, Rin!” teriaknya sembari menepuk pelan pipi Airin.
“Airin…,” lirih Hana.
Hana dapat melihat dengan jelas bagaimana semua luka terbuka yang ada pada tubuh sahabatnya itu mengeluarkan banyak darah serta benda tajam kecil berwarna silver yang jatuh dari genggamannya saat Alby memeluk tubuh Airin.
Hana berniat untuk mencari untuk menghubungi paramedis telepon saat pandangannya mengedar ke seluruh sudut kamar tidur itu. Namun, bukannya menemukan telepon kabel atau alat komunikasi lainnya yang ia temukan, melainkan…
“Tolongin gua bawa Airin, Han. Kita bawa Airin ke rumah sakit,” lirih Alby dengan napasnya yang tersendat sebab dadanya terasa sangat sesak.
“Hah? Apa? Oh, iya, By,” jawab Hana terbata.
Meskipun linglung, Alby dan Hana mengerahkan tenaga mereka secara maksimal untuk membopong Airin. Selain mereka berdua, Pak Bagus juga tak kalah terkejut dengan adegan yang terjadi tepat di hadapannya.
“Ya Tuhan, Nak Airin?!” ujar pria paruh baya itu. Kemudian, ia membantu Alby dan Hana menggotong tubuh Airin agar masuk ke dalam mobil Alby. “Nak Alby duluan ke rumah sakit, ya, Nak. Pak Bagus nanti nyusul ke sana setelah tukeran shift sama temen Bapak. Hati-hati, ya, Nak,” lanjutnya.
Terdengar dengan jelas bagaimana rasa khawatir yang muncul pada diri Pak Bagus kala melihat gadis sekolahan yang sangat ia hormati itu ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Semuanya berusaha dengan keras untuk menyelamatkan nyawa Airin, termasuk Hana.
Di dalam mobil, Hana duduk di kursi penumpang bagian belakang seraya memangku kepala sahabatnya yang tak sadarkan diri. Sementara itu, di kursi supir di bagian depan, Alby beberapa hampir membentur pinggir trotoar jika saja motor yang melewatinya tidak membunyikan klakson.
“Konsen, By. Jangan sampe lo lukain kita semua juga,” tegas Hana.
Berkat kesigapan keduanya, kini mereka sudah sampai di pekarangan rumah sakit. Sesaat mobil klasik Alby berhenti di depan instalasi gawat darurat, sekumpulan perawat dengan cepat membawa ranjang khas rumah sakit untuk mengangkut Airin lalu di bawa ke dalam ruang tindakan.
“Temennya pasien, ya?” tanya salah satu perawat yang bertugas.
“Iya, Sus,” balas Hana.
“Tunggu di luar aja, ya. Biar dokter yang tanganin temennya. Nanti kalo sudah selesai, dokternya akan segera keluar,” jelas sang perawat.
Menurut apa kata perawat tersebut, akhirnya Hana menududukkan dirinya di bangku panjang berbahan logam yang tersedia di sana. Tak lama, ada suara langkah yang menggema di sekitar lorong.
“Airin?” tanya Alby terngengah-engah.
“Ada di ruang tindakan lagi ditanganin sama dokter,” jelas Hana.
Mendengarnya, Alby mulai dapat bernapas dengan normal. Lelaki manis itu bertumpu pada kedua lututnya sembari menatap kakinya yang menapak pada lantai dingin di rumah sakit. Melihatnya, Hana mengusap sebelah pundak lebar sepupu kesayangannya.
“By,” panggilnya.
“Iya, Cil?” balas Alby tanpa menolehkan pandangannya.
Sejenak, gadis mungil itu terdiam. Perasaannya berkecamuk. Haruskah ia menjelaskan apa yang ia lihat tadi selain cutter kecil yang ada di genggaman Airin? Atau mungkin tidak? Tidak sekarang atau tidak pernah? Di sore menjelang malam hari itu, Hana diselimuti rasa ragu dan bimbang.
“Kenapa, Cil?” tanya Alby lagi sembari menatap Hana sebab sepupunya itu tidak kunjung menjawab.
“Gak apa-apa, By. Semoga Airin gak kenapa-napa,” dusta Hana.
Di lorong rumah sakit yang sepi itu, Alby sibuk merapalkan doa setelah mengambil posisi duduk di sebelah Hana. Sedangkan, gadis mungil itu mengabari orang tuanya bahwa ia sedang menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.
Tanpa keduanya sadari, sedari tadi ada seorang lelaki yang tengah berdiri dengan jarak cukup jauh di ujung lorong seraya memerhatikan gerak-gerik keduanya seolah sedang memata-matai sepasang sepupu itu.