“Jelek,” panggil lelaki manis itu.
Siapa lagi? Jika bukan Yohanes Arthadinata. Sahabat yang merangkap sebagai pengawal dari Ranindhya Alister Dhanurendra itu menguarkan kepalanya dari balik daun pintu di depan kelas.
“Ranie jelek!” pekiknya lagi.
Kini, Yohanes menyandarkan tubuhnya pada tembok di depan kelas sembari menatap lamat pada sang sahabat yang tengah sibuk memasukkan keperluan sekolahnya ke dalam tas ransel.
Lelaki manis itu menghela napasnya panjang. Pada akhirnya, ia yang harus mengalah untuk menghampiri sahabatnya.
“Lo gua doain ke Tuhan biar tuli beneran mau, ya, Ran,” ucap Yohan tak santai.
“Apaan sih. Sok kenal banget, keluarga juga bukan,” balas Ranie juga tak santai.
Ctak!
Lelaki manis itu tidak ragu untuk menyentil kening gadisnya. Ranie, yang diperlakukan semana-mena seperti itu hanya meringis kesakitan sebab ia tidak memiliki tenaga lebih untuk membalas perlakuan Yohanes.
“YOHANJING!” umpatnya seraya mengusap keningnya yang terasa sedikit ngilu.
“Makanya kalo ada orang nanya tuh dijawab,” protesnya.
“Lah, emang lo orang?” ledek gadis cantik itu.
Lagi, mendengarnya, Yohanes menghadiahi sahabatnya dengan sebuah cubitan di pangkal hidungnya.
Sepertinya, bagi lelaki manis itu, kiamat akan datang apabila dirinya tidak berulah, dalam bentuk apapun itu, kepada sang sahabat.
“Yohan ihh! Sakit tau,” protes Ranie.
“Lo kebanyakan ngelunjaknya sama gua. Udah ayo, kita pulang,” ujar Yohanes sembari menarik sebelah lengan kurus Ranie.
Dibawanya sang sahabat menuju lapangan parkir luas. Di sana, lelaki manis itu membantu gadisnya untuk mengenakan helm. Tidak lupa, Yohanes mengeratkan tali pengamannya.
Tapi, di akhir aksinya, lelaki manis itu dengan sengaja memukul pelan kepala Ranie yang sudah terlindungi helm miliknya terlihat sangat kebesaran.
Bak sebuah ritual sebelum memulai perjalanan dengan motor besar itu, sebelum memakaikan kepalanya sendiri sebuah helm, Yohanes akan terlebih dahulu memasangkan gadisnya helm bergambar beruang coklat miliknya.
“Yohanes Arthadinata. Lo kalo gak sehari gak gangguin gua kayaknya gak hidup, ya,” sindir Ranie.
“Iya, emang,” singkat Yohanes seraya menaiki motor sport kesayangannya. “Cepet ah, Ranie. Panas nih,” sambungnya.
“Iya, sabar, Yo,” jawab gadis cantik itu.
Dengan begitu, Ranie ikut menaiki motor yang hampir setiap hari menemaninya untuk pergi dan pulang dari sekolah, dengan Yohanes yang mengendarainya, tentu saja.
Tidak ada obrolan signifikan yang terjadi di antara keduanya sebab sang penumpang lebih memilih untuk bermain dengan ponselnya. Ah, lebih tepatnya dengan aplikasi kencan yang sedang populer di sekolahnya.
“Ran,” panggil Yohanes setelah membuka visornya. Suara merdu itu meredam dari balik helm full-face.
“Apa?!” sahut Ranie dengan suaranya yang sedikit memekik.
“Lo lagi ngapain? Biasanya ribut banget kalo lagi di motor,” tanya Yohanes. Lelaki manis itu melirik gadisnya dari arah kaca spion.
“Hah?! Enggak, gua gak lagi ngapa-ngapain kok,” jawabnya.
Ranie, gadis cantik itu dengan sengaja berbohong sebab jika ia mengatakan yang sebenarnya, mungkin sang sahabat akan menyuruhnya turun dari motor saat itu juga.
Yohanes tidak menggubris pernyataan dari sahabatnya itu. Bukannya ia puas dengan jawaban dari Ranie, namun Yohanes tahu bahwa sang sahabat tengah berbohong padanya.
Lelaki manis itu dapat melihat dengan jelas bagaimana senyuman manis kesukaannya itu terpatri, namun bukan untuk dirinya. Tatapan Ranie sedari tadi tidak berpaling dari layar ponsel.
Dapat dipastikan, gadis cantik itu masih sibuk dengan aplikasi kencan pada ponselnya. Belum lagi, sepasang ibu jarinya tidak berhenti menari di atas papan ketik.
Yohanes sangat yakin bahwa Ranie sedang membuka aplikasi yang sebelumnya ia sudah larang untuk gunakan.
Lihat saja, bagaimana ekspresi wajah lelaki manis itu berubah drastis seolah merefleksikan kebencian.
Tak butuh waktu lama bagi Yohanes melajukan motornya untuk sampai di rumah sang sahabat. Lelaki manis itu memarkirkan motornya di halaman luas yang tersedia.
Ranie turun terlebih dahulu dari atas motor untuk kemudian disusul oleh Yohanes. Lelaki manis itu melepas helmnya lalu meletakkannya di atas jok motor.
Berbeda dengan Yohanes, Ranie merasa sangat kesulitan untuk melepas helm beruang yang bertengger di kepalanya.
“Ish!” keluhnya.
Lagi, Yohanes menghela napas panjang. Padahal, lelaki manis itu sedang berusaha mati-matian untuk tidak melahap sepasang pipi chubby di hadapannya. Menurutnya, Ranie terlihat sangat lucu.
“Sini,” ucap Yohanes.
Dengan telaten, lelaki manis itu mencabut pengait dari tali pengaman helm gadisnya. Refleks, tangan kekar itu bergerak merapikan helaian rambut yang menutupi pandangannya gadisnya. Kemudian, manik mereka bertemu.
“Gini aja gak bisa,” sindir lelaki manis itu.
Berbeda dengan sebelumnya, tidak ada aksi brutal yang dilakukan Yohanes. Ranie cukup terkejut akan hal itu. Ditambah, maniknya menangkap raut wajah tak mengenakan yang ditampilkan sang sahabat.
“Lo kenapa, Yo?” tanya Ranie heran.
“Gak apa-apa,” jawab Yohanes ketus.
“Dih! Ngambekan,” tanya Ranie lagi.
Sekarang, keduanya melangkah masuk ke dalam rumah besar nan mewah itu. Sudah menjadi tradisi untuk Yohanes berkunjung ke kediaman gadisnya setiap hari.
Bagi Yohanes, rumah mewah milik Keluarga Dhanurendra itu sudah seperti rumah kedua untuknya.
Lelaki manis itu mendudukkan dirinya di atas sofa sementara sang gadis berlalu ke arah dapur. Dalam diamnya, Yohanes melirik ke arah Ranie.
“Mau minum apa, Yo?” teriak Ranie dari arah dapur.
“Gak usah,” gumam Yohanes pelan.
“Hah? Apa?” ulangnya.
“Gak usah, Ranie,” jawab lelaki manis itu malas.
Mendengarnya, gadis cantik itu mengangguk paham. Setelah meneguk segelas penuh air dingin, Ranie melangkah ke arah kamarnya.
“Gua ganti baju dulu, ya, Yo,” ucapnya seraya kaki jenjangnya menaiki satu per satu anak tangga.
Yohanes hanya menganggukan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban sementara maniknya tertuju pada layar ponsel.
Melihatnya, Ranie mulai merasa curiga. Sejenak, ia menghentikan langkahnya di depan kamar tidur.
“Yohanjing kenapa deh,” monolog Ranie. “Biasanya heboh banget timbang gua tinggal ganti baju doang. Anaknya gak minta masakin makanan macem-macem lagi,” lanjutnya.
Gadis cantik itu sempat bergelut dengan pikirannya sendiri sebelum kembali melanjutkan kegiatannya untuk mengganti baju sekolahnya.
Tak lama, Ranie keluar dari kamarnya dengan mengenakan gaun mini berwarna kuning dengan motif bunga di sekujur kainnya. Baju itu terlihat cantik dengan perpaduan kulitnya yang seputih susu.
Yohanes, lelaki manis yang sedari tadi sibuk dengan aplikasi twitter di ponselnya, kini menoleh ke arah tangga. Tempat di mana Ranie tengah melangkahkan kakinya dengan hati-hati.
Sepasang manik selegam malam itu bahkan tak berkedip sebab pemandangan yang perlahan mendekatinya.
“Ngedip, Yo,” ledek Ranie sembari mendekat ke arah sang sahabat. “Cantik banget, ya, gua,” lanjutnya.
Setelah mendengarnya, kesadaran Yohanes sepenuhnya kembali ke dalam raganya. Lelaki manis itu berdehem pelan. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
“Mau kemana lo?” tanya lelaki manis itu.
“Gak kemana-mana. Lo pulang gih, Yo. Gua mau ada tamu,” jelas Ranie.
“Tamu? Siapa?” ucap Yohanes skeptis.
“Kepo lo,” balas Ranie.
Berniat untuk tidak menggubris lebih lanjut pertanyaan dari sahabatnya, gadis cantik itu kembali bermain dengan ponselnya.
Ah, mungkin lebih tepatnya bukan untuk bermain, melainkan untuk mengirim pesan pada lelaki yang ia temui melalui aplikasi kencan.
Ya, selama perjalanan tadi, Ranie sempat ‘mencocokan’ diri dengan salah satu laki-laki pengguna aplikasi kencan tersebut.
“Tamu siapa, Ranie?” tanya Yohanes lagi. Namun, bias suaranya kian mendalam.
Gadis cantik itu tidak meladeni pertanyaan yang dilontarkan sang sahabat. Ia masih memfokuskan atensinya pada lelaki bernama Sagara di kolom pesan.
Merasa jengah, akhirnya Yohanes merebut paksa ponsel gadisnya. Kala manik selegam malamnya menangkap percakapan yang ada di kolom chat, wajahnya seolah memunculkan api amarah
“Gua bilang apa sama lo tentang main aplikasi ini. Gua gak bolehin lo main aplikasi ini ‘kan, Ran,” jelas Yohanes.
Wajah manis nan tampan yang biasa Ranie pandang setiap hari, kali ini berubah. Tidak ada lagi tawa atau candaan yang dilontarkan Yohanes.
Tangan kanan lelaki manis yang menggenggam ponsel terlihat semakin erat. Yohanes benar-benar marah.
“Lo kenapa sih, Yo?! Terserah gua dong mau main apa enggak. Lo gak punya hak buat larang gua. Lo siapa?!” balas Ranie dengan tidak kalah berapi-api.
“Gua sahabat lo, Ranie! Gua berhak ngelarang sesuatu yang gak baik buat lo. Lo pikir gua ngelarang lo main ini tanpa sebab yang jelas. Iya, gitu?” bentak Yohanes.
“Lo ngehambat gua, tau gak, Yo,” lirih Ranie.
Manik selegam senja kesukaan Yohanes itu membendung air mata. Cairan bening itu tertahan di pelupuk matanya.
“Lo gak tau seberapa desprate-nya gua buat punya pacar. Lo pikir gua gak iri liat Lia setiap hari jalan sama Jean. Gua juga mau kayak gitu, Yo,” jelas Ranie dengan suara yang sedikit tersendat.
Dapat dipastikan, gadis cantik itu menahan tangisnya. Tangannya bergerak mengusap wajahnya kasar.
Mendengar isi hati yang sebenarnya dari sang gadis, Yohanes menahan dirinya untuk tidak terlarut dalam amarah.
Lelaki manis itu mendekatkan dirinya pada Ranie. Tangannya mengulur untuk mengusap pipi chubby kesukaannya.
“Iya. Sorry gua kelewatan. Lo tau gua kayak gini karena khawatir sama lo, Ran. Sorry kalo kesannya gua nahan atau ngehambat. Tapi, jujur, gua gak pernah ada niat kayak gitu, Ran. Sebagai sahabat lo, gua punya kewajiban buat jagain lo,” jelas Yohanes lembut.
Mendengarnya, Ranie menghela napas panjang. Memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya pada dadanya yang terasa sangat sesak.
Gadis cantik itu memang salah satu tipe individu yang selalu menyangkut pautkan segal hal dengan perasaannya.
Yohanes tahu sahabatnya itu gadis yang rapuh. Oleh sebab itu, dirinya merasa mempunyai tugas untuk melindungi Ranie.
Tangan besar yang sedari tadi mengusap lembut pipi chubby itu, kini beralih menggenggam tangan sang gadis.
Lelaki manis itu menyerahkan ponsel gadisnya yang sedari tadi ia sita untuk sementara. Ranie meraih kembali ponselnya.
“Sekarang, gua minta lo unsend chat itu, ya, Ran. Gua gak mau lo kenapa-napa,” pinta Yohanes.
Ranie, gadis cantik itu tidak memberi jawaban pasti. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Melihatnya, Yohanes menatap heran ke arahnya.
“Lo gak mau hapus chat-nya?” tanya lelaki manis itu mengintimidasi.
“Enggak, Yo. Gua mau tetep nyoba ketemu sama Sagara,” jelasnya yakin.
Mendengar pernyataan tersebut, Yohanes memutar bola matanya. Gadis cantik di hadapannya ini juga keras kepala.
“Gua tuh ngelarang lo biar lo gak diapa-apain sama orang, Ranie. Lo paham gak sih? Lo ‘kan gak tau siapa Sagara, dari mana dia. Udah deh, unsend sekarang,” paksa lelaki manis itu.
Namun, Ranie tetaplah Ranie. Selain memiliki hati yang lembut, tetapi ia juga memiliki pendirian yang utuh.
“Gua gak mau lo larang-larang gua lagi, Yo. Gua berhak milih apa yang mau gua lakuin,” ujar Ranie sembari menatap manik selegam malam itu lamat.
“Lo gak bisa sama gua aja, ya, Ran? Lo gak bisa suka aja sama gua? Gua selalu ada buat lo kalo lo butuh,” ucap Yohanes.
Mendengarnya, Ranie seolah dibungkam seribu bahasa. Ini bagian yang paling ia benci dari hubungan sahabat dengan lawan jenis.
Gadis cantik itu tidak ingin munafik. Ia sangat bahagia dengan fakta bahwa Yohanes selalu menemani hari-harinya. Namun, rasa bahagia itu seolah diiringi oleh tembok yang tidak bisa ia hancurkan.
Dengan berat hati, Ranie kembali menggelengkan kepalanya. “Enggak, Yo. Sorry, gua gak bisa. Lo berhak nemuin cewek yang lebih baik dari gua,” jelasnya.
Seolah ditujah bilah bambu runcing, hati lelaki manis itu terasa nyeri mendengar sahabat kesayangannya berujar demikian.
Ia tidak yakin apa alasan kuat dari Ranie untuk tidak menyukainya. Yohanes memandang sahabatnya dengan tatapan nanar.
“Gua udah berusaha semampu gua, Ran. Tapi, bener kata orang, ya. Hubungan yang dimulai dari sahabat jarang ada yang berakhir bahagia,” lanjutnya.
Sekarang, giliran Ranie yang jantungnya terasa dihujam pisau tumpul. Sakit, sangat sakit. Mengetahui bagaimana Yohanes seolah menyerah kepadanya.
“Gua pamit, ya, Ran,” singkat Yohanes.
Dengan begitu, lelaki manis itu bangkit untuk kemudian berlalu dari dalam rumah mewah yang selalu menjadi tempat ternyamannya bersama Ranie.
Ranie, gadis cantik itu seperti tidak memiliki tenaga barang untuk mengehentikan langkah sahabatnya. Ia dapat mendengar jelas suara motor Yohanes yang pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.
Setelah kepergian sang sahabat, tangisan yang sedari tertahan kini runtuh. Ranie menangis sejadi-jadinya. Gadis cantik itu menutup seluruh wajahnya menggunakan telapak tangannya.
Pada satu sisi, ia merasa bersalah pada Yohanes. Namun, di sisi lain, seperti kewajiban baginya untuk hidup tanpa bergantung pada lelaki manis itu.
“Maksud gua tuh gak gitu, Yo,” gumamnya. “Gua sayang sama lo. Tapi, kalo kita putus gimana? Gua gak bisa ngehadepin fase itu,” lanjut Ranie.
Selagi Ranie menjadi satu dengan emosinya. Seseorang mengetuk pintunya yang setengah terbuka.
Gadis cantik itu terlalu memfokuskan atensi pada air matanya sampai tidak sadar seseorang yang ternyata lelaki itu melengang masuk ke dalam rumahnya.
“Ran,” panggil lelaki tampan itu.
Mendengarnya, Ranie mengangkat pandangannya. “Eh?” ucapnya sedikit memekik.
“Sorry, ya. Gua Sagara, dari aplikasi dating yang tadi lo match-in. Sorry, ya, kalo gua lancang. Soalnya tadi pintunya kebuka, terus gua denger ada suara cewek nangis. Gua takut ada yang kenapa-napa,” jelas Sagara yang masih berdiri tegap di samping sofa ruang keluarga rumah mewah tersebut.
“Eh?! Sorry, Sagara. Sorry banget nih. Tadi gua abis berantem sama temen, gua lupa ada janji sama lo,” jawab Ranie.
Tanpa dipersilakan, lelaki tampan itu mengambil posisi duduk di sebelah Ranie. Tentunya, gadis cantik itu cukup terperanjat.
“Lo gak apa-apa, Ran?” tanya Sagara khawatir.
Ranie, yang ditanya seperti itu, maniknya membulat sembari memunculkan binar bak tersihir oleh pertanyaan yang padahal Yohanes sendiri lontarkan padanya setiap saat.
“Oh, iya, gua gak apa-apa kok, Gar,” jawab Ranie dengan sedikit ragu.
“Lo mau gua peluk?” tawarnya.
Mendengar pertanyaan itu, entah mengapa membuat hati Ranie menghangat. Ia menyimpulkan senyumnya.
“Emang boleh?” ucapnya sedikit ragu.
“Ya, boleh. Gua gak tega liat lo sesenggukan gini, Ran,” balas Sagara sembari merentangkan tangannya.
Perlahan namun pasti, gadis cantik itu mendekatkan tubuhnya pada lelaki tampan yang baru hari ini ia temui.
Ranie meletakkan kepalanya pada sebelah bahu lelaki tampan itu, sementara Sagara mengusap pelan punggung serta pucuk kepalanya.
Mungkin, ini memang terdengar sedikit tidak etis. Mengingat, keduanya hanya bermodalkan akun dari aplikasi kencan yang dimiliki masing-masing.
Ini terlalu berlebihan untuk pertemuan pertama. Ya, walaupun aplikasi itu memang dirancang dengan tujuan mempertemukan dua insan yang saling mencari cinta.
Pada awalnya, Ranie merasa sangat nyaman berada di dalam dekapan Sagara. Namun, entah mengapa beberapa saat setelahnya, pelukannya itu terasa kian menuntut.
Lelaki tampan itu mengeratkan pelukannya. Belum lagi, dengan tidak sopan, tangannya menjalar ke seluruh bagian tubuh yang bisa ia jangkau.
“Sorry, Gar, tangan lo,” protes Ranie.
“Loh, katanya lagi sedih, Ran,” ucap Sagara. “Kalo cewek lagi sedih, biasanya bakal seneng lagi kalo dienakin,” lanjutnya.
Mendengarnya, sepasang manik selegam senja itu kembali membulat. Tetapi, kali ini diiringi dengan perasaan cemas nan khawatir.
Ini ancaman! Ranie berusaha memberontak agar lepas dari dekapan itu. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan Sagara.
Selanjutnya, lelaki tampan itu bertindak semakin kurang ajar. Sagara menciumi area di sekitar leher Ranie dengan paksa.
Sepasang lengan kurus itu berusaha untuk memukul. Tetapi, Sagara menahan pergerakannya.
Tubuh mungil Ranie seolah tenggelam dibandingkan tubuh kekar milik Sagara. Gadis cantik itu memejamkan maniknya erat, hendak menangis lagi.
“Nghh, Gar, lepasin! Gua gak mau!” lenguh Ranie saat berusaha menentang dari rasa geli yang tidak mengenakan itu.
“Diem, Ran. Bentar lagi lo juga bakalan enak,” ujar Sagara sensual.
“Bangsat!” umpat Ranie.
Entah sedang lengah atau dengan sengaja, Sagara melepaskan genggaman tangannya dari tangan Ranie.
Kesempatan itu ia gunakan untuk memukul kepala Sagara dengan keras. Lelaki tampan itu sempat terhuyung di atas sofa.
Manik lelaki tampan itu mengerjap beberapa kali sebelum menampilkan seringai seramnya. Sagara menatap seluruh tubuh indah yang terbalut gaun berwarna kuning di hadapannya dengan lapar.
Sagara memandang Ranie seolah makan malamnya. Ranie, yang ditatap seperti itu, memundurkan posisi duduknya.
Setelah perlakuan tidak senonoh yang Sagara lakukan padanya, tiba-tiba Ranie merasa seperti seluruh tenaganya diserap.
Bahkan, hanya untuk meraih ponselnya di atas meja saja ia tidak kuat. Ya, setidaknya sebelum Sagara kembali menerkamnya.
Kali ini, lelaki tampan itu bergerak mengungkung Ranie di atas sofa. Ia kembali mengunci sepasang lengan kurus itu dengan telapak tangannya yang besar.
Ranie, yang diperlakukan seperti itu, hanya dapat menangis. Ia memalingkan wajahnya ke arah samping. Cairan bening membanjiri pipinya.
Melihatnya, Sagara justru sangat terpuaskan. Dengan hawa nafsu yang menggebu, ia menjilat jejak air mata yang turun di sekitar wajah gadisnya.
“Sagara, lepas!” teriak Ranie dengan sisa tenaganya.
“Kok lepas? Ini lagi tanggung, Sayang. Sebentar lagi juga pasti enak. Tunggu, ya,” ucapnya.
Dengan begitu, Sagara kembali melanjutkan acara menciumi tubuh gadisnya yang sempat tertunda.
Namun, saat masih setengah jalan, keduanya dikejutkan dengan suara bantingan pintu yang memekakan telinga. Sagara melirik ke arah pintu masuk.
“LEPASIN BRENGSEK!” pekik Yohanes.
Ya, itu Yohanes. Lelaki manis itu datang kembali untuk menyelamatkan sang gadis setelah berpapasan dengan mobil milik Sagara di depan komplek.
Dengan langkah yang mendentum, Yohanes menghampiri Sagara yang tengah asik mempermainkan sahabatnya.
Tanpa aba-aba, Yohanes menarik kerah kemeja putih yang dikenakan Sagara untuk kemudian meninju wajahnya.
BUAGH!
Tubuh kekar itu terlempar ke atas meja berlapis kaca di ruang tamu. Sagara meringis kesakitan di atas sana.
Berbeda dengan lelaki tampan itu, Yohanes ikut naik ke atas meja dan menghujani wajah tampan Sagara dengan banyak pukulan.
Wajah dengan rangka tegas itu kini dipenuhi bekas lebam berwarna keunguan, luka di seluruh wajah, serta sudut bibirnya yang robek.
“Yohan, berhenti,” lirih Ranie seraya bangkit dari posisinya.
Tidak mendengarkan permintaan sahabatnya, Yohanes masih tetap pada aktivitasnya memukuli lelaki tampan yang sudah menyakiti gadisnya.
Dapat dilihat, di atas meja kayu yang kacanya sudah hancur sempurna itu, Sagara sudah kehilangan setengah kesadarannya.
“Yohanes, udah!” pekik Ranie.
Gadis cantik itu menarik lengan Yohanes agar turun dari atas meja. Ranie memeluk sahabatnya dari belakang.
Merasakan sepasang lengan melingkari pinggangnya, lelaki manis itu membalikkan tubuhnya.
Yohanes mengcengkram kedua bahu sempit di hadapannya. “Lo gak apa-apa, Ran? Ada yang sakit? Ada yang luka gak?” tanya lelaki manis itu bertubi-tubi.
Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang sahabat, Ranie menggelengkan kepalanya.
“Maafin gua, ya, Ran. Gua seharusnya gak ninggalin lo,” ujar Yohanes sembari memeluk gadisnya erat.
Di dalam dekapan itu, Ranie kembali menangis sejadi-jadinya. Tubuh gadis cantik itu bergetar hebat sebab tangisannya.
Sementara itu, Sagara mulai bangkit dengan seluruh tubuhnya yang terasa nyeri dan ngilu. Tentunya, Yohanes menyadari hal itu karena suara serpihan kaca yang terdengar saling menggesek satu sama lain.
“Bentar, Ran. Ini yang terakhir,” final Yohanes.
Di detik berikutnya, lelaki manis itu mengakhiri perkelahian sepihaknya dengan satu tinjuan keras. Seolah kepalan tangan itu dipenuhi dengan dendam.
Sagara kembali terbujur lemah di atas sana. Dengan paksa, Yohanes kembali menarik kerah baju Sagara agar lelaki tampan itu menatap matanya.
“Lo dengerin gua baik-baik, Gar. Sekali lagi gua ngeliat lo di sekitar Ranie, gua gak akan segan-segan buat bunuh lo,” sergah Yohanes.
Lelaki manis itu membanting lawannya yang sudah terluka parah ke atas meja yang dipenuhi pecahan kaca.
“Sekarang lo pergi dari sini,” singkat Yohanes.
Mau tidak mau, dengan tenaga yang ada, lelaki tampan dengan tubuh kekar itu berjalan gontai ke arah pintu keluar.
Yohanes memastikan bajingan satu itu agar benar-benar pergi meninggalkan pekarang rumah gadisnya.
Setelah mobil lelaki tampan itu menghilang dari penglihatannya, barulah Yohanes kembali masuk ke dalam rumah.
Di ambang pintu, lelaki manis itu menangkap gadisnya sedang menangis sesenggukan sembari terduduk lemas di atas sofa.
Yohanes, dengan hati yang terasa begitu tersayat, menghampiri gadisnya. Ia mengambil posisi duduk tepat di samping Ranie.
Yohanes kembali membawa sang sahabat untuk masuk ke dalam dekapannya. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Ranie sembari sebelah tangannya mengusap lembut pucuknya.
“Maafin gua, ya, Ran. Gua gagal jagain lo,” gumam Yohanes.
Dalam pelukan itu, Ranie menggelengkan kepalanya menentang pernyataan dari sang sahabat. Kepalanya menguar dari dada bidang Yohanes.
“Enggak, Yo. Gua yang minta maaf sama lo. Maaf gua udah nyakitin hati lo,” ujar gadis cantik itu.
“Enggak, Ran. Gua gak apa-apa kok,” balas lelaki manis itu sembari melonggarkan pelukannya. “Lo gak apa-apa ‘kan? Ada yang luka gak, hm?” lanjutnya.
Lagi, Ranie menggeleng sebagai respon. Suara teduh Yohanes mampu membuat hatinya mulai tenang.
Gadis cantik itu menghirup napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pasokan okseigen ke dalam sistem respirasinya.
Ia berani bersumpah, peristiwa barusan seperti mengambil setengah jiwanya. Ranie masih merasa terkejut.
Yohanes dapat melihat dengan jelas keresahan itu. Sepasang tangan besar itu menangkup tangan yang lebih kecil lalu mengusapnya.
“Maaf gua gak dengerin omongan lo, Yo. Maaf gua sempet ngomong hal buruk ke lo. Maafin gua,” ujar Ranie memohon maaf.
Mendengarnya, Yohanes terkekeh. Lelaki manis itu berusaha untuk tidak memperkeruh suasana.
“Lo dari tadi udah minta maaf terus, Ran. Bahkan kalo lo gak minta maaf pun, gua bakal maafin lo. Sesayang itu gua sama lo,” jelasnya.
Sepasang manik selegam senja itu bertemu dengan manik lainnya yang juga berbinar indah. Simpul manis yang terukir di wajah yang juga manis itu sukses membuat hatinya syahdu sempurna.
Ranie tidak bisa berhenti menatap manik yang mulai sekarang akan menjadi kesukaannya. Entah butuh waktu berapa lama untuk menyadarkan gadis cantik itu bahwa Yohanes memang setampan itu.
“Ngedip, Ran,” ledek Yohanes. “Ganteng banget, ya, gua,” lanjutnya.
Sekarang, giliran gadis cantik itu yang diberikan guyonan serupa oleh Yohanes. Mendengarnya, Ranie tertawa lepas.
“Yohanjing! Itu ‘kan kalimat gua,” ujar Ranie.
Yohanes mengacak-acak rambut gadisnya gemas. Simpul senyumnya terlihat semakin lebar.
Namun, Ranie menyadari sesuatu. Tangan besar yang gemar mengusap kepalanya itu hari ini dipenuhi oleh luka.
Ya, sebab pukulan Yohanes yang membabi buta tadi. Lelaki manis itu pasti tidak sadar pecahan kaca melukai tangannya.
Ranie membawa telapak tangan itu ke hadapannya. Perlahan, ia menyentuh satu per satu luka terbuka yang ada di sana.
“Gak sakit, Ran. Udah biasa kayak gini mah,” ujar Yohanes seraya menarik tangannya.
“Gua obatin, ya,” ucap Ranie.
Saat gadis cantik itu hendak bangkit dan menuju lemari kaca di sebelah televisi untuk mengambil kotak kesehatan, Yohanes menahan pergerakannya.
Ranie yang sempat bangun dari posisi duduknya menjadi kehilangan keseimbangan saat cengkraman tangan lebar Yohanes menggenggam lengannya.
Alhasil, gadis cantik itu jatuh di atas pangkuan sang sahabat. Dua pasang manik indah itu kembali bertemu.
“Luka gua gak akan sembuh kalo cuma diobatin pake obat merah, Ran,” jelas lelaki manis itu.
Mendengarnya, Ranie mengernyitkan keningnya. “Hah? Terus gimana? Kalo gak diobatin bisa infeksi itu, Yo,” sergahnya.
Menggemaskan. Hanya itu kata yang menggenang di pikiran seorang Yohanes Arthadinata saat ini.
“Lo yakin bisa obatin gua?” ledek lelaki manis itu.
Tanpa Ranie sadari, sedari tadi lengan kekar itu melingkar pada pinggangnya. Yohanes mendekap gadisnya di atas pangkuannya.
“Ya, yakin aja sih. Gimana cara obatinnya, cepet,” keluh gadis cantik itu.
“Gini, Ran,” sela Yohanes.
Cup!
Satu kecupan singkat mendarat tepat di bibirnya. Ranie mematung di tempatnya. Pandangannya kosong menatap sang sahabat.
“Gila lo, Yo,” ucapnya datar. “Tapi, masih sakit gak? Kalo masih obatin aja lagi,” lanjut Ranie.
Gadis cantik itu dengan sengaja menggoda sahabatnya. Bahkan, ia memangkas sedikit jarak wajahnya dengan wajah Yohanes. Seolah menyerahkan belahan ranum itu padanya.
“Lo yang gila, Ran. Nanti kalo gua lanjutin lo nangis lagi,” balas Yohanes.
Tidak kehabisan akal, Ranie mengalungkan lengannya pada bahu lebar sang sahabat. Ia menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher Yohanes untuk kemudian menghembuskan napas di sana.
“Nghh, Ran. Udah, heh, berhenti. Nanti gua kelepasan,” pinta lelaki manis itu.
“Gua gak mau berhenti, Yo. Rasanya beda kalo sama lo, gak kayak sama si brengsek tadi,” jelasnya.
Mendengarnya, Yohanes menangkup kepala gadisnya agar menatap ke arahnya. Ditatapnya manik selegam senja itu lamat-lamat.
“Lo serius?” tanya Yohanes meyakinkan.
Tanpa ada keraguan sedikit pun, Ranie menganggukan kepalanya. Seolah ciuman yang Yohanes curi darinya tadi membangkitkan gairah di dalam dirinya.
Memang benar, berbeda dengan yang ia rasakan dengan Sagara tadi. Bersama Yohanes, ia merasa sangat nyaman.
“Ini tadi udah disentuh sama dia?” tanya Yohanes lagi seraya mengusap bibir tebal sahabatnya menggunakan ibu jarinya.
Ranie menggeleng. “Belum. Dia tadi paksa cium gua di sekitar sini,” jelasnya sembari mengusap daerah lehernya yang dipenuhi bekas kiss marks.
“Ini punya gua,” tegas lelaki manis itu.
Yohanes merujuk pada belahan bibir yang menjadi candu baginya walau hanya sempat menciumnya sekali.
“Gua bakal gantiin punya dia,” lanjutnya.
Kali ini mengacu pada tanda ungu kemerahan di sekitar leher jenjang sahabat kesayangannya.
Yohanes berdehem pelan. Kemudian, lelaki manis itu menunjukkan seringainya, yang tidak pernah Ranie lihat sebelumnya.
“Sorry to say, Ran. Tapi dari tadi gua ngerasain sedikit basah di bawah sana sejak lo duduk di atas gua. So, I’ll start this,” jelas lelaki manis itu.
Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Yohanes mencium lembut sahabatnya. Kepalanya sedikit mendongak sebab kini Ranie sedikit lebih tinggi darinya.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Ranie tidak melawan sebab memang ini yang ia mau. Hanya bersama Yohanes Arthadinata seorang.
Bodohnya gadis cantik itu tidak menyadari bahwa selama ini hanya seorang Yohanes yang ia butuhkan, bukan orang lain.
Ciuman hangat itu perlahan berubah menjadi kian menuntut. Yohanes mendorong tengkuk gadisnya untuk memperdalam ciuman mereka.
“Mmphhh,” lenguh Ranie di sela-sela ciuman mereka.
Lelaki manis itu mengusap punggung dan perutnya secara bergantian. Tindakannya sukses menaikkan libido sang gadis.
Setelah dirasa sama-sama kehabisan napas, Yohanes menyudahi ciumannya. Entah mengapa, Ranie merasa diisi tenaganya setelah ciuman itu.
“You look so beautiful in that dress, Ran,” puji Yohanes.
“I know, Yo, I know,” balas gadis cantik itu.
“But not long after, i will take off this beautiful dress to see something more way beautiful,” godanya.
“I won’t hesitate if you could enjoy that beautiful thing as soon as possible,” jawab Ranie tak kalah sensual.
Yohanes hendak kembali mencium gadisnya kala Ranie menghentikan pergerakannya. “Yo, di kamar aja,” pinta Ranie.
“Yaudah turun,” enteng Yohanes.
“Gua masih kaget banget, gak bisa jalan. Gendong gua dong,” ujar Ranie sembari mengeratkan pelukannya.
“Manja banget lo, Jelek. Padahal berat, bukannya tau diri,” ucap Yohanes sembari menyentil pelan kening gadisnya.
Tidak, Ranie tidak mau protes kepada Yohanes yang dengan sengaja menyentil keningnya. Ingat, hanya untuk hari ini saja.
Dengan hati-hati, lelaki manis itu berjalan menaiki tangga dengan Ranie dalam gendongannya yang serupa koala.
Sesampainya di dalam kamar, Yohanes menidurkan gadisnya di atas ranjang sembari menyingkap gaun yang dikenakannya.
Ingin berpenampilan serupa dengan Ranie, lelaki tampan itu membuka satu per satu kancing kemeja seragam sekolahnya lalu membuangnya ke sembarang arah.
Ranie, gadis cantik itu menelan ludahnya saat untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat secara langsung otot yang tercetak nyata di perut sang sahabat.
“Gua gak tau lo punya abs, Yo,” ucap Ranie sembari mengelus cetakan otot itu.
“Sekarang tau kan. Semua ini punya lo, Ran,” jawab Yohanes.
Mendengarnya, Ranie tersenyum lebar. Sebelum melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda, lelaki manis itu mengecup kening gadisnya.
Seperti rencana awal, Yohanes akan menggantikan tanda kepemilikan yang Sagara buat tadi dengan miliknya.
Ranie meremat kain yang menutupi ranjangnya saat sang sahabat mengecup dan sesekali menggigit daerah leher dan dadanya yang terkespos hampir sempurna.
“Mmhhh, Yo,” lenguhnya.
Sekarang, gadis cantik itu benar-benar merasakan kenikmatan, tidak seperti sebelumnya. Lihat saja, dadanya membusung.
Secara sengaja atau tidak, sepasang payudaranya yang masih terbalut bra itu menyentuh tubuh Yohanes. Oleh karenanya, lelaki manis itu semakin bangkit gairahnya.
Setelah selesai memberikan tanda khas kenikmatan di sekitar dada dan leher sahabatnya, Yohanes dengan gerakan kilat membuka pengait bra berwarna hitam itu.
Manik selegam malamnya kembali berbinar saat menangkap sepasang gunung sintal yang terlihat sangat menggiurkan.
“Nghh, ahh, Yo,” desah Ranie.
Saat sang sahabat dengan ganas melahap sebelah payudaranya. Ranie seolah dibawa terbang dengan rasa nikmat ini. Padahal, Yohanes baru bermain dengan sepasang payudaranya saja.
Gadis cantik itu tidak dapat membayangkan bagaimana sang sahabat akan bermain dengan kepemilikannya di bawah sana. Tanpa sadar, adegan-adegan gila itu berputar di dalam bayangannya.
“Ahhh,” lirih gadis cantik itu.
Kala tangan Yohan yang terbebas memijat lalu kemudian memilin ujung puting payudaranya. Ranie memalingkan pandangannya ke samping.
Mendengar gadisnya terus melenguh dan melirih, Yohanes tersenyum puas. Ranie benar-benar memberikan respon yang membuat hasratnya terus meningkat.
Dengan waktu yang sangat singkat, Ranie dapat melupakan peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi padanya.
Yohanes seolah mampu menghapus kenangan buruk dan langsung menggantinya dengan sesuatu yang beribu kali jauh lebih indah, serta nikmat tentunya.
Gadis cantik itu kembali dibuat meringis saat Yohanes mencium dan sesekali menggigit perut ratanya. Ciuman itu perlahan turun sampai ke arah paha bagian dalamnya.
“Nghh, Yo,” lenguh Ranie.
Tidak sampai di situ saja, Yohanes dengan sengaja mengusap lembut bibir vagina gadisnya dari luar pakaian dalam.
Diperlakukan demikian, Ranie hanya bisa mendesah tertahan sebab menggigit bibir bagian bawahnya dengan kuat.
“Jangan ditahan, Ran, desahin aja,” ucap Yohanes.
Mendengarnya, Ranie refleks mendesah kuat. “Ahhh,” lirihnya.
“Good girl,” puji lelaki manis itu.
Ranie dibuat menggila oleh sang sahabat. Semua permainan yang Yohanes berikan padanya sukses membuat dirinya merasakan surga dunia.
“Gua buka, ya, Ran,” ujar Yohanes meminta izin.
Tidak mampu menjawab, Ranie hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dengan begitu, lelaki manis itu melucuti kain terakhir yang melekat pada gadisnya.
Kemudian, Yohanes mengangkat sebelah kaki Ranie untuk bertengger di pundaknya. Ia dapat melihat jelas bagaimana vagina sang gadis berkedut dan memerah seolah meminta untuk segera dipuaskan.
“Yohanes!” pekik Ranie.
Tanpa aba-aba, lelaki manis itu melesatkan kedua jarinya masuk ke dalam sana. Tidak sulit bagi Yohanes untuk menerobos masuk ke dalam sebab milik gadisnya sudah sangat basah.
“Ahh, Yo,” lirih Ranie sembari menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar.
Dengan tempo pelan, Yohanes menggerakan jari telunjuk dan tengahnya pada daerah intim gadisnya.
Ranie menggigit pipi bagian dalamnya. Ia bersumpah dalam hatinya bahwa ia baru merasakan sesuatu senikmat ini di dalam hidupnya.
Yohanes benar-benar ahli dalam memuaskan dirinya. Mendegar gadisnya terus mengelukan namanya, lelaki manis itu menyeringai puas.
“Suka, Ran?” tanyanya sensual.
Itu pertanyaan bodoh, menurut Ranie. Seharusnya Yohan tidak perlu melontarkan pertanyaan seperti itu.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, gadis cantik itu hanya mengangguk setuju. Berbeda dengan dugaan awal, permainan Yohanes melebihi ekspektasinya.
“Nghh, ahh, Yohanes,” sergah Ranie.
Saat ibu jari lelaki manis itu bergerak menekan klitorisnya. Ranie seolah diberi kenikmatan beribu-ribu kali lipat.
Mungkin, sebentar lagi ia akan menjemput pelepasannya. Mengingat, bagaimana Yohanes sangat cerdik dalam melecehkannya.
“Ahh, Yo, kayaknya gua, nghh, mau pipis,” jelas gadis cantik itu susah payah.
Mendengarnya, Yohanes berniat untuk tidak mengulur waktunya lebih lama lagi. Lelaki manis itu menaikkan tempo permainannya.
Di mana hal itu membuat kumpulan jarinya menghujam titik manik gadisnya berkali-kali. Ranie dibuat meringis oleh sang sahabat.
“Yohanes, ahh!” pekik Ranie.
Gadis cantik itu benar-benar mendapatkan titik ternikmatnya. Tubuhnya menggelinjang hebat. Napasnya seolah diburu. Ia memejamkan maniknya erat.
Yohanes tentu tau gadisnya sudah mendapatkan pelepasannya. Lelaki manis itu mencabut jari-jarinya dari dalam sana.
Setelah membersihkan cairan khas kenikmatan yang mengotori tangan dan juga kain seprai yang ditiduri sang gadis, Yohanes merangkak naik untuk merebahkan diri di sebelah Ranie.
Lelaki manis itu merengkuh sang sahabat untuk masuk ke dalam dekapannya. Yohanes terkekeh saat mengetahui tubuh mungil itu masih bergetar di dalam pelukannya.
“Badan lo masih gemeteran, Ran,” ledeknya.
“Jangan ledek gua. Lo tau gua baru pertama kali kayak gini,” balas gadis cantik itu.
Tidak ada percakapan signifikan setelahnya, Ranie hanya fokus mengistirahatkan dirinya sembari memandangi dada bidang sahabatnya.
Sementara itu, Yohanes mengusap seraya sesekali menepuk lembut pucuk gadisnya. Lelaki manis itu menumpukan dagunya di atas kepala Ranie.
“Tidur, Ran. Gua tau lo capek,” sela Yohanes.
“Ngatur,” singkat Ranie.
“Lo tuh kenapa kalo dibilangin gak pernah nurut sih, Ran,” protes lelaki manis itu.
Tidak ada jawaban yang terdengar setelahnya. Ranie tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang sahabatnya lontarkan.
“Ran,” panggil Yohanes.
Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat. Lalu, lelaki manis itu menangkup dagu mungil gadisnya agar menatap langsung ke arah maniknya.
“Gua bakal ngomong serius sama lo. Jadi, gua minta tolong lo dengerin gua baik-baik, ya,” jelas lelaki manis itu.
Lagi, Ranie hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban. Gadis cantik itu menatap lamat manik selegam senja kesukaannya.
“Gua minta sama lo jangan pernah bohong sama perasaan lo sendiri, Ran,” ujar Yohanes.
“Maksud lo?” balas Ranie dengan bertanya.
“Lo sayang sama gua?” tanya lelaki manis itu tiba-tiba.
Awalnya, Ranie sedikit ragu untuk menjawab. Bukannya tidak yakin dengan perasaannya, gadis itu hanya takut akan kehilangan sahabatnya.
“Gak ada cowok lain yang gua sayan lagi, selain lo sama Papa, Yo,” jelasnya.
“Terus, kenapa lo bersikeras buat dapetin pacar dari aplikasi itu, Ran?” lanjut Yohanes.
Sebelum menjelaskan keresahannya, Ranie menghela napas panjang. Sejenak, ia memjamkan manik indahnya.
“Yo,” panggil Ranie sembari kembali membuka matanya. “Gua sayang banget sama lo, sesayang itu gua sama lo. Tapi, gua tau kita berdua sama-sama punya batas yang gak akan pernah bisa dilewatin. Kita ini sahabat, Yo. Lo pernah kepikiran gak kalo kita pacaran terus kita putus, bakal gimana akhirnya? Gua gak bakal bisa bertahan kalo gak sama lo, Yohanes,” jelas gadis cantik itu.
Mendengar pemaparan dari lubuk hati terdalam gadisnya, Yohanes tersenyum teduh. Akhirnya, ia tahu apa yang membuat gadisnya begitu khawatir akan hubungan persahabatan yang mereka jalani.
“Ran, kalo itu yang lo takutin, seharusnya lo gak perlu khawatir. Apa yang lo rasain, sama persis drngan apa yang gua rasain. Gua gak akan bisa kalo gak sama lo. Gua sama lo udah lama bareng-bareng, bahkan lebih dari setengah hidup kita. Kalo kita gak bisa apa-apa tanpa satu sama lain, gak akan ada satu pun alasan yang bisa buat kita pisah,” ujar Yohanes.
Semua yang dikatakan lelaki manis itu ada benarnya. Ah, mungkin semuanya benar. Untuk apa keduanya menunda waktu bersama, padahal keduanya menginginkan satu sama lain?
“Kalo dengan embel-embel sahabat ngebuat lo ragu sama hubungan kita, mending kita hilangin aja,” tegas Yohanes.
“Pacaran maksud lo?” terka Ranie.
Mendengarnya, Yohanes menggelengkan kepalanya. Memang benar, bukan itu yang ia maksud. Yohanes menginginkan Ranie lebih dari sekadar sahabat.
“Bukan,” jawabnya.
“Terus?” tanya gadis cantik itu penasaran.
“Kita nikah aja langsung,” enteng Yohanes.
“Hah?! Gila lo, Yo,” protes Ranie.
“Lo abisnya timbang gini aja ragu, Ran. Padahal udah sama-sama suka masih aja khawatir. Otaknya kebanyakan dipake buat overthinking,” keluh lelaki manis itu sembari menoyor kepala sahabatnya.
“Yohanjing!” umpatnya.
“Gua gak bisa ngeliat lo disakitin orang lain, Ran. Gua mungkin bisa bener-bener gila kalo ngeliat lo disakitin kayak tadi lagi. Gua gak akan maafin diri gua kalo kejadian kayak tadi keulang lagi di lo,” jelasnya.
Wajah tampan nan manis itu terlihat sangat merefleksikan kekhawatirannya. Melihatnya, justru Ranie malah tertawa puas.
“Gila lo, Ran?” sarkas Yohanes.
Ranie mengibaskan tangannya di hadapan Yohanes. Gadis cantik itu benar-benar larut dalam humornya sendiri.
“Enggak. Gua ngerasa lucu aja sama calon suami gua,” ujarnya sembari tersenyum lebar.
Degh! Jantung Yohanes pada siang menjelang sore kala itu serasa ditanam bunga tulip khas Belanda. Kata ‘calon suami’ yang diucapkan Ranie mampu membuatnya salah tingkah.
“Jangan salting gitu dong, calon suamiku,” final Ranie.
Gadis cantik itu mengusap sepasang pipi tirus kesukannya dengan ibu jarinya. Saat itu juga, jiwa Yohanes meninggalkan raganya.