ttoguxnanaxranie

“Nghh, ahh, Rel.”

Hanya dengan desahan yang mengandung namanya, Farelio seolah mendapat pasokan tenaga tambahan untuk terus menggepur gadisnya.

Lihat saja, bagaimana ranjang dengan kain seprai berwarna green sage itu sudah berbentuk tidak karuan dibuatnya.

Padahal, keduanya baru menyentuh tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar tersebut sekitar 15 menit yang lalu.

Jangan tanya. Farelio apabila suasana hatinya tengah berantakan, justru staminanya akan semakin kuat di atas ranjang.

“Moan my name, Airin,” bisik lelaki tampan itu tepat di sebelah telinga kiri sang gadis.

“Nghh, Farel, ahhh,” lirih Airin merespon perintah dominannya.

“Do i smack your sweet spot?” tanya Farelio menggoda.

Tidak mampu menjawab, gadis cantik tersebut hanya mengganggukkan kepalanya beberapa kali.

Sepasang manik selegam senjanya terpejam erat di bawah kungkungan Farelio. Kedua lengannya mengalung pada bahu lebar di atasnya.

Berperilaku serupa, Farelio juga kerap kali menengadahkan kepalanya lalu sesekali mengecup leher gadisnya kala rasa nikmat itu melingkupinya.

“Rel, ahh, i think i’m, nghh, gonna cum,” ucap Airin susah payah.

“Not yet, Rin, with my counts,” balas Farelio.

Mendengar gadisnya sebentar lagi akan menjemput pelepasannya, Farelio menambah tempo permainannya.

“Ahhh, Rel, faster, ahh,” lenguh Airin.

“Beg me,” singkatnya.

“Farel please, nghh, move faster,” ucap gadis cantik itu.

“Together, Rin,” perintah lelaki tampan itu.

Seolah berada di ritme yang sama, pada hitungan ketiga, keduanya mencapai titik ternikmatnya bersama-sama.

“Ahh, shit!” umpat Farelio.

Lelaki tampan itu mencabut kepemilikannya dari dalam sang gadis untuk kemudian melempar kantung penuh sperma itu ke tempat sampah.

Farelio merebahkan tubuhnya polosnya di sebelah sang gadis. Napas keduanya menggebu hebat.

“Thanks, Rin,” ucap Farelio.

Airin, gadis cantik itu lebih memilih untuk tidak menjawab. Ia menarik selimut yang sudah kusut itu untuk menutupi tubuhnya.

Menyadari Airin tidak menanggapi kata-katanya, Farelio bergerak menggenggam erat sebelah lengan gadisnya.

Airin dibuat meringis dengan gerakan tiba-tiba yang menyakitkan itu. Tubuhnya yang masih lunglai tidak mampu menerima stimulus spontan tersebut.

“Aw, Rel! Sakit,” lirih Airin.

“Jawab aku,” kata Farelio mengintimidasi.

“Iya, sama-sama,” balasnya.

Dengan begitu, Farelio baru mau melepaskan cengkraman tangannya pada lengan kurusnya. Airin menghela napas panjang.

“Aku tidur, ya, Rin. Bangunin aku kalo udah jam 7 malem,” jelas lelaki tampan itu.

“Iyaa, Rel,” jawab Airin lemas.

Dalam hitungan detik, gadis cantik itu dapat mendengar jelas suara napas yang teratur dari lelaki tampan di sebelahnya.

Perlahan, Airin mengubah posisinya agar menghadap ke arah lelaki tampan yang snagat ia sayangi itu.

Telapak tangannya bergerak mengusap rangka wajah tegas yang dipenuhi oleh guratas rasa lelah.

“Rel,” gumam Airin sangat pelan. “Kamu harus tau kalo aku sayang banget sama kamu,” lanjutnya.

Tidak ada respon yang terdengar sebab Farelio sudah benar-benar berpindah ke alam mimpinya.

Sepasang manik selegam senja itu menatap nanar pada insan yang sudah lama mengisi hatinya.

Kemudian, selimut yang tadinya hanya menutup setengah tubuh kekar itu, dengan inisiatif, Airin tarik sampai sebatas dada.

Tak lama, simpul senyum tipis namun masih terlihat cantik terpatri pada wajahnya yang juga cantik.

“Nghh, ahh, Rel.”

Hanya dengan desahan yang mengandung namanya, Farelio seolah mendapat pasokan tenaga tambahan untuk terus menggepur gadisnya.

Lihat saja, bagaimana ranjang dengan kain seprai berwarna green sage itu sudah berbentuk tidak karuan dibuatnya.

Padahal, keduanya baru menyentuh tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar tersebut sekitar 15 menit yang lalu.

Jangan tanya. Farelio apabila suasana hatinya tengah berantakan, justru staminanya akan semakin kuat di atas ranjang.

“Moan my name, Airin,” bisik lelaki tampan itu tepat di sebelah telinga kiri sang gadis.

“Nghh, Farel, ahhh,” lirih Airin merespon perintah dominannya.

“Do i smack your sweet spot?” tanya Farelio menggoda.

Tidak mampu menjawab, gadis cantik tersebut hanya mengganggukkan kepalanya beberapa kali.

Sepasang manik selegam senjanya terpejam erat di bawah kungkungan Farelio. Kedua lengannya mengalung pada bahu lebar di atasnya.

Berperilaku serupa, Farelio juga kerap kali menengadahkan kepalanya lalu sesekali mengecup leher gadisnya kala rasa nikmat itu melingkupinya.

“Rel, ahh, i think i’m, nghh, gonna cum,” ucap Airin susah payah.

“Not yet, Rin, with my counts,” balas Farelio.

Mendengar gadisnya sebentar lagi akan menjemput pelepasannya, Farelio menambah tempo permainannya.

“Ahhh, Rel, faster, ahh,” lenguh Airin.

“Beg me,” singkatnya.

“Farel please, nghh, move faster,” ucap gadis cantik itu.

“Together, Rin,” perintah lelaki tampan itu.

Seolah berada di ritme yang sama, pada hitungan ketiga, keduanya mencapai titik ternikmatnya bersama-sama.

“Ahh, shit!” umpat Farelio.

Lelaki tampan itu mencabut kepemilikannya dari dalam sang gadis untuk kemudian melempar kantung penuh sperma itu ke tempat sampah.

Farelio merebahkan tubuhnya polosnya di sebelah sang gadis. Napas keduanya menggebu hebat.

“Thanks, Rin,” ucap Farelio.

Airin, gadis cantik itu lebih memilih untuk tidak menjawab. Ia menarik selimut yang sudah kusut itu untuk menutupi tubuhnya.

Menyadari Airin tidak menanggapi kata-katanya, Farelio bergerak menggenggam erat sebelah lengan gadisnya.

Airin dibuat meringis dengan gerakan tiba-tiba yang menyakitkan itu. Tubuhnya yang masih lunglai tidak mampu menerima stimulus spontan tersebut.

“Aw, Rel! Sakit,” lirih Airin.

“Jawab aku,” kata Farelio mengintimidasi.

“Iya, sama-sama,” balasnya.

Dengan begitu, Farelio baru mau melepaskan cengkraman tangannya pada lengan kurusnya. Airin menghela napas panjang.

“Aku tidur, ya, Rin. Bangunin aku kalo udah jam 7 malem,” jelas lelaki tampan itu.

“Iyaa, Rel,” jawab Airin lemas.

Dalam hitungan detik, gadis cantik itu dapat mendengar jelas suara napas yang teratur dari lelaki tampan di sebelahnya.

Perlahan, Airin mengubah posisinya agar menghadap ke arah lelaki tampan yang snagat ia sayangi itu.

Telapak tangannya bergerak mengusap rangka wajah tegas yang dipenuhi oleh guratas rasa lelah.

“Rel,” gumam Airin sangat pelan. “Kamu harus tau kalo aku sayang banget sama kamu,” lanjutnya.

Tidak ada respon yang terdengar sebab Farelio sudah benar-benar berpindah ke alam mimpinya.

Sepasang manik selegam senja itu menatap nanar pada insan yang sudah lama mengisi hatinya.

Kemudian, selimut yang tadinya hanya menutup setengah tubuh kekar itu, dengan inisiatif, Airin tarik sampai sebatas dada.

Tak lama, simpul senyum tipis namun masih terlihat cantik terpatri pada wajahnya yang juga cantik.

“Jelek,” panggil lelaki manis itu.

Siapa lagi? Jika bukan Yohanes Arthadinata. Sahabat yang merangkap sebagai pengawal dari Ranindhya Alister Dhanurendra itu menguarkan kepalanya dari balik daun pintu di depan kelas.

“Ranie jelek!” pekiknya lagi.

Kini, Yohanes menyandarkan tubuhnya pada tembok di depan kelas sembari menatap lamat pada sang sahabat yang tengah sibuk memasukkan keperluan sekolahnya ke dalam tas ransel.

Lelaki manis itu menghela napasnya panjang. Pada akhirnya, ia yang harus mengalah untuk menghampiri sahabatnya.

“Lo gua doain ke Tuhan biar tuli beneran mau, ya, Ran,” ucap Yohan tak santai.

“Apaan sih. Sok kenal banget, keluarga juga bukan,” balas Ranie juga tak santai.

Ctak!

Lelaki manis itu tidak ragu untuk menyentil kening gadisnya. Ranie, yang diperlakukan semana-mena seperti itu hanya meringis kesakitan sebab ia tidak memiliki tenaga lebih untuk membalas perlakuan Yohanes.

“YOHANJING!” umpatnya seraya mengusap keningnya yang terasa sedikit ngilu.

“Makanya kalo ada orang nanya tuh dijawab,” protesnya.

“Lah, emang lo orang?” ledek gadis cantik itu.

Lagi, mendengarnya, Yohanes menghadiahi sahabatnya dengan sebuah cubitan di pangkal hidungnya.

Sepertinya, bagi lelaki manis itu, kiamat akan datang apabila dirinya tidak berulah, dalam bentuk apapun itu, kepada sang sahabat.

“Yohan ihh! Sakit tau,” protes Ranie.

“Lo kebanyakan ngelunjaknya sama gua. Udah ayo, kita pulang,” ujar Yohanes sembari menarik sebelah lengan kurus Ranie.

Dibawanya sang sahabat menuju lapangan parkir luas. Di sana, lelaki manis itu membantu gadisnya untuk mengenakan helm. Tidak lupa, Yohanes mengeratkan tali pengamannya.

Tapi, di akhir aksinya, lelaki manis itu dengan sengaja memukul pelan kepala Ranie yang sudah terlindungi helm miliknya terlihat sangat kebesaran.

Bak sebuah ritual sebelum memulai perjalanan dengan motor besar itu, sebelum memakaikan kepalanya sendiri sebuah helm, Yohanes akan terlebih dahulu memasangkan gadisnya helm bergambar beruang coklat miliknya.

“Yohanes Arthadinata. Lo kalo gak sehari gak gangguin gua kayaknya gak hidup, ya,” sindir Ranie.

“Iya, emang,” singkat Yohanes seraya menaiki motor sport kesayangannya. “Cepet ah, Ranie. Panas nih,” sambungnya.

“Iya, sabar, Yo,” jawab gadis cantik itu.

Dengan begitu, Ranie ikut menaiki motor yang hampir setiap hari menemaninya untuk pergi dan pulang dari sekolah, dengan Yohanes yang mengendarainya, tentu saja.

Tidak ada obrolan signifikan yang terjadi di antara keduanya sebab sang penumpang lebih memilih untuk bermain dengan ponselnya. Ah, lebih tepatnya dengan aplikasi kencan yang sedang populer di sekolahnya.

“Ran,” panggil Yohanes setelah membuka visornya. Suara merdu itu meredam dari balik helm full-face.

“Apa?!” sahut Ranie dengan suaranya yang sedikit memekik.

“Lo lagi ngapain? Biasanya ribut banget kalo lagi di motor,” tanya Yohanes. Lelaki manis itu melirik gadisnya dari arah kaca spion.

“Hah?! Enggak, gua gak lagi ngapa-ngapain kok,” jawabnya.

Ranie, gadis cantik itu dengan sengaja berbohong sebab jika ia mengatakan yang sebenarnya, mungkin sang sahabat akan menyuruhnya turun dari motor saat itu juga.

Yohanes tidak menggubris pernyataan dari sahabatnya itu. Bukannya ia puas dengan jawaban dari Ranie, namun Yohanes tahu bahwa sang sahabat tengah berbohong padanya.

Lelaki manis itu dapat melihat dengan jelas bagaimana senyuman manis kesukaannya itu terpatri, namun bukan untuk dirinya. Tatapan Ranie sedari tadi tidak berpaling dari layar ponsel.

Dapat dipastikan, gadis cantik itu masih sibuk dengan aplikasi kencan pada ponselnya. Belum lagi, sepasang ibu jarinya tidak berhenti menari di atas papan ketik.

Yohanes sangat yakin bahwa Ranie sedang membuka aplikasi yang sebelumnya ia sudah larang untuk gunakan.

Lihat saja, bagaimana ekspresi wajah lelaki manis itu berubah drastis seolah merefleksikan kebencian.

Tak butuh waktu lama bagi Yohanes melajukan motornya untuk sampai di rumah sang sahabat. Lelaki manis itu memarkirkan motornya di halaman luas yang tersedia.

Ranie turun terlebih dahulu dari atas motor untuk kemudian disusul oleh Yohanes. Lelaki manis itu melepas helmnya lalu meletakkannya di atas jok motor.

Berbeda dengan Yohanes, Ranie merasa sangat kesulitan untuk melepas helm beruang yang bertengger di kepalanya.

“Ish!” keluhnya.

Lagi, Yohanes menghela napas panjang. Padahal, lelaki manis itu sedang berusaha mati-matian untuk tidak melahap sepasang pipi chubby di hadapannya. Menurutnya, Ranie terlihat sangat lucu.

“Sini,” ucap Yohanes.

Dengan telaten, lelaki manis itu mencabut pengait dari tali pengaman helm gadisnya. Refleks, tangan kekar itu bergerak merapikan helaian rambut yang menutupi pandangannya gadisnya. Kemudian, manik mereka bertemu.

“Gini aja gak bisa,” sindir lelaki manis itu.

Berbeda dengan sebelumnya, tidak ada aksi brutal yang dilakukan Yohanes. Ranie cukup terkejut akan hal itu. Ditambah, maniknya menangkap raut wajah tak mengenakan yang ditampilkan sang sahabat.

“Lo kenapa, Yo?” tanya Ranie heran.

“Gak apa-apa,” jawab Yohanes ketus.

“Dih! Ngambekan,” tanya Ranie lagi.

Sekarang, keduanya melangkah masuk ke dalam rumah besar nan mewah itu. Sudah menjadi tradisi untuk Yohanes berkunjung ke kediaman gadisnya setiap hari.

Bagi Yohanes, rumah mewah milik Keluarga Dhanurendra itu sudah seperti rumah kedua untuknya.

Lelaki manis itu mendudukkan dirinya di atas sofa sementara sang gadis berlalu ke arah dapur. Dalam diamnya, Yohanes melirik ke arah Ranie.

“Mau minum apa, Yo?” teriak Ranie dari arah dapur.

“Gak usah,” gumam Yohanes pelan.

“Hah? Apa?” ulangnya.

“Gak usah, Ranie,” jawab lelaki manis itu malas.

Mendengarnya, gadis cantik itu mengangguk paham. Setelah meneguk segelas penuh air dingin, Ranie melangkah ke arah kamarnya.

“Gua ganti baju dulu, ya, Yo,” ucapnya seraya kaki jenjangnya menaiki satu per satu anak tangga.

Yohanes hanya menganggukan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban sementara maniknya tertuju pada layar ponsel.

Melihatnya, Ranie mulai merasa curiga. Sejenak, ia menghentikan langkahnya di depan kamar tidur.

“Yohanjing kenapa deh,” monolog Ranie. “Biasanya heboh banget timbang gua tinggal ganti baju doang. Anaknya gak minta masakin makanan macem-macem lagi,” lanjutnya.

Gadis cantik itu sempat bergelut dengan pikirannya sendiri sebelum kembali melanjutkan kegiatannya untuk mengganti baju sekolahnya.

Tak lama, Ranie keluar dari kamarnya dengan mengenakan gaun mini berwarna kuning dengan motif bunga di sekujur kainnya. Baju itu terlihat cantik dengan perpaduan kulitnya yang seputih susu.

Yohanes, lelaki manis yang sedari tadi sibuk dengan aplikasi twitter di ponselnya, kini menoleh ke arah tangga. Tempat di mana Ranie tengah melangkahkan kakinya dengan hati-hati.

Sepasang manik selegam malam itu bahkan tak berkedip sebab pemandangan yang perlahan mendekatinya.

“Ngedip, Yo,” ledek Ranie sembari mendekat ke arah sang sahabat. “Cantik banget, ya, gua,” lanjutnya.

Setelah mendengarnya, kesadaran Yohanes sepenuhnya kembali ke dalam raganya. Lelaki manis itu berdehem pelan. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

“Mau kemana lo?” tanya lelaki manis itu.

“Gak kemana-mana. Lo pulang gih, Yo. Gua mau ada tamu,” jelas Ranie.

“Tamu? Siapa?” ucap Yohanes skeptis.

“Kepo lo,” balas Ranie.

Berniat untuk tidak menggubris lebih lanjut pertanyaan dari sahabatnya, gadis cantik itu kembali bermain dengan ponselnya.

Ah, mungkin lebih tepatnya bukan untuk bermain, melainkan untuk mengirim pesan pada lelaki yang ia temui melalui aplikasi kencan.

Ya, selama perjalanan tadi, Ranie sempat ‘mencocokan’ diri dengan salah satu laki-laki pengguna aplikasi kencan tersebut.

“Tamu siapa, Ranie?” tanya Yohanes lagi. Namun, bias suaranya kian mendalam.

Gadis cantik itu tidak meladeni pertanyaan yang dilontarkan sang sahabat. Ia masih memfokuskan atensinya pada lelaki bernama Sagara di kolom pesan.

Merasa jengah, akhirnya Yohanes merebut paksa ponsel gadisnya. Kala manik selegam malamnya menangkap percakapan yang ada di kolom chat, wajahnya seolah memunculkan api amarah

“Gua bilang apa sama lo tentang main aplikasi ini. Gua gak bolehin lo main aplikasi ini ‘kan, Ran,” jelas Yohanes.

Wajah manis nan tampan yang biasa Ranie pandang setiap hari, kali ini berubah. Tidak ada lagi tawa atau candaan yang dilontarkan Yohanes.

Tangan kanan lelaki manis yang menggenggam ponsel terlihat semakin erat. Yohanes benar-benar marah.

“Lo kenapa sih, Yo?! Terserah gua dong mau main apa enggak. Lo gak punya hak buat larang gua. Lo siapa?!” balas Ranie dengan tidak kalah berapi-api.

“Gua sahabat lo, Ranie! Gua berhak ngelarang sesuatu yang gak baik buat lo. Lo pikir gua ngelarang lo main ini tanpa sebab yang jelas. Iya, gitu?” bentak Yohanes.

“Lo ngehambat gua, tau gak, Yo,” lirih Ranie.

Manik selegam senja kesukaan Yohanes itu membendung air mata. Cairan bening itu tertahan di pelupuk matanya.

“Lo gak tau seberapa desprate-nya gua buat punya pacar. Lo pikir gua gak iri liat Lia setiap hari jalan sama Jean. Gua juga mau kayak gitu, Yo,” jelas Ranie dengan suara yang sedikit tersendat.

Dapat dipastikan, gadis cantik itu menahan tangisnya. Tangannya bergerak mengusap wajahnya kasar.

Mendengar isi hati yang sebenarnya dari sang gadis, Yohanes menahan dirinya untuk tidak terlarut dalam amarah.

Lelaki manis itu mendekatkan dirinya pada Ranie. Tangannya mengulur untuk mengusap pipi chubby kesukaannya.

“Iya. Sorry gua kelewatan. Lo tau gua kayak gini karena khawatir sama lo, Ran. Sorry kalo kesannya gua nahan atau ngehambat. Tapi, jujur, gua gak pernah ada niat kayak gitu, Ran. Sebagai sahabat lo, gua punya kewajiban buat jagain lo,” jelas Yohanes lembut.

Mendengarnya, Ranie menghela napas panjang. Memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya pada dadanya yang terasa sangat sesak.

Gadis cantik itu memang salah satu tipe individu yang selalu menyangkut pautkan segal hal dengan perasaannya.

Yohanes tahu sahabatnya itu gadis yang rapuh. Oleh sebab itu, dirinya merasa mempunyai tugas untuk melindungi Ranie.

Tangan besar yang sedari tadi mengusap lembut pipi chubby itu, kini beralih menggenggam tangan sang gadis.

Lelaki manis itu menyerahkan ponsel gadisnya yang sedari tadi ia sita untuk sementara. Ranie meraih kembali ponselnya.

“Sekarang, gua minta lo unsend chat itu, ya, Ran. Gua gak mau lo kenapa-napa,” pinta Yohanes.

Ranie, gadis cantik itu tidak memberi jawaban pasti. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Melihatnya, Yohanes menatap heran ke arahnya.

“Lo gak mau hapus chat-nya?” tanya lelaki manis itu mengintimidasi.

“Enggak, Yo. Gua mau tetep nyoba ketemu sama Sagara,” jelasnya yakin.

Mendengar pernyataan tersebut, Yohanes memutar bola matanya. Gadis cantik di hadapannya ini juga keras kepala.

“Gua tuh ngelarang lo biar lo gak diapa-apain sama orang, Ranie. Lo paham gak sih? Lo ‘kan gak tau siapa Sagara, dari mana dia. Udah deh, unsend sekarang,” paksa lelaki manis itu.

Namun, Ranie tetaplah Ranie. Selain memiliki hati yang lembut, tetapi ia juga memiliki pendirian yang utuh.

“Gua gak mau lo larang-larang gua lagi, Yo. Gua berhak milih apa yang mau gua lakuin,” ujar Ranie sembari menatap manik selegam malam itu lamat.

“Lo gak bisa sama gua aja, ya, Ran? Lo gak bisa suka aja sama gua? Gua selalu ada buat lo kalo lo butuh,” ucap Yohanes.

Mendengarnya, Ranie seolah dibungkam seribu bahasa. Ini bagian yang paling ia benci dari hubungan sahabat dengan lawan jenis.

Gadis cantik itu tidak ingin munafik. Ia sangat bahagia dengan fakta bahwa Yohanes selalu menemani hari-harinya. Namun, rasa bahagia itu seolah diiringi oleh tembok yang tidak bisa ia hancurkan.

Dengan berat hati, Ranie kembali menggelengkan kepalanya. “Enggak, Yo. Sorry, gua gak bisa. Lo berhak nemuin cewek yang lebih baik dari gua,” jelasnya.

Seolah ditujah bilah bambu runcing, hati lelaki manis itu terasa nyeri mendengar sahabat kesayangannya berujar demikian.

Ia tidak yakin apa alasan kuat dari Ranie untuk tidak menyukainya. Yohanes memandang sahabatnya dengan tatapan nanar.

“Gua udah berusaha semampu gua, Ran. Tapi, bener kata orang, ya. Hubungan yang dimulai dari sahabat jarang ada yang berakhir bahagia,” lanjutnya.

Sekarang, giliran Ranie yang jantungnya terasa dihujam pisau tumpul. Sakit, sangat sakit. Mengetahui bagaimana Yohanes seolah menyerah kepadanya.

“Gua pamit, ya, Ran,” singkat Yohanes.

Dengan begitu, lelaki manis itu bangkit untuk kemudian berlalu dari dalam rumah mewah yang selalu menjadi tempat ternyamannya bersama Ranie.

Ranie, gadis cantik itu seperti tidak memiliki tenaga barang untuk mengehentikan langkah sahabatnya. Ia dapat mendengar jelas suara motor Yohanes yang pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.

Setelah kepergian sang sahabat, tangisan yang sedari tertahan kini runtuh. Ranie menangis sejadi-jadinya. Gadis cantik itu menutup seluruh wajahnya menggunakan telapak tangannya.

Pada satu sisi, ia merasa bersalah pada Yohanes. Namun, di sisi lain, seperti kewajiban baginya untuk hidup tanpa bergantung pada lelaki manis itu.

“Maksud gua tuh gak gitu, Yo,” gumamnya. “Gua sayang sama lo. Tapi, kalo kita putus gimana? Gua gak bisa ngehadepin fase itu,” lanjut Ranie.

Selagi Ranie menjadi satu dengan emosinya. Seseorang mengetuk pintunya yang setengah terbuka.

Gadis cantik itu terlalu memfokuskan atensi pada air matanya sampai tidak sadar seseorang yang ternyata lelaki itu melengang masuk ke dalam rumahnya.

“Ran,” panggil lelaki tampan itu.

Mendengarnya, Ranie mengangkat pandangannya. “Eh?” ucapnya sedikit memekik.

“Sorry, ya. Gua Sagara, dari aplikasi dating yang tadi lo match-in. Sorry, ya, kalo gua lancang. Soalnya tadi pintunya kebuka, terus gua denger ada suara cewek nangis. Gua takut ada yang kenapa-napa,” jelas Sagara yang masih berdiri tegap di samping sofa ruang keluarga rumah mewah tersebut.

“Eh?! Sorry, Sagara. Sorry banget nih. Tadi gua abis berantem sama temen, gua lupa ada janji sama lo,” jawab Ranie.

Tanpa dipersilakan, lelaki tampan itu mengambil posisi duduk di sebelah Ranie. Tentunya, gadis cantik itu cukup terperanjat.

“Lo gak apa-apa, Ran?” tanya Sagara khawatir.

Ranie, yang ditanya seperti itu, maniknya membulat sembari memunculkan binar bak tersihir oleh pertanyaan yang padahal Yohanes sendiri lontarkan padanya setiap saat.

“Oh, iya, gua gak apa-apa kok, Gar,” jawab Ranie dengan sedikit ragu.

“Lo mau gua peluk?” tawarnya.

Mendengar pertanyaan itu, entah mengapa membuat hati Ranie menghangat. Ia menyimpulkan senyumnya.

“Emang boleh?” ucapnya sedikit ragu.

“Ya, boleh. Gua gak tega liat lo sesenggukan gini, Ran,” balas Sagara sembari merentangkan tangannya.

Perlahan namun pasti, gadis cantik itu mendekatkan tubuhnya pada lelaki tampan yang baru hari ini ia temui.

Ranie meletakkan kepalanya pada sebelah bahu lelaki tampan itu, sementara Sagara mengusap pelan punggung serta pucuk kepalanya.

Mungkin, ini memang terdengar sedikit tidak etis. Mengingat, keduanya hanya bermodalkan akun dari aplikasi kencan yang dimiliki masing-masing.

Ini terlalu berlebihan untuk pertemuan pertama. Ya, walaupun aplikasi itu memang dirancang dengan tujuan mempertemukan dua insan yang saling mencari cinta.

Pada awalnya, Ranie merasa sangat nyaman berada di dalam dekapan Sagara. Namun, entah mengapa beberapa saat setelahnya, pelukannya itu terasa kian menuntut.

Lelaki tampan itu mengeratkan pelukannya. Belum lagi, dengan tidak sopan, tangannya menjalar ke seluruh bagian tubuh yang bisa ia jangkau.

“Sorry, Gar, tangan lo,” protes Ranie.

“Loh, katanya lagi sedih, Ran,” ucap Sagara. “Kalo cewek lagi sedih, biasanya bakal seneng lagi kalo dienakin,” lanjutnya.

Mendengarnya, sepasang manik selegam senja itu kembali membulat. Tetapi, kali ini diiringi dengan perasaan cemas nan khawatir.

Ini ancaman! Ranie berusaha memberontak agar lepas dari dekapan itu. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan Sagara.

Selanjutnya, lelaki tampan itu bertindak semakin kurang ajar. Sagara menciumi area di sekitar leher Ranie dengan paksa.

Sepasang lengan kurus itu berusaha untuk memukul. Tetapi, Sagara menahan pergerakannya.

Tubuh mungil Ranie seolah tenggelam dibandingkan tubuh kekar milik Sagara. Gadis cantik itu memejamkan maniknya erat, hendak menangis lagi.

“Nghh, Gar, lepasin! Gua gak mau!” lenguh Ranie saat berusaha menentang dari rasa geli yang tidak mengenakan itu.

“Diem, Ran. Bentar lagi lo juga bakalan enak,” ujar Sagara sensual.

“Bangsat!” umpat Ranie.

Entah sedang lengah atau dengan sengaja, Sagara melepaskan genggaman tangannya dari tangan Ranie.

Kesempatan itu ia gunakan untuk memukul kepala Sagara dengan keras. Lelaki tampan itu sempat terhuyung di atas sofa.

Manik lelaki tampan itu mengerjap beberapa kali sebelum menampilkan seringai seramnya. Sagara menatap seluruh tubuh indah yang terbalut gaun berwarna kuning di hadapannya dengan lapar.

Sagara memandang Ranie seolah makan malamnya. Ranie, yang ditatap seperti itu, memundurkan posisi duduknya.

Setelah perlakuan tidak senonoh yang Sagara lakukan padanya, tiba-tiba Ranie merasa seperti seluruh tenaganya diserap.

Bahkan, hanya untuk meraih ponselnya di atas meja saja ia tidak kuat. Ya, setidaknya sebelum Sagara kembali menerkamnya.

Kali ini, lelaki tampan itu bergerak mengungkung Ranie di atas sofa. Ia kembali mengunci sepasang lengan kurus itu dengan telapak tangannya yang besar.

Ranie, yang diperlakukan seperti itu, hanya dapat menangis. Ia memalingkan wajahnya ke arah samping. Cairan bening membanjiri pipinya.

Melihatnya, Sagara justru sangat terpuaskan. Dengan hawa nafsu yang menggebu, ia menjilat jejak air mata yang turun di sekitar wajah gadisnya.

“Sagara, lepas!” teriak Ranie dengan sisa tenaganya.

“Kok lepas? Ini lagi tanggung, Sayang. Sebentar lagi juga pasti enak. Tunggu, ya,” ucapnya.

Dengan begitu, Sagara kembali melanjutkan acara menciumi tubuh gadisnya yang sempat tertunda.

Namun, saat masih setengah jalan, keduanya dikejutkan dengan suara bantingan pintu yang memekakan telinga. Sagara melirik ke arah pintu masuk.

“LEPASIN BRENGSEK!” pekik Yohanes.

Ya, itu Yohanes. Lelaki manis itu datang kembali untuk menyelamatkan sang gadis setelah berpapasan dengan mobil milik Sagara di depan komplek.

Dengan langkah yang mendentum, Yohanes menghampiri Sagara yang tengah asik mempermainkan sahabatnya.

Tanpa aba-aba, Yohanes menarik kerah kemeja putih yang dikenakan Sagara untuk kemudian meninju wajahnya.

BUAGH!

Tubuh kekar itu terlempar ke atas meja berlapis kaca di ruang tamu. Sagara meringis kesakitan di atas sana.

Berbeda dengan lelaki tampan itu, Yohanes ikut naik ke atas meja dan menghujani wajah tampan Sagara dengan banyak pukulan.

Wajah dengan rangka tegas itu kini dipenuhi bekas lebam berwarna keunguan, luka di seluruh wajah, serta sudut bibirnya yang robek.

“Yohan, berhenti,” lirih Ranie seraya bangkit dari posisinya.

Tidak mendengarkan permintaan sahabatnya, Yohanes masih tetap pada aktivitasnya memukuli lelaki tampan yang sudah menyakiti gadisnya.

Dapat dilihat, di atas meja kayu yang kacanya sudah hancur sempurna itu, Sagara sudah kehilangan setengah kesadarannya.

“Yohanes, udah!” pekik Ranie.

Gadis cantik itu menarik lengan Yohanes agar turun dari atas meja. Ranie memeluk sahabatnya dari belakang.

Merasakan sepasang lengan melingkari pinggangnya, lelaki manis itu membalikkan tubuhnya.

Yohanes mengcengkram kedua bahu sempit di hadapannya. “Lo gak apa-apa, Ran? Ada yang sakit? Ada yang luka gak?” tanya lelaki manis itu bertubi-tubi.

Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang sahabat, Ranie menggelengkan kepalanya.

“Maafin gua, ya, Ran. Gua seharusnya gak ninggalin lo,” ujar Yohanes sembari memeluk gadisnya erat.

Di dalam dekapan itu, Ranie kembali menangis sejadi-jadinya. Tubuh gadis cantik itu bergetar hebat sebab tangisannya.

Sementara itu, Sagara mulai bangkit dengan seluruh tubuhnya yang terasa nyeri dan ngilu. Tentunya, Yohanes menyadari hal itu karena suara serpihan kaca yang terdengar saling menggesek satu sama lain.

“Bentar, Ran. Ini yang terakhir,” final Yohanes.

Di detik berikutnya, lelaki manis itu mengakhiri perkelahian sepihaknya dengan satu tinjuan keras. Seolah kepalan tangan itu dipenuhi dengan dendam.

Sagara kembali terbujur lemah di atas sana. Dengan paksa, Yohanes kembali menarik kerah baju Sagara agar lelaki tampan itu menatap matanya.

“Lo dengerin gua baik-baik, Gar. Sekali lagi gua ngeliat lo di sekitar Ranie, gua gak akan segan-segan buat bunuh lo,” sergah Yohanes.

Lelaki manis itu membanting lawannya yang sudah terluka parah ke atas meja yang dipenuhi pecahan kaca.

“Sekarang lo pergi dari sini,” singkat Yohanes.

Mau tidak mau, dengan tenaga yang ada, lelaki tampan dengan tubuh kekar itu berjalan gontai ke arah pintu keluar.

Yohanes memastikan bajingan satu itu agar benar-benar pergi meninggalkan pekarang rumah gadisnya.

Setelah mobil lelaki tampan itu menghilang dari penglihatannya, barulah Yohanes kembali masuk ke dalam rumah.

Di ambang pintu, lelaki manis itu menangkap gadisnya sedang menangis sesenggukan sembari terduduk lemas di atas sofa.

Yohanes, dengan hati yang terasa begitu tersayat, menghampiri gadisnya. Ia mengambil posisi duduk tepat di samping Ranie.

Yohanes kembali membawa sang sahabat untuk masuk ke dalam dekapannya. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Ranie sembari sebelah tangannya mengusap lembut pucuknya.

“Maafin gua, ya, Ran. Gua gagal jagain lo,” gumam Yohanes.

Dalam pelukan itu, Ranie menggelengkan kepalanya menentang pernyataan dari sang sahabat. Kepalanya menguar dari dada bidang Yohanes.

“Enggak, Yo. Gua yang minta maaf sama lo. Maaf gua udah nyakitin hati lo,” ujar gadis cantik itu.

“Enggak, Ran. Gua gak apa-apa kok,” balas lelaki manis itu sembari melonggarkan pelukannya. “Lo gak apa-apa ‘kan? Ada yang luka gak, hm?” lanjutnya.

Lagi, Ranie menggeleng sebagai respon. Suara teduh Yohanes mampu membuat hatinya mulai tenang.

Gadis cantik itu menghirup napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pasokan okseigen ke dalam sistem respirasinya.

Ia berani bersumpah, peristiwa barusan seperti mengambil setengah jiwanya. Ranie masih merasa terkejut.

Yohanes dapat melihat dengan jelas keresahan itu. Sepasang tangan besar itu menangkup tangan yang lebih kecil lalu mengusapnya.

“Maaf gua gak dengerin omongan lo, Yo. Maaf gua sempet ngomong hal buruk ke lo. Maafin gua,” ujar Ranie memohon maaf.

Mendengarnya, Yohanes terkekeh. Lelaki manis itu berusaha untuk tidak memperkeruh suasana.

“Lo dari tadi udah minta maaf terus, Ran. Bahkan kalo lo gak minta maaf pun, gua bakal maafin lo. Sesayang itu gua sama lo,” jelasnya.

Sepasang manik selegam senja itu bertemu dengan manik lainnya yang juga berbinar indah. Simpul manis yang terukir di wajah yang juga manis itu sukses membuat hatinya syahdu sempurna.

Ranie tidak bisa berhenti menatap manik yang mulai sekarang akan menjadi kesukaannya. Entah butuh waktu berapa lama untuk menyadarkan gadis cantik itu bahwa Yohanes memang setampan itu.

“Ngedip, Ran,” ledek Yohanes. “Ganteng banget, ya, gua,” lanjutnya.

Sekarang, giliran gadis cantik itu yang diberikan guyonan serupa oleh Yohanes. Mendengarnya, Ranie tertawa lepas.

“Yohanjing! Itu ‘kan kalimat gua,” ujar Ranie.

Yohanes mengacak-acak rambut gadisnya gemas. Simpul senyumnya terlihat semakin lebar.

Namun, Ranie menyadari sesuatu. Tangan besar yang gemar mengusap kepalanya itu hari ini dipenuhi oleh luka.

Ya, sebab pukulan Yohanes yang membabi buta tadi. Lelaki manis itu pasti tidak sadar pecahan kaca melukai tangannya.

Ranie membawa telapak tangan itu ke hadapannya. Perlahan, ia menyentuh satu per satu luka terbuka yang ada di sana.

“Gak sakit, Ran. Udah biasa kayak gini mah,” ujar Yohanes seraya menarik tangannya.

“Gua obatin, ya,” ucap Ranie.

Saat gadis cantik itu hendak bangkit dan menuju lemari kaca di sebelah televisi untuk mengambil kotak kesehatan, Yohanes menahan pergerakannya.

Ranie yang sempat bangun dari posisi duduknya menjadi kehilangan keseimbangan saat cengkraman tangan lebar Yohanes menggenggam lengannya.

Alhasil, gadis cantik itu jatuh di atas pangkuan sang sahabat. Dua pasang manik indah itu kembali bertemu.

“Luka gua gak akan sembuh kalo cuma diobatin pake obat merah, Ran,” jelas lelaki manis itu.

Mendengarnya, Ranie mengernyitkan keningnya. “Hah? Terus gimana? Kalo gak diobatin bisa infeksi itu, Yo,” sergahnya.

Menggemaskan. Hanya itu kata yang menggenang di pikiran seorang Yohanes Arthadinata saat ini.

“Lo yakin bisa obatin gua?” ledek lelaki manis itu.

Tanpa Ranie sadari, sedari tadi lengan kekar itu melingkar pada pinggangnya. Yohanes mendekap gadisnya di atas pangkuannya.

“Ya, yakin aja sih. Gimana cara obatinnya, cepet,” keluh gadis cantik itu.

“Gini, Ran,” sela Yohanes.

Cup!

Satu kecupan singkat mendarat tepat di bibirnya. Ranie mematung di tempatnya. Pandangannya kosong menatap sang sahabat.

“Gila lo, Yo,” ucapnya datar. “Tapi, masih sakit gak? Kalo masih obatin aja lagi,” lanjut Ranie.

Gadis cantik itu dengan sengaja menggoda sahabatnya. Bahkan, ia memangkas sedikit jarak wajahnya dengan wajah Yohanes. Seolah menyerahkan belahan ranum itu padanya.

“Lo yang gila, Ran. Nanti kalo gua lanjutin lo nangis lagi,” balas Yohanes.

Tidak kehabisan akal, Ranie mengalungkan lengannya pada bahu lebar sang sahabat. Ia menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher Yohanes untuk kemudian menghembuskan napas di sana.

“Nghh, Ran. Udah, heh, berhenti. Nanti gua kelepasan,” pinta lelaki manis itu.

“Gua gak mau berhenti, Yo. Rasanya beda kalo sama lo, gak kayak sama si brengsek tadi,” jelasnya.

Mendengarnya, Yohanes menangkup kepala gadisnya agar menatap ke arahnya. Ditatapnya manik selegam senja itu lamat-lamat.

“Lo serius?” tanya Yohanes meyakinkan.

Tanpa ada keraguan sedikit pun, Ranie menganggukan kepalanya. Seolah ciuman yang Yohanes curi darinya tadi membangkitkan gairah di dalam dirinya.

Memang benar, berbeda dengan yang ia rasakan dengan Sagara tadi. Bersama Yohanes, ia merasa sangat nyaman.

“Ini tadi udah disentuh sama dia?” tanya Yohanes lagi seraya mengusap bibir tebal sahabatnya menggunakan ibu jarinya.

Ranie menggeleng. “Belum. Dia tadi paksa cium gua di sekitar sini,” jelasnya sembari mengusap daerah lehernya yang dipenuhi bekas kiss marks.

“Ini punya gua,” tegas lelaki manis itu.

Yohanes merujuk pada belahan bibir yang menjadi candu baginya walau hanya sempat menciumnya sekali.

“Gua bakal gantiin punya dia,” lanjutnya.

Kali ini mengacu pada tanda ungu kemerahan di sekitar leher jenjang sahabat kesayangannya.

Yohanes berdehem pelan. Kemudian, lelaki manis itu menunjukkan seringainya, yang tidak pernah Ranie lihat sebelumnya.

“Sorry to say, Ran. Tapi dari tadi gua ngerasain sedikit basah di bawah sana sejak lo duduk di atas gua. So, I’ll start this,” jelas lelaki manis itu.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Yohanes mencium lembut sahabatnya. Kepalanya sedikit mendongak sebab kini Ranie sedikit lebih tinggi darinya.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Ranie tidak melawan sebab memang ini yang ia mau. Hanya bersama Yohanes Arthadinata seorang.

Bodohnya gadis cantik itu tidak menyadari bahwa selama ini hanya seorang Yohanes yang ia butuhkan, bukan orang lain.

Ciuman hangat itu perlahan berubah menjadi kian menuntut. Yohanes mendorong tengkuk gadisnya untuk memperdalam ciuman mereka.

“Mmphhh,” lenguh Ranie di sela-sela ciuman mereka.

Lelaki manis itu mengusap punggung dan perutnya secara bergantian. Tindakannya sukses menaikkan libido sang gadis.

Setelah dirasa sama-sama kehabisan napas, Yohanes menyudahi ciumannya. Entah mengapa, Ranie merasa diisi tenaganya setelah ciuman itu.

“You look so beautiful in that dress, Ran,” puji Yohanes.

“I know, Yo, I know,” balas gadis cantik itu.

“But not long after, i will take off this beautiful dress to see something more way beautiful,” godanya.

“I won’t hesitate if you could enjoy that beautiful thing as soon as possible,” jawab Ranie tak kalah sensual.

Yohanes hendak kembali mencium gadisnya kala Ranie menghentikan pergerakannya. “Yo, di kamar aja,” pinta Ranie.

“Yaudah turun,” enteng Yohanes.

“Gua masih kaget banget, gak bisa jalan. Gendong gua dong,” ujar Ranie sembari mengeratkan pelukannya.

“Manja banget lo, Jelek. Padahal berat, bukannya tau diri,” ucap Yohanes sembari menyentil pelan kening gadisnya.

Tidak, Ranie tidak mau protes kepada Yohanes yang dengan sengaja menyentil keningnya. Ingat, hanya untuk hari ini saja.

Dengan hati-hati, lelaki manis itu berjalan menaiki tangga dengan Ranie dalam gendongannya yang serupa koala.

Sesampainya di dalam kamar, Yohanes menidurkan gadisnya di atas ranjang sembari menyingkap gaun yang dikenakannya.

Ingin berpenampilan serupa dengan Ranie, lelaki tampan itu membuka satu per satu kancing kemeja seragam sekolahnya lalu membuangnya ke sembarang arah.

Ranie, gadis cantik itu menelan ludahnya saat untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat secara langsung otot yang tercetak nyata di perut sang sahabat.

“Gua gak tau lo punya abs, Yo,” ucap Ranie sembari mengelus cetakan otot itu.

“Sekarang tau kan. Semua ini punya lo, Ran,” jawab Yohanes.

Mendengarnya, Ranie tersenyum lebar. Sebelum melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda, lelaki manis itu mengecup kening gadisnya.

Seperti rencana awal, Yohanes akan menggantikan tanda kepemilikan yang Sagara buat tadi dengan miliknya.

Ranie meremat kain yang menutupi ranjangnya saat sang sahabat mengecup dan sesekali menggigit daerah leher dan dadanya yang terkespos hampir sempurna.

“Mmhhh, Yo,” lenguhnya.

Sekarang, gadis cantik itu benar-benar merasakan kenikmatan, tidak seperti sebelumnya. Lihat saja, dadanya membusung.

Secara sengaja atau tidak, sepasang payudaranya yang masih terbalut bra itu menyentuh tubuh Yohanes. Oleh karenanya, lelaki manis itu semakin bangkit gairahnya.

Setelah selesai memberikan tanda khas kenikmatan di sekitar dada dan leher sahabatnya, Yohanes dengan gerakan kilat membuka pengait bra berwarna hitam itu.

Manik selegam malamnya kembali berbinar saat menangkap sepasang gunung sintal yang terlihat sangat menggiurkan.

“Nghh, ahh, Yo,” desah Ranie.

Saat sang sahabat dengan ganas melahap sebelah payudaranya. Ranie seolah dibawa terbang dengan rasa nikmat ini. Padahal, Yohanes baru bermain dengan sepasang payudaranya saja.

Gadis cantik itu tidak dapat membayangkan bagaimana sang sahabat akan bermain dengan kepemilikannya di bawah sana. Tanpa sadar, adegan-adegan gila itu berputar di dalam bayangannya.

“Ahhh,” lirih gadis cantik itu.

Kala tangan Yohan yang terbebas memijat lalu kemudian memilin ujung puting payudaranya. Ranie memalingkan pandangannya ke samping.

Mendengar gadisnya terus melenguh dan melirih, Yohanes tersenyum puas. Ranie benar-benar memberikan respon yang membuat hasratnya terus meningkat.

Dengan waktu yang sangat singkat, Ranie dapat melupakan peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi padanya.

Yohanes seolah mampu menghapus kenangan buruk dan langsung menggantinya dengan sesuatu yang beribu kali jauh lebih indah, serta nikmat tentunya.

Gadis cantik itu kembali dibuat meringis saat Yohanes mencium dan sesekali menggigit perut ratanya. Ciuman itu perlahan turun sampai ke arah paha bagian dalamnya.

“Nghh, Yo,” lenguh Ranie.

Tidak sampai di situ saja, Yohanes dengan sengaja mengusap lembut bibir vagina gadisnya dari luar pakaian dalam.

Diperlakukan demikian, Ranie hanya bisa mendesah tertahan sebab menggigit bibir bagian bawahnya dengan kuat.

“Jangan ditahan, Ran, desahin aja,” ucap Yohanes.

Mendengarnya, Ranie refleks mendesah kuat. “Ahhh,” lirihnya.

“Good girl,” puji lelaki manis itu.

Ranie dibuat menggila oleh sang sahabat. Semua permainan yang Yohanes berikan padanya sukses membuat dirinya merasakan surga dunia.

“Gua buka, ya, Ran,” ujar Yohanes meminta izin.

Tidak mampu menjawab, Ranie hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Dengan begitu, lelaki manis itu melucuti kain terakhir yang melekat pada gadisnya.

Kemudian, Yohanes mengangkat sebelah kaki Ranie untuk bertengger di pundaknya. Ia dapat melihat jelas bagaimana vagina sang gadis berkedut dan memerah seolah meminta untuk segera dipuaskan.

“Yohanes!” pekik Ranie.

Tanpa aba-aba, lelaki manis itu melesatkan kedua jarinya masuk ke dalam sana. Tidak sulit bagi Yohanes untuk menerobos masuk ke dalam sebab milik gadisnya sudah sangat basah.

“Ahh, Yo,” lirih Ranie sembari menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar.

Dengan tempo pelan, Yohanes menggerakan jari telunjuk dan tengahnya pada daerah intim gadisnya.

Ranie menggigit pipi bagian dalamnya. Ia bersumpah dalam hatinya bahwa ia baru merasakan sesuatu senikmat ini di dalam hidupnya.

Yohanes benar-benar ahli dalam memuaskan dirinya. Mendegar gadisnya terus mengelukan namanya, lelaki manis itu menyeringai puas.

“Suka, Ran?” tanyanya sensual.

Itu pertanyaan bodoh, menurut Ranie. Seharusnya Yohan tidak perlu melontarkan pertanyaan seperti itu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, gadis cantik itu hanya mengangguk setuju. Berbeda dengan dugaan awal, permainan Yohanes melebihi ekspektasinya.

“Nghh, ahh, Yohanes,” sergah Ranie.

Saat ibu jari lelaki manis itu bergerak menekan klitorisnya. Ranie seolah diberi kenikmatan beribu-ribu kali lipat.

Mungkin, sebentar lagi ia akan menjemput pelepasannya. Mengingat, bagaimana Yohanes sangat cerdik dalam melecehkannya.

“Ahh, Yo, kayaknya gua, nghh, mau pipis,” jelas gadis cantik itu susah payah.

Mendengarnya, Yohanes berniat untuk tidak mengulur waktunya lebih lama lagi. Lelaki manis itu menaikkan tempo permainannya.

Di mana hal itu membuat kumpulan jarinya menghujam titik manik gadisnya berkali-kali. Ranie dibuat meringis oleh sang sahabat.

“Yohanes, ahh!” pekik Ranie.

Gadis cantik itu benar-benar mendapatkan titik ternikmatnya. Tubuhnya menggelinjang hebat. Napasnya seolah diburu. Ia memejamkan maniknya erat.

Yohanes tentu tau gadisnya sudah mendapatkan pelepasannya. Lelaki manis itu mencabut jari-jarinya dari dalam sana.

Setelah membersihkan cairan khas kenikmatan yang mengotori tangan dan juga kain seprai yang ditiduri sang gadis, Yohanes merangkak naik untuk merebahkan diri di sebelah Ranie.

Lelaki manis itu merengkuh sang sahabat untuk masuk ke dalam dekapannya. Yohanes terkekeh saat mengetahui tubuh mungil itu masih bergetar di dalam pelukannya.

“Badan lo masih gemeteran, Ran,” ledeknya.

“Jangan ledek gua. Lo tau gua baru pertama kali kayak gini,” balas gadis cantik itu.

Tidak ada percakapan signifikan setelahnya, Ranie hanya fokus mengistirahatkan dirinya sembari memandangi dada bidang sahabatnya.

Sementara itu, Yohanes mengusap seraya sesekali menepuk lembut pucuk gadisnya. Lelaki manis itu menumpukan dagunya di atas kepala Ranie.

“Tidur, Ran. Gua tau lo capek,” sela Yohanes.

“Ngatur,” singkat Ranie.

“Lo tuh kenapa kalo dibilangin gak pernah nurut sih, Ran,” protes lelaki manis itu.

Tidak ada jawaban yang terdengar setelahnya. Ranie tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang sahabatnya lontarkan.

“Ran,” panggil Yohanes.

Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat. Lalu, lelaki manis itu menangkup dagu mungil gadisnya agar menatap langsung ke arah maniknya.

“Gua bakal ngomong serius sama lo. Jadi, gua minta tolong lo dengerin gua baik-baik, ya,” jelas lelaki manis itu.

Lagi, Ranie hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban. Gadis cantik itu menatap lamat manik selegam senja kesukaannya.

“Gua minta sama lo jangan pernah bohong sama perasaan lo sendiri, Ran,” ujar Yohanes.

“Maksud lo?” balas Ranie dengan bertanya.

“Lo sayang sama gua?” tanya lelaki manis itu tiba-tiba.

Awalnya, Ranie sedikit ragu untuk menjawab. Bukannya tidak yakin dengan perasaannya, gadis itu hanya takut akan kehilangan sahabatnya.

“Gak ada cowok lain yang gua sayan lagi, selain lo sama Papa, Yo,” jelasnya.

“Terus, kenapa lo bersikeras buat dapetin pacar dari aplikasi itu, Ran?” lanjut Yohanes.

Sebelum menjelaskan keresahannya, Ranie menghela napas panjang. Sejenak, ia memjamkan manik indahnya.

“Yo,” panggil Ranie sembari kembali membuka matanya. “Gua sayang banget sama lo, sesayang itu gua sama lo. Tapi, gua tau kita berdua sama-sama punya batas yang gak akan pernah bisa dilewatin. Kita ini sahabat, Yo. Lo pernah kepikiran gak kalo kita pacaran terus kita putus, bakal gimana akhirnya? Gua gak bakal bisa bertahan kalo gak sama lo, Yohanes,” jelas gadis cantik itu.

Mendengar pemaparan dari lubuk hati terdalam gadisnya, Yohanes tersenyum teduh. Akhirnya, ia tahu apa yang membuat gadisnya begitu khawatir akan hubungan persahabatan yang mereka jalani.

“Ran, kalo itu yang lo takutin, seharusnya lo gak perlu khawatir. Apa yang lo rasain, sama persis drngan apa yang gua rasain. Gua gak akan bisa kalo gak sama lo. Gua sama lo udah lama bareng-bareng, bahkan lebih dari setengah hidup kita. Kalo kita gak bisa apa-apa tanpa satu sama lain, gak akan ada satu pun alasan yang bisa buat kita pisah,” ujar Yohanes.

Semua yang dikatakan lelaki manis itu ada benarnya. Ah, mungkin semuanya benar. Untuk apa keduanya menunda waktu bersama, padahal keduanya menginginkan satu sama lain?

“Kalo dengan embel-embel sahabat ngebuat lo ragu sama hubungan kita, mending kita hilangin aja,” tegas Yohanes.

“Pacaran maksud lo?” terka Ranie.

Mendengarnya, Yohanes menggelengkan kepalanya. Memang benar, bukan itu yang ia maksud. Yohanes menginginkan Ranie lebih dari sekadar sahabat.

“Bukan,” jawabnya.

“Terus?” tanya gadis cantik itu penasaran.

“Kita nikah aja langsung,” enteng Yohanes.

“Hah?! Gila lo, Yo,” protes Ranie.

“Lo abisnya timbang gini aja ragu, Ran. Padahal udah sama-sama suka masih aja khawatir. Otaknya kebanyakan dipake buat overthinking,” keluh lelaki manis itu sembari menoyor kepala sahabatnya.

“Yohanjing!” umpatnya.

“Gua gak bisa ngeliat lo disakitin orang lain, Ran. Gua mungkin bisa bener-bener gila kalo ngeliat lo disakitin kayak tadi lagi. Gua gak akan maafin diri gua kalo kejadian kayak tadi keulang lagi di lo,” jelasnya.

Wajah tampan nan manis itu terlihat sangat merefleksikan kekhawatirannya. Melihatnya, justru Ranie malah tertawa puas.

“Gila lo, Ran?” sarkas Yohanes.

Ranie mengibaskan tangannya di hadapan Yohanes. Gadis cantik itu benar-benar larut dalam humornya sendiri.

“Enggak. Gua ngerasa lucu aja sama calon suami gua,” ujarnya sembari tersenyum lebar.

Degh! Jantung Yohanes pada siang menjelang sore kala itu serasa ditanam bunga tulip khas Belanda. Kata ‘calon suami’ yang diucapkan Ranie mampu membuatnya salah tingkah.

“Jangan salting gitu dong, calon suamiku,” final Ranie.

Gadis cantik itu mengusap sepasang pipi tirus kesukannya dengan ibu jarinya. Saat itu juga, jiwa Yohanes meninggalkan raganya.

Sesuai aplikasi navigasi yang ada di ponselnya, Ranie memasuki sebuah gedung yang diduga menjadi tempat Thomas berlatih.

Bangunan baru, jika gadis cantik itu telisik lagi. Kaki jenjangnya satu per satu menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai 3.

Di lantai tersebut, di ujung lorong, Ranie berbelok ke kanan untuk kemudian berhenti di depan ruangan paling sudut di sana.

Ranie mengetahui itu ruang latihan milik rekannya yang bernama Thomas Antonio. Setidaknya, nama yang menurutnya tampan itu terpampang jelas di depan daun pintunya.

Perlahan, Ranie mendorong pintu yang terbuat dari kaca itu. Kala dirinya memasuki ruangan tersebut, suara musik yang sangat mendentum menguar di indera pendengarannya.

Thomas tengah berlatih pada malam itu sehingga tidak menyadari kedatangan teman barunya. Ya, setidaknya sampai lelaki manis itu menoleh ke arah cermin.

“Eh, Ranie, ya?” tanya Thomas seraya mematikan musik dari ponselnya yang tersambung dengan speaker besar di ruangannya.

“Iyaa, Tom. Gua Ranie,” ucap gadis cantik itu sembari mengulurkan tangannya.

Sebelum menyambut uluran tangan sang gadis, Thomas terlebih dahulu menyeka keringat yang berkumpul di tangannya menggunakan handuk kecil.

“Thomas. Sorry, ya, gua lagi latihan, nih,” jawabnya ramah.

“Ranie. Iyaa, gak apa-apa, kok, Tom,” balas Ranie.

“Coach Sandra kasih arahan apa aja ke lo? Biar gua bisa bantu sesuai arahannya,” tanya Thomas to the point.

Lelaki manis itu masih sibuk mengelap guyuran keringat di seluruh tubuhnya. Sepertinya, Thomas benar-benar berlatih dengan keras.

Lihat saja, bahkan Ranie dapat melihat dengan jelas otot perut yang tercetak dari balik kaos putih yang lelaki manis itu kenakan.

Sempat terpukau dengan pemandangan yang tersaji di depannya, akhirnya gadis cantik itu kembali pada kesadarannya. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Thomas, lelaki manis itu tentu saja menyadarinya. Sembari membuang handuk putihnya ke sembarang arah, ia terkekeh kecil.

“Coach Sandra gak ngasih arahan pasti, sih, ke gua. Dia ngerekomendasiin cabang dance ini ke gua soalnya gua gak punya waktu banyak buat latihan. Terus, cuma cabang dance ini yang nyedian beasiswa masuk kampus khusus seni,” jelas Ranie.

Mendengarnya, Thomas menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Oke, gua paham. Lo udah punya gambaran mau couple dance yang kayak gimana?” tanyanya lagi.

Ranie menggelengkan kepalanya. “Belom, sih. Gua belom kepikiran,” jawabnya santai.

Thomas menjentikkan jarinya. “Oke, kalo gitu kita langsung aja. Gua tadi udah riset beberapa couple dance dari klub dance nasional. Kita bisa pake beberapa buat inspirasi,” ujar lelaki manis itu.

Setelahnya, sepasang penari itu berlalu ke arah meja yang di atasnya terletak sebuah laptop yang masih menyala. Thomas memperlihatkan beberapa video yang dapat menjadi referensi bagi keduanya.

Ranie dengan seksama menyaksikan beberapa cuplikan yang Thomas tunjukkan padanya. Walaupun malam semakin larut, keduanya tidak berhenti untuk berdiskusi.

Setidaknya, malam ini, mereka berdua harus sudah menemukan lagu dan gerakan dasar dari tarian yang ingin ditampilkan di kompetisi nanti.

“Tom, menurut lo lagu yang lagi booming sekarang untuk couple dance itu lagu yang kayak gimana?” tanya Ranie pada lelaki manis di sebelahnya.

“Kalo gua sempet cek, sih, tadi tuh, gak masalah apa genre musik yang lo pake, tapi yang penting itu lo sama pasangan lo bisa menghayati lagu sama gerakannya. Kenapa? Lo ada ide buat lagunya?” balas Thomas dengan kembali bertanya.

Ranie mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya beberapa kali. “Gua ada kepikiran satu lagu, sih,” ujarnya.

“Apa tuh?” tanya lelaki manis itu sembari menolehkan pandangannya.

“Senorita. Lagunya Shawn sama Camilla,” singkat Ranie.

“Lagu pilihan lo boleh juga,” puji Thomas.

Mendengarnya, Ranie mengulas senyum. “Bisa aja lo, Tom,” balas gadis cantik itu.

“Ih, enggak, Ran. Gua serius. Itu lagu ketukannya teratur. Kita bisa lebih mudah buat gerakannya,” ujarnya.

Ranie menganggukan kepalanya setuju. “Lo bener, sih, Tom. Kita jadinya pake lagu ini aja?” tanyanya meyakinkan.

Thomas menganggukan kepalanya. “Ya, kalo lo mau? Gua setuju, kok,” jawabnya.

“Yaudah. Kita pake lagu ini aja,” final Ranie.

“Oh, ya, Ran,” sela Thomas. “Kebetulan gua tau orang-orang yang jadi juri di kompetisi itu nanti, soalnya mantan coach gua juga dulu,” sambungnya.

“Oh, gitu? Bagus dong. Kita bisa jadi tau kriteria penilian dari mereka,” tegas gadis cantik itu.

Lagi, Thomas menjentikkan jarinya. “Itu yang mau gua kasih tau ke lo. Gua dari awal harus warning ke lo kalo mereka suka dancer yang banyak skinship-nya, soalnya menurut mereka makin banyak sentuhan bakal makin kebangun chemistry-nya,” jelasnya.

Mendengarnya, Ranie menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Lo tau banyak, ya, Tom. Lo udah lama, ya, jadi dancer?” tanyanya.

“Kalo suka dance gua emang dari kecil udah suka dance. Tapi, kalo jadi dancer kayaknya baru 7 tahunan deh,” jawabnya seraya membuka aplikasi musik di laptopnya.

Sontak, gadis cantik itu menutupi mulutnya yang menganga. “Itu udah lama banget, Tom,” ucapnya.

“Ya, tapi gak bisa menjamin pengalaman gua lebih banyak dari pada lo, Ran. Gua denger dari Coach Sandra, katanya lo sering banget ikut kompetisi,” balas Tom setelah menyambungkan perangkat laptopnya dengan pengeras suara.

“Gua mau gak mau, sih, sebenernya. Gua gak mau hidup gua dijalanin dengan berat hati. Jadinya, gua buat hobi gua biar bisa ngehasilin uang,” jelas Ranie.

Setelahnya, keduanya melangkahkan kaki menuju ke tengah ruangan luas. Berdiri di hadapan cermin secara berdampingan.

“Bener kata Coach Sandra, lo orang baik, Ran. Pokoknya kita harus menang biar lo bisa masuk ke kampus seni pake beasiswa itu,” ujar Tom.

Tidak lupa lelaki manis itu menyunggingkan senyumnya. Melihatnya, hati Ranie terasa menghangat. Ia sangat bersyukur di pertemukan dengan orang-orang baik di kehidupnnya saat ini.

Sesaat lagu dimulai, sepasang penari itu mulai merancang gerakan-gerakan yang sekiranya sesuai dengan ketukan dari lagu yang dipilih.

Tentunya, sesuai direksi awal dari Thomas, keduanya menggunakan banyak sentuhan fisik dalam tarian mereka.

Kini, lelaki manis itu tengah berdiri di belakang sang gadis dengan Ranie yang merentangkan tangannya ke samping kiri dan kanan.

“Nah, pas masuk beat ini, nanti gua muter ke belakang lo. Terus tangan kanan gua ada di pundak lo, tangan kiri gua ada di pinggang lo. Dari sini, lo tinggal ikutin gerakan gua aja, Ran,” jelas Tom.

Ranie menganggukan kepalanya beberapa kali, tanda mengerti. Dengan begitu, keduanya kembali melanjutkan gerakan yang sempat tertunda.

Lagi dan lagi. Ranie dan Thomas tidak berhenti untuk bergerak mengikuti irama musik yang mengiringi langkah mereka.

Tanpa disadari, jam sudah menunjukkan pukul tengah malam. Sebagian ruangan di gedung itu terlihat gelap sebab lampunya yang padam.

“Ran, istirahat dulu, yuk,” ajak Thomas.

“Boleh,” balasnya.

Akhirnya, setelah merancang gerakan dengan durasi hampir setengah lagu, sepasang penari itu mengistirahatkan diri masing-masing.

Sekarang, keduanya tengah mengambil posisi duduk di atas sofa yang tidak terlalu besar yang terletak di sudut ruangan.

“Lo gak capek, Ran?” tanya lelaki manis itu setelah meneguk sebotol penuh air mineral.

Ranie menggelengkan kepalanya. “Enggak,” santainya sembari mengipas-ngipas bagian lehernya dengan tangannya.

“Boleh juga stamina lo,” puji Thomas, lagi.

“Emangnya lo capek, Tom? Enggak juga ‘kan,” sergah Ranie.

Mendengarnya, Thomas terkekeh. Jika ia boleh berpendapat, sejauh karirnya di dalam dunia seni tari, baru kali ini ia menemukan sosok seperti Ranie dalam hidupnya.

Gadis cantik dengan tekad yang kuat dan disertai dengan usaha yang keras. Thomas benar-benar mengapresiasi niat dan upayanya.

Entah mengapa, manik selegam malamnya tidak ingin berhenti untuk menatap objek cantik di sebelahnya. Tentunya, Ranie menyadari hal itu.

“Lo kenapa, Tom? Jelek banget, ya, gua kalo lagi keringetan,” ujar Ranie diakhiri tertawa renyah.

“Gila lo, Ran,” jawab Thomas juga diiringi dengan tawaan. “Mana ada lo jelek. Lo cantik banget malah pas lagi keringetan. Aura seksinya lebih keluar,” lanjutnya.

Ranie, gadis cantik itu tertawa puas dengan sanjungan yang Thomas ucapkan padanya. “Beneran, nih? Bagus dong. Karisma gua jadi lebih keluar pas nari,” katanya.

Setelahnya, gadis cantik itu menyambar botol minum miliknya untuk kemudian meneguk isinya perlahan sampai habis.

Jangan tanya, hanya dengan pemandangan leher putih nan jenjang itu, Thomas sudah tergoda hatinya.

Lelaki manis itu berdehem untuk menormalkan rasanya. Namun, tiba-tiba saja sekelibat ide terlintas di dalam otaknya yang terkenal cerdik.

“Ran,” panggil Thomas.

Yang dipanggil namanya hanya berdehem singkat seraya tangannya bergerak untuk meletakkan kembali botol minumnya di atas meja kayu.

“Lo mau gua kasih tips biar gerakan dance kita lebih dapet chemistry-nya gak?” tanya lelaki manis itu.

Mendengarnya, Ranie menganggukan kepalanya semangat. “Mau lah, Tom. Ayo sharing tips-nya, secara lo ‘kan dancer profesional,” pujinya.

“Sini lo deketan ke gua,” perintahnya.

Tanpa rasa ragu sedikit pun, gadis manis itu menggeser posisi duduknya agar mendekat pada sang rekan kerja.

“Kurang deket, Ran,” ucap Thomas.

Menurut pada perkataan lelaki manis itu, Ranie kembali memindahkan posisi duduknya. Kali ini, lebih dekat.

“Kayaknya kalo duduk gini doang agak kurang deh. Coba lo duduk di pangkuan gua, Ran,” enteng lelaki manis itu.

Ranie sempat terhenyak dengan permintaan Thomas. Namun, kembali pada tujuan awal. Niatnya hanya bekerja sama dengan lelaki manis itu untuk memenangkan kompetisi.

“Nah! Kalo gini pas rasanya,” jelas Thomas.

Kening gadis cantik itu mengernyit kala indera pendengarannya menangkap stimulus asing berupa ucapan aneh yang dilontarkan Thomas.

Tetapi, Ranie tidak ingin ambil pusing. Tentunya, lelaki manis lebih tahu bagaimana cara menyusun strategi yang bijak.

Ya, sampai setidaknya keinginan Thomas berikutnya mampu membuat sepasang manik selegam senjanya membulat.

“Kalungin tangan lo ke leher gua,” tegasnya.

Bias suara yang merdu nan ramah itu entah mengapa rasanya berubah menjadi kian menarik dan menggoda. Terdengar dalam dan mengintimidasi, menurut Ranie.

Dengan gerakan ragu, gadis cantik itu menyatukan sepasang lengan kurusnya untuk mengalungi bahu lebar milik Thomas.

“Sebenernya kita mau ngapain, sih, Tom?” tanya Ranie dengan suaranya yang sedikit bergetar karena rasa takut.

Thomas mengangkat pandangannya sembari menampilkan seringai andalannya. Manik indahnya menelisik setiap inci wajah cantik di hadapannya, terutama pada belahan bibir yang terlihat begitu ranum.

“Lo diem aja, ikutin permainan gua,” singkatnya.

“Maksud—“

Belum sempat Ranie merampungkan kalimatnya, Thomas sudah menyerangnya dengan ganas. Lelaki manis itu menyatukan bibirnya dengan bibir rekan kerjanya.

Ranie yang mendapat serangan tiba-tiba tentunya ingin mengelak. Namun, Thomas menahan tengkuknya untuk kemudian mendorongnya agar memperdalam ciuman mereka.

Ini gila. Apa yang ada di benak seorang Thomas Antonio pada tengah malam kala itu? Apa yang mampu membutnya bertindak gegabah seperti itu?

Menurut Thomas, jawabannya hanya satu. Ya, apalagi kalau bukan Ranindhya Alister Dhanurendra itu sendiri.

Melihat bagaimana persona gadis cantik itu serta gerakannya yang lihai saat menari. Belum lagi, satu pasang pakaian ketat yang bahkan tidak menutupi setengah tubuhnya.

Bagaimana Thomas tidak tahan jika disuguhkan pemandangan seperti itu? Seumur hidupnya, lelaki manis itu tidak pernah terangsang dengan rekan kerjanya, kecuali Ranie.

Setelah dirasa sang gadis mulai kehabisan oksigen, Thomas mengakhiri sesi bertukar saliva sepihaknya. Ranie bangkit dari posisi duduknya di atas pangkuan lelaki manis itu.

“Thomas!” pekik Ranie. “Lo apa-apaan, sih?! Lo gila, ya?!” bentaknya.

Thomas mengusap bibirnya yang basah menggunakan ibu jarinya. Ia kembali menyeringai seram.

“Kan gua bilang gua mau kasih tips buat bangun chemistry kita. Katanya lo mau menang. Iya ‘kan, Ran?” tanya Thomas menggoda.

“Lo gila, Tom. Gua berhenti,” final Ranie.

Gadis cantik itu hendak meninggalkan ruang latihan setelah mengambil handuk, botol minum, serta tas selempangnya saat sebuah tangan menghentikan pergerakannya.

Thomas menggenggam sebelah lengan Ranie untuk kemudian menghempaskan tubuh ringkih tapi kuat itu kembali ke atas sofa.

Mendapat perlakuan demikian, Ranie menatap sinis pasangannya. Namun, Thomas bukannya berhenti, ia malah semakin bergairah.

“Gua bilang kita harus menangin kompetisi ini ‘kan, Ran. Ikutin apa kata gua, kita pasti menang,” jelas Thomas.

Posisi lelaki manis itu saat ini tepat berada di atas tubuh mungil Ranie. Thomas mengungkung tubuh rekan kerjanya.

Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke sebelah telinga gadisnya. “Trust me, Ran. We will get our chemistry well-built,” ujar Thomas.

Bias suara sedalam palung itu seolah mantra hitam bagi Ranie. Lihat saja, gadis cantik itu benar-benar tidak berkutik setelahnya.

Thomas sedikit menegakkan tubuhnya. Lelaki manis itu melempar kaos putih yang sudah basah dibanjiri oleh keringatnya ke sembarang arah.

Sekarang, sepasang manik selegam senja itu tengah menyaksikan secara nyata otot tubuh yang terpatri pada tubuh atletis milik Thomas.

Melihatnya, lelaki manis itu terkekeh puas. “Like what you see, girl?” ucapnya sensual.

Ranie menelan ludahnya susah payah. Maniknya mengerjap beberapa kali sebelum memandang ke sembarang arah.

Selanjutnya, Thomas kembali memposisikan tubuhnya di atas Ranie. Kedua lengannya ia gunakan untuk menopang bobot tubuhnya.

“Nghhh,” desahan Ranie tertahan.

Saat Thomas menjilat daun telinganya. Gadis cantik itu memejamkan maniknya dengan sangat erat. Tangannya meremas sofa yang ia tiduri.

Sungguh, hanya dengan jilatan dan sesekali gigitan yang dilakukan Thomas sukses membut libido gadisnya ikut naik.

Perlahan namun pasti, lelaki manis itu menciumi seluruh wajah Ranie dan berakhir pada belahan manis yang menjadi candu buatnya.

Berbeda dengan sebelumnya, Ranie tidak melawan saat ini. Justru gadis cantik itu ikut menikmati permainan dari sang rekan kerja.

“Ahhh,” lenguhannya lolos.

Kala ciumannya pada bibir itu beralih turun pada leher dan bagian dadanya yang sedikit terekspos. Thomas meninggalkan beberapa tanda khas kenikmatan di sana.

Seolah tidak sabar, lelaki manis itu merobek baju olahraga gadisnya. Tentu saja, Ranie tidak terima akan hal itu. Ia sangat menyukai pakaiannya yang satu ini.

“Gila lo, Thomas! Baju gua!” sergahnya.

“Nanti gua beliin lagi,” santai lelaki manis itu.

“Bukan itu, Tom. Gua pulangnya gimana?” tanya Ranie cemas.

“Ada baju gua,” entengnya.

Napas lelaki manis itu menggebu bak diburu napsu. Memang demikian, bahkan sepasang gunung sintal itu masih terbalut oleh sport bra tetapi seolah Thomas tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

“Ahh, Tom,” lirih Ranie.

Saat Thomas tiba-tiba meremas kedua payudaranya. Gadis cantik itu menengadahkan kepalanya ke arah atas.

Sialan! Ranie tidak akan mengira membangun chemistry dengan rekan kerjanya akan terasa senikmat ini.

Mendengar desahan yang mengandung namanya, tentu saja Thomas merasa sangat puas. Tetapi ia tidak mau berhenti di sini. Ia ingin meminta dan memberi lebih.

Kali ini, Thomas dengan lembut membantu gadisnya untuk melepas sport bra yang melindungi gunung sintalnya.

“Thomas!” pekik gadis cantik itu.

Lelaki manis itu dengan cepat melahap sebelah payudara gadisnya. Sementara tangannya yang terbebas bergerak memijat lalu sesekali memilin ujung payudara Ranie.

Ranie meracau kenikmatan. Selama ini, gadis cantik itu terlalu fokus pada hidupnya sehingga melupakan fakta bahwa ia juga butuh hiburan semacam ini.

Mungkinkah bertemu dengan Thomas Antonio adalah sebuah anugerah baginya? Jika boleh egois, Ranie ingin terus bertemu dengan temannya ini bukan hanya perilah dansa saja.

Thomas tahu permainannya membuat sang gadis semakin gila. Lihat saja, lelaki manis itu semakin gencar memainkan sepasang payudara yang mulai saat ini akan menjadi kesukaannya.

“Nghh ahhh,” desahannya tak tertahan.

Setelah cukup puas bermain dengan gunung sintal di atas sana, kini Thomas ingin mencoba aset cantik lainnya.

Lelaki manis itu kini membubuhi perut rata gadisnya dengan banyak ciuman dan tanda kepemilikan sembari tangannya bergerak membuka celana legging milik Ranie.

Thomas tersenyum puas kala maniknya menangkap pakaian dalam yang berwarna cerah itu sudah lembap sebab ulahnya.

Lelaki manis itu mengangkat sebelah kaki gadisnya untuk bertengger pada bahunya. Ia gunakan jarinya untuk mengusap vagina indah itu dari bagian luar.

“Tom, ahh,” racau Ranie.

“Enak, Ran?” tanya Thomas menggoda.

Sebenarnya, Ranie ingin mengumpat pada lelaki manis di hadapannya ini. Apakah perlu ia menanyakan hal konyol seperti itu?

Jika Ranie tidak menikmatinya, mana mungkin ia berkenan untuk melanjutkan permainannya bersama Thomas.

Walaupun begitu, Ranie menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban. Melihatnya, Thomas tersenyum.

Sepersekian detik kemudian, lelaki manis itu menciumi lalu menjilat dan sesekali menggigit pelan paha bagian dalam gadisnya.

“Ahhh,” lirihnya.

Ranie dibuat semakin menggila olehnya. Thomas menyempatkan diri menciumi vagina gadisnya dari luar sebelum melucuti kain terakhir yang menempel pada tubuhnya.

“Gua buka, ya, Ran?” tanya Thomas meminta izin.

Lagi, gadis cantik itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Dengan begitu, Thomas menanggalkan pakaian dalam berwarna baby pink milik gadisnya.

“Thomas!” pekik Ranie lagi.

Kala secara sengaja lelaki manis itu melesatkan dua buah jarinya untuk masuk ke dalam milik gadisnya. Ranie menggigit bibir bagian bawahnya.

Thomas sengaja membiarkan jari tengah dan jari telunjuknya untuk berdiam diri sejenak di dalam vagina gadisnya.

“Move it, please, Tom,” pinta Ranie.

Baru setelah mendengar permohonan itu, Thomas menggerakkan jarinya perlahan. Gerakan tangan itu mampu membuat Ranie terbang ke langit.

Buktinya, Ranie tidak berhenti mendesahkan nama rekan kerjanya sejak tadi. Belum lagi saat Thomas menaikkan tempo kecepatannya.

“Thomas, ahh,” lirihnya.

“Seems you really like our session in building our chemistry, ya, Ran,” jelas Thomas.

Ranie tidak mampu lagi menjawab. Dirinya kini sudah dikuasai rasa nikmat yang tak tertandingi.

Tanpa sadar, gadis cantik itu ikut menggoyangkan pinggulnya pelan selaras dengan tempo permainan jari yang dilakukan Thomas.

“You’re gonna like this one, Ran,” ujar lelaki manis itu.

“Ahh, Tom!” pekiknya lagi dan lagi.

Ranie dibuat merasakan sesuatu paling nikmat yang pernah ia rasakan kala benda kenyal itu ikut menerobos masuk ke dalam vaginanya.

Gadis cantik itu bersumpah di dalam hatinya bahwa Thomas benar-benar membuatnya gila pada malam menjelang pagi hari ini.

Semua permainan yang dilakukan lelaki manis itu membuatnya merasakan surga duniawi. Lihat saja, sebentar lagi gadis cantik itu akan mencapai pelepasannya.

“Tom, nghh, gua pengen, ahh, pipis,” jelasnya susah payah.

Mendengarnya, Thomas semakin menaikkan tempo permainannya di bawah sana. Dan benar saja, tak lama setelahnya, Ranie menjemput pelepasannya.

“Thomas!” teriak Ranie.

Gadis cantik itu berhasil meraih titik ternikmat yang pernah ia alami. Napasnya menggebu. Tubuh polosnya yang menggelinjang mulai meluruh.

Serupa dengan Ranie, seluruh tubuh Thomas juga dibanjiri oleh keringat. Namun, terselip rasa puas di dalam dirinya sebab telah memanjakan gadisnya.

Thomas merangkak naik untuk menyeka keringat yang mengaliri wajah cantik gadisnya. Lelaki manis itu memberi Ranie banyak kecupan, dari keningnya, pipinya, pangkal hidunya, dan yang terakhir pada belahan bibirnya.

Lelaki manis itu tersenyum, begitu juga dengan gadisnya. Ranie menangkup wajah tanpan di atasnya. Ibu jarinya bergerak mengusap sepasang pipi tirus itu.

“Gua rasa chemistry kita udah kebentuk utuh, deh, Tom,” guyonnya.

Mendengarnya, Thomas terkekeh. “Bisa aja lo, Ran,” jawabnya.

“Lo nekat, tapi gua suka cara lo,” balas Ranie.

“Iyaa, gua juga suka sama lo, Ran,” enteng Thomas.

Berbeda dengan Thomas, mendengar kalimat gombal itu, aliran darahnya berdesir cepat. Ranie membeku di tempatnya ia berbaring.

Lelaki manis itu bangkit dari posisinya untuk kemudian bergerak mengumpulkan kain pakaian yang berserakan di lantai ruang latihan.

“Balik, yuk. Lo butuh istirahat biar besok bisa latihan lagi,” ucap Thomas sembari mengulurkan tangannya pada Ranie.

Gadis cantik itu menyambut uluran tangan sang rekan kerja. Dengan bantuan Thomas, Ranie mengenakan kembali pakaiannya yang sempat tanggal.

“Sorry, ya, Ran. Kaki lo jadi gemeteran gini. Besok bisa latihan? Kalo gak bisa, libur dulu aja, gak apa-apa,” tawar lelaki manis itu pada gadisnya.

“Gua gak apa-apa, Thomas. Gua anggap ini sebagai latihan,” jawabnya diakhiri dengan kekehan.

“Yaudah, yuk, balik. Ke tempat gua aja, ya,” ajak Thomas.

Ranie, gadis cantik itu tidak ada pilihan lain selain mengiyakan tawaran sang rekan kerja. Lagi pula, hari terlalu larut untuk dirinya pulang ke apartemen.

“Sini, Ran. Gua gendong,” ucap Thomas.

“Eh, gak usah, Tom. Gua masih bisa jalan,” jawab Ranie sembari mengibas-ngibaskan tangannya.

“Gua yang ngeri ngeliat lo jalan tapi gemeteran gitu. Udah sini, naik,” paksanya.

Pada akhirnya, malam larut menjemput pagi kala itu, Ranie berada pada gendongan rekan kerjanya.

Gadis cantik itu tidak menyangka kompetisi couple dance-nya pada kesempatan kali ini akan membawakannya banyak kejutan.

Iya, banyak kejutan itu bergabung menjadi satu. Kejutan oleh dari semesta untuknya berbentuk seorang Thomas Antonio.

Langkah lelaki tampan itu terdengar mendentum meskipun juga teredam suara bising di sekitarnya. Ranie bisa melihatnya dengan jelas bagaimana Samuel mendekat ke arahnya.

“Apa mau lo?” sergah Samuel seketika dirinya sampai di hadapan sang gadis.

Bias suara sedalam palung itu menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Mendengarnya, Ranie terkekeh puas. Gadis cantik itu bangkit dari posisi duduknya dari kursi tinggi yang tersedia di sekitar bar.

“Santai aja, dong, ganteng. Kan lo dateng ke sini mau happy-happy. Iya, gak?” ledeknya.

“Kalo lo cuma mau main-main, gua pulang,” singkat lelaki tampan itu.

Samuel hendak melangkahkan kakinya untuk pergi menjauh dari gadis yang terkenal suka menimbulkan onar di sekolahnya ini kala telapak tangan lembut itu menghentikan pergerakannya. Ranie menahan bahu lebar itu agar tidak berlalu.

“Lo yakin, Sam? Katanya tadi lo mau turutin apa aja permintaan gua,” sela gadis cantik itu.

Ranie mengangkat sebelah alisnya. Ia juga menampilkan seringainya. Dengan tingkah gadis cantik yang selalu di atas ambang batas wajar ini, Samuel hanya bisa menghela napasnya panjang.

“Yaudah. Lo mau apa?” tanya lelaki manis itu malas.

Mendengar lelaki tampannya berujar demikian, Ranie mendekatkan mulutnya ke telinga sebelah kiri Samuel.

Dengan tinggi tubuh lelaki tampan itu yang terpaut dengan dirinya, Ranie jadi harus menjinjitkan kaki jenjangnya sedikit lebih tinggi.

“Lo gila, ya?!” pekik Samuel setelah gadis cantik itu menyelesaikan kalimatnya.

“Enggak, tuh. Malah enak ‘kan buat kita berdua. Iya, kan, Sam?” goda Ranie sembari mengusap wajah tampan itu dengan tangannya yang terbebas sebab sebelah tangannya menggenggam gelas berisikan alkohol.

Samuel, lelaki tampan itu mengusap wajahnya kasar. Entah mengapa dewi keberuntungan tidak memihak padanya malam ini. Permintaan yang gadis cantik itu ajukan terlalu berat, menurut Samuel.

Padahal, ini bukan pertama kalinya bagi lelaki tampan itu untuk bersantai di dalam klub malam. Namun, mengapa dari semua manusia yang berpotensi mengetahui keberadaannya di tempat kotor ini, Ranie-lah yang Tuhan utus untuknya.

“Gimana, Sam?” tanya Ranie. “Gua punya bukti kuat untuk nurunin jabatan lo. Eh, sorry, gua salah. Bukan cuma nurunin jabatan, tapi dikeluarin dari sekolah,” lanjutnya.

Terdapat penekanan pada kata ‘ke luar’ yang diucapkan gadis cantik itu. Samuel menatap sinis pada gadis di hadapannya. Lelaki tampan itu menggertakan giginya.

Ingin sekali rasanya Samuel menampar wajah cantik nan angkuh itu. Tetapi, Ranie seolah memiliki kartu as. Lelaki tampan yang ditakuti seisi sekolah itu, dengan terpaksa, malam ini harus tunduk kepadanya.

Sebelum mengucapkan keinginan yang sama sekali tidak ia harapkan, Samuel menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk masuk ke dalam paru-parunya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, selain masuk ke dalam klub malam, Samuel akan melakukan hal tergila yang pernah ia lakukan.

“Yaudah. Di mana?” tanyanya singkat.

“Lo jangan khawatir. Gua punya banyak kenalan di sini. Kita bisa minta tolong ke salah satu dari mereka,” jelas Ranie.

Gadis cantik itu dengan sengaja mencolek pangkal hidung bangir Samuel. Tentu saja, lelaki tampan itu menepisnya.

Entah sudah berapa kali dirinya mengumpat dan bersumpah di dalam hatinya. Wajah lelaki tampan itu terlihat merah padam sebab menahan amarahnya.

Dengan berat hati, Samuel mengekori langkah gadis cantik itu untuk menaiki satu per satu anak tangga dan kemudian berjalan ke arah lorong yang minim penerangannya.

“Bangsat!” gumam Samuel pelan.

Walaupun begitu, Ranie tetap dapat mendengarnya dengan jelas. “Jangan ngumpat gitu, dong, Sam. Gua jadi makin pengen dengernya,” ujarnya.

Setelah meminjam sebuah kamar dari salah satu staf yang bekerja di klub tersebut, yang mana juga merupakan kenalan Ranie sejak lama, akhirnya sepasang muda-mudi itu masuk ke dalam sana.

“Jangan jauh-jauh, dong, Sam. Sini aja,” ucap Ranie sembari menepuk-nepuk pelan ruang kosong di atas sofa yang ia duduki.

Pasalnya, di dalam kamar yang tidak begitu luas itu, Samuel mendudukan dirinya di tepi ranjang sementara Ranie duduk di atas sofa berukuran sedang berbahan kain velvet berwarna merah.

Lelaki manis itu menyibakkan rambutnya ke arah belakang sebelum mengambil langkah mendekati gadisnya. Perlu diingat, Samuel sangat keberatan dengan semua ini.

“Ganteng banget sih lo, Sam,” puji gadis cantik itu.

Mendengarnya, entah mengapa, Samuel menjadi salah tingkah. Walau terdengar menggoda, sanjungan itu terdengar tulus di saat yang bersamaan.

“Diem,” ketusnya.

Bukannya merasa risih, Ranie malah semakin bersemangat. Lihat saja, gadis cantik itu menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan sang penguasa sekolah.

“Lo ngapain sih di sini, Sam? Gua gak pernah expect anak kayak lo, yang selalu dibanggain satu sekolah, semua cewek tergila-gila sama lo, bisa dateng ke tempat kayak gini,” tanya gadis cantik itu penasaran.

Sembari menunggu lelaki tampan itu untuk menjawab pertanyaannya, Ranie mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya.

Dihidupkannya sebatang penuh nikotin itu untuk kemudian dihisapnya. Ranie mengebulkan asapnya ke langit-langit.

“Lo gak perlu tau,” jawab Samuel singkat.

Mendengarnya, Ranie menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Oke, kalo gitu. Seems like lo bener-bener gak suka, ya, ada di deket gua, Sam. Padahal, gua pikir lo seneng-seneng aja ketemu sama gua, secara ‘kan lo liat gua tiap pagi di ruang konseling. It’s kinda disappoint me,” jelasnya seraya mengeluarkan asap tebal dari mulutnya.

“Lo bisa berhenti nyebat gak, Ran?” tanya Samuel sambil menolehkan pandangannya pada sang gadis.

Dibanding pertanyaan, yang keluar dari mulut Samuel lebih terdengar seperti sebuah perintah. Mengingat, nada bicaranya yang tegas, sangat tegas.

Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Enggak. Nyebat enak tau. Mau coba?” tawar Ranie.

Ia menyodorkan batangnya yang hampir habis kepada Samuel. Tentu saja, lelaki tampan itu menolaknya mentah-mentah. Melihatnya, Ranie tertawa renyah.

“Harusnya lo gak usah kaku gitu, Sam. Gua semakin bisa ngeliat kalo lo bener-bener takut sama gua,” ujar Ranie sembari mematikan rokoknya di atas asbak. “Ke mana ketos yang selalu bentak gua? Marahin gua? Jadi pengawalnya Bu Tarisha? Lo bener-bener ciut, Sam,” lanjutnya.

Samuel, lelaki tampan itu sedari tadi menahan dirinya. Jika gadis cantik di sampingnya ini sekali lagi saja berkata omong kosong, ia tidak akan tinggal diam.

“Sini. Gua gak tahan liat lo murung kayak gitu,” ucap Ranie tiba-tiba.

Sesuai dengan perjanjian awal, apabila Samuel tidak ingin Ranie menyebar semua aibnya malam ini, lelaki manis itu harus rela memberikan gadisnya pelukan hangat, paling tidak selama sepuluh menit.

Terdengar mudah, bukan? Memang Samuel saja yang bereaksi berlebihan. Ranie merentangkan lebar kedua tangannya untuk kemudian memberi isyarat agar Samuel masuk ke dalam dekapannya.

Setelah menghela napas panjang, akhirnya lelaki manis itu menyambut niat gadisnya. Samuel merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.

Tidak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya. Ya, paling tidak sampai Ranie kembali menyampaikan isi hatinya.

“By the way, pelukan lo nyaman, Sam. Gua jadi keinget sama Abang gua,” kata Ranie.

Abang? Samuel bertanya-tanya dalam hatinya, apakah gadis cantik tapi nakal ini mempunyai keluarga selain kakek dan neneknya? Sebab, sepengetahuan lelaki tampan itu, Ranie tidak memiliki anggota keluarga lain selain sepasang lansia itu.

“Dulu, kalo Papi sama Mami lagi berantem, Abang selalu peluk gua,” sambungnya.

Refleks, saat membahas sosok sang kakak, Ranie mengeratkan dekapannya. Napas gadis cantik itu terdengar mencekat, jika Samuel tidak salah.

“Lo punya Abang?” balas lelaki manis itu dengan bertanya.

Akhirnya, setelah hanya hujatan dan kalimat singkat yang ke luar dari mulutnya, Samuel menanggapi obrolan sang gadis dengan cukup antusias.

Ranie menganggukkan kepalanya beberapa kali. Samuel bisa merasakannya karena kepala gadis itu tepat di depan dadanya.

“Pernah,” jawabnya singkat. “Tapi, sekarang Abang udah di surga,” lanjut gadis cantik itu.

Mendengarnya, sepasang manik selegam malam itu membulat. Napasnya sempat terhenti. Tentunya, ini akan menjadi sepenggal kisah sedih untuk dibahas.

Tangan lebar lelaki manis itu bergerak mengusap punggung sempit gadisnya, meski sempat ragu. Ia berniat untuk memberi dukungan secara tersirat pada si penjahat sekolah.

Namun, bukannya merasa tenang, Ranie malah menggeliat di dalam pelukan Samuel. Lelaki manis itu menyatukan alisnya. Ranie benar-benar gila, menurutnya.

“Lo kenapa, heh, Ran?” tegur Samuel.

“Lo mah mancing, Sam. Udah tau cewek tuh sensitif banget kalo diusap punggungnya,” jelasnya tanpa rasa malu.

Mengdengarnya, Samuel menghela napas panjang. “Lo yang mancing, Ranie,” tegas lelaki manis itu.

“Hah?” balas Ranie heran.

Walaupun belum sepuluh menit, Samuel melepas pelukannya. Ditatapnya sepasang manik selegam senja yang ternyata terlihat lebih indah di malam hari. Lelaki manis itu menangkup dagu mungil gadisnya.

“Penampilan lo, baju lo, make up lo, semuanya. Lo pikir orang, apalagi cowok, gak akan ada yang ngerasa terpancing kalo lo kayak gini?” sarkasnya.

“Terserah gua, dong, Sam. Ini ‘kan bukan di sekolah, gua bebas mau pake apa aja,” bantah gadis cantik itu.

“Iya, kalo di sekolah ‘kan ada gua. Tapi, kalo lagi gak di sekolah, lo ada siapa?” tanya Samuel bertubi-tubi.

Mendengarnya, Ranie mengernyitkan keningnya. “Apaan sih, Sam? Gak jelas lo,” sanggahnya.

Sejujurnya, gadis cantik itu tersipu malu. Lihat saja, wajahnya menyemburatkan rona berwarna pink kemerahan.

Ranie membuang pandangannya ke sembarang arah, ke mana saja asal jangan secara langsung menatap sang ketua.

“Salting lo gua gituin?” sindir Samuel. “Sini,” lanjutnya.

“Apaan sini?” tanya Ranie heran. Kepalanya menoleh ke sumber suara.

“Peluk. Kan belom 10 menit,” jelas Samuel.

Ranie, gadis cantik itu memandang lawan bicaranya dengan tatapan yang ia sendiri tidak bisa artikan.

Mengapa gadis cantik itu merasa bahwa seorang Samuel Alderio memiliki kepribadian lain.

Ranie mengerucutkan bibirnya. Meski begitu, ia tetap menyambut pelukan sang ketua sekolah.

“Lo aneh, Sam,” ejek Ranie.

“Iya. Gua emang aneh, Ran. Mungkin lo gak akan mau tau aslinya gua gimana,” balas Samuel.

“Jangan mancing, kalo gak mau kasih tau. Gua penasaran soalnya,” gumam gadis cantik itu.

Lagi, Samuel melepas pelukannya lebih dulu. “Gua mau ngasih tau ke lo. Tapi, emang lo siap ketemu gua yang lain?” tanyanya meyakinkan.

Tatapan itu, seindah deburan ombak yang bermandikan cahaya rembulan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Ranie merasa tertarik kepada Samuel.

Seolah tersihir, manik selegam senjanya tak mau memandang ke arah lain, hanya berfokus pada pahatan indah dengan manik serupa bambi itu.

“Lo gak jawab, Ran. Gua anggap itu ‘iya’,” sela Samuel.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Samuel memangkas jarak antara dirinya dengan sang gadis. Kemudian, lelaki tampan itu melumat belahan bibir yang sudah lama ia impikan.

Ranie, gadis cantik itu tentu saja terhenyak. Jiwanya sempat berkelana meninggalkan raganya. Sampai akhirnya, Samuel sedikit menggigit bibirnya.

Sontak, Ranie membuka mulutnya. Kesempatan emas itu Samuel gunakan untuk menelusupkan lidahnya ke dalam sana.

Setelah sadar, gadis cantik itu mulai mengikuti irama permaianan dari sang petinggi sekolah. Mungkin Ranie tidak akan percaya bahwa yang menciumnya malam ini adalah Samuel Alderio.

Tapi, gadis cantik itu tidak ingin ambil pusing. Ranie ingin mengetahui sampai mana kemampuan lelaki tampan itu perihal permainan panas seperti ini.

Ranie mengalungkan lengannya pada bahu lebar Samuel. Sementara, lelaki manis itu mengusap perut rata gadisnya dari luar baju.

“Nghhh,” lenguhannya tertahan.

Tak lama setelahnya, Samuel menyudahi acara bertukar saliva dengan sang gadis. Lelaki manis itu menatap lamat manik Ranie.

“See, Ran? Itu gua yang lain. Lo tertarik buat kenalan?” tanya Samuel.

Ranie mengeratkan pelukannya pada sang lelaki tampan. “Lo harusnya kasih tau gua sejak lama, Sam,” jawabnya.

Pada peluang berikutnya, Ranie-lah yang mendahului Samuel untuk melanjutkan sesi berciuman mereka.

Merasa tidak ingin kalah, lelaki tampan itu mendorong tengkuk gadisnya agar memperdalam ciumannya.

“Nghhh ahh,” lirih Ranie.

Kala ciuman itu perlahan turun pada leher dan ruang pada dadanya yang sedikit terkespos. Ranie mengenakan kemeja berwarna putih dengan kerah pendek malam itu.

Samuel meninggalkan banyak bekas tanda kepemilikan pada sang gadis. Tentunya, Ranie menyukai hal itu.

Persetan dengan penampilannya besok. Ranie ingin menikmati malam ini bersama sisi iblis dari Samuel.

Seolah menginginkan lebih, tangan Samuel bergerak membukan kancing kemeja Ranie sembari melanjutkan ciumannya.

Maniknya kembali berbinar kala menangkap sepasang gunung sintal yang cantik masih terbalut dengan bra berwarna putih. Selaras dengan kulit susu yang dimiliki Ranie.

Samuel menatap intens gadisnya. “You look so beautiful with your shirt off,” pujinya.

Sebelah alisnya naik, menggoda. Tentunya, Ranie menerima stimulus itu dengan senang hati.

“You could find something more way beautiful if you’re explore here and down there,” balasnya sensual.

Mendengarnya, Samuel menyeringai puas. Dengan cepat, lelaki manis itu melepas pengait bra yang melindungi payudara gadisnya.

“Nghhh, fuck!” umpat Ranie.

Saat lelaki manis itu melahap sebelah payudaranya, sementara tangannya bekerja meremas, memijat, lalu memilin ujung payudaranya yang satu lagi.

Sepasang lengan kurus Ranie bersusah payah menahan beban tubuhnya di atas sofa sebab semua permainan ini membuatnya tubuhnya bergetar.

Mendengar gadisnya mendesah kenikmatan, Samuel terbakar api gairah. Lelaki manis itu semakin gencar memainkan sepasang gunung sintal yang mulai sekarang akan menjadi kesukaannya.

“Shit! Ahh, you’re so good with these,” ujar gadis cantik itu dengan napas berat.

Diberi sanjungan demikian, Samuel tersenyum puas di sela-sela kegiatannya. Ternyata, Ranie menyukai sisinya yang satu ini.

Setelah dirasa puas bermain dengan sepasang payudara gadisnya, Samuel menginginkan yang lain.

Lelaki manis itu dengan telaten menidurkan gadisnya di atas sofa. Ia mengecup hangat kening Ranie.

“I want to introduce myself with your lovely pussy,” ucap Samuel. “Can I?” lanjutnya.

Ranie menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Melihatnya, Samuel tersenyum manis sampai memperlihatkan deretan giginya.

Samuel menyingkap rok berbahan kulit yang gadisnya kenakan. Lelaki manis itu mengelus kulit putih berseri yang terpampang di sana.

“Mmhhh ahh,” desah Ranie.

Saat lelaki manis membubuhkan ciuman pada paha bagian dalamnya. Samuel menyeringai kala indera penglihatannya menangkap pakaian dalam berwarna putih itu kontras sebab cairan yang gadisnya hasilkan.

“I feel honored to make you really wet tonight, Princess,” godanya.

“I will be feel really pleased if you could do something wonderful to these thing, Prince,” jawab Ranie tak mau kalah.

Dengan begitu, Samuel melucuti pakaian dalam tersebut untuk kemudian meletakkannya di saku belakang celana jeansnya.

Lelaki manis itu mendekatkan wajahnya pada vagina yang terlihat memerah dan berkedut itu. Sungguh cantik, menurutnya.

“Samuel ahhh,” lirih gadis cantik itu.

Kala ibu jari lelaki manis bermain pada klitorisnya yang sedari tadi memang terasa gatal dan minta untuk dimainkan.

Tidak sampai di situ saja, Samuel meneroboskan dua jarinya untuk masuk ke dalam vagina gadisnya.

Ranie yang dilecehkan seperti itu mendongakkan kepalanya ke arah langit-langit kamar seraya menggigit bibir bagian bawahnya.

Samuel sukses membuatnya gila malam ini. Permainan yang dilakukannya membuat Ranie terbang ke angkasa.

“Ahh, Sam, ahhh, this feels so fucking good,” ucapnya.

Lihat saja, bagaimana Ranie tidak berhenti mengelukan nama Samuel di dalam setiap ungkapan rasa nikmatnya.

Belum lagi, jari-jari panjang nan berurat itu berulang kali mengujam titik manisnya. Membuat Ranie semakin ingin menjemput pelepasannya.

“Sam, nghh ahh, i’m close,” jelas gadis cantik itu.

Mendengarnya, dengan inisiatif, Samuel meningkatkan tempo permainannya di bawah sana.

Ranie meracau kenikmatan. Gadis cantik itu benar-benar akan mencapai titik ternikmatnya sebentar lagi.

“Ahh! Samuel!” pekiknya.

Ranie menjemput pelepasannya. Ia memejamkan maniknya erat. Tubuhnya menggelinjang hebat. Napasnya tertahan.

Permainan andal Samuel malam ini sukses membuat sofa merah yang ditidurinya dipenuhi dengan cairan khas kenikmatan.

Setelah mengeluarkan tiga jarinya dari vagina Ranie, Samuel bergerak mengangkat gadisnya agar duduk di atas pangkuannya.

“What do you think, Queen? Do you like the another Samuel?” tanya Samuel.

Ranie menyibakkan rambut panjangnya ke arah belakang untuk kemudian kembali mengalung pada leher jenjang di hadapannya. Kening serta wajahnya dibanjiri dengan peluh.

“Never be so much pleased like this before,” jawabnya.

“Glad that you like my alter ego, Ran,” ujar lelaki tampan itu.

Samuel memeluk gadisnya erat. Sepertinya, mulai malam ini, Ranie akan menjadi miliknya seutuhnya.

“Ran,” panggil Samuel.

“Iya, Sam,” balas Ranie.

“Love you,” finalnya.

Ranie mengernyitkan keningnya kala sepasang manik indahnya menatap layar ponsel yang sedang menampilkan seberkas pesan dari sang sahabat.

Julian, lelaki manis itu mengirim pesan kepada sahabat kesayangannya. Ia berkata bahwa ia sudah sampai di pekarangan apartemen Ranie.

Nah, yang menjadi masalah di sini ialah Ranie tidak menemukan motor tua berwarna biru yang biasa Julian kendarai dari radar penglihatannya. Gadis cantik itu tidak menangkap keberadaan kendaraan butut itu di mana pun.

Setidaknya, sampai sebuah suara klakson yang asing menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Ranie mengedarkan pandangannya.

“Ran!” panggil Julian seraya menurunkan kaca mobilnya.

Ranie dibuat menganga oleh kendaraan yang sang sahabatnya itu gunakan sekarang. Maserati Levante berwarna hitam pekat, keluaran terbaru.

Sementara gadis cantik itu membeku di temptnya, Julian tertawa geli untuk kemudian ia memberi isyarat agar Ranie lekas masuk ke dalam mobilnya.

“Apa-apaan, Julian?! Kamu kerja di cafe Kak Joya kok bisa beli mobil kayak gini? Aku yang terlalu boros apa emang aku yang gak tau kalo kamu sebenernya orang kaya,” ujar Ranie lemas selepas dirinya mendudukan dirinya di samping Julian di dalam mobil.

Mendengarnya, Julian terkekeh. “Ini hadiah dari mamaku, Ran,” jawabnya santai.

Meskipun mobil sudah melaju di jalanan kota yang terbilang ramai pagi ini, jiwa gadis cantik itu masih melayang entah ke mana. Hanya raganya saja yang ada di dalam mobil mewah itu.

“Ranie,” panggil Julian membuyarkan lamunan sahabatnya.

“Hah?” balas Ranie bak keong. Ia menolehkan pandangannya ke arah Julian.

“Jangan kanget gitu dong,” ucap lelaki manis itu tanpa memalingkan tatapannya dari jalanan aspal.

Ranie mengusap wajahnya kasar. “Ini aku mana bisa gak kaget, Jul. Mobil ini kalo dijual bisa ngehidupin aku sama keluargaku di kampung,” jelas Ranie hiperbola.

“Kamu lebay, deh, Ran. Enggak lah. Mobil ini gak semahal itu,” jawab Julian yakin.

“Orang kaya biasanya kalo ditanya jawabnya gini, nih. Ini aku lagi di-prank, ya, Jul? Ada kamera ‘kan di sekitar sini?” celoteh gadis cantik itu.

Sepasang tangannya bergerak memeriksa segala tempat yang bisa dijangkaunya, mulai dari door pocket hingga drink holder. Julian yang melihat tingkah aneh sahabatnya itu hanya tertawa renyah.

“Enggak, Ranie. Ini beneran hadiah dari mamaku pas ulang tahunku bulan lalu,” jelas Julian meyakinkan.

Lebih memilih tidak mendengarkan lelaki manis sahabatnya itu, kini tangan Ranie bergerak membuka laci dashboard yang terletak tepat di depannya.

Gadis cantik itu menggeledah segala benda yang tersimpan di sana. Betapa terkejutnya Ranie saat dirinya mendapat beberapa barang yang ia kira seorang Julian tidak akan pernah menyimpannya sama sekali.

Bukan, itu bukan obat-obatan terlarang atau semacamnya. Ranie mendekatkan sejumlah benda asing itu pada pandangannya. Sepasang manik selegam senjanya membulat.

Setidaknya, lelaki manis dengan citra polos itu memiliki alat kontrasepsi berupa kondom, gel pelumas, dan sebuah vibrator kecil di dalam sana. Sembari menggenggamnya, tangan Ranie bergetar hebat.

Julian Mallory, sahabat dari Ranindhya Alister Dhanurendra semenjak keduanya duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Tidak banyak yang gadis cantik itu ketahuj tentang sang sahabat. Berbeda dengan Julian yang sangat mengenal Ranie, bahkan hampir setiap detailnya. Sebab lelaki manis itu cenderung tertutup.

Tapi, setidaknya ada dua hal yang dapat Ranie pastikan perihal Julian. Pertama, keluarga dari lelaki manis itu memiliki kondisi finansial yang tidak jauh berbeda dengan keluarganya.

Kedua, Julian adalah manusia termanis, terpolos, dan termurni yang pernah Ranie temui. Lelaki manis itu bak bayi yang baru saja dilahirkan ke dunia.

Namun, situasi dan kondisinya saat ini tidak terlihat demikian. Ranie bak mengenal sosok baru dengan nama yang sama, tetapi dengan persona yang berbeda.

Mari kesampingkan Julian yang mengendarai Maserati padahal dirinya dari keluarga serba kekurangan. Yang membuat hati gadis cantik itu melompat dari tempatnya adalah fakta dari lelaki manis yang ia kenal ini mempunyai…

“Ini semua punya kamu, Jul?” tanya Ranie ragu-ragu.

Julian menganggukan kepalanya beberapa kali. “Iyaa, Ran. Itu punya aku,” jawabnya. Sepasang manik selegam malamnya masih memusatkan atensi pada hamparan jalanan di depannya.

Berbeda dengan Ranie, tidak ada nada gugup sedikit pun yang ia tangkap dari kalimat Julian barusan. Mendengarnya, dengan cepat, gadis cantik itu mengembalikan benda-benda haram itu ke tempatnya.

Saat itu juga, peluh membanjiri seluruh wajah Ranie padahal pendingin di dalam mobil Julian dipasang dengan suhu yang cukup rendah. Wajahnya juga berubah merah padam. Gadis cantik itu tidak berhenti bermain dengan jari-jarinya.

Sekilas, Julian melirik gadisnya yang tengah salah tingkah sebab ulahnya sendiri. Lelaki manis itu menyunggingkan seringai. Tangan kirinya yang terbebas ia gunakan untuk menggenggam sepasang tangan kecil sahabatnya.

“Jangan tegang gitu dong, Ran. Aku jadi konsen nih nyetirnya,” gumam Julian seraya menghadap ke arah gadisnya.

Jantung gadis cantik itu seolah dihujam banyak paku tajam. Ranie berani bersumpah bahwa ia tidak pernah mengira sahabatnya akan memiliki sisi seperti iblis seperti ini.

Bagaimanapun, Julian adalah lelaki dewasa yang normal. Tidak mungkin lelaki manis itu tidak memiliki hasrat dan gairah. Hanya saja Ranie tidak mengetahui hal itu.

“Kamu inget ‘kan aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Ran?” tanya Julian.

Tidak mampu menjawab dengan suaranya, Ranie hanya mengangguk beberapa kali. Gerakannya seolah terkekang dan terlihat takut. Aura yang dipancarkan Julian terlalu mengintimidasinya.

“Aku omongin di cafe aja, ya, di dapur. Soalnya aku mau ngomongin hal serius sama kamu,” lanjutnya.

Bias suara yang dalam nan lembut itu, Ranie tidak dapat menahannya. Julian Mallory yang biasa ia kenal seolah hilang dalam sekejap.

Jika biasanya Julian mengenakan kaos polos berwarna hitam atau putih dengan celana jeans lusuh untuk berjaga di balik counter cafe.

Tetapi, kali ini, lelaki manis itu mengenakan kemeja putih dengan lengannya yang digulung setengah lalu ia padankan dengan celana berbahan kain berwarna hitam.

Jika Ranie boleh jujur, Julian hari ini terlihat seratus kali lebih memikat dibanding sebelum-sebelumnya. Tanpa dirinya sadari, sedari tadi adegan gila berputar di dalam kepalanya.

Setelah sedikit sadar, gadis cantik itu menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk setelahnya mengatur napas.

Tangan besar Julian yang sampai sekarang masih menggenggamnya itu bagaikan menyalurkan energi panas pada dirinya.

Tak lama, keduanya sampai di tempat yang beberapa tahun belakang menjadi penopang bagi hidup masing-masing. Sebuah kedai kopi yang tak terlalu besar milik Joya.

“Turun, yuk, Ran,” ajak Julian setelah memberhentikan mobilnya di parkiran cafe.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat Julian melepaskan genggaman tangannya, Ranie dengan cepat membuka pintu mobil untuk kemudian berlarian kecil menuju gedung cafe.

Julian, yang melihatnya terkekeh kecil. “Baru digituin aja kamu udah salting, Ran. Kalo kamu kayak gini gimana aku mana bisa tahan,” monolognya.

Sesampainya di dalam, Ranie langsung menempatkan dirinya di dapur. Dengan gerakan tergesa, ia menyiapkan segala bahan makanan yang diperlukan.

Namun, saat gadis cantik itu tengah membasuh kedua tangannya di atas sink pencuci piring, suara aneh dan asing mengusik pendengarannya.

Berniat mendekati sumber suara, Ranie melangkahkan kakinya menuju pantry tempat penyimpanan persediaan bahan makanan dan biji kopi.

Suara itu kian menggema. Ranie yakin suara berisik itu berasal dari sana. Perlahan, tangannya bergerak memutar kenop pintu lalu membukanya.

Sepasang maniknya membulat dan hampir saja jatuh dari peraduannya kala mengetahui suara itu ternyata hasil dari perbuatan kotor yang dilakukan teman-temannya, Riana dan Mark.

Sepasang kekasih itu tengah bercumbu di dalam sana. Tentunya, Riana menyadari ada seseorang yang mengintip aktivitas panasnya dengan sang kekasih.

Gadis cantik dengan senyum manis itu melambaikan tangannya sejenak untuk kemudian melanjutkan kembali kegiatannya bersama Mark.

Ranie kembali menutup pintu pantry tersebut dan membiarkan teman-teman seperjuangannya untuk menikmati momen intim tersebut.

Lagi, peluh membanjiri wajah cantiknya. Tangannya masih menggenggam kenop pintu. Harusnya Ranie mengurungkan niat dan rasa penasarannya saja.

Setelah melihat adegan tak senonoh tadi, ada sebuah rasa yang membuncah di dalam dirinya. Ia sendiri tidak tahu apa itu, sebab ini yang pertama buatnya.

Ranie hendak membalikkan tubuhnya untuk kembali melanjutkan tugasnya di bagian kitchen kala pergerakannya didahului oleh seseorang.

Ya, itu Julian. Jika bukan, siapa lagi? Untuk kesekian kalinya hari ini jatungnya hampir melompat dari tempatnya. Kedatangan Julian yang tiba-tiba sangat mengejutkannya.

“Astaga! Aku kaget, Jul,” ujar Ranie sembari mengelus pelan dadanya.

“Aku nyariin kamu, Ran. Ternyata kamu di sini lagi ngeliatin Riana sama Mark main, ya,” ujar Julian.

Mendengarnya, Ranie mengangkat pandangannya pada Julian. Posisi lelaki manis itu tidak terpaut jarak sedikit pun dengannya.

“Hah? Main apa?” tanyanya heran.

“Itu,” ucap lelaki manis itu seraya mengidikkan dagunya ke arah pintu pantry.

“Kamu liat juga, Jul?!” tanya Ranie was-was. “Mending kita ngejauh aja. Biarin Riana sama Mark berdua,” lanjutnya.

Gadis cantik itu mendorong bahu sahabatnya agar mereka menjauh dari tempat kejadian perkara. Namun, gerakannya di tepis oleh sang lawan bicara.

Kali ini, giliran Julian yang mendorong bahu gadisnya agar mendekat ke arah tembok. Lelaki manis itu sedikit merendahkan posisinya untuk menyamakan wajahnya dengan wajah Ranie.

Ranie yang menatap wajah tampan Julian yang berada tepat di hadapannya membeku di tempat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan sang sahabat. Kemudian, Julian menyimpulkan senyum.

“Kamu gak mau juga, Ran?” tanyanya.

“Mau apa?” jawab Ranie dengan kembali bertanya.

“Main. Kayak Riana sama Mark,” jelas Julian.

Ranie tahu ke mana arah pembicaraan ini. Sebelum Julian semakin menggodanya, ada baiknya ia menghentikannya di sini, sekarang juga.

“Udah, ah, Jul. Aku mau lanjut nyiapin bahan,” balasnya.

Lagi, saat Ranie hendak beranjak dari tempatnya, Julian menahannya. Sebelah tangannya ia letakkan tepat di samping kepala gadisnya.

“Mau kemana, sih, Ran?” goda lelaki manis itu.

“Aku mau siap-siap, Jul. Nanti kalo ada customer gimana?” tegas Ranie.

“Gak mungkin. Aku udah sewa cafe dari Kak Joya,” ucap Julian.

Mendengarnya, Ranie menatap sinis pada sahabatnya. Akhirnya, ia mengerti. Semua ini ternyata akal-akalan seorang Julian Mallory. Gadis cantik itu menghela napas panjang.

“Ini kerjaan kamu, Jul?” tanya Ranie memastikan.

Julian menganggukan kepalanya beberapa kali. “Iyaa, Ran. Aku sengaja sewa cafe biar kita bisa berduaan,” ujarnya tanpa ragu.

“Kamu bohong sama aku, Jul,” protes Ranie.

“Bohong? Aku bohong apa sama kamu, Ran?” tanya Julian keheranan.

“Kenapa gak dari awal aja kamu ngaku kalo kamu sebenernya anak orang kaya? Kenapa kamu harus repot kerja di cafe kecil kayak gini? Apa sebenernya niat kamu?” tanya gadis cantik itu bertubi-tubi.

Nada bicara gadis cantik itu terdengar serius. Raut wajahnya juga mengekspreikan perasaan yang demikian. Julian menjauhkan jaraknya sedikit. Apakah Ranie marah padanya?

“Emangnya kalo aku ngaku anak konglomerat, kamu mau deket sama aku, Ran?” sergah Julian.

“Kamu berhak temenan sama orang yang lebih pantas, Jul. Bukan dengan orang kayak aku gini,” ucapnya berapi-api.

“Emangnya kamu gak pantes temanan sama aku, Ran? Aku suka kok temenan sama kamu. Aku nyaman temenan sama kamu. Apa salahnya, sih, aku temenan sama kamu?” balas Julian tidak mau kalah.

“Kamu—“

Belum sempat Ranie merampungkan kalimatnya, Julian bergerak menciumnya. Lelaki manis itu tahu bahwa gadisnya akan bersikap seperti ini.

Ranie tidak akan pernah mau menjalin hubungan dengan orang yang ia anggap memiliki status di atasnya. Entah mengapa ia merasa dirinya tidak pantas.

Julian mendorong tengkuk lawannya agar memperdalam ciuman mereka. Berbeda dengan lelaki manis itu, Ranie malah berusaha mati-matian melepas pautan mereka.

Tubuhnya bergerak memberontak. Namun, semakin tubuh mungil itu bergeser, semakin Julian akan mendekapnya erat.

Setelah dirasa kehabisan oksigen, Julian menyudahi ciumannya. Keduanya diburu napas masing-masing.

“Kamu apa-apaan, sih, Julian?!” bentak Ranie.

Tangannya bergerak memukul bahu lebar sahabatnya. Kedua maniknya sudah digenangi dengan air mata. Perasaan Ranie sangat berkecamuk kala itu.

“Aku minta maaf, ya, Ran. Aku tau aku ngelewatin batas, tapi kamu juga harus tau kalo selama ini aku nahan, Ran. Nahan untuk gak sayang sama kamu,” jelas Julian.

“Tau gini aku jauhin kamu, Jul,” gumam Ranie sangat pelan.

Walaupun begitu, lelaki manis itu dapat mendengar jelas apa yang gadisnya katakan. “Jangan, Ran. Aku mohon sama kamu jangan jauhin aku. Aku gak bisa hidup rasanya kalo gak ada kamu,” balasnya.

Tangan Julian bergerak menangkup wajah cantik lawannya. Ibu jarinya mengusap lembut pipi chubby yang selalu menjadi kesukaannya.

Sebelah kakinya juga bergerak menempatkan diri di antara kaki jenjang milik gadisnya. Dengan sengaja, Julian menyenggol bagian intim gadisnya menggunakan lututnya.

Ranie menolehkan pandangannya ke samping demi menetralisir rasa nikamat bercampur geli yang ia rasakan. Ia menggigit bibir bawahnya.

Julian tentunya sangat puas dengan ekspresi wajah yang gadisnya tampilkan. Terlihat sangat menggoda. Sudah lama lelaki manis itu mendambakan hal ini.

Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Julian kembali mencium gadisnya. Namun, kali ini, tidak ada perlawanan dari Ranie.

Meski sempat ragu, gadis cantik itu mulai menghayati cumbuannya bersama Julian. Ciuman yang awalnya lembut, kini menjadi kian menuntut.

Sejenak, Julian menghentikan kegiatan mereka. Ia mendekatkan bibirnya ke arah telinga kanan Ranie.

“Nanti aku bakal jelasin semuanya, ya, Ran. Aku juga bakal minta maaf. Tapi, kita lanjutin dulu yang ini,” ucapnya sensual.

Setelahnya, lelaki manis itu menjilat daun telinga gadisnya. Ranie yang diperlakukan seperti itu tiba-tiba saja libidonya naik drastis.

Rasa yang sebelumnya membuncah, kini menuntut untuk dipuaskan. Julian mencium setiap inci kulit yang bisa terjamah olehnya.

Tangannya bergerak membuka kemeja hitam yang gadisnya kenakan. Dengan gerakan refleks, Ranie mengalungkan tangannya pada sepasang bahu lebar di hadapannya.

Sepasang manik selegam malam itu berbinar saat menangkap sepasang gunung sintal yang masih terbalut dengan bra berwarna merah terang.

Tanpa aba-aba, Julian menciumi lalu kemudian menggigit dada gadisnya yang terkespos di depannya. Ranie meringis saat sahabatnya itu berkali-kali meninggalkan bekas khas kenikmatan di sana.

Sialan. Gadis cantik itu sepertinya mulai candu akan hal ini. Rasa yang sedari tadi tertahan di dalam dirinya, kini perlahan mulai tersalurkan.

Sekarang, sepasang tangan lelaki manis itu bergerak membuka bra yang melindungi sepasang gunung sintal yang sebentar lagi akan menjadi kesukaannya.

“Nghh, Jul, nghh,” racau Ranie.

Saat sahabatnya itu memijat lalu sesekali memilin ujung puting payudaranya. Ia mengeratkan pegangannya pada tubuh kekar Julian.

“Julian, ahhhh,” desahnya.

Kali ini, lelaki manis itu melahap sebelah payudara gadisnya bak seorang bayi yang merindukan susu asi ibunya.

Julian terlihat sangat nyaman di sana. Ia mengusakkan kepalanya di antara sepasang gunung sintal gadisnya. Ranie semakin dibuat mabuk rasa nikmat akan hal itu.

Melihat gadisnya merasa kenikmatan, Julian menyimpulkan seringai di tengah-tengah kesibukannya. Ia tahu bahwa ia pandai dalam hal mempermaikan gadisnya.

Setelah puas dengan payudara Ranie, Julian ingin mencoba aset indah lainnya. Lelaki manis itu kini berlutut di hadapan sang gadis. Tangannya bergerak membuka kancing yang melekat pada rok milik Ranie.

Julian kembali menampilkan seringai andalannya kala maniknya menangkap pakaian dalam yang juga berwarna merah terang itu terlihat kontras sebab vagina gadisnya yang mulai lembap.

Ranie sadar akan hal itu. Ia memalingkan pandangannya ke segala arah. “Jangan diliatin, Jul. Aku malu,” gumamnya.

Mendengarnya, Julian bangkit dari posisinya. Ia mengulas senyum seteduh yang ia bisa. “Hei, Ranie yang Cantik. Ngapain malu? Punya kamu juga cantik, kok. Aku yakin,” pujinya.

Ranie, yang diberi sanjungan seperti itu, tidak bisa menahan senyumnya. Wajahnya menyemburatkan rona pink kemerahan.

“Sshhh ahhh,” lenguh gadis cantik itu.

Julian sengaja mengusap kemaluannya sebelum ia kembali berlutut di hadapan gadisnya. Sekarang, hasrat gadis itu sudah mencapai pada puncaknya.

Lelaki manis itu melucuti kain terakhir yang menempel pda gadisnya. Ia mengangkat sebelah kaki jenjang itu untuk bertengger di atas bahunya.

Ranie sempat dibuat terperanjat olehnya. Gadis cantik itu berpengangan pada etalase terdekat yang bisa ia jangkau. Ia memejamkan maniknya erat.

“Jul,” panggil Ranie.

“Iya, Sayang,” balasnya lembut.

“Aku baru pertama kali. Pelan-pelan, ya,” ujar gadis cantik itu.

“Iya, Sayang. Aku pelan-pelan kok,” jawan Julian.

Sebelum memulai, lelaki manis itu menyempatkan dirinya untuk beberapa kali mengecup bibir vagina gadisnya yang sudah memerah.

“Mhh, Jul,” lenguh Ranie.

Julian juga mengusap aset cantik itu dengan kedua jarinya. Membiarkan benda cantik itu terbiasa dengan sesuatu yang akan memasukinya.

“Julian?!” pekiknya.

Saat lelaki manis itu melesatkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam sana. Ranie menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit dapur.

Sialan. Rasanya sangat nikmat. Apalagi saat Julian menggerakan jarinya masuk dan ke luar berulang kali. Ranie serasa dibawa ke semesta luasnya olehnya.

Tanpa sadar, mengikuti tempo pergerakan jari sang sahabat, gadis cantik itu menggoyangkan pinggulnya seolah meminta lebih. Sadar dengan hal itu, Julian berinisiatif.

“Ahh, Julian, ahhh,” desah Ranie.

Kenikmatannya semakin meningkat kala lidah dari lelaki manis itu ikut menerobos masuk ke dalam vaginanya. Jika seperti ini, Ranie akan selalu bersedia jika Julian ingin melecehkannya.

Lelaki manis itu benar-benar memanjakan pujaan hatinya. Semua permainannya patut Ranie acungi jempol. Lihat saja, gadis cantik itu sebentar lagi akan menjemput pelepasannya.

“Julian, ahh, kayaknya aku, nghhh, mau pipis, ahhh,” ucapnya bersusah payah.

Mendengar gadisnya sebentar lagi akan mencapai titik ternikmatnya, Julian menaikkan tempo permainannya di bawah sana. Ranie merasa sangat gila dibuatnya. Gadis cantik itu menggigit pipi bagian dalamnya.

“Julian!” pekik Ranie.

Akhirnya, gadis cantik itu meraih pelepasannya. Napasnya menggebu. Tubuh polosnya dipenuhi keringat.

Julian menyempatkan diri untuk membersihkan cairan khas kenikmatan milik gadisnya dengan sapu tangannya yang selalu ia simpan di saku belakang celananya.

Kemudian, lelaki manis itu bangkit dari posisinya. Ia mendekap tubuh gadisnya dengan erat. Juga, Julian mengecup pucuk gadisnya beberapa kali.

Ranie, gadis cantik itu tentunya membalas pelukan sang sahabat dengan tak kalah erat. Ia memerlukan tubuh kekar Julian untuk bertumpu sebab seluruh tubuhnya bergetar hebat.

“Ranie yang Cantik. Mainnya hebat,” ucap Julian lembut.

“Apaan, sih, Jul. Kan kamu yang dari tadi gerak,” balas Ranie.

Julian melonggarkan dekapannya. Ditatapnya manik selegam senja kesukaannya. Lelaki manis itu membubuhkan belahan bibir kesukaannya dengan ciuman, lagi.

“Aku bantuin kamu pake baju, ya, Ran,” tawarnya.

Sesuai dengan ucaoannya, Julian membantu sang gadis untuk kembali mengenakan kain pakaiannya satu per satu.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tubuh gadis itu masih bergetar hebat. Beberapa kali Ranie sempat hampir terjatuh.

“Makasih, ya, Jul,” ucap Ranie lemas.

“Jangan bilang makasih ke aku, Ranie. Udah jadi kewajiban aku untuk ada buat kamu dimana pun dan kapan pun,” jelasnya.

Mendengarnya, hati Ranie menghangat. Gadis cantik itu mengulas senyum lembut setelah Julian mengecup keningnya cukup lama.

“Kita pulang ke tempatku dulu, ya, Ran,” ucap Julian.

“Ke tempatku aja gak apa-apa, kok, Jul,” sela Ranie.

“Enggak, Sayang. Kaki kamu gemeteran kayak gitu. Aku takut kamu kenapa-kenapa kalo sendiri. Sekalian aku mau jelasin banyak ke kamu, Ran. Ke tempat aku aja, ya, Cantik,” finalnya.

Mendengarnya, Ranie menganggukan kepala beberapa kali tanda mengerti. Julian menggenggam tangannya dan menuntunnya untuk ke luar dari gedung cafe.

Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, lelaki manis itu mengecup punggung tangan gadisnya beberapa kali sembari sebelah tangannya memegang setir kemudi.

“Kamu nginep tempat aku aja, ya, Ran,” pinta Julian.

“Nginep tempat kamu?” balas Ranie.

“Iyaa. Kan kamu belom cobain barang-barang yang tadi kamu liat di situ,” ujar lelaki manis itu sembari menunjuk ke arah laci dashboard di depan gadisnya.

Berbeda dengan Julian yang terlihat sangat bersemangat, justru Ranie merasa waspada. Jika hanya dengan jari-jari saja ia bisa melayang ke semesta.

Bagaimana jika beda kecil tadi atau bahkan milik Julian masuk ke dalam dirinya? Mungkin Ranie akan mati dengan bahagia saat itu juga.

kayaknya lebih enak nulis di write.as ya..