habitual
“Nghh, ahh, Rel.”
Hanya dengan desahan yang mengandung namanya, Farelio seolah mendapat pasokan tenaga tambahan untuk terus menggepur gadisnya.
Lihat saja, bagaimana ranjang dengan kain seprai berwarna green sage itu sudah berbentuk tidak karuan dibuatnya.
Padahal, keduanya baru menyentuh tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar tersebut sekitar 15 menit yang lalu.
Jangan tanya. Farelio apabila suasana hatinya tengah berantakan, justru staminanya akan semakin kuat di atas ranjang.
“Moan my name, Airin,” bisik lelaki tampan itu tepat di sebelah telinga kiri sang gadis.
“Nghh, Farel, ahhh,” lirih Airin merespon perintah dominannya.
“Do i smack your sweet spot?” tanya Farelio menggoda.
Tidak mampu menjawab, gadis cantik tersebut hanya mengganggukkan kepalanya beberapa kali.
Sepasang manik selegam senjanya terpejam erat di bawah kungkungan Farelio. Kedua lengannya mengalung pada bahu lebar di atasnya.
Berperilaku serupa, Farelio juga kerap kali menengadahkan kepalanya lalu sesekali mengecup leher gadisnya kala rasa nikmat itu melingkupinya.
“Rel, ahh, i think i’m, nghh, gonna cum,” ucap Airin susah payah.
“Not yet, Rin, with my counts,” balas Farelio.
Mendengar gadisnya sebentar lagi akan menjemput pelepasannya, Farelio menambah tempo permainannya.
“Ahhh, Rel, faster, ahh,” lenguh Airin.
“Beg me,” singkatnya.
“Farel please, nghh, move faster,” ucap gadis cantik itu.
“Together, Rin,” perintah lelaki tampan itu.
Seolah berada di ritme yang sama, pada hitungan ketiga, keduanya mencapai titik ternikmatnya bersama-sama.
“Ahh, shit!” umpat Farelio.
Lelaki tampan itu mencabut kepemilikannya dari dalam sang gadis untuk kemudian melempar kantung penuh sperma itu ke tempat sampah.
Farelio merebahkan tubuhnya polosnya di sebelah sang gadis. Napas keduanya menggebu hebat.
“Thanks, Rin,” ucap Farelio.
Airin, gadis cantik itu lebih memilih untuk tidak menjawab. Ia menarik selimut yang sudah kusut itu untuk menutupi tubuhnya.
Menyadari Airin tidak menanggapi kata-katanya, Farelio bergerak menggenggam erat sebelah lengan gadisnya.
Airin dibuat meringis dengan gerakan tiba-tiba yang menyakitkan itu. Tubuhnya yang masih lunglai tidak mampu menerima stimulus spontan tersebut.
“Aw, Rel! Sakit,” lirih Airin.
“Jawab aku,” kata Farelio mengintimidasi.
“Iya, sama-sama,” balasnya.
Dengan begitu, Farelio baru mau melepaskan cengkraman tangannya pada lengan kurusnya. Airin menghela napas panjang.
“Aku tidur, ya, Rin. Bangunin aku kalo udah jam 7 malem,” jelas lelaki tampan itu.
“Iyaa, Rel,” jawab Airin lemas.
Dalam hitungan detik, gadis cantik itu dapat mendengar jelas suara napas yang teratur dari lelaki tampan di sebelahnya.
Perlahan, Airin mengubah posisinya agar menghadap ke arah lelaki tampan yang snagat ia sayangi itu.
Telapak tangannya bergerak mengusap rangka wajah tegas yang dipenuhi oleh guratas rasa lelah.
“Rel,” gumam Airin sangat pelan. “Kamu harus tau kalo aku sayang banget sama kamu,” lanjutnya.
Tidak ada respon yang terdengar sebab Farelio sudah benar-benar berpindah ke alam mimpinya.
Sepasang manik selegam senja itu menatap nanar pada insan yang sudah lama mengisi hatinya.
Kemudian, selimut yang tadinya hanya menutup setengah tubuh kekar itu, dengan inisiatif, Airin tarik sampai sebatas dada.
Tak lama, simpul senyum tipis namun masih terlihat cantik terpatri pada wajahnya yang juga cantik.