billionaire
Ranie mengernyitkan keningnya kala sepasang manik indahnya menatap layar ponsel yang sedang menampilkan seberkas pesan dari sang sahabat.
Julian, lelaki manis itu mengirim pesan kepada sahabat kesayangannya. Ia berkata bahwa ia sudah sampai di pekarangan apartemen Ranie.
Nah, yang menjadi masalah di sini ialah Ranie tidak menemukan motor tua berwarna biru yang biasa Julian kendarai dari radar penglihatannya. Gadis cantik itu tidak menangkap keberadaan kendaraan butut itu di mana pun.
Setidaknya, sampai sebuah suara klakson yang asing menyeruak ke dalam indera pendengarannya. Ranie mengedarkan pandangannya.
“Ran!” panggil Julian seraya menurunkan kaca mobilnya.
Ranie dibuat menganga oleh kendaraan yang sang sahabatnya itu gunakan sekarang. Maserati Levante berwarna hitam pekat, keluaran terbaru.
Sementara gadis cantik itu membeku di temptnya, Julian tertawa geli untuk kemudian ia memberi isyarat agar Ranie lekas masuk ke dalam mobilnya.
“Apa-apaan, Julian?! Kamu kerja di cafe Kak Joya kok bisa beli mobil kayak gini? Aku yang terlalu boros apa emang aku yang gak tau kalo kamu sebenernya orang kaya,” ujar Ranie lemas selepas dirinya mendudukan dirinya di samping Julian di dalam mobil.
Mendengarnya, Julian terkekeh. “Ini hadiah dari mamaku, Ran,” jawabnya santai.
Meskipun mobil sudah melaju di jalanan kota yang terbilang ramai pagi ini, jiwa gadis cantik itu masih melayang entah ke mana. Hanya raganya saja yang ada di dalam mobil mewah itu.
“Ranie,” panggil Julian membuyarkan lamunan sahabatnya.
“Hah?” balas Ranie bak keong. Ia menolehkan pandangannya ke arah Julian.
“Jangan kanget gitu dong,” ucap lelaki manis itu tanpa memalingkan tatapannya dari jalanan aspal.
Ranie mengusap wajahnya kasar. “Ini aku mana bisa gak kaget, Jul. Mobil ini kalo dijual bisa ngehidupin aku sama keluargaku di kampung,” jelas Ranie hiperbola.
“Kamu lebay, deh, Ran. Enggak lah. Mobil ini gak semahal itu,” jawab Julian yakin.
“Orang kaya biasanya kalo ditanya jawabnya gini, nih. Ini aku lagi di-prank, ya, Jul? Ada kamera ‘kan di sekitar sini?” celoteh gadis cantik itu.
Sepasang tangannya bergerak memeriksa segala tempat yang bisa dijangkaunya, mulai dari door pocket hingga drink holder. Julian yang melihat tingkah aneh sahabatnya itu hanya tertawa renyah.
“Enggak, Ranie. Ini beneran hadiah dari mamaku pas ulang tahunku bulan lalu,” jelas Julian meyakinkan.
Lebih memilih tidak mendengarkan lelaki manis sahabatnya itu, kini tangan Ranie bergerak membuka laci dashboard yang terletak tepat di depannya.
Gadis cantik itu menggeledah segala benda yang tersimpan di sana. Betapa terkejutnya Ranie saat dirinya mendapat beberapa barang yang ia kira seorang Julian tidak akan pernah menyimpannya sama sekali.
Bukan, itu bukan obat-obatan terlarang atau semacamnya. Ranie mendekatkan sejumlah benda asing itu pada pandangannya. Sepasang manik selegam senjanya membulat.
Setidaknya, lelaki manis dengan citra polos itu memiliki alat kontrasepsi berupa kondom, gel pelumas, dan sebuah vibrator kecil di dalam sana. Sembari menggenggamnya, tangan Ranie bergetar hebat.
Julian Mallory, sahabat dari Ranindhya Alister Dhanurendra semenjak keduanya duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Tidak banyak yang gadis cantik itu ketahuj tentang sang sahabat. Berbeda dengan Julian yang sangat mengenal Ranie, bahkan hampir setiap detailnya. Sebab lelaki manis itu cenderung tertutup.
Tapi, setidaknya ada dua hal yang dapat Ranie pastikan perihal Julian. Pertama, keluarga dari lelaki manis itu memiliki kondisi finansial yang tidak jauh berbeda dengan keluarganya.
Kedua, Julian adalah manusia termanis, terpolos, dan termurni yang pernah Ranie temui. Lelaki manis itu bak bayi yang baru saja dilahirkan ke dunia.
Namun, situasi dan kondisinya saat ini tidak terlihat demikian. Ranie bak mengenal sosok baru dengan nama yang sama, tetapi dengan persona yang berbeda.
Mari kesampingkan Julian yang mengendarai Maserati padahal dirinya dari keluarga serba kekurangan. Yang membuat hati gadis cantik itu melompat dari tempatnya adalah fakta dari lelaki manis yang ia kenal ini mempunyai…
“Ini semua punya kamu, Jul?” tanya Ranie ragu-ragu.
Julian menganggukan kepalanya beberapa kali. “Iyaa, Ran. Itu punya aku,” jawabnya. Sepasang manik selegam malamnya masih memusatkan atensi pada hamparan jalanan di depannya.
Berbeda dengan Ranie, tidak ada nada gugup sedikit pun yang ia tangkap dari kalimat Julian barusan. Mendengarnya, dengan cepat, gadis cantik itu mengembalikan benda-benda haram itu ke tempatnya.
Saat itu juga, peluh membanjiri seluruh wajah Ranie padahal pendingin di dalam mobil Julian dipasang dengan suhu yang cukup rendah. Wajahnya juga berubah merah padam. Gadis cantik itu tidak berhenti bermain dengan jari-jarinya.
Sekilas, Julian melirik gadisnya yang tengah salah tingkah sebab ulahnya sendiri. Lelaki manis itu menyunggingkan seringai. Tangan kirinya yang terbebas ia gunakan untuk menggenggam sepasang tangan kecil sahabatnya.
“Jangan tegang gitu dong, Ran. Aku jadi konsen nih nyetirnya,” gumam Julian seraya menghadap ke arah gadisnya.
Jantung gadis cantik itu seolah dihujam banyak paku tajam. Ranie berani bersumpah bahwa ia tidak pernah mengira sahabatnya akan memiliki sisi seperti iblis seperti ini.
Bagaimanapun, Julian adalah lelaki dewasa yang normal. Tidak mungkin lelaki manis itu tidak memiliki hasrat dan gairah. Hanya saja Ranie tidak mengetahui hal itu.
“Kamu inget ‘kan aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Ran?” tanya Julian.
Tidak mampu menjawab dengan suaranya, Ranie hanya mengangguk beberapa kali. Gerakannya seolah terkekang dan terlihat takut. Aura yang dipancarkan Julian terlalu mengintimidasinya.
“Aku omongin di cafe aja, ya, di dapur. Soalnya aku mau ngomongin hal serius sama kamu,” lanjutnya.
Bias suara yang dalam nan lembut itu, Ranie tidak dapat menahannya. Julian Mallory yang biasa ia kenal seolah hilang dalam sekejap.
Jika biasanya Julian mengenakan kaos polos berwarna hitam atau putih dengan celana jeans lusuh untuk berjaga di balik counter cafe.
Tetapi, kali ini, lelaki manis itu mengenakan kemeja putih dengan lengannya yang digulung setengah lalu ia padankan dengan celana berbahan kain berwarna hitam.
Jika Ranie boleh jujur, Julian hari ini terlihat seratus kali lebih memikat dibanding sebelum-sebelumnya. Tanpa dirinya sadari, sedari tadi adegan gila berputar di dalam kepalanya.
Setelah sedikit sadar, gadis cantik itu menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk setelahnya mengatur napas.
Tangan besar Julian yang sampai sekarang masih menggenggamnya itu bagaikan menyalurkan energi panas pada dirinya.
Tak lama, keduanya sampai di tempat yang beberapa tahun belakang menjadi penopang bagi hidup masing-masing. Sebuah kedai kopi yang tak terlalu besar milik Joya.
“Turun, yuk, Ran,” ajak Julian setelah memberhentikan mobilnya di parkiran cafe.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat Julian melepaskan genggaman tangannya, Ranie dengan cepat membuka pintu mobil untuk kemudian berlarian kecil menuju gedung cafe.
Julian, yang melihatnya terkekeh kecil. “Baru digituin aja kamu udah salting, Ran. Kalo kamu kayak gini gimana aku mana bisa tahan,” monolognya.
Sesampainya di dalam, Ranie langsung menempatkan dirinya di dapur. Dengan gerakan tergesa, ia menyiapkan segala bahan makanan yang diperlukan.
Namun, saat gadis cantik itu tengah membasuh kedua tangannya di atas sink pencuci piring, suara aneh dan asing mengusik pendengarannya.
Berniat mendekati sumber suara, Ranie melangkahkan kakinya menuju pantry tempat penyimpanan persediaan bahan makanan dan biji kopi.
Suara itu kian menggema. Ranie yakin suara berisik itu berasal dari sana. Perlahan, tangannya bergerak memutar kenop pintu lalu membukanya.
Sepasang maniknya membulat dan hampir saja jatuh dari peraduannya kala mengetahui suara itu ternyata hasil dari perbuatan kotor yang dilakukan teman-temannya, Riana dan Mark.
Sepasang kekasih itu tengah bercumbu di dalam sana. Tentunya, Riana menyadari ada seseorang yang mengintip aktivitas panasnya dengan sang kekasih.
Gadis cantik dengan senyum manis itu melambaikan tangannya sejenak untuk kemudian melanjutkan kembali kegiatannya bersama Mark.
Ranie kembali menutup pintu pantry tersebut dan membiarkan teman-teman seperjuangannya untuk menikmati momen intim tersebut.
Lagi, peluh membanjiri wajah cantiknya. Tangannya masih menggenggam kenop pintu. Harusnya Ranie mengurungkan niat dan rasa penasarannya saja.
Setelah melihat adegan tak senonoh tadi, ada sebuah rasa yang membuncah di dalam dirinya. Ia sendiri tidak tahu apa itu, sebab ini yang pertama buatnya.
Ranie hendak membalikkan tubuhnya untuk kembali melanjutkan tugasnya di bagian kitchen kala pergerakannya didahului oleh seseorang.
Ya, itu Julian. Jika bukan, siapa lagi? Untuk kesekian kalinya hari ini jatungnya hampir melompat dari tempatnya. Kedatangan Julian yang tiba-tiba sangat mengejutkannya.
“Astaga! Aku kaget, Jul,” ujar Ranie sembari mengelus pelan dadanya.
“Aku nyariin kamu, Ran. Ternyata kamu di sini lagi ngeliatin Riana sama Mark main, ya,” ujar Julian.
Mendengarnya, Ranie mengangkat pandangannya pada Julian. Posisi lelaki manis itu tidak terpaut jarak sedikit pun dengannya.
“Hah? Main apa?” tanyanya heran.
“Itu,” ucap lelaki manis itu seraya mengidikkan dagunya ke arah pintu pantry.
“Kamu liat juga, Jul?!” tanya Ranie was-was. “Mending kita ngejauh aja. Biarin Riana sama Mark berdua,” lanjutnya.
Gadis cantik itu mendorong bahu sahabatnya agar mereka menjauh dari tempat kejadian perkara. Namun, gerakannya di tepis oleh sang lawan bicara.
Kali ini, giliran Julian yang mendorong bahu gadisnya agar mendekat ke arah tembok. Lelaki manis itu sedikit merendahkan posisinya untuk menyamakan wajahnya dengan wajah Ranie.
Ranie yang menatap wajah tampan Julian yang berada tepat di hadapannya membeku di tempat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan sang sahabat. Kemudian, Julian menyimpulkan senyum.
“Kamu gak mau juga, Ran?” tanyanya.
“Mau apa?” jawab Ranie dengan kembali bertanya.
“Main. Kayak Riana sama Mark,” jelas Julian.
Ranie tahu ke mana arah pembicaraan ini. Sebelum Julian semakin menggodanya, ada baiknya ia menghentikannya di sini, sekarang juga.
“Udah, ah, Jul. Aku mau lanjut nyiapin bahan,” balasnya.
Lagi, saat Ranie hendak beranjak dari tempatnya, Julian menahannya. Sebelah tangannya ia letakkan tepat di samping kepala gadisnya.
“Mau kemana, sih, Ran?” goda lelaki manis itu.
“Aku mau siap-siap, Jul. Nanti kalo ada customer gimana?” tegas Ranie.
“Gak mungkin. Aku udah sewa cafe dari Kak Joya,” ucap Julian.
Mendengarnya, Ranie menatap sinis pada sahabatnya. Akhirnya, ia mengerti. Semua ini ternyata akal-akalan seorang Julian Mallory. Gadis cantik itu menghela napas panjang.
“Ini kerjaan kamu, Jul?” tanya Ranie memastikan.
Julian menganggukan kepalanya beberapa kali. “Iyaa, Ran. Aku sengaja sewa cafe biar kita bisa berduaan,” ujarnya tanpa ragu.
“Kamu bohong sama aku, Jul,” protes Ranie.
“Bohong? Aku bohong apa sama kamu, Ran?” tanya Julian keheranan.
“Kenapa gak dari awal aja kamu ngaku kalo kamu sebenernya anak orang kaya? Kenapa kamu harus repot kerja di cafe kecil kayak gini? Apa sebenernya niat kamu?” tanya gadis cantik itu bertubi-tubi.
Nada bicara gadis cantik itu terdengar serius. Raut wajahnya juga mengekspreikan perasaan yang demikian. Julian menjauhkan jaraknya sedikit. Apakah Ranie marah padanya?
“Emangnya kalo aku ngaku anak konglomerat, kamu mau deket sama aku, Ran?” sergah Julian.
“Kamu berhak temenan sama orang yang lebih pantas, Jul. Bukan dengan orang kayak aku gini,” ucapnya berapi-api.
“Emangnya kamu gak pantes temanan sama aku, Ran? Aku suka kok temenan sama kamu. Aku nyaman temenan sama kamu. Apa salahnya, sih, aku temenan sama kamu?” balas Julian tidak mau kalah.
“Kamu—“
Belum sempat Ranie merampungkan kalimatnya, Julian bergerak menciumnya. Lelaki manis itu tahu bahwa gadisnya akan bersikap seperti ini.
Ranie tidak akan pernah mau menjalin hubungan dengan orang yang ia anggap memiliki status di atasnya. Entah mengapa ia merasa dirinya tidak pantas.
Julian mendorong tengkuk lawannya agar memperdalam ciuman mereka. Berbeda dengan lelaki manis itu, Ranie malah berusaha mati-matian melepas pautan mereka.
Tubuhnya bergerak memberontak. Namun, semakin tubuh mungil itu bergeser, semakin Julian akan mendekapnya erat.
Setelah dirasa kehabisan oksigen, Julian menyudahi ciumannya. Keduanya diburu napas masing-masing.
“Kamu apa-apaan, sih, Julian?!” bentak Ranie.
Tangannya bergerak memukul bahu lebar sahabatnya. Kedua maniknya sudah digenangi dengan air mata. Perasaan Ranie sangat berkecamuk kala itu.
“Aku minta maaf, ya, Ran. Aku tau aku ngelewatin batas, tapi kamu juga harus tau kalo selama ini aku nahan, Ran. Nahan untuk gak sayang sama kamu,” jelas Julian.
“Tau gini aku jauhin kamu, Jul,” gumam Ranie sangat pelan.
Walaupun begitu, lelaki manis itu dapat mendengar jelas apa yang gadisnya katakan. “Jangan, Ran. Aku mohon sama kamu jangan jauhin aku. Aku gak bisa hidup rasanya kalo gak ada kamu,” balasnya.
Tangan Julian bergerak menangkup wajah cantik lawannya. Ibu jarinya mengusap lembut pipi chubby yang selalu menjadi kesukaannya.
Sebelah kakinya juga bergerak menempatkan diri di antara kaki jenjang milik gadisnya. Dengan sengaja, Julian menyenggol bagian intim gadisnya menggunakan lututnya.
Ranie menolehkan pandangannya ke samping demi menetralisir rasa nikamat bercampur geli yang ia rasakan. Ia menggigit bibir bawahnya.
Julian tentunya sangat puas dengan ekspresi wajah yang gadisnya tampilkan. Terlihat sangat menggoda. Sudah lama lelaki manis itu mendambakan hal ini.
Sepersekian detik kemudian, yang terjadi adalah Julian kembali mencium gadisnya. Namun, kali ini, tidak ada perlawanan dari Ranie.
Meski sempat ragu, gadis cantik itu mulai menghayati cumbuannya bersama Julian. Ciuman yang awalnya lembut, kini menjadi kian menuntut.
Sejenak, Julian menghentikan kegiatan mereka. Ia mendekatkan bibirnya ke arah telinga kanan Ranie.
“Nanti aku bakal jelasin semuanya, ya, Ran. Aku juga bakal minta maaf. Tapi, kita lanjutin dulu yang ini,” ucapnya sensual.
Setelahnya, lelaki manis itu menjilat daun telinga gadisnya. Ranie yang diperlakukan seperti itu tiba-tiba saja libidonya naik drastis.
Rasa yang sebelumnya membuncah, kini menuntut untuk dipuaskan. Julian mencium setiap inci kulit yang bisa terjamah olehnya.
Tangannya bergerak membuka kemeja hitam yang gadisnya kenakan. Dengan gerakan refleks, Ranie mengalungkan tangannya pada sepasang bahu lebar di hadapannya.
Sepasang manik selegam malam itu berbinar saat menangkap sepasang gunung sintal yang masih terbalut dengan bra berwarna merah terang.
Tanpa aba-aba, Julian menciumi lalu kemudian menggigit dada gadisnya yang terkespos di depannya. Ranie meringis saat sahabatnya itu berkali-kali meninggalkan bekas khas kenikmatan di sana.
Sialan. Gadis cantik itu sepertinya mulai candu akan hal ini. Rasa yang sedari tadi tertahan di dalam dirinya, kini perlahan mulai tersalurkan.
Sekarang, sepasang tangan lelaki manis itu bergerak membuka bra yang melindungi sepasang gunung sintal yang sebentar lagi akan menjadi kesukaannya.
“Nghh, Jul, nghh,” racau Ranie.
Saat sahabatnya itu memijat lalu sesekali memilin ujung puting payudaranya. Ia mengeratkan pegangannya pada tubuh kekar Julian.
“Julian, ahhhh,” desahnya.
Kali ini, lelaki manis itu melahap sebelah payudara gadisnya bak seorang bayi yang merindukan susu asi ibunya.
Julian terlihat sangat nyaman di sana. Ia mengusakkan kepalanya di antara sepasang gunung sintal gadisnya. Ranie semakin dibuat mabuk rasa nikmat akan hal itu.
Melihat gadisnya merasa kenikmatan, Julian menyimpulkan seringai di tengah-tengah kesibukannya. Ia tahu bahwa ia pandai dalam hal mempermaikan gadisnya.
Setelah puas dengan payudara Ranie, Julian ingin mencoba aset indah lainnya. Lelaki manis itu kini berlutut di hadapan sang gadis. Tangannya bergerak membuka kancing yang melekat pada rok milik Ranie.
Julian kembali menampilkan seringai andalannya kala maniknya menangkap pakaian dalam yang juga berwarna merah terang itu terlihat kontras sebab vagina gadisnya yang mulai lembap.
Ranie sadar akan hal itu. Ia memalingkan pandangannya ke segala arah. “Jangan diliatin, Jul. Aku malu,” gumamnya.
Mendengarnya, Julian bangkit dari posisinya. Ia mengulas senyum seteduh yang ia bisa. “Hei, Ranie yang Cantik. Ngapain malu? Punya kamu juga cantik, kok. Aku yakin,” pujinya.
Ranie, yang diberi sanjungan seperti itu, tidak bisa menahan senyumnya. Wajahnya menyemburatkan rona pink kemerahan.
“Sshhh ahhh,” lenguh gadis cantik itu.
Julian sengaja mengusap kemaluannya sebelum ia kembali berlutut di hadapan gadisnya. Sekarang, hasrat gadis itu sudah mencapai pada puncaknya.
Lelaki manis itu melucuti kain terakhir yang menempel pda gadisnya. Ia mengangkat sebelah kaki jenjang itu untuk bertengger di atas bahunya.
Ranie sempat dibuat terperanjat olehnya. Gadis cantik itu berpengangan pada etalase terdekat yang bisa ia jangkau. Ia memejamkan maniknya erat.
“Jul,” panggil Ranie.
“Iya, Sayang,” balasnya lembut.
“Aku baru pertama kali. Pelan-pelan, ya,” ujar gadis cantik itu.
“Iya, Sayang. Aku pelan-pelan kok,” jawan Julian.
Sebelum memulai, lelaki manis itu menyempatkan dirinya untuk beberapa kali mengecup bibir vagina gadisnya yang sudah memerah.
“Mhh, Jul,” lenguh Ranie.
Julian juga mengusap aset cantik itu dengan kedua jarinya. Membiarkan benda cantik itu terbiasa dengan sesuatu yang akan memasukinya.
“Julian?!” pekiknya.
Saat lelaki manis itu melesatkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam sana. Ranie menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit dapur.
Sialan. Rasanya sangat nikmat. Apalagi saat Julian menggerakan jarinya masuk dan ke luar berulang kali. Ranie serasa dibawa ke semesta luasnya olehnya.
Tanpa sadar, mengikuti tempo pergerakan jari sang sahabat, gadis cantik itu menggoyangkan pinggulnya seolah meminta lebih. Sadar dengan hal itu, Julian berinisiatif.
“Ahh, Julian, ahhh,” desah Ranie.
Kenikmatannya semakin meningkat kala lidah dari lelaki manis itu ikut menerobos masuk ke dalam vaginanya. Jika seperti ini, Ranie akan selalu bersedia jika Julian ingin melecehkannya.
Lelaki manis itu benar-benar memanjakan pujaan hatinya. Semua permainannya patut Ranie acungi jempol. Lihat saja, gadis cantik itu sebentar lagi akan menjemput pelepasannya.
“Julian, ahh, kayaknya aku, nghhh, mau pipis, ahhh,” ucapnya bersusah payah.
Mendengar gadisnya sebentar lagi akan mencapai titik ternikmatnya, Julian menaikkan tempo permainannya di bawah sana. Ranie merasa sangat gila dibuatnya. Gadis cantik itu menggigit pipi bagian dalamnya.
“Julian!” pekik Ranie.
Akhirnya, gadis cantik itu meraih pelepasannya. Napasnya menggebu. Tubuh polosnya dipenuhi keringat.
Julian menyempatkan diri untuk membersihkan cairan khas kenikmatan milik gadisnya dengan sapu tangannya yang selalu ia simpan di saku belakang celananya.
Kemudian, lelaki manis itu bangkit dari posisinya. Ia mendekap tubuh gadisnya dengan erat. Juga, Julian mengecup pucuk gadisnya beberapa kali.
Ranie, gadis cantik itu tentunya membalas pelukan sang sahabat dengan tak kalah erat. Ia memerlukan tubuh kekar Julian untuk bertumpu sebab seluruh tubuhnya bergetar hebat.
“Ranie yang Cantik. Mainnya hebat,” ucap Julian lembut.
“Apaan, sih, Jul. Kan kamu yang dari tadi gerak,” balas Ranie.
Julian melonggarkan dekapannya. Ditatapnya manik selegam senja kesukaannya. Lelaki manis itu membubuhkan belahan bibir kesukaannya dengan ciuman, lagi.
“Aku bantuin kamu pake baju, ya, Ran,” tawarnya.
Sesuai dengan ucaoannya, Julian membantu sang gadis untuk kembali mengenakan kain pakaiannya satu per satu.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tubuh gadis itu masih bergetar hebat. Beberapa kali Ranie sempat hampir terjatuh.
“Makasih, ya, Jul,” ucap Ranie lemas.
“Jangan bilang makasih ke aku, Ranie. Udah jadi kewajiban aku untuk ada buat kamu dimana pun dan kapan pun,” jelasnya.
Mendengarnya, hati Ranie menghangat. Gadis cantik itu mengulas senyum lembut setelah Julian mengecup keningnya cukup lama.
“Kita pulang ke tempatku dulu, ya, Ran,” ucap Julian.
“Ke tempatku aja gak apa-apa, kok, Jul,” sela Ranie.
“Enggak, Sayang. Kaki kamu gemeteran kayak gitu. Aku takut kamu kenapa-kenapa kalo sendiri. Sekalian aku mau jelasin banyak ke kamu, Ran. Ke tempat aku aja, ya, Cantik,” finalnya.
Mendengarnya, Ranie menganggukan kepala beberapa kali tanda mengerti. Julian menggenggam tangannya dan menuntunnya untuk ke luar dari gedung cafe.
Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, lelaki manis itu mengecup punggung tangan gadisnya beberapa kali sembari sebelah tangannya memegang setir kemudi.
“Kamu nginep tempat aku aja, ya, Ran,” pinta Julian.
“Nginep tempat kamu?” balas Ranie.
“Iyaa. Kan kamu belom cobain barang-barang yang tadi kamu liat di situ,” ujar lelaki manis itu sembari menunjuk ke arah laci dashboard di depan gadisnya.
Berbeda dengan Julian yang terlihat sangat bersemangat, justru Ranie merasa waspada. Jika hanya dengan jari-jari saja ia bisa melayang ke semesta.
Bagaimana jika beda kecil tadi atau bahkan milik Julian masuk ke dalam dirinya? Mungkin Ranie akan mati dengan bahagia saat itu juga.