rancour

Setelah meninggalkan Hana beserta janjinya dengan toko buku, Airin melangkahkan kakinya keluar dari ruang kelas untuk segera menuju ke warung Bi Ijah.

Pasalnya, Farelio sudah menunggu kedatangannya semenjak bel pulang sekolah berbunyi beberapa menit lalu.

Sepasang maniknya tertuju pada sebuah mobil sedan hitam mewah yang terparkir dengan mesin menyala tepat di depan warung Bi Ijah.

Tidak ingin membuat lelaki kesayangannya menunggu lebih lama, gadin cantik itu segera masuk ke dalam mobil tersebut.

“Farel,” sapa Airin sembar meletakkan bokongnya di atas kursi penumpang di sebelah kiri.

Untuk sementara, lelaki tampan itu lebih memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan gadisnya. Farelio sibuk menggulirkan ibu jarinya pada layar ponsel. Kemudian, ia menghela napas panjang.

“Kamu gak apa-apa, Rel?” tanya gadis cantik itu.

Airin, gadis cantik itu menelisik lelaki tampan yang sebenarnya pergerakannya sudah tidak asing lagi. Ia tahu, Farelio mungkin sedang merajuk padanya entah sebab perkara apa.

Lagi, tanpa menjawab, lelaki tampan itu meletakkan ponselnya di dalam saku celana seragam sekolahnya.

Kemudian, ia mulai menancap gas untuk meninggalkan pekarangan sekolah bersama gadisnya.

Tidak ingin membuat atmosfer semakin mencekam, Airin juga memilih untuk membungkam dirinya.

Biarkan saja, cepat atau lambat, gadis cantik itu akan mengetahui apa yang membuat lelaki tampan di sebelahnya ini berubah menjadi bongkahan es batu.

Di persimpangan jalan yang ramai, mobil hitam mewah itu berhenti saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah.

Airin sesekali melirik ke arah kanannya, semetara Farelio masih berfokus pada hamparan jalan di depannya.

“Kamu tadi sama siapa di perpus?” tanya lelaki tampan itu to the point tanpa mengalihkan padangannya.

“Kapan?” balas Airin dengan kembali bertanya.

“Gak usah pura-pura lupa,” sarkasnya.

Mendengarnya, gadis cantik itu memutar bola matanya. Ah, benar juga. Alby Valla Bagasditya, si pengganggu setia dari Airin Herning Kamarana.

“Alby,” singkat Airin.

“Kamu tau namanya,” ujar Farelio masih dengan tatapannya yang seolah bisa membelah jalanan aspal di hadapannya.

Tidak hanya itu, genggaman tangannya pada setir mobil pun semakin mengerat. Farelio marah.

“Semua orang juga tau kali, Rel, ‘kan pernah masuk base sekolah,” jelasnya.

Nada bicara Airin mulai meninggi. Oleh karenanya, Farelio kembali diam. Saat lampu berwarna merah itu berganti warna menjadi hijau, lelaki tampan itu kembali melajukan mobilnya.

Dan, tak lama setelahnya, Farelio memberhentikan mobilnya di depan toko baju kecil yang sepi pengunjung. Jangankan pelanggan, pemilik atau pegawai tokonya pun tak kasat mata.

Setelahnya, lelaki tampan itu melonggarkan dasi sekolah yang menggantung di lehernya. Untuk sejenak, ia memandang wajah gadisnya dengan lamat. Melihatnya, Airin membalas tatapan itu dengan tak kalah intens.

“Aku gak suka, Rin,” singkat Farelio.

Di detik berikutnya yang terjadi adalah Farelio menarik tengkuk gadisnya agar masuk ke dalam ciumannya. Airin, tentu saja gadis cantik itu terkesiap dengan gerakan tiba-tiba tersebut.

Gadis cantik itu berusaha memberontak sebab suasana hatinya sedang tidak menginkan hal-hal sensitif seperti ini terjadi. Namun, bukan Farelio namanya jika memberikan gadisnya pengampunan.

Lihat saja, bagaimana sepasang lengan kekarnya bergerak menangkup sepasang lengan lainnya yang lebih kecil untuk kemudian mengikatnya menggunakan dasi sekolah lalu menggantungnya di handgrip pintu mobil.

Lelaki tampan itu sama sekali tidak melepaskan ciumannya. Baru setelah selesai degan aktivitas mengikat dan menggantung tangan gadisnya, Farelio menyudahi ciuman kasarnya.

“Aku gak suka, Airin, kalo kamu deket sama laki-laki selain aku,” jelas Farelio dengan bias suara semengintimidasi mungkin.

Airin terhenyak mendengar pengakuan dari lelaki kesayangannya. “Tapi aku emang gak deket sama cowok selain kamu, Farel,” jawabnya.

“Aku liat kamu sama Alby berduaan di perpus. Kamu juga ngaku kok,” bantah Farelio tidak mau kalah.

Mendengarnya, Airin menghela napas panjang. Farelio Evan Pratama membuatnya benar-benar naik darah hari ini.

“Lepasin dulu tangan aku, baru aku jelasin,” ucap Airin seraya sedikit menggoyangkan tangannya.

“No, Airin,” tegas lelaki tampan itu. “You deserve to be punished,” finalnya.

Sepersekian detik kemudian, Farelio kembali mencium kasar sang gadis. Sedikit berbeda dengan yang sebelumnya, kini tangannya muai bergerilya ke arah sepasang gunung sintal itu, meremas lalu sesekali memijatnya.

Airin, gadis cantik itu kembali memberontak. Sungguh, untuk saat ini, ia tidak sedang ingin disentuh oleh lelakinya. Namun, tidak dapat dipungkiri, Farelio terlalu bersemangat.

“Nghhh,” lenguhannya lolos.

Mendengar ada yang melirih, Farelio berhenti sejenak dari kegiatannya. Ia menyeringai puas. “Seems you like our after school session, Airin,” godanya.

Gadis cantik menggelengkan kepalanya beberapa kali. “I’m not, Farel? I begged you, only for this time, can we not do this, hm?” pintanya.

Indera pendengarannya menangkap adanya kalimat permohonan dari sang gadis. Mendengarnya, Farelio malah tidak ingin berhenti, melainkan kata-kata itu semakin membangkitkan gairahnya.

“Don’t be such a hypocrite, Airin. You know you’ll like that,” balas Farelio.

Berikutya, Farelio kembali menjamah gadisnya. Lelaki tampan itu mengecup ruang di sekitar leher jenjang gadisnya dan meninggalkan beberapa bekas kepemilikan.

Airin, gadis cantik itu hanya bisa memejamkan maniknya erat sembari menggigit bibir bagian bawhanya.

“Relax, Airin,” ujar lelaki tampan itu di sela-sela kesibukannya.

Tangan besar itu bergerak lagi. Kali ini, mengusap paha bagian dalam sang gadis yang masih terbalut rok seragam sekolah. Airin mati-matian menahan rasa yang sang sangat menggelitik itu.

“I will start with one condition. You’re not allowed to cum until i tell you to,” jelas Farelio seraya membisik sensual.

Airin menolehkan pandangannya ke arah samping. Sepasang manik selegam senjanya semakin tertutup erat berikut dengan kedua kakinya.

Melihatnya, Farelio merespon. “Don’t be scared, Airin. This isn’t our first. You used to be like it.”

PLAKK!

Lelaki tampan itu menampar paha gadisnya agar mau membuka lebar. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, Airin kembali memberi akses masuk untuk tangan beserta jari berurat milik kekasihnya.

“Ah, i almost forgot,” sergahnya. “If you lose in this game, I won’t give you any remission. Understand?” tanya Farelio sembari menangkup dagu mungi sang gadis.

Airin tentunya tidak mau menjawab sebab ia memang tidak menginginkan semua ini. Tidak kunjung merespon pertanyaannya, Farelio kembali mencium kasar gadisnya, bahkan sampai berdarah.

Dengan terpaksa, gadis cantik itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Cairan bening yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya mulai turun perlahan membanjiri pipi chubby-nya.

“I won’t hurt you, Airin, only if you do exactly what i say,” perintah lelaki tampan itu.

Kembali pada aktivitasnya yang sempat tertunda, tangan Farelio bergerak ke arah selatan gadisnya. Ia mengusap kepemilikan Airin yang masih terbungkus oleh pakaian dalam.

Perlahan, jari tengah dan telunjuk lelaki tampan menarik kain berwarna putih yang menutupi vagina gadisnya agar tangannya dapat dengan leluasa melesat ke dalam sana.

“Akhh!” pekik Airin.

Tubuhnya menggeinjang. Bukan karena rasa nikmat yang mengangkasa, melainkan sebab rasa sakit yang amat luar biasa. Farelio, lelaki taman itu tidak hanya meneroboskan satu atau dua, tetapi tiga jarinya sekaligus tanpa ada sesi foreplay yang rampung.

Air yang mengalir dari sepasang manik selegam senja dengan binar indah itu semakin deras. Berbeda dengan Airin, Farelio justru sangat menikmati momen tersebut.

“Farel, sakit…,” lirih gadis cantik itu seraya tersesak.

Walaupun dapat mendengarnya dengan jelas, lelaki tampan itu tidak mengiraukann peringatan dari gadisnya.

Farelio terlalu sibuk dengan rasa cemburu yang bersarang di hatinya sehingga ia tega menyiksa Airin.