encounter
“Neng Airin sendiri aja? Biasanya sama Den Farel,” tanya Bi Ijah ramah.
Sebetulnya, selain Alvino dan Nalandra, hanya Bi Ijah-lah yang mengetahui kedekatan Farelio dengan Airin.
“Iya, Bi. Farel-nya belom dateng,” jawab Airin tak kalah ramah.
Di pagi yang mendung nan berawan hari ini, sebelum memasuki lingkungan sekolah, gadis cantik itu menyempatkan dirinya untuk membeli sebungkus roti dan sekotak susu, untuk sarapan pastinya.
“Den Vino sama Den Alan juga belom dateng, Neng?” tanya Bi Ijah lagi seraya menyerahkan uang kembalian.
Airin menerima pecahan uang sepuluh ribu itu lalu memasukkannya ke saku yang menempel pada kemeja seragamnya.
“Kayaknya mereka bertiga bareng, Bi,” balas gadis cantik itu.
“Bu, ada roti coklat?” tanya seorang siswa laki-laki yang datang tiba-tiba.
Airin, gadis cantik itu terhenyak saat suara sedalam palung dari lelaki tampan yang berdiri di sebelahnya menyeruak ke dalam indera pendengarannya.
“Mau yang merk apa, Den? Ini dipilih aja,” ujar Bi Ijah.
Wanita paruh baya itu mempersilakan siswa laki-laki tersebut untuk memilih sesuka hatinya roti dengan brand apa yang akan dibelinya.
Terdapat banyak roti isi coklat atau roti rasa coklat yang dapat ia pilih. Lelaki tampan tersebut mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada dagunya yang runcing.
“Enaknya yang mana, Bu?” tanyanya.
“Aduh, Den. Bibi ‘kan di sini jualan, pasti Bibi bakal bilang semuanya enak dong,” ujar Bi Ijah dengan candaannya yang khas.
Mendengarnya, siswa laki-laki itu tertawa. Sepasang matanya menyipit saat suara tertawaan yang juga dalam itu terdengar.
Masih bingung dengan pilihannya, akhirnya lelaki tampan itu menolehkan pandangannya pada Airin yang tengah fokus mengetik pada layer ponselnya sembari memeluk jajanannya.
“Eh, cewek,” panggilnya.
Merasa seseorang menyeru padanya, gadis cantik itu mengangkat pandangannya untuk kemudian menatap heran pada lelaki yang memiliki tinggi badan jauh terpaut darinya.
“Gua?” tanya Airin memastikan. Jari telunjuknya mengarah pada wajahnya.
“Ya, emangnya selain lo, ada cewek lain di sini?” ujarnya seraya mengidikkan dahunya.
“Bi Ijah,” enteng gadis cantik itu.
Jari telunjuk yang sedari tadi mengarah padanya, kini mengarah kepada wanita paruh baya di depannya.
Bi Ijah, yang menyaksikan adegan komedi tersebut, hanya tertawa renyah sembari menunjukkan deretan giginya.
“Ya, udah, terserah lo. Roti yang enak apa? Cepetan. Gua laper,” jelas lelaki tampan itu.
“Gak tau,” ucap Airin. “Gua selalu beli merk ini,” sambungnya.
Gadis cantik itu menunjukkan bungkusan roti rasa coklat yang dimilikinya. Menanggapinya, lelaki tampan itu hanya mengangguk paham dan Airin Kembali fokus pada ponselnya.
“Ya, udah, Bu. Saya beli yang ini aja,” ujarnya.
Lelaki tampan itu akhirnya memilih roti coklat dengan brand yang sama dengan yang Airin beli. Kemudian, ia mengeluarkan uang pecahan seratus ribu untuk diserahkan ke Bi Ijah.
“Aduh, Den. Ini uangnya gede banget, gak ada uang kecil, ya?” tanya Bi Ijah.
“Maaf, Bu. Saya juga uangnya cuma itu,” jelasnya diiringi dengan senyuman menawan.
“Bibi cari kembaliannya dulu, ya, Den,” ucap wanita paruh baya itu.
Setelahnya, Bi Ijah melengang masuk ke dalam rumahnya yang terletak tak jauh dari sana, masih di berada di sekitaran lingkungan sekolah.
“Lo pasti gak suka stoberi, ya,” sela lelaki tampan itu.
“Hah? Kok lo tau?” tanya Airin penasaran.
Gadis cantik itu kembali menengok pada siswa laki-laki tampan yang berdiri tepat di sebelahnya. Jujur, Airin belum terbiasa dengan suara beratnya.
“Orang yang biasanya beli roti isi coklat tuh karena dia gak suka sama roti isi stoberi. Rasa lain terlalu aneh, jadi pelariannya coklat,” jelasnya.
Airin mengernyitkan keningnya. Sepasang manik selegam senjanya mengerjap beberapa kali. Ada benarnya apa yang lelaki tampan di hadapannya ini katakana, batinnya.
“Bener sih,” jawabnya.
“Ini, Den, kembaliannya. Maaf, ya, lama,” sela Bi Ijah yang datang membawa banyak pecahan uang untuk dijadikan kembaliannya.
“Makasih, Bu,” ucap lelaki tampan itu.
“Bi, Airin duluan, ya,” ucap Airin sembari melangkahkan kakinya menjauh dari warung kecil tersebut.
Namun, belum jauh gadis cantik itu berjalan, sebuah tangan kekar menghentikan pergerakannya. Lelaki tampan itu menarik tas ransel yang Airin gunakan.
“Tunggu,” ucapnya.
“Lo gak bisa lebih lembut sedikit, ya? Hampir jatoh nih gua,” protes Airin.
“Lo satu sekolah sama gua ‘kan?” tanya lelaki tampan itu.
“Iya,” singkatnya.
“Oh, ya, udah. Syukur deh. Sana lo balik jalan lagi,” ujar siswa laki-laki itu.
Selepasnya, Airin mengangkat sebelah alisnya. Ia menatap lelaki tampan yang hampir saja membuat tali tas ranselnya putus dengan sinis.
Berbeda dengan gadis cantik itu, siswa laki-laki itu hanya membalas Airin dengan sebuah seringai. Melihatnya, Airin langsung melanjutkan kembali perjalanannya yang sempat tertunda.
“Cantik.”
“Aneh.”
Paling tidak, itulah kata yang masing-masing keluar dari mulut sepasang siswa yang baru saja membeli roti isi coklat di warung tempat Bi Ijah berjualan pagi ini.