desolate
“Kamu kok lama banget, Rin,” keluh Farelio.
Airin baru saja melengang masuk dari pintu apartemennya saat lelaki tampan itu melayangkan protes padanya.
“Perutku lagi sakit, Rel. Aku gak bisa jalan cepet-cepet,” jelasnya.
Airin melempar tas sekolahnya ke sembarang arah sembari mengambil posisi duduk di atas sofa di sebelah Farelio.
Gadis cantik itu menyandarkan tubuhnya pada kursi empuk berwarna biru tersebut. Sepasang manik selegam senjanya tertutup rapat.
“Kamu sakit?” tanya lelaki tampan itu.
Airin menggeleng sebagai respon. “Aku halangan,” ucapnya.
Mendengarnya, Farelio menoleh ke arah dang gadis. Dalam diamnya, ia mengumpat. Namun, indera pendengaran Airin masih dapat menangkap jelas stimulus tersebut.
“Bukannya jadwal halangan kamu pertengahan bulan?” tanyanya lagi.
“Aku juga gak tau, Rel. Sikulus menstruasi perempuan bisa berubah-ubah kapan aja,” jelas Airin.
Setelahnya, tidak ada percakapan singkat yang terjadi di antara keduanya. Farelio sibuk dengan ponselnya.
Sementara itu, Airin mengusap pelan perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali ia meringis kesakitan.
Airin tahu bahwa Farelio pasti kecewa padanya, terkait hal yang seharusnya mereka lakukan sekarang.
Kegiatan yang sempat terhenti di ruang perlengkapan sekolah siang tadi. Baik Airin maupun Farelio, sama-sama berada di situasi yang tidak menguntungkan.
Farelio dengan rasa membuncah yang harus dipuaskan. Airin dengan rasa sakit yang harus ia rasakan setiap bulannya.
Selain itu, Airin juga merasa sedikit sedih. Ya, apalagi jika bukan karena lelaki tampan kesayangannya itu.
Dirinya seolah terpojok sebab hari merah yang menghampirinya tiba-tiba serta tidak ada simpati yang ia dapat sedikit pun dari Farelio.
“Aku mau ke tempat Alan,” ketus Farelio.
Lelaki tampan itu bangkit dari posisi duduknya, meraih jaket kulit yang tergeletak di atas meja untuk kemudian melangkah pergi.
Selepas kepergian Farelio, Airin memeluk dirinya sendiri. Sepasang bahunya bergetar hebat. Tak lama, suara tangisan terdengar.
“Lo jahat, Rel,” gumamnya.