crystal clear (1)

Alvino dan Nalandra sudah menghabiskan 30 menit untuk mencari keberadaan Airin di seluruh sudut sekolah yang bisa mereka jangkau.

Mulai dari perpustakaan, ruang perlengkapan, kantin, ruang kelas 11 IPA 6, sampai warung bi ijah. Namun, hasilnya tetap nihil.

“Airin dimana sih anjir,” keluh Nalandra.

Sepasang sahabat itu kini tengah mendudukkan diri di pinggir lapangan basket sembari menegak sebotol air mineral dingin.

“Gua gak tau harus cari Airin ke mana lagi,” tambah Alvino.

Baik Alvino maupun Nalandra sama-sama diburu napas. Mencari seorang Airin benar-benar menguras tenaga mereka.

“Coba telpon Farel,” saran Nalandra.

Setelahnya, Alvino mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk kemudian menghubungi sahabat yang entah mengapa selalu lari jika masalah sedang menghampiri gadisnya.

“Gak diangkat,” ujar Alvino.

“Bangsat,” umpat Nalandra.

“Apart,” ucap Alvino.

“Hah,” balas Nalandra.

“Apart-nya. Kalo dia gak nyaman ada di keramaian yang banyak orang kenal dia, pasti dia milih tempat sepi yang gak ada satu pun orang yang kenal dia,” jelas Alvino.

Mendengarnya, Nalandra hanya mengangguk paham. Di detik berikutnya, sepasang lelaki tampan itu melengang dari pekarangan sekolah.

Persetan dengan guru dan mata pelajaran yang akan mereka lewati sebab yang terpenting sekarang adalah di mana Airin berada.

Dengan motor sport kesayangan yang biasa menemani Alvino kemana pun ia pergi, keduanya kini sudah sampai di area parkir apartemen yang menjadi kediaman Airin.

Alvino dan Nalandra melangkahkan kaki jenjang mereka cepat untuk sampai ke lantai 13, tempat Airin tinggal.

Ting! Tong!

Alvino berkali-kali menekan tombol bel yang tersedia di samping pintu dengan nomor 133 itu, tetapi tidak ada respon yang muncul.

Setelah kurang lebih sepuluh kali Alvino dengan seluruh tenaganya hampir menghancurkan tombol bel tersebut, seseorang keluar dari pintu tersebut.

“Airin,” panggil Nalandra.

Dua pasang manik lelaki tampan itu berbinar seolah telah berhasil menemukan peti harta karun. Namun, yang muncul bukanlah seorang gadis berambut panjang.

“Airin gak ada di sini,” ujar Farelio lemas.

Lelaki tampan itu berbicara sembari menatap kedua kakinya yang berpijak di atas lantai dingin. Alvino dan Nalandra menghelas napas panjang setelah mendengar ucapan dari Farelio.

“Lo yang seharusnya cari Airin, Rel,” ujar Alvino.

“Gak bisa,” balas Farelio.

Pada akhirnya, lelaki tampan itu mau menatap lawan bicaranya walau dengan pandangan yang datar.

“Lo lumpuh? Gua gak liat lo lagi sakit atau sekarat, Farel. Lo harus cari Airin,” jelas Nalandra.

“Gua gak bisa,” jawab Farelio.

Alvino dan Nalandra, jika sekarang mereka bukan berada di tempat tinggal orang lain, mungkin sudah menghabisi sahabatnya yang satu itu.

“Kalian tau ‘kan Airin penting buat gua,” sela Farelio. “Tolongin gua,” lirihnya.

Nalandra memutar bola matanya untuk kemudian pergi meninggalkan Farelio. Tak lama setelahnya, Alvino mengikuti langkah sahabatnya.

Sepeninggalan kedua sahabatnya itu, Farelio kembali melengang masuk ke dalam apartemen Airin.

Lelaki tampan itu merebahkan dirinya di atas ranjang tempat ia biasa bermain bersama gadisnya.

Sebelah lengannya bergerak menutupi indera penglihatannya agar cahaya lampu tidak langsung masuk dan menusuk matanya.

“Aku bukannya gak peduli sama kamu, Airin,” monolog Farelio. “Aku gak tau harus gimana ngejelasinnya ke kamu,” sambungnya.