amenities

“Silakan masuk, Nona Cantik,” ujar Alby sembari tersenyum.

Mendengarnya, Airin terkekeh. “Makasih, By,” balasnya ramah.

Sebelah tangan kekar lelaki tampan itu bergerak menjaga agar pucuk kepala gadisnya tidak terbentur atap mobil klasiknya. Selepasnya, Alby berlari kecil memutari mobilnya untuk kemudian masuk ke dalam sana.

“Mau kemana nih?” tanya Alby seraya menghidupkan mesin mobilnya.

Airin mengangkat kedua bahunya. “Gak tau. ‘Kan tadi lo yang ajak gua jalan,” jawabnya.

Jika boleh jujur, Airin dibuat menghangat hatinya untuk kesekian kali atas perlakuan yang Alby berikan padanya. Bagaimana lelaki manis itu terus memanjakan Airin dengan sikapnya yang juga manis. Juga, Alby selalu membuatnya tertawa dengan tingkah-tingkah konyolnya.

“Bener juga, ya. ‘Kan tadi gua yang gantian ngajak lo jalan. Tapi, jujur nih, ya, Rin, jantung gua rasanya gak karuan banget,” jelas lelaki tampan itu.

“Loh, kenapa? Lo sakit, By?” tanya Airin serius.

“Bukan sakit sih. Gua kelewat seneng aja bisa jalan sama lo. Kayak ini tuh salah satu daftar bucket list yang ada di hidup gua dan terwujud,” enteng Alby.

“Sialan lo, By. Gua kira lo sakit,” ujar Airin sembari memukul pelan lengan kekar lelaki di samping kanannya.

“Kita makan dulu, yuk!” ajak lelaki tampan itu.

Tepat setelahnya, Alby menancap gas mobilnya dari depan pekarangan warung Bi Ijah. Entah ke mana, Airin juga tidak tahu pasti.

Namun, yang ia tahu pasti, ia ingin menghabiskan siang menuju sore hari ini dengan lelaki manis penuh guyon yang sudah memenuhi pikiran serta hatinya dalam beberapa waktu belakangan ini.

“Gua liat lo tadi di kantin. Lo udah makan siang ‘kan, Rin?” tanya Alby seraya mengangkat tuas rem tangan kala mobilnya berhenti di persimpangan yang lampu lalu lintasnya berwarna merah.

Airin mengangguk. “Udah,” singkatnya.

“Yaudah, berarti kita jajan aja,” final lelaki manis itu. “Eh, tapi, kalo lo masih laper bilang aja, ya, Rin,” lanjutnya.

“Iyaa, Alby,” jawab Airin.

Dengan begitu, setelah lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau, Alby kembali menancap gas mobilnya untuk menuju ke sekolah dasar terdekat.

Menurutnya, jajanan kaki lima paling menggiurkan adalah jajanan kaki lima yang dijual di sekitar sana.

Tidak ada percakapan signifikan yang terjadi di antara keduanya, hanya ada lagu yang mengalun dari music tape yang terpasang di audio mobil klasik tersebut.

Sesekali, Alby ikut menyenandung dengan musik kesukaannya. Dan seringkali, Airin mencuri pandang pada lelaki manis yang duduk di sebelahnya.

Entah mengapa, duduk di bangku penumpang tidak pernah terasa semenyenangkan dan semenenangkan ini sebelumnya, setidaknya bagi Airin.

Lihat saja, gadis cantik itu tidak bisa berhenti menyimpulkan garis cantik itu pada wajahnya yang juga cantik.

“Nah, gitu dong! Senyum. ‘Kan cantik diliatnya,” ujar Alby tiba-tiba.

Airin, gadis cantik itu tentunya salah tingkah. Sudah tidak terhitung berapa kali lelaki manis itu menyanjungnya dengan kata ‘cantik’. Anehnya, tidak terasa seperti gombalan, melainkan memang diucapkan secara tulus.

“Emangnya gua gak pernah senyum, ya, By?” tanya gadis cantik itu.

Alby berdehem. “Bukan gak pernah, Rin, tapi jarang. Gua gak tau kenapa orang secantik lo bisa jarang senyum. Padahal, kalo lo senyum, jangankan Karel, kepala sekolah sampe petugas kebersihan juga bisa suka sama lo,” ledeknya.

“Hiper tau gak, By,” balas Airin.

“Lo kalo senyum tuh keliatan cantik, Rin,” ucap Alby tanpa memalingkan pandangannya. Mobil klasik itu tengah melakukan manuver untuk memutari jalan di persimpangan untuk kemudian melaju memasuki sebuah gang.

Pada siang menuju sore kala itu, Airin terpaku pada pemandangan indah di sampingnya, yaitu Alby yang sedang mengendarai mobil klasiknya. Sepasang manik selegam senja itu sampai tidak berkedip seolah tidak ingin melewatkan hal tersebut barang sedetik pun.

“Heh? Lo kenapa, Rin? Kok bengong jadinya,” tegur lelaki manis itu.

Mendengarnya, Airin menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk menyadarkan dirinya. “Hah? Enggak kok. Gua gak apa-apa,” bantahnya.

Berbeda dengan Airin, lelaki manis itu terkekeh. “Lucu,” gumamnya pelan.

Tak lama setelahnya, sepasang siswa sekolah menengah atas itu sudah sampai di tujuan, tepatnya di Sekolah Dasar 01 Pelita Hati.

Alby meraih dompetnya yang terletak di saku belakang celana seragamnya kala sepasang maniknya menangkap sang gadis yang sedang membeku di tempat.

“Rin,” panggil Alby.

Yang dipanggil namanya menoleh ke sumber suara. “Ini sekolah gua dulu, By,” jelas Airin.

Alby mengangkat sebelah alisnya. “Lo serius? Gua dulu sekolah di sana,” ucap lelaki manis itu sembari menunjuk ke arah gedung sekolah yang berjarak tak jauh dari gedung sekolah sang gadis. “Tuh di SD 02, sama Hana,” sambungnya.

Ya, bangunan Sekolah Dasar 01 Pelita Hati sangat berdekatan dengan bangunan Sekolah Dasar 02 Pelita Hati. Bisa dibilang, kedua sekolah tersebut berada di satu rumpun yang sama. Keduanya bahkan tidak tahu fakta tersebut.

Setelahnya, gadis cantik dan lelaki manis itu melengang keluar dari mobil dan mulai mencari target jajanan kaki lima yang akan mereka santap.

Ada banyak sekali jenis jajanan yang ditawarkan. Ini pilihan yang sulit. Rasanya ingin sekali Airin memborong semua makanan yang ada di sana.

“Lo dulu sekolah di sini, By?” tanya Airin mengalihkan rasa bimbangnya.

“Iya. Sebenernya gua dulu tuh tinggal di sini, tapi pas Papa dapet jabatan baru harus pindah. Terus, belom lama ini, Papa dapet jabatan lagi dan kebetulan harus pindah lagi ke sii. Ya, jadinya balik. Kalo tau sekolah gua sampingan sama sekolah lo, kali gua gak akan mau diajak pindah, Rin,” jelas Alby.

“Gombal terus, By. Emangnya gak capek?” sindirgadis cantik itu.

“Awas, Rin!” ucap Alby sembari merangkul gadisnya agar mendekat padanya.

Baru saja sebuah kendaraan roda dua berjalan melewati mereka. Padahal, baik Airin maupun Alby berjalan di atas trotoar yang memang diperuntukan untuk pejalan kaki. Lihat saja, pengendara itu bahkan tidak meminta maaf dan malah mengomeli keduanya.

Alby berdesis. “Ini trotoar, Pak!” pekiknya tanpa melepaskan dekapannya.

“Sabar, By,” ujar Airin.

“Lo gak apa-apa?” tanya lelaki manis itu sembari menundukkan pandangan pada gadis cantik di dalam rangkulannya. Dua pasang manik itu saling bertemu untuk memandang satu sama lain. Namun, di detik berikutnya, Alby melepaskan dekapannya. “Sorry, Rin,” ucapnya.

“Gua gak apa-apa kok, By. Makasih, ya,” kata gadis cantik itu sembari tersenyum. Melihatnya, Alby ikut tersenyum. Lihatlah, betapa manis seorang Alby ketika tersenyum. Bagaimana tidak, maniknya menyipit seolah ikut tersenyum.

“Lo mau jajan apa?” tanya Alby.

“Cilok,” singkat Airin.

“Oke,” final lelaki manis itu.

Sesuai dengan rencana, keduanya melanjutkan perjalanan mereka untuk berburu jajanan kaki lima yang lezat khas sekolah dasar.

Untuk makanan seperti cilok pun, terdapat banyak jenisnya di sana. Akhirnya, pilihan Airin jatuh kepada cilok original khas kota hujan.

“Bang, ciloknya dua bungkus, ya,” ujar Alby.

“Oke, Mas,” jawab sang pedagang.

“Bang, kalo saya punya pacar cantik, Abang mau kasih saya diskon cilok gak?” tanya Alby menggoda penjual jajanan kaki lima di depannya.

“Aduh, Mas. Nanti saya rugi dong kalo gitu,” balas sang penjual ramah. “Tapi, gak apa-apa deh, Mas. Pacarnya emang beneran cantik kok.”

Mendengarnya, Alby tertawa puas. “Berarti Abang jangan kasih diskon ke saya sekarang, Bang. Nanti aja, soalnya dia belom jadi pacar saya. Doain, ya, Bang,” jelas lelaki tampan itu.

Entah bergurau ataupun serius, Airin hanya dapat tersenyum lebar menanggapi percakapan lelaki manis itu bersama pedagang cilok di depan sekolahnya.

Sebenarnya, gadis cantik itu sangat berharap hari ini tidak kunjung selesai atau tidak memiliki akhir. Airin tidak ingin menyudahi harinya dengan Alby. Mungkin, Alby Valla Bagasditya mulai mengambil hati seorang Airin Herning Kamarana.